"Cuma?""Jihan, kamu selalu saja membuat lukamu terdengar sebagai sesuatu yang biasa saja," sahut Wina sambil tersenyum dengan getir. "Padahal, apa yang terjadi padamu itu bersifat fatal. Tapi, kamu selalu menyembunyikannya dariku dan tidak memberitahuku apa-apa."Setelah itu, Wina pun perlahan bangkit berdiri sambil berpegangan pada pagar kasur. Bangkit berdiri saja sudah membuatnya dibanjiri peluh.Wina masuk dalam posisi setengah berlutut, jadi Jihan tidak melihat darah di tubuhnya. Namun, setelah Wina bangkit berdiri, sekarang Jihan bisa melihat semua darah itu dengan jelas. Tubuhnya sontak menjadi kaku. Jihan bergegas turun dari kasur dan langsung memegangi istrinya yang terhuyung."Dokter!"Jihan menggendong Wina sambil berseru memanggil dokter, tetapi Wina menghentikannya. "Rasa sakitku nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa sakit yang kamu rasakan akibat cip itu. Biarkan aku menemanimu kesakitan."Jihan sedikit mengernyit, tetapi alisnya kemudian meregang lagi karena dia
Jihan pulih lebih cepat daripada Wina, jadi Jihan-lah yang sebagian besar merawat Wina. Saat Wina membuka matanya, dia melihat Jihan sedang menyeka kakinya dengan lembut menggunakan handuk yang sudah dicelup air hangat.Hari ini hujan tidak turun. Matahari bersinar dengan terang, sinarnya yang keemasan masuk melalui kaca jendela dan menyinari sosok Jihan yang terlihat dingin dan kurus itu. Rasanya hati Wina jadi hangat.Gerakan Jihan sangat terampil dan lembut. Jihan mengelap dengan begitu hati-hati karena takut membangunkan Wina dan membuatnya jadi merasa tidak nyaman. Jihan tiba-tiba menoleh ke arah Wina, sepertinya dia menyadari tatapan Wina yang penuh kasih sayang."Dokter bilang koma kelamaan membuat peredaran darah di bagian kaki menjadi tidak lancar. Jadi, lebih baik dilap dengan handuk hangat setiap hari."Jihan menjelaskan secara singkat kepada Wina, lalu berbalik ke samping dan mengganti handuknya. Dia menaruh handuk itu di atas betis Wina untuk menghangatkan bagian itu, kemu
Tubuh Jihan masih terasa seperti tersengat listrik, tetapi dia terpaksa melepaskan Wina. Kemudian, dia memalingkan pandangannya yang kecewa dan menatap Jefri yang sedang menarik Sara keluar dengan dingin. "Masuk saja sini biar nggak kecewa."Jefri pikir dia sudah tidak tahu malu, ternyata Jihan lebih berani lagi daripadanya. Dia langsung menyeletuk, "Ya ampun, ternyata kakakku seberani ini. Kamu bahkan berani menyiarkannya secara langsung."Jihan merilekskan kepalan tangannya, lalu merapikan kemejanya yang berantakan akibat ulah Wina. Setelah itu, dia bersandar di sofa sambil mengangkat dagunya ke arah Jefri, "Aku sih berani-berani saja siaran langsung, tapi memangnya kamu berani menontonnya?"Jefri yang sudah masuk pun menarik kursi dan duduk di hadapan Jihan. "Apa dipungut biaya? Kalau gratis, aku terpaksa jadi penonton pertama."Wina menutupi wajahnya dengan malu. Ya ampun, apa sih yang biasanya diobrolkan oleh kakak beradik satu ini? Masa hal semacam ini bisa mereka bicarakan secar
Entah hatinya tergerak atau tidak, yang jelas memandangi nyawa satu ini membuat Jihan mendadak mengerti kenapa waktu itu Wina lebih memilih mengambil risiko 10% hidup.Orang tua mana pun lebih rela mengorbankan diri untuk anak mereka. Inilah sifat dan naluri orang yang berhati baik yang menyebabkan kehidupan itu bisa berkelanjutan.Wina menatap Jihan yang menggendong bayi mereka di bawah sinar matahari sambil tersenyum itu dengan mata yang berkaca-kaca. Demi melihat pemandangan ini, berapa kali pun dia harus memilih, dia pasti akan selalu memilih untuk melahirkan anak itu.Jefri mengeluarkan ponselnya dan memotret Jihan, lalu mengirimkannya ke grup keluarga tanpa Jihan. "Coba lihat ini. Kak Jihan yang sudah kayak orang tua itu ternyata bisa menggendong anak! Benar-benar mengejutkan!"Setelah mengirim pesan, Jefri pun menunggu balasan dari saudara-saudaranya. Akan tetapi, Sara tiba-tiba menyikutnya. "Hei, hapus pesanmu. Kamu mengirimkannya ke grup keluarga ...."Senyum Jefri sontak menj
Sara tahu apa yang ada dalam pikiran Wina, jadi dia berujar dengan nada serius, "Wina, selama enam bulan ini, Jihan melakukan segalanya demi membuatmu siuman. Dari ucapan dan tindakannya, aku bisa melihat kalau rasa cintanya untukmu lebih dalam daripada Ivan. Mulai sekarang, perlakukanlah dia dengan baik. Buat dia merasakan betapa indahnya dicintai oleh orang yang dia cintai."Apa yang ada dalam hubungan suami istri tidak semerta-merta rasa cinta saja, tetapi seiring berjalannya waktu, juga rasa sayang sebagai sebuah keluarga. Jihan belum pernah merasakan rasa sayang itu sejak kecil, jadi Wina yang merupakan istrinya harus bisa menjadi keluarga juga bagi Jihan dan memberikan rasa sayang itu kepada Jihan.Wina dengan mengangguk penuh semangat, lalu menunduk menatap bayi yang mengantuk dalam pelukannya dengan lembut, "Sekarang, cuma ada dia dan bayi ini dalam duniaku. Tentu saja aku akan berusaha sebaik mungkin untuk memperlakukannya dengan baik. Masalahnya cuma ...."Mata Wina menjadi b
"Sara tadi habis menamai anak kita, tapi anaknya menolak," jawab Wina sambil tersenyum. "Dia menangis kencang sekali sampai menendang-nendang. Aku takut banget, kupikir dia lagi nggak enak badan. Saat aku mau panggil dokter, Sara bilang aku ganti saja namanya. Barulah setelah itu dia berhenti menangis ...."Jihan meletakkan satu tangannya di ranjang rumah sakit dan sedikit membungkuk. Dia bersandar di samping wajah Wina, lalu menunduk menatap bayi dalam pelukan Wina. "Memangnya nama apa yang dikasih sampai dia menolak begitu?"Pertanyaan itu ditujukan untuk Sara. Karena sekarang yang bersangkutan sudah ada di sini, Sara jadi merasa agak malu untuk mengatakannya. Namun, saat Jihan menengadah menatapnya, Sara langsung menjawab dengan pasrah, "Jitana, dari Jihan cinta Wina."Bayi itu sontak menangis lagi dengan begitu sedih sambil menendang-nendang. Terlihat jelas bahwa bayi itu lebih tidak menyukai nama pemberian Sara daripada Ninel.Sara segera menepuk-nepuk perut bayi itu dan membujukn
Sam melirik Jefri yang tinggi dan berotot, lalu ke lengan dan kakinya yang kurus. Akhirnya dia menurunkan kembali lengan bajunya yang digulung. "Selanjutnya, selanjutnya ...."Jefri hanya bisa menaruh harapannya pada Kristofer. Dia menggendong putranya itu dan bergumam, "Kristofer, kamu nggak boleh meniru kakakmu dan cuma peduli dengan uang, ya. Kamu harus banyak belajar biar kaya ilmu, oke?"Keluarga Lionel, beserta Andrew dan kedua kakaknya sampai tidak bisa berkata-kata lagi dengan ulah Jefri. "Tuan Muda Jefri, anakmu masih kecil banget, tapi kamu sudah menekannya begitu. Jadi anakmu capek juga, ya."Jefri balas memutar bola matanya tanpa rasa peduli. Dia terus berbisik ke telinga bayi itu, "Nanti habis Ayah turunkan, kamu langsung ke buku tersohor di dunia yang ada di tengah itu, ya. Begitu kamu mengambil buku itu, kamu akan menjadi orang paling pintar di Keluarga Lionel. Ayah bisa menggunakan pencapaian prestasimu untuk mentertawakan Jihan!"Setelah itu, Jefri menurunkan bayinya d
Setelah Sam membuat pengumuman, dia mengembalikan bola kertas itu kepada si bayi. Bayi itu memegang bola kertas di satu tangan, sementara tangannya yang satu lagi memegang belati emasnya.Dengan kepribadian bayi itu, semua orang merasa nama yang dipilih memang terkesan agak dingin. Namun, tidak ada yang berani berkomentar. Mereka semua memberi selamat kepada Jihan dan Wina dengan sopan, mengatakan bahwa akhirnya si bayi mendapatkan nama yang memuaskan.Jefri yang sedang menggendong anak kembarnya pun mendengus dengan dingin, "Nama itu nggak sekeren 'Caldre Lionel' yang kupilih. Entah siapa yang dendam sama Kak Jihan sampai-sampai memilih nama kayak gitu ...."Para anggota Keluarga Ivoron yang masih sibuk membual pun sontak berhenti bicara. Andrew refleks melirik ke luar pintu. Rumah itu agak besar dan di kejauhan sana, dia bisa melihat seseorang berdiri di luar gerbang besi.James-lah yang berdiri di sana sambil mengenakan topi hitam. Dia memandangi pemandangan bahagia di dalam rumah.
Lama sekali Jodie hanya tertegun setelah menerima berita kematian Wina, tetapi akhirnya bergegas dan mengantar kepergian Wina ke tempat peristirahatan terakhirnya. Setelah semua orang meninggalkan pemakaman, Jodie mengelus batu nisan Wina dengan penuh rindu."Wina."Jodie perlahan berjongkok sambil bertopang pada batu nisan Wina dan menatap wajah Wina dalam foto dengan matanya yang sudah menua ...."Nggak disangka, ya?""Ternyata begitu aku jatuh cinta, rasa cintaku bisa bertahan selama ini," gumam Jodie sambil mengangkat alisnya. "Aku saja nggak tahu kalau aku ternyata tipe orang yang sepenyayang ini."Jodie menatap foto itu dan tersenyum. "Sampai-sampai ... aku merasa nggak ada satu wanita lain pun yang menarik perhatianku. Tuh Wina, aku nggak kalah dari Jihan, 'kan?"Namun, yang menjawab Jodie adalah bunyi kepak sayap burung yang terbang di pemakaman. Setelah semua binatang itu pergi, yang tersisa hanyalah keheningan. Sama heningnya seperti rasa cinta yang selama ini Jodie pendam da
Sebelum kehidupan Wina berakhir, yang terlintas di benaknya adalah rasa cinta yang Jihan sembunyikan selama lima tahun itu ....Saat membalikkan tubuhnya dan bangun, Wina bisa melihat tubuhnya dipeluk dengan erat oleh sepasang lengan yang kuat dan bertenaga. Jika itu bukan cinta, lantas apa ....Wina juga bisa melihat suasana makan di akhir pekan itu dengan jelas. Jihan yang duduk di depannya sesekali melirik Wina melalui ekor matanya. Jika itu bukan karena Jihan sudah lama menyukainya waktu, lantas apa ....Apalagi setelah Jihan selesai melakukannya. Dia akan menggendong dan membiarkan Wina berbaring tengkurap, lalu mengusap-usap punggung Wina untuk menidurkannya seperti anak kecil ....Rasa cinta Jihan terwujud dalam hal-hal kecil. Mungkin sekilas tidak terlihat jelas cinta macam apa itu dan hanya Jihan sendiri yang tahu betapa dia menyayangi dan mencintai Wina ....Mata Wina tidak bisa lagi terbuka, rasanya jiwanya tersedot keluar. Dia tidak punya tenaga lagi untuk bangkit, dia juga
Wina mengelus bagian belakang kepala Delwyn, ekspresinya terlihat sangat tenang seolah-olah dia sudah berdamai dengan kenyataan. "Kapan kamu akan menikah?"Tubuh Delwyn sontak menegang, air mata menggenangi pelupuk matanya. Dia pun perlahan menengadah dan melepaskan Wina. "Ibu ... aku ... aku belum bertemu dengan gadis yang kusuka."Wina bisa melihat pantulan dirinya dari bola mata Delwyn, jadi dia menyentuh wajah putranya. "Kamu lihat sendiri betapa menderitanya ibumu tetap bertahan hidup. Masa kamu nggak mau membiarkan Ibu menyusul ayahmu?"Sewaktu kecil Delwyn dikekang oleh orang tuanya, tetapi sekarang setelah besar, giliran dia yang mengekang orang tuanya. Karena hanya pengekangan ini saja yang bisa mencegah Delwyn menjadi yatim piatu. Jadi ... biarkan Delwyn menjadi egois untuk kali ini saja ....Delwyn meraih lengan Wina dan memohon, "Ibu, tolong tunggu sebentar lagi. Aku akan menemukan gadis yang kusuka dan menikahinya, oke?"Wina tidak tega menyakiti hati putranya, jadi dia me
Demi putranya, Wina sama sekali tidak mengikuti Jihan. Namun, rambut Wina mendadak beruban dalam satu malam dan wajahnya seolah menua sepuluh tahun. Kerutannya sontak tampak lebih kentara, tatapan matanya selalu terlihat kosong.Di depan makam Jihan, Wina meminta Jihan untuk menunggunya. Sekarang Wina sudah punya anak, jadi dia tidak bisa melakukan sesuatu dengan asal. Nanti setelah putra mereka menikah, barulah Wina akan pergi menyusul Jihan. Jika Jihan ternyata tidak menunggunya, Wina akan menarik kembali janjinya tentang kehidupan selanjutnya sehingga mereka tidak akan pernah bertemu lagi ....Wina tidak menghadiri pemakaman Jihan. Itu sebabnya dia akhirnya terbangun, lalu berjalan ke makam Jihan dengan tubuh yang terhuyung-huyung. Tidak ada yang tahu tentang apa yang Wina katakan kepada Jihan, selain Delwyn yang memapah ibunya untuk menemui ayahnya ....Malam itu, Wina tiba-tiba pingsan di salju dan segera dibawa ke rumah sakit untuk diberikan pertolongan pertama. Wina baru sadar s
Bulu mata Wina tampak bergetar. Dia mengangkat matanya yang terkesan kosong dan menatap ke kejauhan. "Nggak, aku nggak akan ke mana-mana. Kami akan tetap di sini sampai aku ikut mati beku. Nggak akan ada yang bisa memisahkan kami."Semua orang sontak merasa tercekat. Mereka semua bergegas membujuk Wina agar jangan melakukan hal bodoh, tetapi Wina tidak mengacuhkan semua omongan mereka. Dia hanya duduk diam di sana sambil memeluk Jihan, menunggu ajal menjemputnya.Delwyn akhirnya menggenggam tangan Wina dengan erat sehingga pandangan Wina beralih kepadanya. "Ibu, aku tahu betapa Ibu mencintai Ayah dan Ibu pasti sulit menerima kenyataan ini, tapi tolong jangan lakukan hal bodoh. Aku sudah kehilangan Ayah dan aku nggak bisa kalau harus kehilangan Ibu juga ...."Suara putranya membuat Wina akhirnya perlahan menatap Delwyn. Wina menyentuh wajah Delwyn yang tampak begitu mirip dengan Jihan, lalu tersenyum kecil dengan senang ...."Ibu sudah lama mempersiapkan diri untuk kematian ayahmu. Kare
Air mata Wina pun mendadak mengalir turun. Tidak ada tangisan yang memilukan hati, hanya keheningan dan bibir Wina yang terbuka. Wina ingin mengatakan sesuatu, tetapi sepertinya dia sudah mengatakan semua yang ingin dia katakan kepada Jihan. Pada akhirnya, Wina hanya menurunkan pandangannya menatap wajah Jihan yang sudah pucat itu ...."Bodoh. Mau seberapa banyak pun darahmu mengalir keluar, kamu tetap suamiku. Mana mungkin aku takut? Aku nggak takut. Kenapa kamu malah pergi ke tempat seperti ini sendirian?"Yang membuat Wina merasa begitu getir adalah karena dia tidak sempat berpamitan untuk terakhir kalinya. Namun, Jihan sama sekali tidak memikirkan rasa penyesalan Wina dan fokus ingin menyembunyikan kondisinya dari Wina ....Lantas, bagaimana jika ... Wina tidak mengenali tiruan Jihan? Apa itu berarti Wina tidak akan pernah menemukan tubuh Jihan? Apa itu berarti Jihan akan selamanya terkubur beku di bawah salju ....Jihan sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum ajal menjemputn
Saat Delwyn meraih tangan Jihan dengan gemetar, Wina sontak menengadah seolah mendapatkan firasat. Dia melihat ke arah Delwyn sekilas, lalu bergegas merangkak menghampiri putranya dengan rambut acak-acakan seperti orang gila.Wina tetap tidak menangis. Dia bahkan menyentuh tangan yang kaku dan putih membeku itu dengan tatapan tegas, lalu menurunkan pandangannya yang bergetar dan menggali salju yang menutupi tubuh Jihan dengan tangannya yang sudah berdarah.Salju yang menumpuk di gunung lebih dalam, setiap lapisannya mengubur Jihan. Wina berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengeluarkan suaminya dari dalam salju, lalu akhirnya melihat wajah Jihan yang berlumuran darah. Tidak ada rona kemerahan apa pun di wajah yang tampan itu, hanya ada noda darah dan salju yang menghiasi ....Delwyn menatap sosok ayahnya dengan tidak percaya. Dia pun jatuh terduduk, hatinya terasa remuk redam. Langit seolah mendadak runtuh dan hanya ada kegelapan tak berujung yang menyelimuti ...."Delwyn.""Tolong Ibu,
Wina yang sedang mencari ke mana-mana sontak berhenti melangkah, rasanya dia seperti mendengar ada yang memanggil namanya. Wina pun menoleh dengan tatapan kosong, tetapi terlihat jelas hanya ada dia di sini.Wina berdiri dalam diam, lalu memegangi dadanya yang berdetak dengan begitu kuat. Tiba-tiba, hatinya terasa tersayat seolah-olah dia akan kehilangan sesuatu. Saking sakitnya, Wina sampai membungkukkan tubuhnya. Akan tetapi, rasa sakit itu tidak kunjung hilang ....Firasatnya mengatakan bahwa sesuatu terjadi pada Jihan. Di saat Wina ingin kembali mencari Jihan, tiba-tiba sosok Jihan yang tampan muncul di hadapannya sambil membawa sebuket mawar."Sayang, kok kamu di sini? 'Kan sudah kubilang tunggu aku?"Begitu melihat Jihan tampak baik-baik saja, jantung Wina yang semula berdegap kencang mendadak menjadi tenang kembali.Wina langsung melempar payungnya dan melompat memeluk Jihan dengan gembira.Wina menghela napas lega saat merasakan hangat tubuh dan napas Jihan."Sayang, kamu tahu
Saat melihat Jihan berdiri sempoyongan dan mengerahkan sedikit tenaga untuk melambaikan tangannya, Jefri akhirnya tidak tahan lagi. Dia menggertakkan gigi dan berlari secepat mungkin ke dasar Gunung Kiron ...."Kak Jihan, aku panggil dokter dulu, terus menyuruh robot itu naik gunung dan baru setelah itu aku akan menjemputmu! Kakak berdiri saja di sana dan tunggu aku, ya! Aku akan segera kembali!"Jalan gunung di malam hari memang tidak dapat diprediksi, salju yang turun dari langit seolah menjadi sumber penerangan. Jefri merasa seperti sedang berjalan di siang hari. Namun, saking langkahnya terburu-buru, Jefri sampai beberapa kali jatuh tersungkur ke atas tanah dan dia bahkan tidak tahu berjalan ke arah mana ....Jihan memandangi punggung Jefri yang berangsur-angsur menghilang dari pandangannya, lalu memegangi dadanya. Dia bisa merasakan detak jantungnya yang perlahan melambat. Jihan berdiri diam sambil merasakan bagaimana nyawanya meregang ....Entah berapa lama waktu berlalu, yang je