Saat bangun dari tidurnya, Wina baru sadar bahwa Jihan sudah pergi ke Britton.Wina sangat jarang marah pada Jihan. Namun, kali ini dia benar-benar marah, hingga jantungnya ikut berdebar penuh amarah.Mereka sudah sepakat untuk pergi ke Britton bersama, tetapi Jihan malah sengaja membujuknya untuk tidur dan pergi ke Britton seorang diri.Wina merasakan kegelisahan di dalam dadanya, mengeluarkan ponselnya, mencoba meneleponnya, tapi nomornya tidak aktif.Tangan yang memegang ponsel itu kian bergetar. Wina sadar, mungkin Jihan sedang berada di dalam pesawat, tetapi dia tidak peduli dan terus meneleponnya dengan putus asa.Seketika Sara memasuki ruangan dan mendapati Wina terduduk di lantai, wanita itu pun segera memapahnya untuk berdiri."Wina, kenapa sampai duduk di lantai?"Wina merasa begitu gelisah hingga kesusahan berdiri. Wanita itu menopang pada dinding sebelum akhirnya dapat berdiri dengan tegap. "Sara, kapan Jihan pergi?"Sara membantunya duduk, lalu menatap ke arah layar ponsel
Wanita paruh baya itu tak henti menatap Wina hingga akhirnya mulai bersuara, "Nona Wina, apa kamu tahu siapa ibumu?"Wina merasa aneh dengan pertanyaan Nyonya Jeana yang baru saja kehilangan putranya, malah menanyakan perihal ibunya. Wina pun menggelengkan kepalanya. "Nggak tahu ...."Wajah Nyonya Jeana yang awalnya tampak tegang perlahan berubah santai. Dia merasa lega, lebih baik Wina tidak tahu akan rahasia Keluarga Dinsa. Setelah kematian Vera, biarkanlah rahasia itu selamanya terkubur dan biarkan Wina selamanya hanya mengira bahwa mereka adalah yatim piatu.Setelah mendapatkan jawaban dari Wina, Nyonya Jeana mengalihkan pandangannya dan beralih memasuki kamar mayat meninggalkan pria paruh baya itu dan berkata pada Wina, "Aku mau membawa pulang jenazah Alvin."Wina merasa tidak nyaman dan mengernyitkan keningnya. "Kakak Ipar meninggalkan wasiat kepadaku, dia ingin dimakamkan bersama dengan Kak Vera. Sepertinya kalian nggak bisa membawanya pergi."Mendengar nada lembut Wina, ayah Al
Barlos merasa malu dan menjawabnya, "Lagi pula, aku 'kan hanya membahas soal di mana putraku harus dimakamkan, nggak ada hubungannya dengan menyinggung perasaannya."Pantas saja Nona Wina ini begitu tegas dengan ucapannya, ternyata di belakangnya ada Grup Lionel yang mendukungnya. Lagi pula, semua itu juga hanya berkat Jihan.Barlos mulai memandangnya remeh, Wina sama saja dengan kakaknya yang tak punya apa-apa, hanya ingin bergantung pada Alvin. Bahkan sampai maut menjemputnya pun, wanita itu masih saja membuat kekacauan dan bahkan sampai membuat Alvin kehilangan nyawanya. Apa gunaya wanita seperti itu?Melihat tatapan remeh Barlos, Wina sama sekali tidak menghiraukannya dan hanya berkata, "Mohon Tuan Barlos pertimbangkan dengan baik dan berikan jawabannya padaku dalam waktu empat jam."Dalam waktu empat jam, Jihan pasti sudah mendarat di Britton. Kesempatan yang bagus untuknya memutuskan untuk pergi ke Britton atau tidak.Alvin memang putranya Barlos, Barlos tidak perlu meminta izin
Setelah memutuskan panggilan, beberapa saat kemudian, Wina mendapatkan sebuah pesan dari Jihan."Wina, kamu bukannya nggak bisa bantu, aku hanya takut kamu dalam bahaya. Makanya aku nggak mau kamu ikut kemari.""Aku berjanji padamu, setelah dua hari, aku pasti akan pulang. Jangan marah lagi ya?"Wina mengusapkan jarinya di sisi belakang ponsel sembari termenung menatap pesan itu selama beberapa detik, lalu mulai mengeti."Oke, aku tunggu kamu di rumah."Dia memang tidak bisa membantunya, meski Wina ikut pergi ke Britton bersamanya, yang ada Wina hanya akan menjadi beban. Lebih baik dia tidak ikut agar tidak mengganggu Jihan.Wina yang sadar akan keadaan membalas pesan dari Jihan, kemudian meletakkan kembali ponselnya.Wina awalnya berniat untuk pergi mencari orang tua Alvin, tetapi tiba-tiba George memasuki ruangan direktur dan memberikannya sebuah flashdisk."Aku menemukannya di teater rumah Robert, di dalamnya ada video kakakmu yang ditinggalkannya untuk Alvin. Kamu belum pernah meli
Jeana mempertahankan sikap anggun dan tenangnya layaknya sikap seorang wanita bangsawan, sembari menjelaskan dengan tenang kepada Wina."Nona Wina, saat Vera terus mengejar Alvin, sudah kukatakan padanya bahwa aku menolak kehadirannya. Tapi, dia sendiri yang bersikeras nggak mau dengar dan berkata nggak masalah selama dia bisa berada di dekat Alvin. Kamu sendiri juga tahu kondisi keluarga ini, kamu nggak mungkin membiarkan sembarang orang yang statusnya nggak setara masuk ke keluarga ini. Makanya, kami nggak bisa memberikannya monumen ataupun nama."Wina menatap Jeana dari atas hingga bawah dan menyadari bahwa Jeana tidak berani menatapnya secara langsung. Melihat itu, Wina merasa aneh. "Nyonya Jeana, apa kamu mengenalku?'Jeana menggenggam lengan suaminya dengan erat, wanita itu tampak bergetar, tetapi tetap berpura-pura untuk tenang sembari tersenyum kecil. "Aku menghabiskan masa hidupku di Britton, mana mungkin bisa mengenalmu?"'Lalu kenapa kamu nggak berani menatapku?'Wina ingin
Merasa reaksinya terlalu mencolok, Nyonya Jeana segera merapikan kembali lengan bajunya, dan memandang ke arah Wina."Nona Wina, karena kakakmu yang melahirkan anak putraku, kalau begitu dia dimakamkan di pemakaman Keluarga Chris dengan mengatasnamakan istri dari Alvin saja."Setelah mengatur kembali napasnya, wanita tua itu kembali menambahkan, "Tapi, untuk anak mereka, aku yang akan mengasuhnya."George yang mendengar Nyonya Jeana hanya menginginkan Gisel pun segera menyadari bahwa wanita tua itu sangat egois. Dia segera menyela, "Sesuai wasiat Alvin, dia menginginkan Wina yang mengasuh anak itu."Orang tua Alvin sangat mengutamakan kepentingan mereka sendiri, saat Alvin bersikap patuh, maka mereka akan mendidiknya menjadi pewaris, tetapi saat Alvin membangkang, mereka lebih memilih untuk memberikan warisan tersebut kepada keponakan yang dijadikan boneka daripada diberikan kepada Alvin yang pembangkang. Mereka saja memperlakukan putra kandung sendiri seperti itu, apalagi kepada cucu
Wina memegang kotak abu itu dan mengusapnya beberapa kali. "Kakak, aku akan sering mengunjungimu di Britton."Setelah mengatakan itu, Wina menutup kotak abu itu dan menutupnya dengan kain hitam.Sara membawa payung untuknya, dan mereka berdua membawa abu Vera kembali ke vila Wina.Setelah semuanya selesai, dua hari pun berlalu. Selama dua hari itu, Jihan tidak pernah absen mengabarinya selama setiap jam sekali bahwa pria itu baik-baik saja.Hal itu membuat Wina merasa tenang, Sembari berbaring di atas ranjang, Wina mengulurkan tangan mencari ponselnya.Kemarin malam, Jihan mengabarkannya bahwa dia sudah membawa Gisel kembali.Jihan juga mengatakan bahwa penerbangan mereka berjadwal di keesokan harinya pukul tiga sore lewat lima belas menit menuju Kota Aster.Wina melirik ke arah jam dan menduga waktu mendarat hampir tiba, sehingga dia segera menyambungkan panggilan kepada Jihan. Namun, ponsel Jihan dimatikan.Wina mengira pria itu masih berada di dalam pesawat, sehingga dia pergi mandi
Mendengar nama Gisel, Wina baru tersadar dan langsung mengalihkan pandangannya pada Gisel.Melihat wujud Gisel yang awalnya gemuk dan berisi tiba-tiba berubah kurus itu, membuat Wina merasa sedih.Dia buru-buru melepaskan Jihan dan membungkuk menangkupkan wajah Gisel."Gisel, kenapa kamu jadi sekurus ini?"Melihat sang bibi berada di hadapannya, Gisel seketika membuka mulutnya ingin mengatakan sesuatu, tetapi pada akhirnya dia hanya terdiam.Melihat Gisel menundukkan kepalanya, bermain-main dengan bonekanya, diam tanpa berkata apa-apa, Wina merasa sangat sedih.Ini pasti gara-gara Robert yang memaksanya bermain permainan menembak dan menyaksikan ayah kandungnya mati dengan mata kepalanya sendiri, oleh karena itu Gisel berubah menjadi pendiam, benar bukan?Jihan menahan tubuh Wina yang bergetar dan menjelaskan, "Dia mengalami trauma dan stres, dia harus dibawa ke psikiater."Setelah Robert membunuh Alvin, pria itu berubah kejam terhadap anak ini. Beberapa hari ini Robert mengurung Gisel