Kaca jendela di kursi penumpang mobil itu setengah terbuka. Wajah tampan penumpang di dalamnya pun terlihat. Walaupun lampu jalanan tampak redup, Sara langsung tahu siapa itu.Sara sontak tertegun sebentar, lalu bergegas menghampiri mobil itu dengan sepatu hak tingginya. Makin dekat, dia makin yakin bahwa matanya tidak salah lihat ...."Ivan."Sara memanggil pria itu dengan suara yang gemetar."Kak Sara," sapa pria dalam mobil itu sambil tersenyum kecil.Mata Sara sontak menjadi berkaca-kaca. Sudah lama sekali dia tidak mendengar Ivan memanggilnya seperti itu. Sara pun bertanya, "Kenapa kamu ada di sini?"Sara terus mencoba menelepon Ivan selama beberapa hari terakhir, tetapi ponsel Ivan selalu tidak aktif atau Ivan tidak mengangkatnya. Sara juga sudah pergi ke Kota Ostia untuk menemui Ivan, tetapi pria itu menolak bertemu.Sepertinya, Ivan benar-benar berniat memutuskan hubungannya dengan mereka. Dia bahkan dengan kejamnya tidak lagi menganggap Sara sebagai kakaknya ....Sara pikir ak
Mereka pun tiba di Aula Jihan-Wina dalam diam.Ivan menengadah menatap tulisan yang terukir di aula itu selama beberapa saat, lalu berbisik, "Dulu aku juga pernah mau membangun tempat seperti ini ...."Ivan ingin membangun tempat milik mereka berdua untuk Wina dan menamainya dengan nama mereka berdua, seperti Ivan-Wina ....Mau itu Jihan-Wina atau Ivan-Wina, intinya sama-sama ada unsur Wina ....Ivan yang memahami semua ini pun tersenyum dengan getir, dadanya terasa sesak.Sara sedih sekali melihat Ivan yang dulunya sangat bersemangat kini tampak kurus dan lelah. "Ivan, apa akhir-akhi ini kamu menjalani hidup yang sulit?"Ivan kembali menggelengkan kepalanya. "Aku baik-baik saja kok."Fariz pun mengernyit, ekspresinya terlihat agak kesal. "Apanya yang baik-baik saja, Pak Rian? Jelas-jelas Pak Rian ....""Diamlah!" tegur Ivan dengan ekspresi yang tampak gelap.Fariz pun sontak terdiam.Sara menyadari bahwa Ivan benar-benar merasa kehilangan atas Wina.Bagaimanapun juga, Sara tahu betapa
Sara bisa melihat betapa kesakitannya Ivan, matanya pun kembali berkaca-kaca. "Ivan, apa kamu nggak mau melihatnya lagi?"Ivan pun terdiam. Ivan tidak akan merindukan Wina apabila mereka tidak bertemu, tetapi jika sampai bertemu ... mungkin Ivan akan gila terbakar api cemburu?Lama sekali Ivan hanya duduk dalam diam, lalu dia perlahan-lahan mengenyahkan perasaannya dan memandang Sara. "Kak Sara, jaga dirimu baik-baik."Setelah berkata seperti itu, Ivan pun mendorong kursi rodanya menuju pintu ....Sara menatap sosok Ivan yang kurus dan duduk di kursi roda itu dengan hati yang pedih.Dia bergegas menyusul Ivan, lalu bertanya, "Apa kamu akan mengangkat kalau kapan-kapan kutelepon?"Ivan menatap Sara dengan matanya yang memerah dan mengangguk kecil ....Sara sontak merasa lebih lega, "Ivan, jangan lupa memberitahuku saat kamu berhasil merelakan Wina."Ivan mengangguk lagi sambil tetap tersenyum. Ekspresinya sama sekali tidak terlihat menyimpan dendam atau rasa benci, yang ada hanyalah kes
Sara bersandar di pintu mobil dan menatap Jefri dengan pasrah. "Kamu mau apa?"Jefri membuka mantelnya dengan ekspresi dingin, lalu menyelimuti tubuh Sara. Setelah itu, Jefri meletakkan tangannya di atap mobil dan sedikit membungkuk memeluk Sara."Sara, aku mau tanya. Kalau kita menikah, kamu nggak mungkin bersenang-senang di luar sana, 'kan?"Sore tadi Sara baru saja kencan buta dan malam ini wanita itu malah bertemu dengan pria yang lain lagi? Apa Sara sama sekali tidak menganggap Jefri dengan serius?Sara kaget sekali mendengar kata-kata "menikah", tetapi kalimat setelah itu menyadarkan Sara kembali."Jefri, dengarkan aku baik-baik. Aku nggak mungkin menikah denganmu. Lalu, ngapain juga kamu peduli aku bakal bersenang-senang di luar sana atau nggak? Aku bukan pacarmu."Sara pun mendorong Jefri menjauh, lalu berbalik hendak menarik pintu mobil, tetapi Jefri memeluknya dari belakang ....Sebenarnya, Jefri memiliki tubuh yang cukup tinggi. Itu pasti berkat gen dari Keluarga Lionel. Jef
Belasan mobil mewah pun terparkir di depan vila nomor delapan.Pintu kursi belakang Koenigsegg yang berada di paling depan pun terbuka. Jihan yang mengenakan jas putih turun dari mobil.Dia berdiri di samping pintu mobil dengan auranya yang sangat berwibawa dan bermartabat itu.Pria yang terkesan sulit dijangkau itu pun membungkuk, lalu mengulurkan jemarinya yang lentik kepada Wina yang masih berada di dalam mobil.Begitu menatap Wina, sorot tatapan Jihan yang dingin langsung terlihat lebih hangat.Sepertinya, satu-satunya orang yang bisa melihat sisi lembut Jihan ini adalah Wina yang saat ini mengenakan gaun perak itu.Wina pun menyambut uluran tangan Jihan dengan senang, lalu Jihan membantu Wina turun dari mobil. Wina menengadah menatap rumah bergaya Barat di depannya.Wina pun menoleh menatap Jihan yang jauh lebih tinggi di sampingnya dan bertanya dengan bingung sambil tertawa kecil, "Kok kamu mengajakku ke sini?"Jihan menutupi tubuh Wina dengan mantelnya, lalu menggendong Wina. "N
Wina pasrah dengan Jihan yang terus menggodanya. Dia pun melepaskan kerah baju Jihan, lalu berbalik dan berbaring di atas kasur. Wina membenamkan kepalanya di balik selimut yang lembut dan berhasil meredakan rasa malunya.Jihan pun tersenyum senang melihat Wina yang menendang-nendang betisnya untuk melampiaskan amarahnya.Jihan pun mencondongkan tubuhnya ke depan, lalu meletakkan satu tangan di sisi tubuh Wina dan membujuknya, "Maaf, Nyonya Wina, aku sudah keterlaluan menggodamu. Hmm?"Begitu mendengar Jihan meminta maaf, Wina yang awalnya tidak mau meladeni Jihan pun menoleh menatap pria yang sedang berbaring miring itu sambil menumpukan dagunya di satu tangan. "Kamu mau minta maaf gimana?"Tangan Jihan yang lain pun merangkul pinggang Wina yang ramping dan memeluk wanita itu, lalu Jihan bertanya dengan lembut, "Gimana kalau pakai seluruh hidupku?"Wina mengangkat kepalanya dari dalam pelukan Jihan, sorot tatapannya tampak berbinar. "Nggak boleh, kamu 'kan sudah janji sehidup semati d
Wina pun menatap Jihan yang sedang duduk di sofa sambil sibuk mengutak-atik brankas di atas meja dan berkata dengan lembut, "Jihan, terima kasih sudah menyiapkan semua ini buatku."Jihan memasukkan kata sandi brankasnya, lalu melirik Wina. "Kemarilah ...."Wina sontak teringat akan masa lalu ....Waktu itu juga mereka ada di dalam vila ini. Begitu Jihan melihat Wina, hal pertama yang dia katakan adalah meminta Wina mendekat.Bedanya, dulu nada bicara Jihan terdengar mendominasi, mengintimidasi, acuh tak acuh dan kejam. Sekarang, nada bicaranya terdengar sangat lembut, hangat dan penuh cinta.Wina menyingkirkan kenangan masa lalunya, lalu berjalan menghampiri Jihan. Saat Wina sudah dekat, Jihan langsung memeluknya dan mendudukkan Wina di atas pangkuannya.Jihan memeluk Wina dari belakang, lalu membuka brankas di atas meja ....Wina sontak tertegun menatap sehelai syal putih gading, fotonya, serta selembar surat yang ditambal selotip di sana-sini.Wina pun menyentuh syal itu sambil menun
Begitu air mata Wina jatuh mengenai punggung tangan Jihan, Jihan yang sedang bernostalgia pun sontak tertegun.Dia melepaskan Wina dan membalikkan tubuh Wina, lalu mendudukkan wanita itu lagi ke atas pangkuannya ....Jihan menangkupi wajah mungil Jihan, ujung jarinya mengusap air mata Wina."Wina, aku menunjukkanmu semua ini bukan karena aku ingin membuatmu menangis, tapi untuk memberitahumu bahwa aku selalu mencintaimu."Jihan tidak bisa memutar ulang waktu, jadi hanya ini satu-satunya cara untuk memberi tahu Wina bahwa dulu dia diam-diam mencintai Wina.Wina pun mengangguk kecil, dia memang bisa merasakan cinta Jihan untuknya. Tiba-tiba, Wina bertanya, "Apa riasanku luntur?"Sara menghabiskan setengah jam untuk membantu merias wajah Wina agar terlihat cantik di acara lamaran, tetapi sekarang Wina pasti terlihat jelek karena habis menangis."Aku nggak peduli soal itu," jawab Jihan sambil tersenyum kecil. "Tapi, matamu kurang sehat. Jangan menangis lagi, ya?"Wina merasa sangat tersent