Tubuh Jihan masih terasa seperti tersengat listrik, tetapi dia terpaksa melepaskan Wina. Kemudian, dia memalingkan pandangannya yang kecewa dan menatap Jefri yang sedang menarik Sara keluar dengan dingin. "Masuk saja sini biar nggak kecewa."Jefri pikir dia sudah tidak tahu malu, ternyata Jihan lebih berani lagi daripadanya. Dia langsung menyeletuk, "Ya ampun, ternyata kakakku seberani ini. Kamu bahkan berani menyiarkannya secara langsung."Jihan merilekskan kepalan tangannya, lalu merapikan kemejanya yang berantakan akibat ulah Wina. Setelah itu, dia bersandar di sofa sambil mengangkat dagunya ke arah Jefri, "Aku sih berani-berani saja siaran langsung, tapi memangnya kamu berani menontonnya?"Jefri yang sudah masuk pun menarik kursi dan duduk di hadapan Jihan. "Apa dipungut biaya? Kalau gratis, aku terpaksa jadi penonton pertama."Wina menutupi wajahnya dengan malu. Ya ampun, apa sih yang biasanya diobrolkan oleh kakak beradik satu ini? Masa hal semacam ini bisa mereka bicarakan secar
Entah hatinya tergerak atau tidak, yang jelas memandangi nyawa satu ini membuat Jihan mendadak mengerti kenapa waktu itu Wina lebih memilih mengambil risiko 10% hidup.Orang tua mana pun lebih rela mengorbankan diri untuk anak mereka. Inilah sifat dan naluri orang yang berhati baik yang menyebabkan kehidupan itu bisa berkelanjutan.Wina menatap Jihan yang menggendong bayi mereka di bawah sinar matahari sambil tersenyum itu dengan mata yang berkaca-kaca. Demi melihat pemandangan ini, berapa kali pun dia harus memilih, dia pasti akan selalu memilih untuk melahirkan anak itu.Jefri mengeluarkan ponselnya dan memotret Jihan, lalu mengirimkannya ke grup keluarga tanpa Jihan. "Coba lihat ini. Kak Jihan yang sudah kayak orang tua itu ternyata bisa menggendong anak! Benar-benar mengejutkan!"Setelah mengirim pesan, Jefri pun menunggu balasan dari saudara-saudaranya. Akan tetapi, Sara tiba-tiba menyikutnya. "Hei, hapus pesanmu. Kamu mengirimkannya ke grup keluarga ...."Senyum Jefri sontak menj
Sara tahu apa yang ada dalam pikiran Wina, jadi dia berujar dengan nada serius, "Wina, selama enam bulan ini, Jihan melakukan segalanya demi membuatmu siuman. Dari ucapan dan tindakannya, aku bisa melihat kalau rasa cintanya untukmu lebih dalam daripada Ivan. Mulai sekarang, perlakukanlah dia dengan baik. Buat dia merasakan betapa indahnya dicintai oleh orang yang dia cintai."Apa yang ada dalam hubungan suami istri tidak semerta-merta rasa cinta saja, tetapi seiring berjalannya waktu, juga rasa sayang sebagai sebuah keluarga. Jihan belum pernah merasakan rasa sayang itu sejak kecil, jadi Wina yang merupakan istrinya harus bisa menjadi keluarga juga bagi Jihan dan memberikan rasa sayang itu kepada Jihan.Wina dengan mengangguk penuh semangat, lalu menunduk menatap bayi yang mengantuk dalam pelukannya dengan lembut, "Sekarang, cuma ada dia dan bayi ini dalam duniaku. Tentu saja aku akan berusaha sebaik mungkin untuk memperlakukannya dengan baik. Masalahnya cuma ...."Mata Wina menjadi b
"Sara tadi habis menamai anak kita, tapi anaknya menolak," jawab Wina sambil tersenyum. "Dia menangis kencang sekali sampai menendang-nendang. Aku takut banget, kupikir dia lagi nggak enak badan. Saat aku mau panggil dokter, Sara bilang aku ganti saja namanya. Barulah setelah itu dia berhenti menangis ...."Jihan meletakkan satu tangannya di ranjang rumah sakit dan sedikit membungkuk. Dia bersandar di samping wajah Wina, lalu menunduk menatap bayi dalam pelukan Wina. "Memangnya nama apa yang dikasih sampai dia menolak begitu?"Pertanyaan itu ditujukan untuk Sara. Karena sekarang yang bersangkutan sudah ada di sini, Sara jadi merasa agak malu untuk mengatakannya. Namun, saat Jihan menengadah menatapnya, Sara langsung menjawab dengan pasrah, "Jitana, dari Jihan cinta Wina."Bayi itu sontak menangis lagi dengan begitu sedih sambil menendang-nendang. Terlihat jelas bahwa bayi itu lebih tidak menyukai nama pemberian Sara daripada Ninel.Sara segera menepuk-nepuk perut bayi itu dan membujukn
Sam melirik Jefri yang tinggi dan berotot, lalu ke lengan dan kakinya yang kurus. Akhirnya dia menurunkan kembali lengan bajunya yang digulung. "Selanjutnya, selanjutnya ...."Jefri hanya bisa menaruh harapannya pada Kristofer. Dia menggendong putranya itu dan bergumam, "Kristofer, kamu nggak boleh meniru kakakmu dan cuma peduli dengan uang, ya. Kamu harus banyak belajar biar kaya ilmu, oke?"Keluarga Lionel, beserta Andrew dan kedua kakaknya sampai tidak bisa berkata-kata lagi dengan ulah Jefri. "Tuan Muda Jefri, anakmu masih kecil banget, tapi kamu sudah menekannya begitu. Jadi anakmu capek juga, ya."Jefri balas memutar bola matanya tanpa rasa peduli. Dia terus berbisik ke telinga bayi itu, "Nanti habis Ayah turunkan, kamu langsung ke buku tersohor di dunia yang ada di tengah itu, ya. Begitu kamu mengambil buku itu, kamu akan menjadi orang paling pintar di Keluarga Lionel. Ayah bisa menggunakan pencapaian prestasimu untuk mentertawakan Jihan!"Setelah itu, Jefri menurunkan bayinya d
Setelah Sam membuat pengumuman, dia mengembalikan bola kertas itu kepada si bayi. Bayi itu memegang bola kertas di satu tangan, sementara tangannya yang satu lagi memegang belati emasnya.Dengan kepribadian bayi itu, semua orang merasa nama yang dipilih memang terkesan agak dingin. Namun, tidak ada yang berani berkomentar. Mereka semua memberi selamat kepada Jihan dan Wina dengan sopan, mengatakan bahwa akhirnya si bayi mendapatkan nama yang memuaskan.Jefri yang sedang menggendong anak kembarnya pun mendengus dengan dingin, "Nama itu nggak sekeren 'Caldre Lionel' yang kupilih. Entah siapa yang dendam sama Kak Jihan sampai-sampai memilih nama kayak gitu ...."Para anggota Keluarga Ivoron yang masih sibuk membual pun sontak berhenti bicara. Andrew refleks melirik ke luar pintu. Rumah itu agak besar dan di kejauhan sana, dia bisa melihat seseorang berdiri di luar gerbang besi.James-lah yang berdiri di sana sambil mengenakan topi hitam. Dia memandangi pemandangan bahagia di dalam rumah.
Fred tidak tahu harus berkomentar apa saking bingungnya, tetapi James juga tidak ambil pusing. "Apa yang telah Kakek lakukan terhadapnya penuh dengan kebohongan dan bahkan agak kejam. Lebih baik dia membenci Kakek daripada memaafkan Kakek."Fred refleks mengernyit. Kakeknya baik sekali kepadanya. Kakeknya selalu memujinya tampan dan tidak kalah dari para bintang dunia itu. Jadi, mana mungkin Fred akan diam saja menerima kenyataan bahwa kakeknya sudah menyerah atas hidupnya?James tahu apa yang ada dalam benak cucunya, jadi dia menatapnya dan tersenyum. "Fred, Kakek paling sayang padamu waktu kamu masih kecil. Kakek tahu kamu pasti nggak akan rela melepaskan Kakek, tapi manusia pasti ujung-ujungnya akan mati. Kenapa kamu takut berpisah?"James mengembuskan asap rokoknya, wajahnya yang tua sudah melalui berbagai macam badai kehidupan. Dia terlihat begitu acuh tak acuh dan bebas karena dia sudah tidak terikat lagi dengan dunia ini.Saat masih muda, James bertahan hidup selama sekian tahun
Ketika kabar kematian James datang, Wina sedang menggendong bayinya dan menemani Gisel mengerjakan PR. Prestasi akademis Gisel tidak terlalu baik, terutama dalam matematika. Dia tidak bisa mengerjakan soal aritmatika yang paling dasar, sama seperti Wina dulu.Untungnya, Wina masih bisa mengajarinya materi sekolah dasar. Wina mengajari Gisel dengan sabar, sementara Delwyn bersandar dalam pelukannya. Bayi itu selalu bergumam setiap kali melihat Gisel menggaruk kepala dan telinganya.Delwyn meremas rambut Gisel. Sekali, lalu dua kali. Gisel awalnya tidak ambil pusing, dia pikir adik sepupunya itu memang suka bergumam tidak jelas. Setelah kelima kalinya, Gisel akhirnya merasa ada yang tidak beres. Dia pun memperhatikan Delwyn dengan matanya yang besar.Delwyn yang sedang memainkan pena pun merasakan tatapan Gisel. Dia tiba-tiba memiringkan kepalanya, lalu mengangkat dagunya ke arah Gisel dengan sombong. "Hmph ...."Setelah mendengar dengan jelas, Gisel pun menunjuk ke arah Delwyn yang somb