Setelah keluar dari arena pacuan kuda, Wina sontak tertegun menatap puluhan mobil mewah yang terparkir di luar.Negara yang asing, lingkungan yang asing, orang-orang yang asing .... Tiba-tiba, Wina jadi merasa begitu kesepian dan ingin kabur saja.Saat Wina hanya berdiri termangu dan putus asa di depan pintu, tiba-tiba ada yang menggenggam tangannya dengan erat."Wina."Suara Jihan pun terdengar, nada suaranya dingin dan juga khawatir.Wina tidak berani menatap Jihan. Dia hanya menunduk menatap tangan Jihan yang menggenggamnya setelah melepaskannya barusan.Jihan pun mengikuti arah pandangan Wina ke tangan mereka yang saling tertaut. Barulah saat itu Jihan menyadari bahwa tadi dia malah melepaskan genggamannya.Jihan sontak membungkuk dengan panik, lalu menundukkan kepalanya untuk meminta maaf kepada Wina. "Maaf, Wina! Harusnya tadi aku jelaskan dulu padamu dan nggak main melepaskan tanganmu. Aku yang salah karena nggak peka."Begitu melihat sorot tatapan Jihan yang tampak panik, Wina
Jihan menggendong Wina masuk ke dalam mobil, lalu berkata, "Wina, kamu tidur saja dulu sebentar. Satu jam lagi kita baru sampai rumah."Wina balas mengangguk kecil. Dia awalnya ingin bersandar di jendela mobil, tetapi menyadari sorot tatapan Jihan yang penuh harap. Pada akhirnya, Wina memutuskan untuk duduk di atas pangkuan Jihan.Dulu, Wina tidak berani mengakui perasaannya karena mengira Jihan tidak mencintainya.Sekarang, karena Wina tahu bahwa Jihan pernah mencintainya dan masih tetap mencintainya, dia memutuskan untuk lebih memberanikan diri.Sebenarnya, Wina juga takut ucapan Olivia terjadi. Dia takut Jihan akan menyakitinya lagi.Namun, setidaknya sebelum saat itu terjadi, Wina akan mencintai Jihan dengan berani dan dengan segala yang dia punya.Wina menyandarkan kepalanya di bahu Jihan, lalu memandang wajah Jihan yang tampan paripurna dan berujar dengan lembut, "Nanti bangunin aku kalau sudah sampai, ya."Jihan pun menoleh dan mengecup bibir Wina, lalu mengambil selimut di sebe
Jihan akhirnya keluar dari kamar mandi. Dia melihat Wina yang sedang duduk di depan meja rias untuk melakukan perawatan kulit tanpa mengeringkan rambutnya terlebih dahulu.Jihan pun mengernyit. Dia mengambil pengering rambut yang terletak di sebelah, lalu berjalan menghampiri Wina dan membantu Wina mengeringkan rambutnya.Wina menatap Jihan yang sedang merawatnya dengan penuh perhatian itu dari pantulan cermin, kegelisahannya perlahan-lahan memudar.Setelah Jihan mengeringkan rambut Wina, Jihan pun mengambil obat tetes mata. Dia meneteskan obat itu pada mata Wina, lalu menggendong Wina dari atas kursi."Wina, besok aku akan mengajakmu lihat aurora di Finola."Sewaktu bersama dengan Wina dulu, Jihan pernah melihat Wina yang mencari-cari gambar aurora. Jihan berpikir Wina ingin pergi ke sana.Sayangnya, saat itu mereka sedang saling menguji. Hubungan mereka juga berada di ujung tanduk sehingga tidak bisa melakukan hal-hal yang seharusnya mereka lakukan.Jihan bertekad akan menghabiskan s
Wina pun mengklik foto itu. Dia melihat Jihan dan Valeria yang sedang duduk berhadap-hadapan di restoran.Walaupun mereka berada di restoran khusus pasangan, terlihat jelas ada jarak di antara mereka.Mungkin mereka cuma sekadar berdiskusi antar sesama rekan kerja tanpa ada maksud romantis.Wina tidak mau percaya, jadi dia melempar ponselnya ke sembarang arah. Dia tidak mau termakan fitnah dan rumor jahat Olivia.Akan tetapi, Oliva terus mengirimi Wina pesan. Karena layar ponsel Wina masih menyala, jadi Wina bisa melihat foto-foto ranjang yang Olivia kirim.Begitu melihat foto-foto itu, Wina sontak mengangkat ponselnya lagi."Nona Wina, kamu pikir Jihan kerja di NASA selama tiga hari ini?""Jangan polos-polos amat, justru selama tiga hari ini dia terus bersama Valeria. Foto-foto ranjang ini adalah bukti paling kuatnya ...."Wina pun mengklik satu per satu foto yang Olivia kirim dengan tangan gemetar. Wajahnya perlahan-lahan menjadi pucat pasi ....Wina meremas ponselnya dengan erat unt
Setelah meninggalkan area vila, Wina langsung naik taksi menuju restoran itu.Saat turun dari mobil, hari sudah gelap. Hujan rintik-rintik juga mulai turun. Namun, suasana hangat di dalam restoran itu tidak terpengaruh.Wina berdiri di pinggir jalan sambil menatap ke arah restoran di hadapannya. Dia bisa melihat dua orang yang sama-sama tampan dan cantik sedang duduk berhadapan di atas kursi yang elegan.Yang pria sedang bersandar di atas sofa dengan setelan jas berwarna hitam, kepalanya sedikit dimiringkan menatap wanita di hadapannya ....Sementara itu, si wanita tampak sedang berbicara sambil menatap pria di hadapannya. Wanita itu juga bersandar di sofa, tubuhnya dibalut dengan gaun berpotongan seksi berwarna merah.Wina tidak bisa melihat ekspresi mereka dengan jelas, tetapi suasana di antara Jihan dan Valeria mirip dengan saat Jihan mengajak Wina makan di restoran Privon.Wina tidak ingin percaya mereka berdua adalah sepasang kekasih, tetapi jantungnya terus berdebar dengan gila.
Namun, belum sempat tangan Wina menyentuh kaca, Olivia sudah mencengkeram pergelangan tangannya."Nona Wina, kenapa kamu masih nggak mau menyerah? Kamu 'kan sudah lihat bagaimana dia memperlakukanmu."Olivia yang memegang payung itu menatap Wina yang tampak begitu menyedihkan di bawah guyuran hujan."Benar-benar menyedihkan. Seandainya saja kamu menurut padaku, kamu nggak mungkin jadi sengsara begini."Wina menyentakkan tangannya dari cengkeraman Olivia, lalu balas menatap Olivia dengan dingin. Dia masih belum mau menyerah begitu saja dan kembali mengetuk-ngetuk jendela besar itu.Olivia yang berpenglihatan tajam pun dengan gesit menggunakan payungnya untuk mengadang Wina, sorot matanya yang tertuju pada Wina terlihat makin menghina."Nona Wina, barusan Jihan melihatmu memohon kepada satpam untuk diperbolehkan masuk, tapi dia malah nggak keluar menyusulmu. Menurutmu, apa arti tindakan Jihan itu?""Itu artinya dia nggak mau berurusan dengan mantan pacarnya di hadapan pacar barunya. Kena
Suara Wina terdengar begitu lirih seolah-olah dia sudah menghabiskan segenap tenaga dan keberaniannya untuk memanggil nama Jihan.Hujan yang deras terus mengguyur tubuh Wina yang kotor.Pada akhirnya, Wina berbaring di atas genangan air sambil menatap langit malam.Wina memperhatikan air hujan yang turun sambil disinari lampu jalanan, lalu mendadak tertawa.Ya ampun, langit saja mentertawakan kebodohannya ....Kenapa dia tidak kapok juga dan tetap memutuskan untuk memberi kesempatan sekali lagi kepada Jihan hanya karena dia masih belum bisa melepaskan Jihan ....Apa pernah mati sekali masih belum bisa menyadarkan Wina?Dia begitu mencintai Jihan sampai-sampai dia tidak pernah ragu untuk kembali ke pelukan pria yang berulang kali menyakitinya.Begitu teringat akan betapa menyakitkannya masa lalu, Wina pun tiba-tiba tertawa terbahak-bahak ....Tawa Wina yang begitu getir, ditambah dengan wajahnya yang sangat pucat, membuat Wina terlihat jauh lebih menyedihkan dibandingkan saat sebelum d
Setelah duduk lama di atas bangku itu, Wina akhirnya mengusap air matanya.Setelah membalas pesan Sam, Wina kembali ke tampilan layar utama dan menyadari bahwa ada beberapa panggilan tidak terjawab dari nomor yang tidak dikenal kemarin malam. Nomor itu terdaftar sebagai nomor dari Walston.Wina baru sempat melihat sekilas karena layar ponselnya mendadak mati. Wina menekan tombol daya, tetapi ponselnya tidak mau menyala. Baterai ponselnya kehabisan daya.Wina pun tidak ambil pusing dengan nomor asing yang meneleponnya itu, lalu memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku. Wina bangkit berdiri, menyetop taksi, kemudian pulang ke vila.Wina menyelinap masuk melalui taman belakang dan diam-diam menuju kamar tidur di lantai dua.Pelayan yang sedang mengangkat telepon dari Jihan pun menjawab dengan hormat, "Tuan, Nona Wina masih tidur."Jihan yang tidak berhasil menelepon Wina pun mengernyit. "Biasanya jam segini dia sudah bangun, kenapa sekarang masih tidur?"Pelayan itu pun sontak menjadi p