Ivan tidak lagi bertanya. Dia mengangkat jari-jarinya yang putih, mengambil teko di atas meja, menuangkan teh ke dalam cangkir teh kecil, dan menyerahkannya kepada Wina."Saat kamu masih kecil dulu, kamu melihat dekan yang sedang membuat teh. Kamu bilang, kamu ingin menjadi peracik teh saat besar nanti. Tapi, kamu bahkan nggak belajar bagaimana cara mencicipi teh. Aku nggak tahu apakah sekarang kamu sudah mempelajarinya atau belum?"Nada suara yang santai itu perlahan-lahan membuat tubuh Wina yang tegang menjadi rileks.Wina mengulurkan tangan untuk mengambil cangkir teh tersebut, meletakkannya di bibirnya, menyesapnya perlahan, dan tersenyum."Maaf, aku masih belum berbakat untuk mencicipinya. Aku nggak tahu teh jenis apa ini?"Mata Ivan yang kosong itu perlahan-lahan bercahaya, ketika melihat senyuman yang familier dan manis itu.Ivan membuka kotak teh di sebelahnya, memelintir segenggam daun teh dengan jari-jarinya yang bersih, dan memperkenalkan jenis teh kepada Wina."Ini adalah p
Betapa pun naturalnya dia, Wina tidak percaya. Ivan sudah terlalu sering bohong padanya.Seperti saat berbohong padanya saat kerja di restoran atas bantuan seorang teman.Sepanjang hidupnya, Ivan selalu memikul beban hidupnya sendiri apa pun yang terjadi dan tidak pernah menyeret Wina ke dalamnya.Wina mengenalnya dengan cukup baik dan tahu betapa sulit kenyataan hidup yang dia hadapi di balik penampilan luarnya yang biasa-biasa saja ini."Ivan, Sara sudah cerita semua gejala-gejala yang kamu alami, jadi jangan bohong lagi padaku."Ivan pura-pura mengingat sesuatu, kembali menatap Wina dan tersenyum tipis."Diagnosis itu salah, aku belum sempat bilang ke Sara. Aku nggak nyangka kalian lalu datang."Seolah ingin membuktikan keaslian perkataannya, Ivan mengeluarkan telepon genggamnya, mencari nomor dokter spesialis depresi, lalu menyerahkannya pada Wina."Kalau kamu nggak percaya, tanyakan ke dokterku. Dia nggak mungkin tiba-tiba bohong, 'kan?"Siapa yang tahu? Mungkin saja Ivan sudah be
Ketika Ivan melihatnya, dia menertawakannya dan menyebutnya cengeng."Kamu cengeng sekali sejak kecil. Aku baru tahu kamu sudah setua ini masih cengeng juga."Bibirnya mengeluh, tetapi sikapnya tetap perhatian, mengambil tisu dari samping untuk menyeka air matanya.Saat sudah hampir menyentuh wajah Wina, dia melihat cincin kawin di tangan wanita itu. Perlahan, dia meletakkan tangannya kembali."Wina, jangan khawatirkan aku. Setiap orang punya takdirnya sendiri-sendiri. Aku pasti akan bertahan hidup lebih lama dari siapa pun."Wina mengangguk pelan, menatap pria itu sambil tersenyum setelah menyeka air mata dengan tangannya sendiri."Aku punya teman yang depresi juga, tapi dia sudah sembuh. Aku mau ajak dia ke sini besok, minta dia berbagi proses pengobatannya denganmu. Boleh ya?"Dia tahu Ivan adalah orang yang keras kepala. Mengubah keputusannya sama sulitnya dengan menggerakkan gunung. Karena dia sudah menolak, Wina ingin mencoba dengan cara yang berbeda.Karena sudah menolak sekali,
Wina tidak melihat ponselnya, masih fokus mengusap keringat di dahi Ivan.Pria yang mendapat perhatian hati-hati itu memandangnya sebentar dan kemudian berkata dengan tenang."Wina, kamu sudah menikah. Nggak pantas kamu memperlakukan aku seperti ini ...."Wina mengerucutkan bibirnya, senyum tipis muncul dari dasar matanya."Ivan, kalau kamu nggak keberatan, izinkan aku memperlakukanmu sebagai kakakku."Kata-kata yang sangat kejam, tetapi inilah tempat akhir yang mereka tuju.Kebaikan yang tidak bisa dihapus, perasaan yang tidak bisa dilupakan, biarkan semua itu berubah menjadi kasih sayang keluarga.Mata Ivan yang sesaat tertutup kabut mulai berair dan air matanya menggenang, membuatnya mendongak sedikit.Cahaya matahari di langit biru dan awan putih, melalui cabang-cabang pohon yang lebat dan rimbun, menembus mata.Betapa menyakitkan, tetapi dia menahan air matanya dengan cahaya ini. Dia lalu pura-pura tersenyum seolah-olah tidak ada yang terjadi."Ya sudah, adikku, tolong bantu usap
Jihan tidak menjawab. Wina menggenggam ponselnya dan menyuruh sopir untuk mengemudi lebih cepat.Di Villa Ostia, Jihan terkulai lemas di sofa. Dokter pribadinya sedang memeriksa kepalanya."Dokter, bagaimana keadaannya?"Daris berdiri di samping. Dia ketakutan saat melihat Jihan kembali dengan sakit kepala dan langsung memanggil dokter.Setelah selesai memeriksa, dokter meletakkan peralatan dan melepaskan sarung tangan sterilnya sambil membalas pertanyaan Daris."Dilihat dari gejalanya, kemungkinan besar sakit kepala karena terlalu emosional, atau pikiran yang berlebihan."Daris melirik Jihan yang masih mengerutkan keningnya. Mana mungkin dia tidak emosional setelah mengantar sang istri menemui mantannya?"Tumor otaknya nggak kambuh lagi 'kan?""Belum ada gejala seperti itu, tapi peralatan saya hari ini terbatas. Saran saya, pergi ke rumah sakit saja untuk pemeriksaan lebih lengkap."Setelah dokter selesai berbicara, dia mengeluarkan dua botol obat dari tas dan menyerahkannya kepada Da
"Sayang, kamu kenapa?"Wina mengulurkan tangan ingin menyentuh wajah Jihan, tetapi pria itu meraih pergelangan tangannya.Tangan kanan ini Wina gunakan untuk mengusap dahi dan wajah Ivan, dia keberatan.Dia tahu bahwa sikapnya ini tidak rasional, tapi perasaannya kacau.Rasa kacau ini seperti binatang buas yang mencabik-cabik dirinya.Dia ingat untuk tidak kehilangan kesabaran atau bersikap dingin dan kasar, jadi dia mengatupkan gigi dan menekan emosi aneh yang menjengkelkan ini."Aku nggak apa-apa, jangan khawatir.""Tapi wajahmu ..."Bahkan bibir tipisnya tidak berwarna, seperti baru saja mengalami rasa sakit yang parah. Wajahnya sangat kuyu."Katakan padaku, ada yang sakit?"Wina merasa dadanya sesak dan ingin menyentuh wajah itu lagi.Namun, Jihan menahan pergelangan tangannya lagi dan kali ini membawanya ke kamar mandi.Dia menyalakan keran wastafel, meletakkan tangan kanan Wina di bawah aliran air."Telapak tanganmu berkeringat. Cuci tangan dulu, baru peluk aku."Wina menatap Jih
"Aku mencintaimu ..."Jauh ditelan nafsu, pikiran Wina tidak terlalu sadar, tetapi hatinya tahu apa yang dia diinginkan, jadi kalimat itu keluar tanpa perlu memikirkannya.Setelah menerima jawabannya, hati Jihan yang kesal perlahan-lahan menjadi tenang, tetapi gerakannya tidak berhenti sama sekali.Keahlian Jihan di ranjang adalah sesuatu yang telah diketahui Wina sejak lama. Pria itu tidak pernah melepas kontrol yang dimilikinya pada diri Wina setiap kali, membuat Wina tidak kuasa untuk meronta melepaskan diri.Namun, dia sangat berbeda malam ini. Dia menginginkannya seperti orang gila, berulang kali, tanpa henti.Wina yang terbungkus selimut tipis, mengangkat bulu matanya yang lentik dan menatap Jihan yang berada di sisinya."Jangan khawatir, sayang, aku sangat mencintaimu."Dia tahu suaminya sedang mencari kepastian pada dirinya karena merasa gelisah, takut dirinya akan goyah setelah melihat Ivan.Wina memang merasa bersalah dan kasihan pada Ivan, tetapi sudah tidak ada cinta lagi d
Jantung Jihan tercekat. Darah yang mengalir di tubuhnya seketika berhenti, bahkan tangan yang memeluknya seketika mendingin.Dia melihat ke bawah dan menatap wanita dalam pelukannya itu, membuka bibir ingin bertanya, tetapi tidak ada suara.Di dalam pelukannya, wanita itu mengatakan bahwa satu-satunya orang yang dia cintai adalah dirinya, mengapa dia masih memanggil nama Ivan dalam tidurnya?Bukankah ... Wina sendiri tidak tahu bahwa dia sebenarnya selalu menyimpan rasa kepada Ivan jauh di lubuk hatinya?Kalau dibandingkan dengan dirinya?Berapa perbandingannya?Lebih banyak atau lebih sedikit dari perasaan kepadanya?Merasakan tubuhnya kaku, Wina mengangkat kepalanya dan menatap pria yang wajahnya memucat itu. "Sayang, aku ..."Sebelum sempat menyelesaikan kata-katanya, Jihan memegang pergelangan tangannya dengan cengkeraman maut. "Nama siapa yang tadi kamu panggil dalam tidurmu?"Pegangannya sangat kuat. Tangan Wina kecil dan kurus terasa sakit menerimanya ...Wina menahan rasa sakit
Lama sekali Jodie hanya tertegun setelah menerima berita kematian Wina, tetapi akhirnya bergegas dan mengantar kepergian Wina ke tempat peristirahatan terakhirnya. Setelah semua orang meninggalkan pemakaman, Jodie mengelus batu nisan Wina dengan penuh rindu."Wina."Jodie perlahan berjongkok sambil bertopang pada batu nisan Wina dan menatap wajah Wina dalam foto dengan matanya yang sudah menua ...."Nggak disangka, ya?""Ternyata begitu aku jatuh cinta, rasa cintaku bisa bertahan selama ini," gumam Jodie sambil mengangkat alisnya. "Aku saja nggak tahu kalau aku ternyata tipe orang yang sepenyayang ini."Jodie menatap foto itu dan tersenyum. "Sampai-sampai ... aku merasa nggak ada satu wanita lain pun yang menarik perhatianku. Tuh Wina, aku nggak kalah dari Jihan, 'kan?"Namun, yang menjawab Jodie adalah bunyi kepak sayap burung yang terbang di pemakaman. Setelah semua binatang itu pergi, yang tersisa hanyalah keheningan. Sama heningnya seperti rasa cinta yang selama ini Jodie pendam da
Sebelum kehidupan Wina berakhir, yang terlintas di benaknya adalah rasa cinta yang Jihan sembunyikan selama lima tahun itu ....Saat membalikkan tubuhnya dan bangun, Wina bisa melihat tubuhnya dipeluk dengan erat oleh sepasang lengan yang kuat dan bertenaga. Jika itu bukan cinta, lantas apa ....Wina juga bisa melihat suasana makan di akhir pekan itu dengan jelas. Jihan yang duduk di depannya sesekali melirik Wina melalui ekor matanya. Jika itu bukan karena Jihan sudah lama menyukainya waktu, lantas apa ....Apalagi setelah Jihan selesai melakukannya. Dia akan menggendong dan membiarkan Wina berbaring tengkurap, lalu mengusap-usap punggung Wina untuk menidurkannya seperti anak kecil ....Rasa cinta Jihan terwujud dalam hal-hal kecil. Mungkin sekilas tidak terlihat jelas cinta macam apa itu dan hanya Jihan sendiri yang tahu betapa dia menyayangi dan mencintai Wina ....Mata Wina tidak bisa lagi terbuka, rasanya jiwanya tersedot keluar. Dia tidak punya tenaga lagi untuk bangkit, dia juga
Wina mengelus bagian belakang kepala Delwyn, ekspresinya terlihat sangat tenang seolah-olah dia sudah berdamai dengan kenyataan. "Kapan kamu akan menikah?"Tubuh Delwyn sontak menegang, air mata menggenangi pelupuk matanya. Dia pun perlahan menengadah dan melepaskan Wina. "Ibu ... aku ... aku belum bertemu dengan gadis yang kusuka."Wina bisa melihat pantulan dirinya dari bola mata Delwyn, jadi dia menyentuh wajah putranya. "Kamu lihat sendiri betapa menderitanya ibumu tetap bertahan hidup. Masa kamu nggak mau membiarkan Ibu menyusul ayahmu?"Sewaktu kecil Delwyn dikekang oleh orang tuanya, tetapi sekarang setelah besar, giliran dia yang mengekang orang tuanya. Karena hanya pengekangan ini saja yang bisa mencegah Delwyn menjadi yatim piatu. Jadi ... biarkan Delwyn menjadi egois untuk kali ini saja ....Delwyn meraih lengan Wina dan memohon, "Ibu, tolong tunggu sebentar lagi. Aku akan menemukan gadis yang kusuka dan menikahinya, oke?"Wina tidak tega menyakiti hati putranya, jadi dia me
Demi putranya, Wina sama sekali tidak mengikuti Jihan. Namun, rambut Wina mendadak beruban dalam satu malam dan wajahnya seolah menua sepuluh tahun. Kerutannya sontak tampak lebih kentara, tatapan matanya selalu terlihat kosong.Di depan makam Jihan, Wina meminta Jihan untuk menunggunya. Sekarang Wina sudah punya anak, jadi dia tidak bisa melakukan sesuatu dengan asal. Nanti setelah putra mereka menikah, barulah Wina akan pergi menyusul Jihan. Jika Jihan ternyata tidak menunggunya, Wina akan menarik kembali janjinya tentang kehidupan selanjutnya sehingga mereka tidak akan pernah bertemu lagi ....Wina tidak menghadiri pemakaman Jihan. Itu sebabnya dia akhirnya terbangun, lalu berjalan ke makam Jihan dengan tubuh yang terhuyung-huyung. Tidak ada yang tahu tentang apa yang Wina katakan kepada Jihan, selain Delwyn yang memapah ibunya untuk menemui ayahnya ....Malam itu, Wina tiba-tiba pingsan di salju dan segera dibawa ke rumah sakit untuk diberikan pertolongan pertama. Wina baru sadar s
Bulu mata Wina tampak bergetar. Dia mengangkat matanya yang terkesan kosong dan menatap ke kejauhan. "Nggak, aku nggak akan ke mana-mana. Kami akan tetap di sini sampai aku ikut mati beku. Nggak akan ada yang bisa memisahkan kami."Semua orang sontak merasa tercekat. Mereka semua bergegas membujuk Wina agar jangan melakukan hal bodoh, tetapi Wina tidak mengacuhkan semua omongan mereka. Dia hanya duduk diam di sana sambil memeluk Jihan, menunggu ajal menjemputnya.Delwyn akhirnya menggenggam tangan Wina dengan erat sehingga pandangan Wina beralih kepadanya. "Ibu, aku tahu betapa Ibu mencintai Ayah dan Ibu pasti sulit menerima kenyataan ini, tapi tolong jangan lakukan hal bodoh. Aku sudah kehilangan Ayah dan aku nggak bisa kalau harus kehilangan Ibu juga ...."Suara putranya membuat Wina akhirnya perlahan menatap Delwyn. Wina menyentuh wajah Delwyn yang tampak begitu mirip dengan Jihan, lalu tersenyum kecil dengan senang ...."Ibu sudah lama mempersiapkan diri untuk kematian ayahmu. Kare
Air mata Wina pun mendadak mengalir turun. Tidak ada tangisan yang memilukan hati, hanya keheningan dan bibir Wina yang terbuka. Wina ingin mengatakan sesuatu, tetapi sepertinya dia sudah mengatakan semua yang ingin dia katakan kepada Jihan. Pada akhirnya, Wina hanya menurunkan pandangannya menatap wajah Jihan yang sudah pucat itu ...."Bodoh. Mau seberapa banyak pun darahmu mengalir keluar, kamu tetap suamiku. Mana mungkin aku takut? Aku nggak takut. Kenapa kamu malah pergi ke tempat seperti ini sendirian?"Yang membuat Wina merasa begitu getir adalah karena dia tidak sempat berpamitan untuk terakhir kalinya. Namun, Jihan sama sekali tidak memikirkan rasa penyesalan Wina dan fokus ingin menyembunyikan kondisinya dari Wina ....Lantas, bagaimana jika ... Wina tidak mengenali tiruan Jihan? Apa itu berarti Wina tidak akan pernah menemukan tubuh Jihan? Apa itu berarti Jihan akan selamanya terkubur beku di bawah salju ....Jihan sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum ajal menjemputn
Saat Delwyn meraih tangan Jihan dengan gemetar, Wina sontak menengadah seolah mendapatkan firasat. Dia melihat ke arah Delwyn sekilas, lalu bergegas merangkak menghampiri putranya dengan rambut acak-acakan seperti orang gila.Wina tetap tidak menangis. Dia bahkan menyentuh tangan yang kaku dan putih membeku itu dengan tatapan tegas, lalu menurunkan pandangannya yang bergetar dan menggali salju yang menutupi tubuh Jihan dengan tangannya yang sudah berdarah.Salju yang menumpuk di gunung lebih dalam, setiap lapisannya mengubur Jihan. Wina berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengeluarkan suaminya dari dalam salju, lalu akhirnya melihat wajah Jihan yang berlumuran darah. Tidak ada rona kemerahan apa pun di wajah yang tampan itu, hanya ada noda darah dan salju yang menghiasi ....Delwyn menatap sosok ayahnya dengan tidak percaya. Dia pun jatuh terduduk, hatinya terasa remuk redam. Langit seolah mendadak runtuh dan hanya ada kegelapan tak berujung yang menyelimuti ...."Delwyn.""Tolong Ibu,
Wina yang sedang mencari ke mana-mana sontak berhenti melangkah, rasanya dia seperti mendengar ada yang memanggil namanya. Wina pun menoleh dengan tatapan kosong, tetapi terlihat jelas hanya ada dia di sini.Wina berdiri dalam diam, lalu memegangi dadanya yang berdetak dengan begitu kuat. Tiba-tiba, hatinya terasa tersayat seolah-olah dia akan kehilangan sesuatu. Saking sakitnya, Wina sampai membungkukkan tubuhnya. Akan tetapi, rasa sakit itu tidak kunjung hilang ....Firasatnya mengatakan bahwa sesuatu terjadi pada Jihan. Di saat Wina ingin kembali mencari Jihan, tiba-tiba sosok Jihan yang tampan muncul di hadapannya sambil membawa sebuket mawar."Sayang, kok kamu di sini? 'Kan sudah kubilang tunggu aku?"Begitu melihat Jihan tampak baik-baik saja, jantung Wina yang semula berdegap kencang mendadak menjadi tenang kembali.Wina langsung melempar payungnya dan melompat memeluk Jihan dengan gembira.Wina menghela napas lega saat merasakan hangat tubuh dan napas Jihan."Sayang, kamu tahu
Saat melihat Jihan berdiri sempoyongan dan mengerahkan sedikit tenaga untuk melambaikan tangannya, Jefri akhirnya tidak tahan lagi. Dia menggertakkan gigi dan berlari secepat mungkin ke dasar Gunung Kiron ...."Kak Jihan, aku panggil dokter dulu, terus menyuruh robot itu naik gunung dan baru setelah itu aku akan menjemputmu! Kakak berdiri saja di sana dan tunggu aku, ya! Aku akan segera kembali!"Jalan gunung di malam hari memang tidak dapat diprediksi, salju yang turun dari langit seolah menjadi sumber penerangan. Jefri merasa seperti sedang berjalan di siang hari. Namun, saking langkahnya terburu-buru, Jefri sampai beberapa kali jatuh tersungkur ke atas tanah dan dia bahkan tidak tahu berjalan ke arah mana ....Jihan memandangi punggung Jefri yang berangsur-angsur menghilang dari pandangannya, lalu memegangi dadanya. Dia bisa merasakan detak jantungnya yang perlahan melambat. Jihan berdiri diam sambil merasakan bagaimana nyawanya meregang ....Entah berapa lama waktu berlalu, yang je