Wina baru menyadari bahwa saatnya dia menghadapi ajal sudah tiba setelah suara terkomputerisasi terdengar.Jika Jodie berjalan lebih lambat, mungkin mereka masih bisa bertemu di jalan menuju alam baka.Wina tersenyum dengan pedih, lalu bangkit berdiri dan berjalan keluar kamar sambil memegang apel yang ditinggalkan Jodie untuknya.Kali ini, semua pintu kamar terbuka.Sewaktu pertama kali datang ke sini, ada banyak ruangan di seberang Kamar 9 dan Kamar 10.Semua orang bersandar di pintu sambil membicarakan alasan mereka datang ke tempat ini.Sekarang, sudah tidak ada siapa-siapa di sana. Mungkin mereka semua sudah mati di ruang yang mereka pilih.Mungkin di ronde pertama, atau mungkin di ronde kelima. Di ronde mana pun itu, yang jelas tidak ada yang selamat.Wina berjalan sendirian di koridor. Dia berharap akan ada yang keluar dan menyapanya sambil tersenyum sambil mengomentari betapa kebetulannya mereka juga masih selamat.Sayangnya, tidak ada yang seperti itu.Wina mengikuti instruksi
Jihan tidak menjawab, dia hanya menatap Wina dengan mata memerah.Wina menjauhkan tangannya dari wajah pria itu dan perlahan menyentuh pakaian Jihan.Ada sederet kata yang dicetak dengan warna emas di atas pakaian hitam itu.Arom-Pengundang-2-9.Itu berarti Jihan sudah menjadi orang di Medan Hitam dengan level yang lebih tinggi dari pria berbaju hitam biasa.Jihan sudah bergabung ke Medan Hitam, levelnya sama dengan si 2-7 yang mengundang Wina ke sini.Ternyata Jihan terus mengawasinya secara diam-diam, tetapi baru muncul sekarang ....Air mata Wina pun terus bergulir turun.Dia menggenggam pakaian Jihan sambil menatap suaminya lekat-lekat dengan mata yang berkaca-kaca."Apa kamu terluka? Itu sebabnya kamu nggak bisa pulang, menghubungiku, atau menemuiku?"Tetesan air mata Wina menghujam hati Jihan, membuatnya merasa begitu kesakitan hingga tidak bisa bernapas.Jihan menyeka air mata Wina dengan jarinya yang lentik sambil menggelengkan kepalanya dengan lembut."Nggak. Aku minta maaf su
Jihan berdiri diam sambil mendengarkan hitungan mundur yang terus berdetak di kepalanya.Setelah tengkoraknya dibuka, sebuah cip ditanamkan di otaknya untuk memantau lokasi dan ucapannya.Dia baru saja mengubah program ronde kesembilan, meretas program yang telah ditetapkan oleh 1-1 dan memperoleh otoritas.Namun, saat Jihan muncul di sini dan angkat bicara, 1-2 sudah tahu Jihan mengotak-atik pemrograman di area permainan.Sekarang, 1-2 tidak langsung meledakkan kepalanya dan hanya mengirimkan hitungan mundur lima menit untuk memberi Jihan kesempatan.Jihan tidak bisa berbasa-basi, dia harus kembali dalam waktu lima menit atau otaknya akan meledak dan dia akan mati.Jihan melihat garis merah yang mengarah ke belakang kepala Wina, lalu sontak merilekskan kepalan tangannya.Dia menggendong Wina dan membawanya ke depan pintu kehidupan, lalu memegang bahu Wina agar wanita itu tidak bergerak."Aku nggak bisa pulang untuk sementara waktu. Tolong cepat pergi dan jangan menemuiku lagi. Ini san
Jihan sontak menoleh dengan dingin sambil menatap Winata yang berjalan perlahan dengan sepatu hak tingginya. Di belakangnya, ada Tuan Alastor memegang pengontrol dan sekelompok pria berbaju hitam melindungi mereka berdua ....Jihan menatap pengontrol di tangan Tuan Alastor dengan tajam. 1-2 memiliki kesan yang baik terhadap Tuan Alastor karena pria itu memiliki daftar nama anggota Organisasi Shallon sehingga memercayakan pengontrol cip otak Jihan kepada Tuan Alastor.Jika Jihan membunuh Winata, Tuan Alastor akan menggunakan pengontrol untuk mengendalikannya. Jika dia membunuh Tuan Alastor, 1-2 akan mengaktifkan program cip yang membuatnya kesakitan dan membuatnya menyerah.Tidak masalah siapa yang mengontrol cip otaknya. Sekarang, 1-2 juga telah memberi Winata kuasa untuk menentukan apakah Wina bisa pergi atau tidak. Nyawa Wina ada di tangan Winata.Jihan pun menatap Winata dengan dingin."Di mana konsol untuk meretas akses?"Konsol yang baru saja dia gunakan tidak berguna. Jihan harus
Wina pun perlahan menengadah menatap Jihan yang tetap diam sambil menyodorkan surat itu. Wina membuka bibirnya hendak mengatakan sesuatu, tetapi berulang kali tersedak dan suaranya enggan keluar.Matanya menjadi berkaca-kaca dan akhirnya berubah menjadi air mata. Air mata Wina itu menetes membasahi surat cerai itu sekaligus membuat mata Jihan berkaca-kaca.Rasanya Jihan hampir tidak berani melihat ke arah Wina. Setelah menyerahkan surat cerai itu ke tangan Wina, Jihan segera berbalik badan dan berdiri membelakangi istrinya. Suaranya terdengar agak gemetar, tetapi tersembunyi oleh nada bicaranya yang dingin. "Tanda tangan."Wina menengadah menatap Jihan yang selama ini selalu melindunginya. Karena rasa cinta Wina lebih besar, dia sama sekali tidak marah dan malah meraih lengan baju Jihan sebagai isyarat meminta suaminya untuk berbalik badan.Setelah Jihan berbalik menghadapnya lagi, Wina pun menunjuk ke layar di pintu kehidupan sambil berkata, "Tadi kamu menyuruhku pergi, tapi aku terus
Padahal Wina sudah berujar dengan jujur, tetapi Jihan malah mendorongnya menjauh. Wina merasa gagal. Dia pun bertanya sambil tersenyum dengan pilu, "Apa alasannya? Kamu pasti punya alasan sehingga ingkar janji, 'kan?"Winata memeluk erat lengan Jihan dan menyandarkan kepalanya di lengan pria itu. "Nggak bisa lihat kalau sekarang dia sudah memilihku?""Apanya yang memilihmu kalau dia saja sangat membencimu?" cibir Wina. "Kalau kamu mau membunuhku, bunuh saja aku. Nggak usah membuat Jihan ataupun aku merasa jijik."Winata juga tidak merasa kesal. Dia malah mengelus perutnya dengan tangannya yang putih mulus. "Dulu dia memang membenciku, tapi dia bilang 'kan kalau sekarang berbeda dengan yang sudah-sudah? Itu karena aku sedang hamil anaknya, jadi dia harus tanggung jawab ...."Tubuh Wina langsung menegang. Sekujur tubuhnya terasa dingin. Keyakinannya bahwa Jihan terpaksa melindunginya mendadak runtuh.Wina mengalihkan pandangannya yang tidak percaya dari wajah Winata yang tersenyum penuh
Sorot tatapan Wina tampak lebih dingin dari sebelumnya, dia terlihat begitu kecewa dengan Jihan.Jihan menyadari bahwa selama dia mengangguk, itu berarti dia akan kehilangan Wina selamanya dan tidak mungkin bisa mendapatkan wanita itu kembali.Karena Jihan sudah pernah menyakiti Wina dengan cara yang sama dan butuh waktu bertahun-tahun bagi mereka untuk bisa kembali bersama.Jika Jihan kembali mengulanginya, dengan sifat Wina saat ini, Wina pasti tidak akan memberi Jihan kesempatan kedua. Terserah Jihan mau beralasan apa.Jihan sangat tidak rela melepaskan Wina, dia takut Wina akan hidup bersama pria lain. Namun, jika dibandingkan dengan nyawa Wina dan anak mereka, Wina pergi meninggalkannya terasa tidak masalah.Jadi, Jihan perlahan merilekskan kepalan tangannya dan mengangguk.Wina tidak tahu harus bagaimana mendeskripsikan perasaannya terhadap jawaban Jihan. Dia hanya tersenyum tipis.Jika Jihan menjawab itu karena dia sedang mabuk, mungkin Wina akan percaya Jihan memang khilaf. Nam
Jihan berdiri diam, lalu merobek surat cerai itu dengan kaku. Dia mengenyahkan semua rasa tidak rela yang terpancar dari tatapannya dan menatap Winata."Aku sudah bersedia meladeni aktingmu untuk menyakitinya, memaksanya menandatangani surat cerai dan membuatnya keluar dari Medan Hitam."Winata tidak menghentikan Jihan merobek surat cerai itu, toh dia sudah dapat tontonan yang bagus. Bagaimanapun juga, dia ingin Jihan menjalani kehidupan yang lebih buruk dari kematian dan membuat Wina merasa ditinggalkan. Winata tidak ambil pusing Jihan mau merobek surat cerai itu atau tidak.Winata pun melepaskan tangannya dan hendak menepuk dada Jihan, tetapi Jihan langsung menghindar bahkan sebelum ujung jari Winata menyentuhnya.Tangan Winata membeku selama dua detik, lalu dia membelai ujung jarinya sambil berkata, "Alastor sudah membukanya waktu Wina masuk."Alastor yang Winata maksud adalah Tuan Alastor, si 2-8. Dia sedang duduk di ruang pemrograman di area atas sambil memegang pengontrol cip dan