Setelah mengusap wajah Wina, tangan Alvin mulai melemah. Pria menurunkan tangannya dan tak sengaja menyentuh rambut panjang Wina ....Rambut Vera tidak sepanjang itu.Di tengah pandangan kaburnya, Alvin mulai menelisik garis wajah Wina yang tampak mirip dengan Vera, tetapi tidak serupa.Ternyata, wanita di hadapannya itu adalah Wina, bukan Vera.Lagi-lagi Alvin salah mengenali orang.Sorot mata Alvin yang berbinar-binar itu perlahan meredup.Alvin mengalihkan pandangannya dan perlahan menatap ke arah jantung Wina, seolah bisa merasakan keberadaan Vera, Alvin kembali merasa lega."Wi ... Wina ...."Susah payah Alvin menyebut nama itu. Wina yang berada di sampingnya itu segera menghapus air matanya dan mendekat ke arah Alvin."Kakak Ipar."Meskipun sebelum Alvin sudah bertindak kasar padanya, Wina tetap menganggap Alvin sebagai kakak iparnya.Kelembutan Wina membuat Alvin merasa bersalah dan hingga enggan menatap langsung kedua mata wanita itu.Namun, detik berikutnya, Alvin mulai bersua
Mendengar jawaban itu, Alvin merasa lega dan tersenyum tipis padanya. Namun, sosok yang bergerak dari arah pintu itu menarik pandangannya.Di sana, berdiri seorang yang anggun dan dingin dari balik pintu kaca.Tanpa perlu bertanya, Alvin sudah tahu siapa pria yang berdiri di luar pintu itu.Namun, semua itu sudah tidak penting, semasa hidupnya, Alvin hanya mencintai Vera seorang diri.Entah sejak kapan perasaan cinta itu muncul, kemungkinan di saat Vera yang mengejar mobilnya menggunakan sepeda.Setiap kali kaca spionnya menangkan sosok yang tersenyum penuh percaya diri itu, Alvin selalu tersenyum lembut melihatnyaAda orang yang tidak paham dengan cinta, tetapi ketika dihadapkan dengan perpisahaan, mereka baru akan menyadarinya ....Setelah kematian menghampiri orang itu, semua potongan memori masa lalu seseorang melesat melintasi isi benaknya.Dari situ, Alvin baru sadar, ternyata selama ini dia begitu mencintai Vera. Namun, sayangnya semua sudah terlambat.Sebelum kedua matanya tert
Sam yang baru mendapatkan kabar itu langsung buru-buru menghampiri, tetapi sayangnya tubuh Alvin sudah berubah kaku.Sam berdiri di kamar mayat menolak percaya menatap tubuh Alvin yang sudah ditutupi dengan kain putih.Namun, berbeda dengan Wina, wanita merasa lega melihat tubuh Alvin yang sudah dibersihkan sembari mengenakan pakaian yang bersih.Wujud Alvin yang terbaring di atas ranjang itu tampak begitu tenang, seolah sedang tertidur dan tak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda bahwa pria itu sudah meninggal.Sam ingin melangkah maju dan mendekat ke arah Alvin, tetapi saat ingin mengulurkan tangan menyentuh wajahnya, nyali Sam mendadak menciut."Guru ...."Suaranya terdengar lirih, biasanya setiap kali Sam memanggil gurunya saat tidur, Alvin akan langsung memukulnya.Namun, sekarang gurunya itu hanya terbaring tenang tanpa sedikit pun menggubris suara dari Sam.Seketika Sam merasa hidungnya seakan sumbat dan matanya mulai memerah. "Guru, apa yang terjadi padamu, bukankah kamu sudah b
Sam bersujud di atas tanah menghadap Alvin sembari membungkuk hormat kepadanya sebanyak tiga kali.Gurunya pernah berjanji untuk membangunkan rumah emas setelah dia berhasil mendapatkan lebih banyak piala dari gurunya.Namun, sepertinya perjanjian itu sudah mustahil dan tidak akan pernah terwujud.Sam berharap, semoga di kehidupan selanjutnya dia bisa kembali menjadi murid Alvin.Ketika itu terjadi, dia yang akan membangun rumah emas untuk gurunya.Karena kehidupan kali ini, belum sempat membalas jasa gurunya itu, Alvin sudah lebih dulu pergi.Sam yang masih dalam posisi berlututnya dan menangis tersedu-sedu, membuat George mencoba menenangkannya dengan menepuk bahunya dengan lembut."Sebelum Alvin pergi, dia menyerahkan perusahaannya padamu ....""Dia harap, kamu bisa memimpin perusahaannya hingga menjadi yang terbaik di dunia ...."Permintaan itu sangat sulit untuk terpenuhi, tetapi juga menjadi penyemangat bagi Sam untuk menjalani hidupnya.Semasa hidupnya, Alvin sudah membantu dan
Wina hanya pernah bertemu dengan Valeria sebanyak dua kali, di setiap pertemuan itu Wina bisa merasakan keindahan yang berbeda dari wanita itu.Kecantikan Valeria sungguh menyilaukan dan menggetarkan hati orang yang melihatnya, sungguh sulit untuk mengalihkan pandangan dari kecantikan wanita itu.Namun, di waktu yang bersamaan kecantikan yang paripurna itu juga membuat orang merasa tidak percaya diri.Wina menundukkan kepalanya, tetapi Jihan menggenggam tangannya erat memberikan rasa aman kepada wanita itu.Jihan lalu mengambil tangan Wina dan meletakkannya di atas kaki rampingnya sembari menopang dagunya dengan satu tangan dan menatap Valeria dengan tatapan dingin."Katakan dengan jelas permasalahan dengan Robert, kalau nggak, kembali ke markas perusahaan dan akui kesalahanmu."Melihat sikap Jihan yang begitu tidak sopan dan langsung menuju inti permasalahan, Valeria langsung paham, ternyata Jihan tidak ingin istrinya itu salah paham ....Dalam hati, Valeria terus mengutuk Jihan si Bu
Saat bangun dari tidurnya, Wina baru sadar bahwa Jihan sudah pergi ke Britton.Wina sangat jarang marah pada Jihan. Namun, kali ini dia benar-benar marah, hingga jantungnya ikut berdebar penuh amarah.Mereka sudah sepakat untuk pergi ke Britton bersama, tetapi Jihan malah sengaja membujuknya untuk tidur dan pergi ke Britton seorang diri.Wina merasakan kegelisahan di dalam dadanya, mengeluarkan ponselnya, mencoba meneleponnya, tapi nomornya tidak aktif.Tangan yang memegang ponsel itu kian bergetar. Wina sadar, mungkin Jihan sedang berada di dalam pesawat, tetapi dia tidak peduli dan terus meneleponnya dengan putus asa.Seketika Sara memasuki ruangan dan mendapati Wina terduduk di lantai, wanita itu pun segera memapahnya untuk berdiri."Wina, kenapa sampai duduk di lantai?"Wina merasa begitu gelisah hingga kesusahan berdiri. Wanita itu menopang pada dinding sebelum akhirnya dapat berdiri dengan tegap. "Sara, kapan Jihan pergi?"Sara membantunya duduk, lalu menatap ke arah layar ponsel
Wanita paruh baya itu tak henti menatap Wina hingga akhirnya mulai bersuara, "Nona Wina, apa kamu tahu siapa ibumu?"Wina merasa aneh dengan pertanyaan Nyonya Jeana yang baru saja kehilangan putranya, malah menanyakan perihal ibunya. Wina pun menggelengkan kepalanya. "Nggak tahu ...."Wajah Nyonya Jeana yang awalnya tampak tegang perlahan berubah santai. Dia merasa lega, lebih baik Wina tidak tahu akan rahasia Keluarga Dinsa. Setelah kematian Vera, biarkanlah rahasia itu selamanya terkubur dan biarkan Wina selamanya hanya mengira bahwa mereka adalah yatim piatu.Setelah mendapatkan jawaban dari Wina, Nyonya Jeana mengalihkan pandangannya dan beralih memasuki kamar mayat meninggalkan pria paruh baya itu dan berkata pada Wina, "Aku mau membawa pulang jenazah Alvin."Wina merasa tidak nyaman dan mengernyitkan keningnya. "Kakak Ipar meninggalkan wasiat kepadaku, dia ingin dimakamkan bersama dengan Kak Vera. Sepertinya kalian nggak bisa membawanya pergi."Mendengar nada lembut Wina, ayah Al
Barlos merasa malu dan menjawabnya, "Lagi pula, aku 'kan hanya membahas soal di mana putraku harus dimakamkan, nggak ada hubungannya dengan menyinggung perasaannya."Pantas saja Nona Wina ini begitu tegas dengan ucapannya, ternyata di belakangnya ada Grup Lionel yang mendukungnya. Lagi pula, semua itu juga hanya berkat Jihan.Barlos mulai memandangnya remeh, Wina sama saja dengan kakaknya yang tak punya apa-apa, hanya ingin bergantung pada Alvin. Bahkan sampai maut menjemputnya pun, wanita itu masih saja membuat kekacauan dan bahkan sampai membuat Alvin kehilangan nyawanya. Apa gunaya wanita seperti itu?Melihat tatapan remeh Barlos, Wina sama sekali tidak menghiraukannya dan hanya berkata, "Mohon Tuan Barlos pertimbangkan dengan baik dan berikan jawabannya padaku dalam waktu empat jam."Dalam waktu empat jam, Jihan pasti sudah mendarat di Britton. Kesempatan yang bagus untuknya memutuskan untuk pergi ke Britton atau tidak.Alvin memang putranya Barlos, Barlos tidak perlu meminta izin