Melihat banyaknya darah yang mencuat, Gisel langsung paham.Barusan Paman Aneh tidak menembak ke arahnya melainkan memilih untuk menembak dirinya sendiri.Demi melindunginya, Paman Aneh itu menjadikan dirinya sendiri sebagai sasaran.Dia harus segera menemui Paman Aneh, dia harus melihatnya ....Namun, perlawanan itu tetap tidak bisa melepaskan kungkuhan pengawal yang amat kuat pada tubuhnya.Gisel merasa tak berdaya dan menangis tersedu-sedu ...."Paman Aneh, bangunlah, kumohon peluklah aku."Alvin yang terduduk kembali ke kursi terdiam dengan ekspresi kaku di wajahnya.Dia beralih menatap Gisel yang berjarak jauh darinya, sembari membuka bibirnya bergetarnya, mencoba menenangkan putrinya."Gisel ... jangan nangis ...."Begitu kalimat itu diucapkan, darah kembali mengalir keluar.Darah yang mencuat keluar itu semakin mengalir deras tak terkendali, membuat Gisel kaget dan memucat."Ayah, cepat selamatkan Paman Aneh, cepat selamatkan dia ...."Pria dipanggil ayah itu hanya mengabaikanny
Di sebuah ruang kerja, di vila milik Sara.Wina tampak sedang fokus menggenggam penggaris sembari menggambar sketsa. Sekalipun sudah sangat fokus, goresan pada tinta pena masih saja terlihat miring.Wina merasakan hatinya tidak nyaman, seolah merasa ada yang hilang, membuatnya sedih tanpa sebab yang jelas.Merasakan perasaan gelisah yang tak berujung, Wina akhirnya meletakkan pensilnya dan merebahkan tubuhnya di atas kursi sembari mengusap-usap keningnya.Tiba-tiba ponsel yang terletak di atas meja itu berdering.Melihat panggilan itu berasal dari Jihan, Wina segera mengangkatnya."Gimana Jihan? Sudah bertemu dengan Alvin?"Setelah terdiam sekian detik, suara dingin pria itu pun mulai terdengar."Wina, kamu harus kemari dan bertemu dengan Alvin untuk terakhir kalinya."Wina seketika merasa sesak, jantungnya seakan tertekan hingga terasa sakit.Perasaan sakit itu seolah sedang menguasai dirinya, membuat Wina kehilangan kendali atas tubuhnya.Wina mengangkat ponselnya dan buru-buru henda
Setelah mengusap wajah Wina, tangan Alvin mulai melemah. Pria menurunkan tangannya dan tak sengaja menyentuh rambut panjang Wina ....Rambut Vera tidak sepanjang itu.Di tengah pandangan kaburnya, Alvin mulai menelisik garis wajah Wina yang tampak mirip dengan Vera, tetapi tidak serupa.Ternyata, wanita di hadapannya itu adalah Wina, bukan Vera.Lagi-lagi Alvin salah mengenali orang.Sorot mata Alvin yang berbinar-binar itu perlahan meredup.Alvin mengalihkan pandangannya dan perlahan menatap ke arah jantung Wina, seolah bisa merasakan keberadaan Vera, Alvin kembali merasa lega."Wi ... Wina ...."Susah payah Alvin menyebut nama itu. Wina yang berada di sampingnya itu segera menghapus air matanya dan mendekat ke arah Alvin."Kakak Ipar."Meskipun sebelum Alvin sudah bertindak kasar padanya, Wina tetap menganggap Alvin sebagai kakak iparnya.Kelembutan Wina membuat Alvin merasa bersalah dan hingga enggan menatap langsung kedua mata wanita itu.Namun, detik berikutnya, Alvin mulai bersua
Mendengar jawaban itu, Alvin merasa lega dan tersenyum tipis padanya. Namun, sosok yang bergerak dari arah pintu itu menarik pandangannya.Di sana, berdiri seorang yang anggun dan dingin dari balik pintu kaca.Tanpa perlu bertanya, Alvin sudah tahu siapa pria yang berdiri di luar pintu itu.Namun, semua itu sudah tidak penting, semasa hidupnya, Alvin hanya mencintai Vera seorang diri.Entah sejak kapan perasaan cinta itu muncul, kemungkinan di saat Vera yang mengejar mobilnya menggunakan sepeda.Setiap kali kaca spionnya menangkan sosok yang tersenyum penuh percaya diri itu, Alvin selalu tersenyum lembut melihatnyaAda orang yang tidak paham dengan cinta, tetapi ketika dihadapkan dengan perpisahaan, mereka baru akan menyadarinya ....Setelah kematian menghampiri orang itu, semua potongan memori masa lalu seseorang melesat melintasi isi benaknya.Dari situ, Alvin baru sadar, ternyata selama ini dia begitu mencintai Vera. Namun, sayangnya semua sudah terlambat.Sebelum kedua matanya tert
Sam yang baru mendapatkan kabar itu langsung buru-buru menghampiri, tetapi sayangnya tubuh Alvin sudah berubah kaku.Sam berdiri di kamar mayat menolak percaya menatap tubuh Alvin yang sudah ditutupi dengan kain putih.Namun, berbeda dengan Wina, wanita merasa lega melihat tubuh Alvin yang sudah dibersihkan sembari mengenakan pakaian yang bersih.Wujud Alvin yang terbaring di atas ranjang itu tampak begitu tenang, seolah sedang tertidur dan tak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda bahwa pria itu sudah meninggal.Sam ingin melangkah maju dan mendekat ke arah Alvin, tetapi saat ingin mengulurkan tangan menyentuh wajahnya, nyali Sam mendadak menciut."Guru ...."Suaranya terdengar lirih, biasanya setiap kali Sam memanggil gurunya saat tidur, Alvin akan langsung memukulnya.Namun, sekarang gurunya itu hanya terbaring tenang tanpa sedikit pun menggubris suara dari Sam.Seketika Sam merasa hidungnya seakan sumbat dan matanya mulai memerah. "Guru, apa yang terjadi padamu, bukankah kamu sudah b
Sam bersujud di atas tanah menghadap Alvin sembari membungkuk hormat kepadanya sebanyak tiga kali.Gurunya pernah berjanji untuk membangunkan rumah emas setelah dia berhasil mendapatkan lebih banyak piala dari gurunya.Namun, sepertinya perjanjian itu sudah mustahil dan tidak akan pernah terwujud.Sam berharap, semoga di kehidupan selanjutnya dia bisa kembali menjadi murid Alvin.Ketika itu terjadi, dia yang akan membangun rumah emas untuk gurunya.Karena kehidupan kali ini, belum sempat membalas jasa gurunya itu, Alvin sudah lebih dulu pergi.Sam yang masih dalam posisi berlututnya dan menangis tersedu-sedu, membuat George mencoba menenangkannya dengan menepuk bahunya dengan lembut."Sebelum Alvin pergi, dia menyerahkan perusahaannya padamu ....""Dia harap, kamu bisa memimpin perusahaannya hingga menjadi yang terbaik di dunia ...."Permintaan itu sangat sulit untuk terpenuhi, tetapi juga menjadi penyemangat bagi Sam untuk menjalani hidupnya.Semasa hidupnya, Alvin sudah membantu dan
Wina hanya pernah bertemu dengan Valeria sebanyak dua kali, di setiap pertemuan itu Wina bisa merasakan keindahan yang berbeda dari wanita itu.Kecantikan Valeria sungguh menyilaukan dan menggetarkan hati orang yang melihatnya, sungguh sulit untuk mengalihkan pandangan dari kecantikan wanita itu.Namun, di waktu yang bersamaan kecantikan yang paripurna itu juga membuat orang merasa tidak percaya diri.Wina menundukkan kepalanya, tetapi Jihan menggenggam tangannya erat memberikan rasa aman kepada wanita itu.Jihan lalu mengambil tangan Wina dan meletakkannya di atas kaki rampingnya sembari menopang dagunya dengan satu tangan dan menatap Valeria dengan tatapan dingin."Katakan dengan jelas permasalahan dengan Robert, kalau nggak, kembali ke markas perusahaan dan akui kesalahanmu."Melihat sikap Jihan yang begitu tidak sopan dan langsung menuju inti permasalahan, Valeria langsung paham, ternyata Jihan tidak ingin istrinya itu salah paham ....Dalam hati, Valeria terus mengutuk Jihan si Bu
Saat bangun dari tidurnya, Wina baru sadar bahwa Jihan sudah pergi ke Britton.Wina sangat jarang marah pada Jihan. Namun, kali ini dia benar-benar marah, hingga jantungnya ikut berdebar penuh amarah.Mereka sudah sepakat untuk pergi ke Britton bersama, tetapi Jihan malah sengaja membujuknya untuk tidur dan pergi ke Britton seorang diri.Wina merasakan kegelisahan di dalam dadanya, mengeluarkan ponselnya, mencoba meneleponnya, tapi nomornya tidak aktif.Tangan yang memegang ponsel itu kian bergetar. Wina sadar, mungkin Jihan sedang berada di dalam pesawat, tetapi dia tidak peduli dan terus meneleponnya dengan putus asa.Seketika Sara memasuki ruangan dan mendapati Wina terduduk di lantai, wanita itu pun segera memapahnya untuk berdiri."Wina, kenapa sampai duduk di lantai?"Wina merasa begitu gelisah hingga kesusahan berdiri. Wanita itu menopang pada dinding sebelum akhirnya dapat berdiri dengan tegap. "Sara, kapan Jihan pergi?"Sara membantunya duduk, lalu menatap ke arah layar ponsel