Jihan tidak membantah lagi dan mengisyaratkan Wina untuk bicara. "Sebelumnya, aku sudah janji ke Ivan akan memberikannya hadiah besar saat dia sudah bisa berdiri lagi ...."Wina takut Jihan akan salah paham, jadi dia segera menambahkan, "Aku juga harus memberikan hadiah buat Jodie yang sudah menyelamatkan hidupku, lalu buat Sam dan George yang sudah membantu mengurus Gisel. Jadi ....""Sayang, kamu nggak perlu minta izin dariku," sela Jihan dengan hangat. "Kasih saja kalau kamu memang mau kasih."Wina pun mengangkat wajah Jihan yang tampan paripurna itu, lalu menciumnya dengan mesra. "Kamu memang baik banget, Sayang!"Setelah memuji suaminya, Wina pun melanjutkan, "Kalau gitu, sekarang aku pilih hadiah-hadiahnya dulu. Nanti aku akan minta Paman Rudi untuk menyuruh orang mengirimkannya."Namun, belum sempat Wina bangkit berdiri, Jihan menyelanya, "Beri tahu aku saja kamu mau kasih apa. Nanti biar aku yang atur."Wina merasa terharu dengan kebaikan hati Jihan yang sama sekali tidak ingin
Begitu mengetahui kebenarannya, Jordan menghabiskan semalaman dalam kondisi yang kaget dan tidak habis pikir. Padahal Keluarga Lionel dan Keluarga Dinsa sedang berseteru, tetapi mereka mendadak berkerabat berkat kehadiran Jihan.Jordan awalnya masih ingin balas dendam, tetapi Permana memperingatkannya untuk melupakan masalah ini karena mereka bersaudara. Jordan dilarang balas dendam ke Jihan kecuali ada anggota Keluarga Lionel yang diam-diam menikam Keluarga Dinsa.Tentu saja Permana mengeluarkan peringatan seperti ini karena dia tahu Jordan tidak mungkin bisa mengalahkan Jihan. Demi mempertahankan garis keturunan terakhir Keluarga Dinsa, dia sengaja menggunakan "kata-kata yang baik" untuk membujuk Jordan.Permana membujuk Jordan karena yang paling sulit menerima kenyataan ini adalah Jihan, bukan Keluarga Dinsa. Bagaimanapun juga, Jihan harus memanggil Permana dengan sebutan "paman". Dalam hal senioritas, Permana benar-benar di atas Jihan.Setelah mendengarkan penjelasan ayahnya, Jorda
"Enak saja! Bajingan apanya! Lagian, ayahku juga ganteng kok!" sahut Jordan sambil cemberut."Ah, keluar dari sini, sialan!" bentak Jodie dengan marah.Jordan mengencangkan cengkeramannya pada sabuk pengaman, lalu menyahut dengan ekspresi membangkang, "Nggak mau!"Di saat Jodie hendak menendang Jordan saking marahnya, Jihan yang duduk di kursi belakang pun menatap ke kursi depan dengan matanya yang indah itu."Jodie, Jordan, kakak ipar kalian itu lagi hamil. Jangan bertengkar dan fokus menyetir.""..."Ucapan acuh tak acuh Jihan itu sukses membungkam kedua pria yang kekanak-kanakan itu berhenti bertengkar. Jordan menurut karena yang menegurnya adalah kakak sepupunya sendiri, sementara Jodie menurut karena tidak mau menyulitkan Wina.Bagaimanapun juga, Jodie juga merasa khawatir karena Wina sedang hamil. Jodie pun memperlambat laju mobilnya dan memendam hasratnya untuk menendang Jordan habis-habisan.Di sisi lain, Cessa sedang bersujud berdoa. Setiap pukul 10, dia akan ke sini untuk men
Seandainya Favian tidak muncul, Cessa mungkin bisa mengendalikan diri selama satu tahun. Namun, kehadiran Favian justru ibarat setetes air hujan yang menyebabkan riak saat terjatuh ke atas permukaan air yang tenang.Semua orang berusaha meyakinkan Cessa bahwa Favian bukanlah Zeno. Zeno tidak memiliki tahi lalat di matanya dan tidak suka makan daun ketumbar. Zeno juga tidak suka mengenakan pakaian kasual atau membaca kitab. Favian bukanlah Zeno karena kedua pria itu menyukai hal-hal yang sangat berbeda.Namun, Cessa yakin Favian adalah Zeno. Zeno jadi orang yang berbeda karena kehilangan ingatannya akan Cessa. Dia sangat yakin bahwa Zeno kembali menemuinya dalam bentuk lain, mengganggu Favian dan mengejutkan orang awam yang ada di sekitarnya. untuk menjadi seorang Buddhis. Murid itu turun dari altar.Suatu hari, Favian turun dari atas altar dan berjalan menghampiri Cessa. Saat itu Cessa masih berlutut di atas bantalan untuk berdoa mengucapkan terima kasih kepada langit yang sudah membaw
Setelah itu, Favian akhirnya rela menggantikan posisi Zeno. Bukan hanya karena keinginannya sendiri, melainkan juga karena pesan dari mimpinya. Dia bahkan tidak pernah memaksa Cessa untuk memanggil namanya yang sebenarnya hingga akhir hayatnya.Setelah bersama dengan Cessa, Favian berubah menjadi Zeno seutuhnya. Dia bahkan menyukai apa yang Zeno sukai. Terkadang saat melihat wajah Cessa, Favian jadi bertanya-tanya dia ini sebenarnya Zeno atau Favian.Bertahun-tahun setelah itu, Cessa dan Favian dikaruniai dua orang anak. Namun, Cessa mendadak menyadari bahwa Favian bukanlah Zeno. Cessa pun kabur meninggalkan Favian entah ke mana dan tidak pernah bertemu dengan pria itu lagi.Favian juga berhenti mempertanyakan dia itu Zeno atau Favian. Favian berlutut di depan Cessa dan berulang kali mengatakan bahwa dia adalah Zeno yang lupa ingatan dan meminta Cessa agar jangan meninggalkannya.Saat itu, sebenarnya Cessa sudah tahu siapa yang ada di hadapannya sebenarnya. Dia bisa tahu karena dia sec
Jihan sontak terpana memandangi wajah Favian yang sama persis dengan Zeno itu. Rasanya dia bisa membayangkan Zeno merangkak keluar dari sarang ular itu dan berjalan menghampirinya dengan terhuyung, lalu memamerkan kehebatannya yang berhasil keluar dari sarang ular itu dengan selamat.Berulang kali Jihan berharap itulah yang terjadi, bahkan imajinasinya itu sampai terbawa mimpi. Sayangnya, sorot tatapan datar Favian berbeda dari Zeno. Zeno memiliki sorot tatapan yang tetap berbinar sekalipun sudah melalui berbagai macam rintangan, sementara sorot tatapan Favian terlihat seperti seseorang yang sudah melepaskan diri dari masalah duniawi.Begitu melihat Favian, Jihan langsung bisa membedakannya dari Zeno. Meskipun begitu, Jihan tetap menyimpan harapan karena wajah Favian yang sama dengan Zeno. Dia pun menjawab, "Menemuimu."Begitu mendengar suara Jihan, ekspresi Cessa yang sedang meminum madu hangat pun sontak berubah menjadi lebih serius. Matanya juga tampak menyalang dengan marah. Namun,
Senyuman Favian yang terkesan agak suci itu memengaruhi Wina dan juga Jihan. Debaran jantung mereka sebelumnya karena ingin melihat Zeno pun menjadi lebih tenang.Jihan yang tidak pernah sembarang minum di luar mengambil gelas kaca warna-warni itu, lalu menyesap isinya. Aroma teh yang ringan dan rasa yang unik langsung menyerbu lidahnya.Jihan terdiam selama beberapa saat, lalu menengadah menatap Favian. "Wajahmu memang mirip dengannya, tapi kamu bukan dia."Itu berarti bagi Jihan, tidak ada yang bisa menggantikan Zeno. Zeno adalah pribadi yang unik dan semirip apa pun orang lain dengan Zeno, mereka tidak akan bisa menjadi Zeno.Favian sangat puas dengan tanggapan Jihan itu. "Kalau kamu bisa membedakan kami, itu berarti Zeno sangat penting bagimu. Persahabatan yang erat selayaknya keluarga ini adalah sesuatu yang sangat berharga."Jihan menurunkan pandangannya untuk menutupi kesan kesepian dalam sorot tatapannya. "Aku juga sempat berpikir betapa baiknya kalau kamu itu dia. Tapi, saat m
Lama sekali Jihan memasak, dia baru selesai saat hari menjelang senja. Jihan keluar sambil membawa beberapa piring bergaya barat dan menaruhnya di atas meja bambu.Entah masakan apa yang Jihan hidangkan di atas piring itu. Wina tidak berani memakannya, tetapi Favian mau tidak mau harus memakannya.Bagaimanapun juga, dia yang tadi melihat Jihan menaburkan setengah toples garam ke dalam panci. Favian sebenarnya agak takut untuk memakan masakan Jihan.Di sisi lain, Jihan tampak tenang dan agak percaya diri. Jihan pun menyerahkan pisau dan garpu kepada Favian yang duduk di seberangnya. "Cobain."Favian tidak mungkin menolak kebaikan hati Jihan, jadi dia mengambil alat makan itu dan memotong steak yang terhidang. Lama sekali Favian hanya memotong daging, sebelum akhirnya selesai dan berpaling ke piring yang lain.Ada semacam cairan berwarna kuning di dalamnya, sepertinya terbuat dari pasta kari. Aroma kari memang tercium, tetapi penampakannya sulit untuk dijelaskan.Favian tidak berniat mak