Mobil itu dengan cepat berhenti di lantai bawah gedung apartemen Aulia. Melihat mobil datang, Sara yang sedang berdiri dan menunggu dengan tenang, buru-buru melangkah maju untuk membuka pintu.Ketika Sara melihat Jihan yang mengemudikan mobil dan Wina yang duduk di sampingnya tampak seperti seorang wanita paruh baya, tanpa sadar Sara pun langsung menelan ludahnya.Sara dengan hati-hati duduk di kursi belakang.Wina bertanya pada Sara, apakah Aulia tidak ikut pergi?Sara hanya menjawab, "Agak terlalu mendadak kalau dia ikut kita sekarang. Sebaiknya kita pergi dan mencari tahu dulu situasinya, baru dia akan ikut kita nanti." Setelah itu, Sara tidak lagi mengatakan apa pun.Sang suami mengantar istrinya menemui cinta pertamanya. Adegan romantis macam apa ini? Siapa yang berani mengomentarinya?Namun, secara keseluruhan suasana sepanjang di perjalanan cukup harmonis dan tidak terjadi konflik.Sampai akhirnya mobil berhenti di depan vila Keluarga Gerad, barulah wajah Wina berangsur-angsur m
Dilihat dari kejauhan, pria di lautan bunga itu masih tetap segar, tampan, dan elegan seperti saat masih muda dahulu.Wajah-wajah yang sudah familier, sosok-sosok yang sudah tidak asing lagi, secara berangsur-angsur menjadi lebih jelas terlihat. Seakan-akan mereka berada dalam mimpi dan segala sesuatunya baru saja terjadi kemarin.Setiap kali Wina melangkah lebih dekat pada Ivan, hati Wina menjadi makin tenggelam dalam kesunyian. Kenangan yang tak terhitung jumlahnya mulai datang membanjiri seperti di sungai dan lautan.Yang diingat Wina adalah betapa baiknya Ivan memperlakukan dirinya.Sementara itu, yang diingat Ivan adalah Wina yang tidak akan pernah kembali.Mereka saling memandang dari kejauhan. Ivan hanya menatap mata Wina, sementara yang terlihat di mata Wina hanyalah perasaan lega saja.Mereka sudah berjanji satu sama lain untuk hidup bersama sampai akhir hayat, bahkan juga di kehidupan selanjutnya. Namun, pada akhirnya Wina sudah bukan lagi milik Ivan.Mata Ivan diselimuti kab
"Wina, kemarin Sara memberitahuku kalau kamu akan datang. Jadi, aku menyuruh Yuni untuk membuatkan berbagai macam makanan kesukaanmu. Tinggallah di sini untuk makan siang."Saat Ivan menerima kabar tersebut, dia sendiri juga ragu apakah akan menolaknya atau tidak. Namun, setelah memikirkannya, jika mereka tidak bertemu, bukankah hal itu akan membuat Wina salah mengira jika dirinya tidak bisa melepaskannya?Ivan ingin Wina mengetahui jika dia sudah melepaskan Wina dan membiarkan Wina hidup dengan damai bersama Jihan sepanjang hidupnya, karena itulah kunci kebahagiaan Wina selama sisa hidupnya.Hanya saja, mereka sudah lama tidak bertemu, sehingga membuat Ivan terjaga di sepanjang malam. Pada pukul lima pagi, Ivan mendorong kursi rodanya dan duduk di lautan bunga menunggu kedatangan Wina.Saat mentari pagi muncul, akhirnya Ivan bertemu dengan orang yang dirindukannya itu.Saat Ivan melihatnya, hatinya yang tenang kembali berdetak dengan kencang.Ivan akhirnya menyadari bahwa dia tidak ak
Ivan tidak lagi bertanya. Dia mengangkat jari-jarinya yang putih, mengambil teko di atas meja, menuangkan teh ke dalam cangkir teh kecil, dan menyerahkannya kepada Wina."Saat kamu masih kecil dulu, kamu melihat dekan yang sedang membuat teh. Kamu bilang, kamu ingin menjadi peracik teh saat besar nanti. Tapi, kamu bahkan nggak belajar bagaimana cara mencicipi teh. Aku nggak tahu apakah sekarang kamu sudah mempelajarinya atau belum?"Nada suara yang santai itu perlahan-lahan membuat tubuh Wina yang tegang menjadi rileks.Wina mengulurkan tangan untuk mengambil cangkir teh tersebut, meletakkannya di bibirnya, menyesapnya perlahan, dan tersenyum."Maaf, aku masih belum berbakat untuk mencicipinya. Aku nggak tahu teh jenis apa ini?"Mata Ivan yang kosong itu perlahan-lahan bercahaya, ketika melihat senyuman yang familier dan manis itu.Ivan membuka kotak teh di sebelahnya, memelintir segenggam daun teh dengan jari-jarinya yang bersih, dan memperkenalkan jenis teh kepada Wina."Ini adalah p
Betapa pun naturalnya dia, Wina tidak percaya. Ivan sudah terlalu sering bohong padanya.Seperti saat berbohong padanya saat kerja di restoran atas bantuan seorang teman.Sepanjang hidupnya, Ivan selalu memikul beban hidupnya sendiri apa pun yang terjadi dan tidak pernah menyeret Wina ke dalamnya.Wina mengenalnya dengan cukup baik dan tahu betapa sulit kenyataan hidup yang dia hadapi di balik penampilan luarnya yang biasa-biasa saja ini."Ivan, Sara sudah cerita semua gejala-gejala yang kamu alami, jadi jangan bohong lagi padaku."Ivan pura-pura mengingat sesuatu, kembali menatap Wina dan tersenyum tipis."Diagnosis itu salah, aku belum sempat bilang ke Sara. Aku nggak nyangka kalian lalu datang."Seolah ingin membuktikan keaslian perkataannya, Ivan mengeluarkan telepon genggamnya, mencari nomor dokter spesialis depresi, lalu menyerahkannya pada Wina."Kalau kamu nggak percaya, tanyakan ke dokterku. Dia nggak mungkin tiba-tiba bohong, 'kan?"Siapa yang tahu? Mungkin saja Ivan sudah be
Ketika Ivan melihatnya, dia menertawakannya dan menyebutnya cengeng."Kamu cengeng sekali sejak kecil. Aku baru tahu kamu sudah setua ini masih cengeng juga."Bibirnya mengeluh, tetapi sikapnya tetap perhatian, mengambil tisu dari samping untuk menyeka air matanya.Saat sudah hampir menyentuh wajah Wina, dia melihat cincin kawin di tangan wanita itu. Perlahan, dia meletakkan tangannya kembali."Wina, jangan khawatirkan aku. Setiap orang punya takdirnya sendiri-sendiri. Aku pasti akan bertahan hidup lebih lama dari siapa pun."Wina mengangguk pelan, menatap pria itu sambil tersenyum setelah menyeka air mata dengan tangannya sendiri."Aku punya teman yang depresi juga, tapi dia sudah sembuh. Aku mau ajak dia ke sini besok, minta dia berbagi proses pengobatannya denganmu. Boleh ya?"Dia tahu Ivan adalah orang yang keras kepala. Mengubah keputusannya sama sulitnya dengan menggerakkan gunung. Karena dia sudah menolak, Wina ingin mencoba dengan cara yang berbeda.Karena sudah menolak sekali,
Wina tidak melihat ponselnya, masih fokus mengusap keringat di dahi Ivan.Pria yang mendapat perhatian hati-hati itu memandangnya sebentar dan kemudian berkata dengan tenang."Wina, kamu sudah menikah. Nggak pantas kamu memperlakukan aku seperti ini ...."Wina mengerucutkan bibirnya, senyum tipis muncul dari dasar matanya."Ivan, kalau kamu nggak keberatan, izinkan aku memperlakukanmu sebagai kakakku."Kata-kata yang sangat kejam, tetapi inilah tempat akhir yang mereka tuju.Kebaikan yang tidak bisa dihapus, perasaan yang tidak bisa dilupakan, biarkan semua itu berubah menjadi kasih sayang keluarga.Mata Ivan yang sesaat tertutup kabut mulai berair dan air matanya menggenang, membuatnya mendongak sedikit.Cahaya matahari di langit biru dan awan putih, melalui cabang-cabang pohon yang lebat dan rimbun, menembus mata.Betapa menyakitkan, tetapi dia menahan air matanya dengan cahaya ini. Dia lalu pura-pura tersenyum seolah-olah tidak ada yang terjadi."Ya sudah, adikku, tolong bantu usap
Jihan tidak menjawab. Wina menggenggam ponselnya dan menyuruh sopir untuk mengemudi lebih cepat.Di Villa Ostia, Jihan terkulai lemas di sofa. Dokter pribadinya sedang memeriksa kepalanya."Dokter, bagaimana keadaannya?"Daris berdiri di samping. Dia ketakutan saat melihat Jihan kembali dengan sakit kepala dan langsung memanggil dokter.Setelah selesai memeriksa, dokter meletakkan peralatan dan melepaskan sarung tangan sterilnya sambil membalas pertanyaan Daris."Dilihat dari gejalanya, kemungkinan besar sakit kepala karena terlalu emosional, atau pikiran yang berlebihan."Daris melirik Jihan yang masih mengerutkan keningnya. Mana mungkin dia tidak emosional setelah mengantar sang istri menemui mantannya?"Tumor otaknya nggak kambuh lagi 'kan?""Belum ada gejala seperti itu, tapi peralatan saya hari ini terbatas. Saran saya, pergi ke rumah sakit saja untuk pemeriksaan lebih lengkap."Setelah dokter selesai berbicara, dia mengeluarkan dua botol obat dari tas dan menyerahkannya kepada Da