Mata Jihan yang indah tampak kabur dan tidak fokus, tetapi otaknya masih bisa berpikir dengan sangat jernih.Dia tahu yang datang adalah Lilia. Dia juga tahu Lilia akan menghentikannya. Biarpun begitu, Jihan tetap menenggak anggur merahnya tanpa berkomentar apa-apa.Lilia langsung merebut gelas anggur itu, lalu berkata kepada Jihan dengan dingin, "Kalau terus begini, bahkan menguras isi perutmu juga nggak akan bisa menyelamatkan nyawamu."Jihan masih diam seribu bahasa, sepertinya dia memang tidak mau mengatakan apa-apa. Jemarinya yang lentik kembali menggenggam gelas anggur.Lilia mengernyit menatap sikap Jihan yang keras kepala. "Pak Jihan, Nona Wina masih hidup. Alih-alih mabuk-mabukkan begini, seharusnya Pak Jihan bangkit dan berusaha mendapatkannya kembali. Ini bukan Pak Jihan yang aku kenal."Dulu, Jihan adalah sosok yang selalu menyendiri, dingin dan sangat berwibawa. Dia sudah seperti seorang dewa yang tidak boleh disentuh manusia fana.Namun, sekarang Jihan benar-benar sudah t
Mata Jihan tampak berkaca-kaca seolah dia sedang berusaha menjelaskan, tetapi setelah berpikir selama beberapa detik, sorot matanya kembali terlihat acuh tak acuh.Satu tangan Jihan memegang gelas anggur, lalu dia menatap Lilia dengan sorot datar. "Sudahlah, nggak usah menemuinya. Jangan usik hidupnya lagi ...."Jihan sudah memutuskan untuk membiarkan Wina hidup bahagia dengan Ivan, jadi lebih baik dia melepaskan Wina dan berhenti mempersulit hidup Wina ....Lilia sontak tertegun, lalu bertanya dengan nada tidak percaya, "Pak Jihan, Pak Jihan sudah menyerah?"Selama ini, Lilia belum pernah melihat seorang pria mencintai seorang wanita sampai seperti ini.Jihan adalah pria pertama yang Lilia lihat begitu mencintai seorang wanita. Saking cintanya, Jihan bahkan sampai rela menyerahkan nyawanya dan segala yang dia miliki demi Wina.Apa benar pria seperti ini sekarang memilih untuk menyerah?Alih-alih menjawab pertanyaan Lilia, Jihan hanya balas menenggak segelas anggur merah.Entah karena
Sementara itu, begitu masuk ke dalam vila, Wina langsung melihat kondisi ruang tamu yang hancur berantakan.Para pelayan hanya berdiri di samping dengan tubuh yang menggigil ketakutan, mereka tidak berani bersuara.Di sisi lain, pelaku kekacauan ini sedang duduk di atas sofa sambil memainkan sebilah pisau buah.Wina menatap pisau itu dengan agak takut, tetapi dia tetap mengumpulkan keberaniannya dan berjalan menghampiri Alvin."Aku ... pulang."Alvin perlahan mengangkat kepalanya, dia menatap Wina dengan sorot tajam dan dalam.Alvin hanya menatap Wina tanpa mengatakan apa-apa seolah-olah dia sedang menatap mangsanya yang sedang sekarat.Tatapan Alvin itu membuat jantung Wina sontak berdebar kencang karena rasa takut. Tangannya yang terkepal dibanjiri keringat.Wina memaksa dirinya untuk tetap tenang, lalu balas menatap Alvin ...."Ayo kita bicara, Tuan Alvin.""Oke."Alvin menepuk-nepuk dudukan sofa di sebelahnya, lalu tersenyum menatap Wina.Cara Alvin tersenyum dan menatapnya membuat
Wina sontak terdiam dan tidak menjawab apa-apa. Sorot mata Wina yang terlihat acuh tak acuh membuat Alvin jadi bertanya-tanya.Karena Wina tidak kunjung bicara, Alvin akhirnya berkata dengan cuek, "Kalau kamu nggak bisa menjawab, tetaplah di sisiku dan teruslah menjadi pengganti Vera ...."Wina mengepalkan kedua tangannya. Alih-alih menjawab, dia malah balik bertanya, "Kalau gitu, Tuan Alvin, apa kita bisa bercerai?"Alvin sontak mengira Wina sudah mengakui perasaannya, jadi dia langsung balas mencibir, "Kamu nggak seperti kakakmu. Kalau dia sudah terluka, dia nggak akan pernah lagi menoleh ke belakang sekalipun harus mati. Sedangkan kamu? Baru dikasih kata-kata manis sama pria bajingan itu saja sudah membuatmu luluh dan bersedia kembali ke pelukannya."Wina tidak membantah, dia justru menanggapi ucapan Alvin, "Ya, aku memang beda dari kakakku. Kamu sudah tahu soal itu, tapi kamu masih memaksa dirimu sendiri untuk menganggapku sebagai dirinya ...."Ucapan Wina itu terasa seperti pisau
Tepat sebelum pisau itu menusuk menembus dada Wina, pergelangan tangannya tiba-tiba dicengkeram oleh seseorang ....Alvin merebut pisau buah itu, lalu berujar sambil tersenyum, "Mana mungkin pisau sekecil ini bisa mencongkel jantung keluar ...."Alvin pun berbalik badan dan berjalan menuju dapur. Dia mengambil pisau dapur, lalu kembali ke ruang tamu dan melemparkan pisau itu ke depan Wina. "Pakai ini."Kali ini, Wina menolak menuruti permintaan Alvin. Dia balas menatap Alvin secara langsung."Jujurlah pada dirimu sendiri, kamu sebenarnya nggak rela melihat aku mencongkel keluar jantung kakakku."Alvin sudah mengatakan bahwa dia tidak akan membiarkan Wina mati karena sekarang jantung Vera berdetak dalam diri Wina.Apa yang Alvin lakukan saat ini hanyalah sekadar menguji Wina ....Ekspresi Alvin mendadak berubah menjadi serius, dia tidak menyangka Wina berhasil membaca pikirannya. "Apa kamu harus banget pergi?"Wina mengangguk. "Tuan Alvin, aku tahu permintaanku agak berlebihan. Tapi, me
Keesokan paginya, setelah mandi, Wina langsung keluar kamar dan menuju ruang makan.Alvin yang sedang memotong roti pun refleks melirik ke arah Wina saat melihat wanita itu berjalan ke ruang makan."Mobilmu sudah dibawa pulang."Wina sontak tertegun, lalu teringat mobilnya yang masih tertinggal di area parkir bawah tanah klub."Terima kasih, Kakak Ipar ...."Wina memanggil Alvin kakak ipar dengan begitu lancarnya.Ekspresi Alvin tetap terlihat datar, dia fokus melihat peta konstruksi yang terpasang di layar ponselnya.Karena Alvin tidak memberikan tanggapan apa pun, Wina juga tidak berkata apa-apa lagi. Dia menunduk menyantap makanannya dengan patuh.Setelah makan sedikit, Wina pun berpamitan kepada Alvin. Dia mengambil kunci mobil, lalu berjalan keluar rumah.Wina sudah berjanji kepada Ivan untuk menyelesaikan masalahnya dengan Alvin, lalu mengajak Sara menemui Ivan.Saat hendak membuka pintu mobil, tiba-tiba sebuah mobil putih berhenti di depan Wina.Pintu mobil pun terbuka. Lilia ya
"Pemuda yang waktu itu kamu lihat di gerbang Universitas Aster baru saja mengalami kejadian seperti itu ....""Sebenarnya, sejak kecil Pak Jihan sudah hidup dalam lingkungan yang seperti itu ....""Apa pun yang Pak Jihan sayangi, entah itu orang atau benda, pasti akan ibunya hancurkan dengan segala cara ....""Itu sebabnya sejak kecil Pak Jihan sudah belajar untuk mengendalikan emosinya. Dia nggak pernah mengungkapkan perasaan ataupun pikirannya kepada siapa pun ....""Waktu bertemu denganmu 10 tahun yang lalu dan jatuh cinta padamu, Pak Jihan nggak berani mendekatimu. Dia masih ingat betapa menyakitkannya kehilangan teman masa kecilnya.""Setelah itu, dia bertemu denganmu lagi di depan pintu klub. Walaupun dia tahu dia tidak boleh sampai terbawa perasaan, tetap saja dia nggak bisa mengendalikan dirinya ....""Kakak sepupuku bilang alasan kenapa Pak Jihan nggak segan-segan membelimu justru karena dia sudah jatuh cinta padamu semenjak pertama kali bertemu di gerbang Universitas Aster."
"Kehadiran Rian memperparah perselisihan kalian. Waktu di vila itu kamu memutuskan untuk pergi bersama Rian, Pak Jihan memang berniat melepaskanmu. Tapi, nggak disangka kamu malah mencari masalah dengan Mira gara-gara aku ....""Pak Jihan tahu orang seperti apa Mira itu, dia takut Mira akan langsung membunuhmu. Setelah mendengar penjelasanku melalui telepon, Pak Jihan bergegas ke mal. Dia memang seharusnya bisa langsung membawamu pergi, tapi kalau Pak Jihan melakukan itu, betapa pentingnya kamu untuk Pak Jihan pasti akan ketahuan.""Pak Jihan nggak takut melawan ibunya demi dirimu, tapi dia nggak mau kamu sampai menderita karena terseret ke dalam kekacauan hidupnya. Apalagi, waktu itu Pak Jihan mengira kamu sudah nggak mencintainya lagi, itu sebabnya dia makin nggak ingin membuatmu terlibat ....""Cuma, dia nggak menyangka tamparan itu justru akan membunuhmu ...."Lilia pun berhenti bicara sebentar, lalu melanjutkan lagi dengan suara yang terdengar serak."Nona Wina, waktu kamu berada