Wina tidur nyenyak, jadi dia bangun keesokan harinya dengan penuh semangat dan tidak begitu gugup saat harus bermain.Permainan ronde kedelapan ini sedikit berbeda dengan permainan sebelumnya.Ada layar tambahan di dinding dengan setumpuk kartu yang berjumlah 54."Silakan kedua pemain masing-masing memilih satu kartu apa saja."Wina dan Jodie saling berpandangan, mereka tidak tahu permainan macam apa ini."Mungkin kita harus membalikkan kartu secara bersamaan, yang menang yang nilainya lebih besar."Analisis Jodie sangat masuk akal. Wina merasa itu sangat mungkin.Mereka berdua pun sama-sama melangkah maju dan mengklik kartu mana pun yang muncul di layar.Wina memilih AS, sementara Jodie memilih 2.Ada total empat kartu di antara kedua kartu ini, jadi kemungkinannya sedikit lebih tinggi. Sayangnya, aturan permainan Arom berbeda dari biasanya.Setelah memilih, seluruh 54 kartu di layar pun dibalik sehingga punggung kartu menghadap mereka.Setelah itu, tatanan kartu sontak diacak, berger
"Jodie!!!"Wina mati-matian memukul pintu kaca itu dengan putus asa.Pintu kaca itu ditarik kembali sehingga tangan Wina meninju tembok.Rasanya sakit sekali, tetapi tangan Wina seolah mati rasa. Dia terus mengayunkan tinjunya.Kulit Wina tergores dan berdarah sehingga dinding putih itu jadi ternodai merah.Meskipun begitu, tembok itu masih berdiri tegak dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan terbuka.Wina mencoba mendobrak tembok dengan segenap tenaganya, tetapi gagal.Tangannya perlahan meluncur turun dari pintu kaca.Keputusasaan di matanya membuatnya tampak seperti boneka."Jodie, aku nggak bisa merobohkan tembok ini. Maaf aku nggak bisa menyelamatkanmu ...."Wina berlutut dengan tidak berdaya sambil memandangi tembok putih yang menghalanginya itu.Seluruh darah di tubuhnya terasa seperti terkuras habis, tangan dan kakinya bahkan terasa dingin.Jodie ....Pria penyendiri yang punya kelainan temperamen dan agak aneh itu terpaksa meninggal di sini karena Wina ....Air mata Wina tidak
Wina baru menyadari bahwa saatnya dia menghadapi ajal sudah tiba setelah suara terkomputerisasi terdengar.Jika Jodie berjalan lebih lambat, mungkin mereka masih bisa bertemu di jalan menuju alam baka.Wina tersenyum dengan pedih, lalu bangkit berdiri dan berjalan keluar kamar sambil memegang apel yang ditinggalkan Jodie untuknya.Kali ini, semua pintu kamar terbuka.Sewaktu pertama kali datang ke sini, ada banyak ruangan di seberang Kamar 9 dan Kamar 10.Semua orang bersandar di pintu sambil membicarakan alasan mereka datang ke tempat ini.Sekarang, sudah tidak ada siapa-siapa di sana. Mungkin mereka semua sudah mati di ruang yang mereka pilih.Mungkin di ronde pertama, atau mungkin di ronde kelima. Di ronde mana pun itu, yang jelas tidak ada yang selamat.Wina berjalan sendirian di koridor. Dia berharap akan ada yang keluar dan menyapanya sambil tersenyum sambil mengomentari betapa kebetulannya mereka juga masih selamat.Sayangnya, tidak ada yang seperti itu.Wina mengikuti instruksi
Jihan tidak menjawab, dia hanya menatap Wina dengan mata memerah.Wina menjauhkan tangannya dari wajah pria itu dan perlahan menyentuh pakaian Jihan.Ada sederet kata yang dicetak dengan warna emas di atas pakaian hitam itu.Arom-Pengundang-2-9.Itu berarti Jihan sudah menjadi orang di Medan Hitam dengan level yang lebih tinggi dari pria berbaju hitam biasa.Jihan sudah bergabung ke Medan Hitam, levelnya sama dengan si 2-7 yang mengundang Wina ke sini.Ternyata Jihan terus mengawasinya secara diam-diam, tetapi baru muncul sekarang ....Air mata Wina pun terus bergulir turun.Dia menggenggam pakaian Jihan sambil menatap suaminya lekat-lekat dengan mata yang berkaca-kaca."Apa kamu terluka? Itu sebabnya kamu nggak bisa pulang, menghubungiku, atau menemuiku?"Tetesan air mata Wina menghujam hati Jihan, membuatnya merasa begitu kesakitan hingga tidak bisa bernapas.Jihan menyeka air mata Wina dengan jarinya yang lentik sambil menggelengkan kepalanya dengan lembut."Nggak. Aku minta maaf su
Jihan berdiri diam sambil mendengarkan hitungan mundur yang terus berdetak di kepalanya.Setelah tengkoraknya dibuka, sebuah cip ditanamkan di otaknya untuk memantau lokasi dan ucapannya.Dia baru saja mengubah program ronde kesembilan, meretas program yang telah ditetapkan oleh 1-1 dan memperoleh otoritas.Namun, saat Jihan muncul di sini dan angkat bicara, 1-2 sudah tahu Jihan mengotak-atik pemrograman di area permainan.Sekarang, 1-2 tidak langsung meledakkan kepalanya dan hanya mengirimkan hitungan mundur lima menit untuk memberi Jihan kesempatan.Jihan tidak bisa berbasa-basi, dia harus kembali dalam waktu lima menit atau otaknya akan meledak dan dia akan mati.Jihan melihat garis merah yang mengarah ke belakang kepala Wina, lalu sontak merilekskan kepalan tangannya.Dia menggendong Wina dan membawanya ke depan pintu kehidupan, lalu memegang bahu Wina agar wanita itu tidak bergerak."Aku nggak bisa pulang untuk sementara waktu. Tolong cepat pergi dan jangan menemuiku lagi. Ini san
Jihan sontak menoleh dengan dingin sambil menatap Winata yang berjalan perlahan dengan sepatu hak tingginya. Di belakangnya, ada Tuan Alastor memegang pengontrol dan sekelompok pria berbaju hitam melindungi mereka berdua ....Jihan menatap pengontrol di tangan Tuan Alastor dengan tajam. 1-2 memiliki kesan yang baik terhadap Tuan Alastor karena pria itu memiliki daftar nama anggota Organisasi Shallon sehingga memercayakan pengontrol cip otak Jihan kepada Tuan Alastor.Jika Jihan membunuh Winata, Tuan Alastor akan menggunakan pengontrol untuk mengendalikannya. Jika dia membunuh Tuan Alastor, 1-2 akan mengaktifkan program cip yang membuatnya kesakitan dan membuatnya menyerah.Tidak masalah siapa yang mengontrol cip otaknya. Sekarang, 1-2 juga telah memberi Winata kuasa untuk menentukan apakah Wina bisa pergi atau tidak. Nyawa Wina ada di tangan Winata.Jihan pun menatap Winata dengan dingin."Di mana konsol untuk meretas akses?"Konsol yang baru saja dia gunakan tidak berguna. Jihan harus
Wina pun perlahan menengadah menatap Jihan yang tetap diam sambil menyodorkan surat itu. Wina membuka bibirnya hendak mengatakan sesuatu, tetapi berulang kali tersedak dan suaranya enggan keluar.Matanya menjadi berkaca-kaca dan akhirnya berubah menjadi air mata. Air mata Wina itu menetes membasahi surat cerai itu sekaligus membuat mata Jihan berkaca-kaca.Rasanya Jihan hampir tidak berani melihat ke arah Wina. Setelah menyerahkan surat cerai itu ke tangan Wina, Jihan segera berbalik badan dan berdiri membelakangi istrinya. Suaranya terdengar agak gemetar, tetapi tersembunyi oleh nada bicaranya yang dingin. "Tanda tangan."Wina menengadah menatap Jihan yang selama ini selalu melindunginya. Karena rasa cinta Wina lebih besar, dia sama sekali tidak marah dan malah meraih lengan baju Jihan sebagai isyarat meminta suaminya untuk berbalik badan.Setelah Jihan berbalik menghadapnya lagi, Wina pun menunjuk ke layar di pintu kehidupan sambil berkata, "Tadi kamu menyuruhku pergi, tapi aku terus
Padahal Wina sudah berujar dengan jujur, tetapi Jihan malah mendorongnya menjauh. Wina merasa gagal. Dia pun bertanya sambil tersenyum dengan pilu, "Apa alasannya? Kamu pasti punya alasan sehingga ingkar janji, 'kan?"Winata memeluk erat lengan Jihan dan menyandarkan kepalanya di lengan pria itu. "Nggak bisa lihat kalau sekarang dia sudah memilihku?""Apanya yang memilihmu kalau dia saja sangat membencimu?" cibir Wina. "Kalau kamu mau membunuhku, bunuh saja aku. Nggak usah membuat Jihan ataupun aku merasa jijik."Winata juga tidak merasa kesal. Dia malah mengelus perutnya dengan tangannya yang putih mulus. "Dulu dia memang membenciku, tapi dia bilang 'kan kalau sekarang berbeda dengan yang sudah-sudah? Itu karena aku sedang hamil anaknya, jadi dia harus tanggung jawab ...."Tubuh Wina langsung menegang. Sekujur tubuhnya terasa dingin. Keyakinannya bahwa Jihan terpaksa melindunginya mendadak runtuh.Wina mengalihkan pandangannya yang tidak percaya dari wajah Winata yang tersenyum penuh