Ucapan yang begitu memelas dan memohon itu membuat jantung Wina sontak berdetak dengan kencang.Dia sedikit menolehkan kepalanya untuk menatap Jihan yang sedang memeluknya dari belakang.Wajah Jihan terlihat tirus dan pucat, matanya tampak berkaca-kaca.Selama ini, Wina selalu melihat Jihan sebagai pribadi yang angkuh dan sombong.Namun, sekarang Jihan rela berulang kali menurunkan harga dirinya demi meluluhkan hati Wina.Situasi ini seperti bintang yang semula bertebaran di langit tiba-tiba jatuh dan menjadi debu.Masalahnya, bintang yang jatuh tetap saja merupakan sesuatu yang luar biasa. Mana mungkin Jihan berubah sampai sedrastis ini gara-gara Wina?Wina pun mengusap poni Jihan ....Tubuh Jihan sontak menegang.Dia menatap Wina di hadapannya yang tatapannya terlihat lembut.Jihan refleks memeluk Wina dengan sedikit lebih erat. "Wina, tolong jangan kejam-kejam terhadapku ...."Pelukan Jihan begitu erat sampai-sampai dada Wina terasa sesak. Wina sontak mengerang pelan, membuat Jihan
Wina sontak menarik kakinya kembali dengan takut sambil berkata dengan ekspresi yang terlihat ngeri, "Kamu nggak perlu sampai sebegininya."Yang penting Jihan tidak menyakitinya lagi. Wina merasa sangat risih dengan sikap Jihan yang seolah melayaninya seperti ini.Jihan pun menengadah menatap Wina dengan matanya yang terlihat dalam, lalu balas mengangguk. Meskipun begitu, Jihan tetap melepaskan sepatu Wina yang satu lagi tanpa mengindahkan ucapan Wina.Jihan meletakkan sepatu Wina ke atas lantai, lalu menggendong Wina sambil menyibakkan selimut, kemudian menyelimuti tubuh Wina.Setelah itu, Jihan mengelus pipi Wina sambil berkata, "Kamu tidur saja dulu. Nanti setelah bangun, akan kumasakkan yang enak buatmu.""Aku nggak mau kamu begini, bersikaplah sama seperti sebelumnya ..." sahut Wina sambil mengernyit sedikit.Sepertinya, Jihan salah mengartikan ucapan Wina. Dia tiba-tiba menggendong Wina bangun dari atas kasur.Sambil memeluk Wina yang terkejut, Jihan duduk di sofa. Jihan merangku
Baterai ponselnya sudah nyaris habis karena lebih dari tiga bulan tidak dinyalakan. Saat Jihan hendak mengisi ulang dayanya, tiba-tiba Zeno datang.Jihan meletakkan teleponnya di samping, lalu menatap Zeno yang datang sambil membawa banyak sekali barang-barang. "Bukannya tadi kusuruh melakukan sesuatu?"Zeno meletakkan beberapa tas besar berisi barang-barang ke atas meja, lalu berkata dengan bangga, "Iya, saya sudah selesai menjalankan perintah Tuan. Ini barang-barangnya, sudah saya bawa balik."Ekspresi Zeno seolah menantikan pujian dari Jihan, tetapi begitu melihat tumpukan benda itu, sorot tatapan Jihan mendadak berubah menjadi kelam."Siapa yang menyuruhmu untuk menemukannya secepat ini!"Zeno sontak menjadi kebingungan. Loh, mereka 'kan memang selalu bekerja dengan cepat dan tepat?Bukannya Jihan sudah tahu? Kenapa malah protes Zeno menyelesaikan misinya secepat ini?Jihan mendorong tumpukan barang di hadapannya itu dengan kesal. "Bawa pergi semua ini!"Ekspresi Zeno terlihat kage
Wina menarik napas dalam-dalam, wajahnya memerah menahan marah. Aduh, dia tidak seharusnya mengalah dan menyetujui usulan Jihan!Jihan tersenyum kecil memandang ekspresi marah Wina, sorot matanya juga terlihat geli.Jihan pun menunduk dan mencium Wina lagi, lalu akhirnya melepaskan wanita itu dan berkata, "Oke, aku nggak akan membuat masalah lagi. Ayo bangun dan makan."Mana mungkin Wina punya nafsu makan? Bukan hanya dia kurang tidur, tetapi juga kesal karena ciuman Jihan membangunkannya.Jihan juga tidak memaksa Wina yang bersikeras untuk tetap berbaring. Dia mengambil bubur itu, lalu duduk di sofa samping tempat tidur.Dia mengaduk-aduk bubur itu untuk mendinginkannya sebentar, lalu mengambil sesendok kecil dan menyodorkannya ke depan mulut Wina. "Aaaa ...."Wina hanya balas melirik Jihan, lalu memutar tubuhnya ke samping. Wina meletakkan tangannya di sisi wajahnya, lalu menatap taman di luar jendela sana sambil merajuk.Jihan pun menatap punggung Wina yang menghadapnya dengan rasa
Wina bersandar dalam pelukan Jihan. Dia memperhatikan sorot tatapan Jihan yang penuh cinta, lalu akhirnya mengangguk dengan patuh.Respons Wina yang seperti dulu ini membuat sorot tatapan Jihan menjadi makin berbinar.Dia menggendong Wina menuju ruang ganti, lalu mendudukkannya di atas sofa. Setelah itu, dia menekan tombol otomatis yang tidak terlihat pada dinding.Beberapa pintu lemari pakaian kelas atas pun segera terbuka, sederet gaun panjang yang terlihat mewah dan berkelas pun terpampang di hadapan Wina.Wina sontak terkejut. Model semua gaun itu sama seperti yang Wina biasanya kenakan. Ternyata Jihan ingat ..."Waktu kamu pulang denganku, aku langsung menyuruh pelayan untuk menyiapkan semua ini."Setelah menjelaskan seperti itu, Jihan pun memberikan sehelai gaun dengan model A-line dan potongan pinggang yang ramping kepada Wina. Jihan mengedikkan dagunya ke arah kamar pas, mengisyaratkan Wina untuk berganti pakaian.Wina mengambil gaun itu dengan ragu-ragu sambil menatap Jihan. D
Jihan membawa Wina ke lantai paling atas hotel.Di sana ada sebuah restoran Privon. Dengan duduk di sini, mereka jadi bisa menikmati panorama pemandangan malam kota.Sepertinya Jihan sudah memesan seluruh restoran, karena sekelompok pelayan yang mengenakan tuksedo dan dasi kupu-kupu hanya melayani mereka berdua saja.Si manajer restoran memakai jas dan terlihat sangat bersemangat. Dia menyambut Jihan dan Wina, lalu mengantarkan keduanya duduk di teras, setelah itu membungkuk hormat dan memberikan daftar menu.Jihan mengambil buku menu itu lalu meletakkannya di depan Wina. "Wina, mau makan apa?"Wina membuka buku menu dan tercekat saat mendapati semua menu tertulis dalam bahasa Privon.Wina yang tentu tidak paham bahasa Privon pun tersipu malu dan spontan menyampirkan beberapa helai rambutnya yang tergerai ke belakang telinganya.Jihan yang duduk di seberangnya tersadar dan langsung mengambil buku menu dari tangannya.Jihan kurang berpikir jauh. Tadi dia mempersilakan Wina untuk memilih
Makan malam yang diterangi dengan cahaya lilin itu pun usai sambil diiringi lantunan musik cello ....Wina bangkit berdiri, tetapi pandangannya terhalang oleh embusan angin sejuk yang membuat rambutnya menjadi agak berantakan.Jihan refleks merapikan rambut Wina, lalu melilitkan jasnya ke tubuh Wina.Setelah itu, Jihan mengajak Wina turun sambil menggandeng tangan Wina lagi. "Wina, ada pertunjukan musikal. Apa kamu ...."Jihan berujar sambil menoleh menatap Wina di sampingnya. Begitu melihat Wina sedang memandang gedung pemerintahan di kejauhan sana, Jihan sontak berhenti bicara.Jihan pun mengedikkan dagunya ke pengawalnya yang berada di belakang. Para pengawal langsung memahami maksud Jihan, lalu segera berjalan menuju Gedung Putih."Wina, ayo kita ke gedung pemerintahan."Wina tersadar kembali dari lamunannya, lalu balas menggeleng. "Nggak usah. Kamu 'kan sudah mengatur pertunjukan musikal, jadi kita ke sana saja."Sam memberi tahu Wina bahwa arsitektur gedung pemerintahan berdasark
Setelah itu, Jihan membawa Wina kembali ke mobil dan menuju gedung Pusat Pertunjukan Seni Kliena.Sebelum mengajak Wina masuk, tiba-tiba Jihan berhenti melangkah dan menatap Wina."Wina, kamu lebih suka pertunjukan musikal atau konser?"Saking fokusnya mengatur kencan mereka hari ini, Jihan sampai lupa bertanya kepada Wina apa yang wanita itu sukai.Wina terlihat agak ragu karena dia sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan musikal.Namun, Jihan langsung bisa membaca arti ekspresi ragu-ragu Wina. Jihan pun mengedikkan dagunya kepada pengawal yang mengikuti mereka.Pengawal itu langsung mengajak mereka menuju aula konser. Setelah masuk, salah seorang karyawan gedung pun menuntun Jihan dan Wina ke ruang privat presidensial yang terletak di lantai dua.Ada banyak sekali organ pipa yang berada di atas panggung konser, benar-benar terlihat spektakuler dan cantik.Begitu melihat kemegahan panggung konser, Wina yang duduk di dalam ruang privat presidensial pun sontak tersenyum ....Jihan yang
Lama sekali Jodie hanya tertegun setelah menerima berita kematian Wina, tetapi akhirnya bergegas dan mengantar kepergian Wina ke tempat peristirahatan terakhirnya. Setelah semua orang meninggalkan pemakaman, Jodie mengelus batu nisan Wina dengan penuh rindu."Wina."Jodie perlahan berjongkok sambil bertopang pada batu nisan Wina dan menatap wajah Wina dalam foto dengan matanya yang sudah menua ...."Nggak disangka, ya?""Ternyata begitu aku jatuh cinta, rasa cintaku bisa bertahan selama ini," gumam Jodie sambil mengangkat alisnya. "Aku saja nggak tahu kalau aku ternyata tipe orang yang sepenyayang ini."Jodie menatap foto itu dan tersenyum. "Sampai-sampai ... aku merasa nggak ada satu wanita lain pun yang menarik perhatianku. Tuh Wina, aku nggak kalah dari Jihan, 'kan?"Namun, yang menjawab Jodie adalah bunyi kepak sayap burung yang terbang di pemakaman. Setelah semua binatang itu pergi, yang tersisa hanyalah keheningan. Sama heningnya seperti rasa cinta yang selama ini Jodie pendam da
Sebelum kehidupan Wina berakhir, yang terlintas di benaknya adalah rasa cinta yang Jihan sembunyikan selama lima tahun itu ....Saat membalikkan tubuhnya dan bangun, Wina bisa melihat tubuhnya dipeluk dengan erat oleh sepasang lengan yang kuat dan bertenaga. Jika itu bukan cinta, lantas apa ....Wina juga bisa melihat suasana makan di akhir pekan itu dengan jelas. Jihan yang duduk di depannya sesekali melirik Wina melalui ekor matanya. Jika itu bukan karena Jihan sudah lama menyukainya waktu, lantas apa ....Apalagi setelah Jihan selesai melakukannya. Dia akan menggendong dan membiarkan Wina berbaring tengkurap, lalu mengusap-usap punggung Wina untuk menidurkannya seperti anak kecil ....Rasa cinta Jihan terwujud dalam hal-hal kecil. Mungkin sekilas tidak terlihat jelas cinta macam apa itu dan hanya Jihan sendiri yang tahu betapa dia menyayangi dan mencintai Wina ....Mata Wina tidak bisa lagi terbuka, rasanya jiwanya tersedot keluar. Dia tidak punya tenaga lagi untuk bangkit, dia juga
Wina mengelus bagian belakang kepala Delwyn, ekspresinya terlihat sangat tenang seolah-olah dia sudah berdamai dengan kenyataan. "Kapan kamu akan menikah?"Tubuh Delwyn sontak menegang, air mata menggenangi pelupuk matanya. Dia pun perlahan menengadah dan melepaskan Wina. "Ibu ... aku ... aku belum bertemu dengan gadis yang kusuka."Wina bisa melihat pantulan dirinya dari bola mata Delwyn, jadi dia menyentuh wajah putranya. "Kamu lihat sendiri betapa menderitanya ibumu tetap bertahan hidup. Masa kamu nggak mau membiarkan Ibu menyusul ayahmu?"Sewaktu kecil Delwyn dikekang oleh orang tuanya, tetapi sekarang setelah besar, giliran dia yang mengekang orang tuanya. Karena hanya pengekangan ini saja yang bisa mencegah Delwyn menjadi yatim piatu. Jadi ... biarkan Delwyn menjadi egois untuk kali ini saja ....Delwyn meraih lengan Wina dan memohon, "Ibu, tolong tunggu sebentar lagi. Aku akan menemukan gadis yang kusuka dan menikahinya, oke?"Wina tidak tega menyakiti hati putranya, jadi dia me
Demi putranya, Wina sama sekali tidak mengikuti Jihan. Namun, rambut Wina mendadak beruban dalam satu malam dan wajahnya seolah menua sepuluh tahun. Kerutannya sontak tampak lebih kentara, tatapan matanya selalu terlihat kosong.Di depan makam Jihan, Wina meminta Jihan untuk menunggunya. Sekarang Wina sudah punya anak, jadi dia tidak bisa melakukan sesuatu dengan asal. Nanti setelah putra mereka menikah, barulah Wina akan pergi menyusul Jihan. Jika Jihan ternyata tidak menunggunya, Wina akan menarik kembali janjinya tentang kehidupan selanjutnya sehingga mereka tidak akan pernah bertemu lagi ....Wina tidak menghadiri pemakaman Jihan. Itu sebabnya dia akhirnya terbangun, lalu berjalan ke makam Jihan dengan tubuh yang terhuyung-huyung. Tidak ada yang tahu tentang apa yang Wina katakan kepada Jihan, selain Delwyn yang memapah ibunya untuk menemui ayahnya ....Malam itu, Wina tiba-tiba pingsan di salju dan segera dibawa ke rumah sakit untuk diberikan pertolongan pertama. Wina baru sadar s
Bulu mata Wina tampak bergetar. Dia mengangkat matanya yang terkesan kosong dan menatap ke kejauhan. "Nggak, aku nggak akan ke mana-mana. Kami akan tetap di sini sampai aku ikut mati beku. Nggak akan ada yang bisa memisahkan kami."Semua orang sontak merasa tercekat. Mereka semua bergegas membujuk Wina agar jangan melakukan hal bodoh, tetapi Wina tidak mengacuhkan semua omongan mereka. Dia hanya duduk diam di sana sambil memeluk Jihan, menunggu ajal menjemputnya.Delwyn akhirnya menggenggam tangan Wina dengan erat sehingga pandangan Wina beralih kepadanya. "Ibu, aku tahu betapa Ibu mencintai Ayah dan Ibu pasti sulit menerima kenyataan ini, tapi tolong jangan lakukan hal bodoh. Aku sudah kehilangan Ayah dan aku nggak bisa kalau harus kehilangan Ibu juga ...."Suara putranya membuat Wina akhirnya perlahan menatap Delwyn. Wina menyentuh wajah Delwyn yang tampak begitu mirip dengan Jihan, lalu tersenyum kecil dengan senang ...."Ibu sudah lama mempersiapkan diri untuk kematian ayahmu. Kare
Air mata Wina pun mendadak mengalir turun. Tidak ada tangisan yang memilukan hati, hanya keheningan dan bibir Wina yang terbuka. Wina ingin mengatakan sesuatu, tetapi sepertinya dia sudah mengatakan semua yang ingin dia katakan kepada Jihan. Pada akhirnya, Wina hanya menurunkan pandangannya menatap wajah Jihan yang sudah pucat itu ...."Bodoh. Mau seberapa banyak pun darahmu mengalir keluar, kamu tetap suamiku. Mana mungkin aku takut? Aku nggak takut. Kenapa kamu malah pergi ke tempat seperti ini sendirian?"Yang membuat Wina merasa begitu getir adalah karena dia tidak sempat berpamitan untuk terakhir kalinya. Namun, Jihan sama sekali tidak memikirkan rasa penyesalan Wina dan fokus ingin menyembunyikan kondisinya dari Wina ....Lantas, bagaimana jika ... Wina tidak mengenali tiruan Jihan? Apa itu berarti Wina tidak akan pernah menemukan tubuh Jihan? Apa itu berarti Jihan akan selamanya terkubur beku di bawah salju ....Jihan sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum ajal menjemputn
Saat Delwyn meraih tangan Jihan dengan gemetar, Wina sontak menengadah seolah mendapatkan firasat. Dia melihat ke arah Delwyn sekilas, lalu bergegas merangkak menghampiri putranya dengan rambut acak-acakan seperti orang gila.Wina tetap tidak menangis. Dia bahkan menyentuh tangan yang kaku dan putih membeku itu dengan tatapan tegas, lalu menurunkan pandangannya yang bergetar dan menggali salju yang menutupi tubuh Jihan dengan tangannya yang sudah berdarah.Salju yang menumpuk di gunung lebih dalam, setiap lapisannya mengubur Jihan. Wina berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengeluarkan suaminya dari dalam salju, lalu akhirnya melihat wajah Jihan yang berlumuran darah. Tidak ada rona kemerahan apa pun di wajah yang tampan itu, hanya ada noda darah dan salju yang menghiasi ....Delwyn menatap sosok ayahnya dengan tidak percaya. Dia pun jatuh terduduk, hatinya terasa remuk redam. Langit seolah mendadak runtuh dan hanya ada kegelapan tak berujung yang menyelimuti ...."Delwyn.""Tolong Ibu,
Wina yang sedang mencari ke mana-mana sontak berhenti melangkah, rasanya dia seperti mendengar ada yang memanggil namanya. Wina pun menoleh dengan tatapan kosong, tetapi terlihat jelas hanya ada dia di sini.Wina berdiri dalam diam, lalu memegangi dadanya yang berdetak dengan begitu kuat. Tiba-tiba, hatinya terasa tersayat seolah-olah dia akan kehilangan sesuatu. Saking sakitnya, Wina sampai membungkukkan tubuhnya. Akan tetapi, rasa sakit itu tidak kunjung hilang ....Firasatnya mengatakan bahwa sesuatu terjadi pada Jihan. Di saat Wina ingin kembali mencari Jihan, tiba-tiba sosok Jihan yang tampan muncul di hadapannya sambil membawa sebuket mawar."Sayang, kok kamu di sini? 'Kan sudah kubilang tunggu aku?"Begitu melihat Jihan tampak baik-baik saja, jantung Wina yang semula berdegap kencang mendadak menjadi tenang kembali.Wina langsung melempar payungnya dan melompat memeluk Jihan dengan gembira.Wina menghela napas lega saat merasakan hangat tubuh dan napas Jihan."Sayang, kamu tahu
Saat melihat Jihan berdiri sempoyongan dan mengerahkan sedikit tenaga untuk melambaikan tangannya, Jefri akhirnya tidak tahan lagi. Dia menggertakkan gigi dan berlari secepat mungkin ke dasar Gunung Kiron ...."Kak Jihan, aku panggil dokter dulu, terus menyuruh robot itu naik gunung dan baru setelah itu aku akan menjemputmu! Kakak berdiri saja di sana dan tunggu aku, ya! Aku akan segera kembali!"Jalan gunung di malam hari memang tidak dapat diprediksi, salju yang turun dari langit seolah menjadi sumber penerangan. Jefri merasa seperti sedang berjalan di siang hari. Namun, saking langkahnya terburu-buru, Jefri sampai beberapa kali jatuh tersungkur ke atas tanah dan dia bahkan tidak tahu berjalan ke arah mana ....Jihan memandangi punggung Jefri yang berangsur-angsur menghilang dari pandangannya, lalu memegangi dadanya. Dia bisa merasakan detak jantungnya yang perlahan melambat. Jihan berdiri diam sambil merasakan bagaimana nyawanya meregang ....Entah berapa lama waktu berlalu, yang je