Sementara itu, begitu masuk ke dalam vila, Wina langsung melihat kondisi ruang tamu yang hancur berantakan.Para pelayan hanya berdiri di samping dengan tubuh yang menggigil ketakutan, mereka tidak berani bersuara.Di sisi lain, pelaku kekacauan ini sedang duduk di atas sofa sambil memainkan sebilah pisau buah.Wina menatap pisau itu dengan agak takut, tetapi dia tetap mengumpulkan keberaniannya dan berjalan menghampiri Alvin."Aku ... pulang."Alvin perlahan mengangkat kepalanya, dia menatap Wina dengan sorot tajam dan dalam.Alvin hanya menatap Wina tanpa mengatakan apa-apa seolah-olah dia sedang menatap mangsanya yang sedang sekarat.Tatapan Alvin itu membuat jantung Wina sontak berdebar kencang karena rasa takut. Tangannya yang terkepal dibanjiri keringat.Wina memaksa dirinya untuk tetap tenang, lalu balas menatap Alvin ...."Ayo kita bicara, Tuan Alvin.""Oke."Alvin menepuk-nepuk dudukan sofa di sebelahnya, lalu tersenyum menatap Wina.Cara Alvin tersenyum dan menatapnya membuat
Wina sontak terdiam dan tidak menjawab apa-apa. Sorot mata Wina yang terlihat acuh tak acuh membuat Alvin jadi bertanya-tanya.Karena Wina tidak kunjung bicara, Alvin akhirnya berkata dengan cuek, "Kalau kamu nggak bisa menjawab, tetaplah di sisiku dan teruslah menjadi pengganti Vera ...."Wina mengepalkan kedua tangannya. Alih-alih menjawab, dia malah balik bertanya, "Kalau gitu, Tuan Alvin, apa kita bisa bercerai?"Alvin sontak mengira Wina sudah mengakui perasaannya, jadi dia langsung balas mencibir, "Kamu nggak seperti kakakmu. Kalau dia sudah terluka, dia nggak akan pernah lagi menoleh ke belakang sekalipun harus mati. Sedangkan kamu? Baru dikasih kata-kata manis sama pria bajingan itu saja sudah membuatmu luluh dan bersedia kembali ke pelukannya."Wina tidak membantah, dia justru menanggapi ucapan Alvin, "Ya, aku memang beda dari kakakku. Kamu sudah tahu soal itu, tapi kamu masih memaksa dirimu sendiri untuk menganggapku sebagai dirinya ...."Ucapan Wina itu terasa seperti pisau
Tepat sebelum pisau itu menusuk menembus dada Wina, pergelangan tangannya tiba-tiba dicengkeram oleh seseorang ....Alvin merebut pisau buah itu, lalu berujar sambil tersenyum, "Mana mungkin pisau sekecil ini bisa mencongkel jantung keluar ...."Alvin pun berbalik badan dan berjalan menuju dapur. Dia mengambil pisau dapur, lalu kembali ke ruang tamu dan melemparkan pisau itu ke depan Wina. "Pakai ini."Kali ini, Wina menolak menuruti permintaan Alvin. Dia balas menatap Alvin secara langsung."Jujurlah pada dirimu sendiri, kamu sebenarnya nggak rela melihat aku mencongkel keluar jantung kakakku."Alvin sudah mengatakan bahwa dia tidak akan membiarkan Wina mati karena sekarang jantung Vera berdetak dalam diri Wina.Apa yang Alvin lakukan saat ini hanyalah sekadar menguji Wina ....Ekspresi Alvin mendadak berubah menjadi serius, dia tidak menyangka Wina berhasil membaca pikirannya. "Apa kamu harus banget pergi?"Wina mengangguk. "Tuan Alvin, aku tahu permintaanku agak berlebihan. Tapi, me
Keesokan paginya, setelah mandi, Wina langsung keluar kamar dan menuju ruang makan.Alvin yang sedang memotong roti pun refleks melirik ke arah Wina saat melihat wanita itu berjalan ke ruang makan."Mobilmu sudah dibawa pulang."Wina sontak tertegun, lalu teringat mobilnya yang masih tertinggal di area parkir bawah tanah klub."Terima kasih, Kakak Ipar ...."Wina memanggil Alvin kakak ipar dengan begitu lancarnya.Ekspresi Alvin tetap terlihat datar, dia fokus melihat peta konstruksi yang terpasang di layar ponselnya.Karena Alvin tidak memberikan tanggapan apa pun, Wina juga tidak berkata apa-apa lagi. Dia menunduk menyantap makanannya dengan patuh.Setelah makan sedikit, Wina pun berpamitan kepada Alvin. Dia mengambil kunci mobil, lalu berjalan keluar rumah.Wina sudah berjanji kepada Ivan untuk menyelesaikan masalahnya dengan Alvin, lalu mengajak Sara menemui Ivan.Saat hendak membuka pintu mobil, tiba-tiba sebuah mobil putih berhenti di depan Wina.Pintu mobil pun terbuka. Lilia ya
"Pemuda yang waktu itu kamu lihat di gerbang Universitas Aster baru saja mengalami kejadian seperti itu ....""Sebenarnya, sejak kecil Pak Jihan sudah hidup dalam lingkungan yang seperti itu ....""Apa pun yang Pak Jihan sayangi, entah itu orang atau benda, pasti akan ibunya hancurkan dengan segala cara ....""Itu sebabnya sejak kecil Pak Jihan sudah belajar untuk mengendalikan emosinya. Dia nggak pernah mengungkapkan perasaan ataupun pikirannya kepada siapa pun ....""Waktu bertemu denganmu 10 tahun yang lalu dan jatuh cinta padamu, Pak Jihan nggak berani mendekatimu. Dia masih ingat betapa menyakitkannya kehilangan teman masa kecilnya.""Setelah itu, dia bertemu denganmu lagi di depan pintu klub. Walaupun dia tahu dia tidak boleh sampai terbawa perasaan, tetap saja dia nggak bisa mengendalikan dirinya ....""Kakak sepupuku bilang alasan kenapa Pak Jihan nggak segan-segan membelimu justru karena dia sudah jatuh cinta padamu semenjak pertama kali bertemu di gerbang Universitas Aster."
"Kehadiran Rian memperparah perselisihan kalian. Waktu di vila itu kamu memutuskan untuk pergi bersama Rian, Pak Jihan memang berniat melepaskanmu. Tapi, nggak disangka kamu malah mencari masalah dengan Mira gara-gara aku ....""Pak Jihan tahu orang seperti apa Mira itu, dia takut Mira akan langsung membunuhmu. Setelah mendengar penjelasanku melalui telepon, Pak Jihan bergegas ke mal. Dia memang seharusnya bisa langsung membawamu pergi, tapi kalau Pak Jihan melakukan itu, betapa pentingnya kamu untuk Pak Jihan pasti akan ketahuan.""Pak Jihan nggak takut melawan ibunya demi dirimu, tapi dia nggak mau kamu sampai menderita karena terseret ke dalam kekacauan hidupnya. Apalagi, waktu itu Pak Jihan mengira kamu sudah nggak mencintainya lagi, itu sebabnya dia makin nggak ingin membuatmu terlibat ....""Cuma, dia nggak menyangka tamparan itu justru akan membunuhmu ...."Lilia pun berhenti bicara sebentar, lalu melanjutkan lagi dengan suara yang terdengar serak."Nona Wina, waktu kamu berada
Mata Wina yang berkaca-kaca pun perlahan-lahan menyorotkan senyuman. "Dokter Lilia, tolong bantu aku memberi tahu Jihan bahwa aku sudah memaafkannya, tapi aku nggak mungkin kembali ke pelukannya ....""Apa itu karena Ivan?" tanya Lilia sambil mengernyit.Wina menurunkan pandangannya seolah-olah sedang bernostalgia."Dokter Lilia, Dokter tahu nggak gimana caranya aku tumbuh dewasa? Ivan-lah yang bekerja keras untuk menghasilkan uang dan terus membelikankan obatku. Itu sebabnya aku bisa menjadi seperti sekarang. Ivan melakukan itu nggak cuma selama setahun, tapi hampir 20 tahun.""Saat aku sudah besar dan semua orang mencampakkanku, hanya dia dan Sara yang tetap menemaniku. Mereka sampai hidup hemat supaya bisa menjaga kesehatan jantungku. Aku sudah berjanji akan menjaganya selamanya, jadi mana bisa aku mengecewakannya lagi ...."Setelah berkata seperti itu, Wina pun berbalik badan dan berjalan meninggalkan kafe.Gerimis mulai turun, lalu berubah menjadi hujan deras. Wina jadi merasa aga
Hujan yang mengguyur tubuh Jihan makin deras.Rambut hitam Jihan yang tebal dan setelan jasnya yang indah nan rapi menjadi basah kuyup.Air hujan pun bergulir menuruni wajah tampan Jihan ke lehernya yang ramping.Seolah tidak memperhatikan sekeliling, Jihan terus berjalan ke mobilnya.Begitu melihat Jihan kembali, Lilia segera berjalan menghampiri Jihan sambil membawa payung, lalu memayungi pria itu."Maafkan aku, Pak Jihan."Lilia-lah yang datang menemui Wina tanpa seizin Jihan.Awalnya, Lilia mengira Wina mungkin akan berpikir ulang untuk kembali ke pelukan Jihan setelah mengetahui segalanya. Tidak disangka ternyata malah menjadi seperti ini.Air hujan yang membasahi dahi Jihan pun bergulir turun mengenai bulu mata Jihan yang lentik, membuat matanya tampak sedikit berkedip.Jihan menatap Lilia dengan sorot dinginnya yang khas, lalu berujar, "Jangan sebut-sebut namanya di depanku lagi. Kisahku dengannya sudah benar-benar berakhir sampai di sini ...."Lilia hanya diam menatap Jihan, se