Pergerakan itu membuat sekujur tubuh Gisel bergetar, perlahan matanya mulai berkaca-kaca dan bergerak menatap pria yang menodongkan pistol ke kepalanya."Ayah, kamu mau membunuhku?""Nggak, Ayah cuman bermain denganmu."Robert meraih tangan Gisel."Gisel, kemarilah. Ayo lanjutkan permainan menembak dengan Ayah."Gisel menggelengkan kepalanya sembari meraih leher Alvin dengan tangan mungilnya.Gisel mengeratkan pelukannya pada tubuh Alvin, seolah menolak terang-terangan tak ingin melanjutkan kegiatan tembak-menembak itu.Melihat itu, tatapan ramah pada mata Robert perlahan memudar."Gisel, kalau kamu jadi nggak nurut sama Ayah. Kalau anak nakal yang nggak nurut akan dihukum loh."Setiap kali omongan itu diucapkan ayahnya, Gisel akan selalu mengingat adegan di mana dia dikurung ayahnya dalam sebuah kamar gelap. Mengingat adegan itu, wajah Gisel berubah pucat.Melihat sosok mungil di pangkuannya mulai bergetar sekujur badan, Alvin tiba-tiba merasakan sakit pada hatinya.Rasa sakit itu ber
Hubungan antara ayah dan putri selalu terdapat ikatan batin, di mana hanya dengan saling menatap, kedua sudah bisa saling tahu apa yang dipikirkan.Alvin mengangkat tangannya menyentuh pipi Gisel dengan lembut sembari bersuara dengan serius padanya."Gisel, semua omongan ayahmu itu palsu, dia sedang bermain denganmu."Alvin sudah bisa menduga bahwa kemungkinan hari ini dia tidak akan bisa keluar dari vila itu.Kalau memang dia ditakdirkan untuk mati hari ini, tidak masalah baginya jika Gisel tidak akan tahu bahwa sebenarnya dia adalah ayah kandung Gisel.Lagi pula, dia memang tidak memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Tentu saja, dirinya saat ini tidak pantas dipanggil "ayah" oleh putrinya itu.Alvin menggerakkan tangannya menyentuh dari alis hingga berakhir pada bahu Gisel, merasa enggan, tetapi dia harus melepaskan Gisel.Merasa Paman Aneh itu akan melepaskannya, Gisel merasa panik dan langsung mengeratkan pelukannya pada Alvin sembari menangis dengan keras."Paman Aneh,
Setelah memikirkannya, Alvin perlahan mengangkat senjata di tangannya, sembari menatap Gisel yang tampak sabar menunggu membelakangi tirai.Wajah mungil itu sangat mirip dengannya, tetapi matanya mirip dengan Vera, begitu jernih dan polos tak bernoda.Mata jernihnya itu tidak boleh sedikit pun tercemar oleh pemandangan berdarah ini.Alvin menatap Gisel dan tersenyum ringan padanya."Gisel, berjanjilah pada Paman ....""Oke."Tanpa banyak bertanya, Gisel langsung menyetujui dan menganggukkan kepala.Melihat Gisel begitu patuh padanya, Alvin merasa begitu berat hati, tetapi dia tetap harus menahannya dan melanjutkan kalimatnya."Berbaliklah."Gisel menurut dan berbalik badan.Melihat sisi belakang Gisel yang mungil, mata Alvin memerah dan berair."Gisel, kalau kamu mendengar suara tembakan, jangan putar balik kecuali aku memanggil namamu. Mengerti?""Mengerti!"Gisel menyetujuinya, suara imutnya itu menggema di seluruh arena.Alvin merasakan kehangatan dalam hatinya, tetapi air mata itu
Melihat banyaknya darah yang mencuat, Gisel langsung paham.Barusan Paman Aneh tidak menembak ke arahnya melainkan memilih untuk menembak dirinya sendiri.Demi melindunginya, Paman Aneh itu menjadikan dirinya sendiri sebagai sasaran.Dia harus segera menemui Paman Aneh, dia harus melihatnya ....Namun, perlawanan itu tetap tidak bisa melepaskan kungkuhan pengawal yang amat kuat pada tubuhnya.Gisel merasa tak berdaya dan menangis tersedu-sedu ...."Paman Aneh, bangunlah, kumohon peluklah aku."Alvin yang terduduk kembali ke kursi terdiam dengan ekspresi kaku di wajahnya.Dia beralih menatap Gisel yang berjarak jauh darinya, sembari membuka bibirnya bergetarnya, mencoba menenangkan putrinya."Gisel ... jangan nangis ...."Begitu kalimat itu diucapkan, darah kembali mengalir keluar.Darah yang mencuat keluar itu semakin mengalir deras tak terkendali, membuat Gisel kaget dan memucat."Ayah, cepat selamatkan Paman Aneh, cepat selamatkan dia ...."Pria dipanggil ayah itu hanya mengabaikanny
Di sebuah ruang kerja, di vila milik Sara.Wina tampak sedang fokus menggenggam penggaris sembari menggambar sketsa. Sekalipun sudah sangat fokus, goresan pada tinta pena masih saja terlihat miring.Wina merasakan hatinya tidak nyaman, seolah merasa ada yang hilang, membuatnya sedih tanpa sebab yang jelas.Merasakan perasaan gelisah yang tak berujung, Wina akhirnya meletakkan pensilnya dan merebahkan tubuhnya di atas kursi sembari mengusap-usap keningnya.Tiba-tiba ponsel yang terletak di atas meja itu berdering.Melihat panggilan itu berasal dari Jihan, Wina segera mengangkatnya."Gimana Jihan? Sudah bertemu dengan Alvin?"Setelah terdiam sekian detik, suara dingin pria itu pun mulai terdengar."Wina, kamu harus kemari dan bertemu dengan Alvin untuk terakhir kalinya."Wina seketika merasa sesak, jantungnya seakan tertekan hingga terasa sakit.Perasaan sakit itu seolah sedang menguasai dirinya, membuat Wina kehilangan kendali atas tubuhnya.Wina mengangkat ponselnya dan buru-buru henda
Setelah mengusap wajah Wina, tangan Alvin mulai melemah. Pria menurunkan tangannya dan tak sengaja menyentuh rambut panjang Wina ....Rambut Vera tidak sepanjang itu.Di tengah pandangan kaburnya, Alvin mulai menelisik garis wajah Wina yang tampak mirip dengan Vera, tetapi tidak serupa.Ternyata, wanita di hadapannya itu adalah Wina, bukan Vera.Lagi-lagi Alvin salah mengenali orang.Sorot mata Alvin yang berbinar-binar itu perlahan meredup.Alvin mengalihkan pandangannya dan perlahan menatap ke arah jantung Wina, seolah bisa merasakan keberadaan Vera, Alvin kembali merasa lega."Wi ... Wina ...."Susah payah Alvin menyebut nama itu. Wina yang berada di sampingnya itu segera menghapus air matanya dan mendekat ke arah Alvin."Kakak Ipar."Meskipun sebelum Alvin sudah bertindak kasar padanya, Wina tetap menganggap Alvin sebagai kakak iparnya.Kelembutan Wina membuat Alvin merasa bersalah dan hingga enggan menatap langsung kedua mata wanita itu.Namun, detik berikutnya, Alvin mulai bersua
Mendengar jawaban itu, Alvin merasa lega dan tersenyum tipis padanya. Namun, sosok yang bergerak dari arah pintu itu menarik pandangannya.Di sana, berdiri seorang yang anggun dan dingin dari balik pintu kaca.Tanpa perlu bertanya, Alvin sudah tahu siapa pria yang berdiri di luar pintu itu.Namun, semua itu sudah tidak penting, semasa hidupnya, Alvin hanya mencintai Vera seorang diri.Entah sejak kapan perasaan cinta itu muncul, kemungkinan di saat Vera yang mengejar mobilnya menggunakan sepeda.Setiap kali kaca spionnya menangkan sosok yang tersenyum penuh percaya diri itu, Alvin selalu tersenyum lembut melihatnyaAda orang yang tidak paham dengan cinta, tetapi ketika dihadapkan dengan perpisahaan, mereka baru akan menyadarinya ....Setelah kematian menghampiri orang itu, semua potongan memori masa lalu seseorang melesat melintasi isi benaknya.Dari situ, Alvin baru sadar, ternyata selama ini dia begitu mencintai Vera. Namun, sayangnya semua sudah terlambat.Sebelum kedua matanya tert
Sam yang baru mendapatkan kabar itu langsung buru-buru menghampiri, tetapi sayangnya tubuh Alvin sudah berubah kaku.Sam berdiri di kamar mayat menolak percaya menatap tubuh Alvin yang sudah ditutupi dengan kain putih.Namun, berbeda dengan Wina, wanita merasa lega melihat tubuh Alvin yang sudah dibersihkan sembari mengenakan pakaian yang bersih.Wujud Alvin yang terbaring di atas ranjang itu tampak begitu tenang, seolah sedang tertidur dan tak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda bahwa pria itu sudah meninggal.Sam ingin melangkah maju dan mendekat ke arah Alvin, tetapi saat ingin mengulurkan tangan menyentuh wajahnya, nyali Sam mendadak menciut."Guru ...."Suaranya terdengar lirih, biasanya setiap kali Sam memanggil gurunya saat tidur, Alvin akan langsung memukulnya.Namun, sekarang gurunya itu hanya terbaring tenang tanpa sedikit pun menggubris suara dari Sam.Seketika Sam merasa hidungnya seakan sumbat dan matanya mulai memerah. "Guru, apa yang terjadi padamu, bukankah kamu sudah b