Setelah Jesse pergi, Wina terlihat agak kaget. Ternyata Jihan bukan hanya menyelamatkan Ivan, tetapi juga mempekerjakan seseorang untuk merawatnya.Seolah bisa membaca isi pikiran Wina, Ivan meletakkan sendok dan garpunya, lalu menatap Wina dengan ekspresi berkecamuk."Wina, selama tiga tahun ini, Jihan benar-benar berusaha membantuku tetap hidup ....""Kayaknya dia melakukan semua ini demi menebus dosa-dosanya. Aku nggak tahu dosa mana yang mau dia tebus, tapi yang kutahu dia sangat mencintaimu."Setelah mengucapkan kalimat terakhir, Ivan seolah menebus penyesalannya karena waktu itu tidak mengakui perasaannya kepada Wina.Ivan menghela napas dengan lega, lalu menatap Wina. Dia ingin tahu apakah setelah tiga tahun berlalu, Wina masih mencintai Jihan atau tidak.Wina menurunkan pandangannya untuk menyembunyikan sorot tatapannya, lalu bertanya dengan lembut, "Kalau kamu masih hidup, kenapa semua berita mengabarkan kematianmu?"Alih-alih menanggapi ucapannya, ternyata Wina memilih untuk
Tangan Ivan yang sedang memegang sendok sontak menjadi kaku, dia termangu menatap Wina. Sorot tatapannya terlihat sangat tidak percaya.Wina menolak panggilan Alvin, lalu berkata kepada Ivan."Ivan, setelah aku siuman, aku dengar kamu sudah mati. Aku nggak percaya, jadi aku bertekad pulang secepatnya untuk mencari tahu kebenarannya.""Tapi, Alvin takut aku nggak akan pernah balik lagi ke Britton dan pergi dengan jantung kakakku, jadi dia memintaku untuk menikah dengannya. Kalau aku menolak, aku dilarang pulang ke sini. Aku setuju, tapi aku menikah dengannya atas nama kakakku, Vera. Nggak ada perasaan apa pun di antara kami."Setelah mendengarkan penjelasan Wina, ekspresi kaget Ivan perlahan-lahan berubah menjadi iba. "Maaf, Wina. Gara-gara aku yang gegabah, kamu sampai diancam begitu."Wina menggelengkan kepalanya. Ekspresinya terlihat begitu tegas dan mantap. "Sekalipun aku menolak menikahinya, tetap saja dia akan mengontrolku karena jantung kakakku berdetak di dalam tubuhku.""Wina,
Ucapan terima kasih Wina membuat Lilia makin merasa bersalah. Dia masih memikirkan kejadian waktu itu.Akan tetapi, di hadapan Rian, dia tidak boleh gegabah mengungkit-ungkitnya.Setelah mengobrol sebentar, Wina dan Lilia pun memeriksa kaki Rian. Khususnya terkait kekuatan otot kaki Rian.Saraf kaki Rian sudah rusak, jadi Rian memang tidak bisa berdiri lagi. Yang terpenting sekarang adalah menjaga agar otot kaki Rian tidak menyusut terlalu banyak.Setelah Lilia selesai memeriksa, Wina pun menarik Lilia dengan tidak sabar dan bertanya, "Dokter Lilia, bagaimana kondisi kakinya? Kapan dia bisa berdiri?"Lilia hendak menjawab jujur, tetapi Ivan menutupi mulutnya dengan satu tangan dan berpura-pura berdeham. Sorot matanya mengisyaratkan kepada Lilia untuk tidak menjawab jujur.Lilia langsung mengernyit. Dia tidak mengerti kenapa Rian tidak mau berkata jujur kepada Wina. Setelah terdiam sejenak, Lilia pun menjawab, "Tanya dia saja langsung."Lilia tidak mau lagi menyembunyikan penyakit orang
Lilia sontak tertegun, lalu menyadari bahwa mereka berdua sudah bertemu.Benar juga. Hanya segelintir orang yang bisa keluar masuk vila ini. Pasti Jihan sendiri yang membawa Wina ke sini.Tidak disangka setelah bertemu pun Wina masih sedemikian menolak Jihan. Jangan-jangan salah paham di antara mereka belum selesai?Lilia berpikir sejenak, lalu mengumpulkan segenap keberaniannya untuk berkata kepada Wina lagi, "Nona Wina, Pak Jihan sangat mencintaimu. Setelah kematianmu, dia ....""Lilia."Begitu Wina menyebut namanya, Lilia pun sontak terdiam."Setelah aku pulang, kamu adalah orang keempat yang memberitahuku bahwa dia sangat mencintaiku."Alvin, Sara, Ivan dan Lilia. Mereka semua bilang begitu pada Wina.Mereka sepertinya mengira yang terpenting adalah memberi tahu Wina bahwa Jihan mencintainya. Begitu Wina tahu, Wina akan langsung kembali dalam pelukan Jihan.Akan tetapi, apa pernah mereka memikirkan perasaan Wina?Apa pernah mereka bertanya seperti apa sosok Jihan bagi Wina saat ini
Mata Jihan yang indah tampak kabur dan tidak fokus, tetapi otaknya masih bisa berpikir dengan sangat jernih.Dia tahu yang datang adalah Lilia. Dia juga tahu Lilia akan menghentikannya. Biarpun begitu, Jihan tetap menenggak anggur merahnya tanpa berkomentar apa-apa.Lilia langsung merebut gelas anggur itu, lalu berkata kepada Jihan dengan dingin, "Kalau terus begini, bahkan menguras isi perutmu juga nggak akan bisa menyelamatkan nyawamu."Jihan masih diam seribu bahasa, sepertinya dia memang tidak mau mengatakan apa-apa. Jemarinya yang lentik kembali menggenggam gelas anggur.Lilia mengernyit menatap sikap Jihan yang keras kepala. "Pak Jihan, Nona Wina masih hidup. Alih-alih mabuk-mabukkan begini, seharusnya Pak Jihan bangkit dan berusaha mendapatkannya kembali. Ini bukan Pak Jihan yang aku kenal."Dulu, Jihan adalah sosok yang selalu menyendiri, dingin dan sangat berwibawa. Dia sudah seperti seorang dewa yang tidak boleh disentuh manusia fana.Namun, sekarang Jihan benar-benar sudah t
Mata Jihan tampak berkaca-kaca seolah dia sedang berusaha menjelaskan, tetapi setelah berpikir selama beberapa detik, sorot matanya kembali terlihat acuh tak acuh.Satu tangan Jihan memegang gelas anggur, lalu dia menatap Lilia dengan sorot datar. "Sudahlah, nggak usah menemuinya. Jangan usik hidupnya lagi ...."Jihan sudah memutuskan untuk membiarkan Wina hidup bahagia dengan Ivan, jadi lebih baik dia melepaskan Wina dan berhenti mempersulit hidup Wina ....Lilia sontak tertegun, lalu bertanya dengan nada tidak percaya, "Pak Jihan, Pak Jihan sudah menyerah?"Selama ini, Lilia belum pernah melihat seorang pria mencintai seorang wanita sampai seperti ini.Jihan adalah pria pertama yang Lilia lihat begitu mencintai seorang wanita. Saking cintanya, Jihan bahkan sampai rela menyerahkan nyawanya dan segala yang dia miliki demi Wina.Apa benar pria seperti ini sekarang memilih untuk menyerah?Alih-alih menjawab pertanyaan Lilia, Jihan hanya balas menenggak segelas anggur merah.Entah karena
Sementara itu, begitu masuk ke dalam vila, Wina langsung melihat kondisi ruang tamu yang hancur berantakan.Para pelayan hanya berdiri di samping dengan tubuh yang menggigil ketakutan, mereka tidak berani bersuara.Di sisi lain, pelaku kekacauan ini sedang duduk di atas sofa sambil memainkan sebilah pisau buah.Wina menatap pisau itu dengan agak takut, tetapi dia tetap mengumpulkan keberaniannya dan berjalan menghampiri Alvin."Aku ... pulang."Alvin perlahan mengangkat kepalanya, dia menatap Wina dengan sorot tajam dan dalam.Alvin hanya menatap Wina tanpa mengatakan apa-apa seolah-olah dia sedang menatap mangsanya yang sedang sekarat.Tatapan Alvin itu membuat jantung Wina sontak berdebar kencang karena rasa takut. Tangannya yang terkepal dibanjiri keringat.Wina memaksa dirinya untuk tetap tenang, lalu balas menatap Alvin ...."Ayo kita bicara, Tuan Alvin.""Oke."Alvin menepuk-nepuk dudukan sofa di sebelahnya, lalu tersenyum menatap Wina.Cara Alvin tersenyum dan menatapnya membuat
Wina sontak terdiam dan tidak menjawab apa-apa. Sorot mata Wina yang terlihat acuh tak acuh membuat Alvin jadi bertanya-tanya.Karena Wina tidak kunjung bicara, Alvin akhirnya berkata dengan cuek, "Kalau kamu nggak bisa menjawab, tetaplah di sisiku dan teruslah menjadi pengganti Vera ...."Wina mengepalkan kedua tangannya. Alih-alih menjawab, dia malah balik bertanya, "Kalau gitu, Tuan Alvin, apa kita bisa bercerai?"Alvin sontak mengira Wina sudah mengakui perasaannya, jadi dia langsung balas mencibir, "Kamu nggak seperti kakakmu. Kalau dia sudah terluka, dia nggak akan pernah lagi menoleh ke belakang sekalipun harus mati. Sedangkan kamu? Baru dikasih kata-kata manis sama pria bajingan itu saja sudah membuatmu luluh dan bersedia kembali ke pelukannya."Wina tidak membantah, dia justru menanggapi ucapan Alvin, "Ya, aku memang beda dari kakakku. Kamu sudah tahu soal itu, tapi kamu masih memaksa dirimu sendiri untuk menganggapku sebagai dirinya ...."Ucapan Wina itu terasa seperti pisau