Jantung Jihan tercekat. Darah yang mengalir di tubuhnya seketika berhenti, bahkan tangan yang memeluknya seketika mendingin.Dia melihat ke bawah dan menatap wanita dalam pelukannya itu, membuka bibir ingin bertanya, tetapi tidak ada suara.Di dalam pelukannya, wanita itu mengatakan bahwa satu-satunya orang yang dia cintai adalah dirinya, mengapa dia masih memanggil nama Ivan dalam tidurnya?Bukankah ... Wina sendiri tidak tahu bahwa dia sebenarnya selalu menyimpan rasa kepada Ivan jauh di lubuk hatinya?Kalau dibandingkan dengan dirinya?Berapa perbandingannya?Lebih banyak atau lebih sedikit dari perasaan kepadanya?Merasakan tubuhnya kaku, Wina mengangkat kepalanya dan menatap pria yang wajahnya memucat itu. "Sayang, aku ..."Sebelum sempat menyelesaikan kata-katanya, Jihan memegang pergelangan tangannya dengan cengkeraman maut. "Nama siapa yang tadi kamu panggil dalam tidurmu?"Pegangannya sangat kuat. Tangan Wina kecil dan kurus terasa sakit menerimanya ...Wina menahan rasa sakit
Jihan merasa tidak berdaya setelah mendengar pertanyaan itu dan membenamkan dagunya lebih dalam pada lekukan leher Wina."Karena kamu mencintai Ivan, sama seperti kamu mencintaiku ...."Jika itu orang lain, Jihan tidak akan setakut itu, tapi Ivan berbeda."Demi kamu, dia rela mengorbankan hidupnya, menderita depresi .... Dia sangat mencintaimu. Aku takut ..."Jihan menarik napas dalam-dalam dan membendung rasa sakit yang menghantam hatinya dan berbisik lembut,"Aku takut hatimu yang lembut akan jatuh cinta lagi padanya ...."Sama seperti saat berada di Walston, memohon pada Wina, memohon agar dikasihani, memohon agar mau bersamanya.Saat itu, dia sehat dan tidak mengalami depresi. Begitu pun, Wina tetap melembut dan menyetujuinya.Kini, Ivan menjadi seperti sekarang ini karena dia. Pasti dia akan lebih luluh lagi ....Kalau, kalau Wina jatuh cinta lagi pada Ivan karena hatinya luluh dan kasihan, apa yang harus dia lakukan?Jihan tahu dia tidak boleh memiliki pikiran seperti itu, tapi .
Saat Ivan terbangun setelah operasi, dengan ingatan yang masih utuh, mencekik lehernya beberapa kali, menyebutnya kotor, dan mengusirnya. Ivan juga menendangnya ketika melihat dia pergi ke rumah sakit untuk merawatnya dan mengantarkan makanan. Wina saat itu tidak mengeluh sedikit pun dan hanya menemani dalam diam.Dia tidak pernah berniat untuk menyerah, tetapi semua berubah setelah Ivan kehilangan ingatan. Wina merasa bahwa jika saat itu Ivan segera mendapatkan kembali ingatannya dan segera meluruskan kesalahpahaman antara mereka, mungkin dirinya akan bersedia kembali padanya.Namun, pada saat Ivan sembuh dari amnesia dan menemuinya untuk menjelaskan segalanya, waktu telah berlalu lima atau enam tahun lamanya. Pada saat itu, Wina telah lama memaksa dirinya untuk melepaskannya dan berhenti mencintainya.Dia juga tahu bahwa Ivan pernah memperlakukannya dengan sangat baik, sangat mencintainya, dan telah berkorban banyak untuknya. Sayangnya, dia telah melepaskannya dan tidak bisa mengemba
Mendengar Jihan mengatakan sakit kepala, hati Wina tercekat dan dia bergegas mengelus pelipisnya."Sakitnya kambuh lagi?"Memikirkan kemungkinan itu, dia menyeret Jihan ke luar."Ayo periksa ke rumah sakit."Dia paling takut akan terjadi sesuatu pada Jihan. Jika saat itu terjadi, dia tidak bisa melanjutkan hidupnya.Jihan meraih pergelangan tangan Wina dan menariknya ke dalam pelukannya lagi, lalu memeluk pinggangnya dan mendudukkannya di atas meja."Sudah diperiksa dokter tadi. Katanya karena kebanyakan pikiran. Nggak akan kambuh lagi, tenang saja."Dengan kata-kata seperti inilah Jihan berbohong padanya saat menderita tumor otak dulu. Pada akhirnya?"Kalau kamu ingin aku tenang, dengarkan aku. Ayo ke rumah sakit."Dia tahu perusahaan keluarga Jihan memiliki cabang rumah sakit di Ostia. Semalam apa pun, akan ada dokter yang siap sedia untuk memeriksanya.Memikirkan hal ini, Wina tidak peduli Jihan setuju atau tidak. Dia langsung turun dari meja dan cepat-cepat menyeretnya untuk ganti
"...""Nggak mau."Bicara saja jarang. Disuruh menyanyi?Wina membuka matanya yang mengantuk dan melirik sekilas."Kukira kamu bisa segalanya ...."Jihan yang spontan terpancing pun merasa ada sesuatu yang familier dalam kata-kata itu ....Dia tidak terlalu memikirkannya, hanya mengeluarkan ponselnya dan mengunduh aplikasi musik.Setelah memasangnya, dia memeluk Wina dengan satu tangan dan mencari-cari daftar lagu rekomendasi."Kamu ingin dengar lagu apa?""Apa saja asal kamu yang nyanyi."Jihan terdiam beberapa detik, kemudian memilik lagu secara asal. Itu adalah sebuah lagu versi bahasa Kameria.Untungnya, dia punya ingatan fotografis dan bisa hafal melodinya hanya dalam sekali dengar.Dia terbatuk kecil, menunduk dengan ragu menatap wanita dalam pelukannya."Kamu yakin?"Wina mengangguk. Siapa suruh dia menyiksanya kemarin. Dia harus merasakan pembalasannya.Jihan hanya mendesah, apa lagi yang bisa dia lakukan? Dengan perasaan hangat sekaligus enggan, dia membuka mulutnya ....Mungk
"Tapi kamu bukannya sudah sibuk sendiri?""Aku cuma mengelola studio, jadi waktu luangku lumayan banyak. Kebetulan hasil kerajinanku sedang dipamerkan di Ostia beberapa waktu ini."Aulia punya sifat yang langsung melaksanakan apa yang dia katakan. Dia langsung mengambil tasnya dan bangkit."Ayo, antar aku menemui Pak Rian."Wina baru saja akan mengatakan sesuatu ketika Aulia memotongnya dengan sebuah kalimat."Ini cuma saran dariku. Soal Pak Rian setuju atau nggak itu lain cerita. Jangan khawatirkan apa-apa dulu."Wina bukannya takut terlalu merepotkan diri sendiri. Masalahnya, analisa dan usulan awal ini mengandalkan kerja sama Ivan. Duduk-duduk saja membicarakannya di sini hanya akan membuang waktu. Lebih baik langsung menanyakan pendapat Rian.Setelah Aulia berkata seperti itu, Wina tidak menyatakan keberatan. Saat dia berdiri, dia melirik pria yang duduk bertopang dagu di sampingnya."Sayang, kamu mau ikut?"Ekspresi Jihan yang acuh tak acuh berubah sedikit."Nggak."Dia mengatakan
Aulia mengangguk tetapi tidak menjawab, hanya melihat ke arah peralatan minum teh yang terletak di ujung meja, "Pak Rian masih suka membuat teh?"Ivan mengikuti mata Aulia dan melirik ke sana. "Kadang-kadang."Aulia mengangguk sekali lagi dan berhenti bicara.Hal ini membuat Ivan sedikit bingung. Meski demikian, dia tidak bisa memaksa orang lain untuk bicara. Dia hanya mengarahkan tatapannya pada Wina yang sedang makan pelan-pelan sambil menunduk.Setelah kunjungan Wina kemarin, Ivan tidur satu jam lebih lama dari biasanya. Dia juga bermimpi indah. Dalam mimpi itu, dia dan Wina memenuhi janji yang mereka buat saat masih muda, menikah, punya anak, saling berpelukan, dan kemudian hidup sampai tua bersama.Saat terbangun dari mimpinya, Ivan memandangi cahaya bulan di luar jendela dan menggantikan sosok dalam mimpinya dengan Jihan, barulah dia dapat melepaskan diri dari mimpi itu.Melihat Aulia tidak menyebutkan apa pun tentang rencana terapinya, Wina memberinya sebuah tatapan. Lalu Aulia
Setelah kata-kata ini keluar, wajah dingin Ivan berangsur-angsur diwarnai tatapan mata berat. "Kakiku, aku yang menyebabkannya sendiri. Depresiku juga karena aku sendiri. Itu bukan urusannya, aku akan menjelaskan pada Wina ..."Melihat dia menggerakkan kursi rodanya dan ingin berbalik, Aulia mengulurkan sepatu hak tingginya dan menghambat gerak rodanya. Ivan menoleh ke arah Aulia yang mengangkat dagu dan mengangkat alis kepadanya. "Lepaskan ..."Setelah Aulia menghentikan geraknya, dia melipat tangan di depan dada dan bicara dengan suara dingin kepada Ivan. "Pak Rian, kamu juga harusnya sudah sadar. Nggak peduli seberapa keras kamu meyakinkan Kak Wina bahwa masalahmu nggak ada hubungannya dengan dia, dia tetap akan menempatkan beban itu di pundaknya, karena kamu sudah berjasa terlalu besar di hidupnya.""Sangat besar, sampai dia merasa tidak mungkin bisa membalas budi seumur hidup. Dia cuma bisa menjalani hidup bersama kakakku dipenuhi rasa bersalah. Saat namamu disebut, muncullah rint
Lama sekali Jodie hanya tertegun setelah menerima berita kematian Wina, tetapi akhirnya bergegas dan mengantar kepergian Wina ke tempat peristirahatan terakhirnya. Setelah semua orang meninggalkan pemakaman, Jodie mengelus batu nisan Wina dengan penuh rindu."Wina."Jodie perlahan berjongkok sambil bertopang pada batu nisan Wina dan menatap wajah Wina dalam foto dengan matanya yang sudah menua ...."Nggak disangka, ya?""Ternyata begitu aku jatuh cinta, rasa cintaku bisa bertahan selama ini," gumam Jodie sambil mengangkat alisnya. "Aku saja nggak tahu kalau aku ternyata tipe orang yang sepenyayang ini."Jodie menatap foto itu dan tersenyum. "Sampai-sampai ... aku merasa nggak ada satu wanita lain pun yang menarik perhatianku. Tuh Wina, aku nggak kalah dari Jihan, 'kan?"Namun, yang menjawab Jodie adalah bunyi kepak sayap burung yang terbang di pemakaman. Setelah semua binatang itu pergi, yang tersisa hanyalah keheningan. Sama heningnya seperti rasa cinta yang selama ini Jodie pendam da
Sebelum kehidupan Wina berakhir, yang terlintas di benaknya adalah rasa cinta yang Jihan sembunyikan selama lima tahun itu ....Saat membalikkan tubuhnya dan bangun, Wina bisa melihat tubuhnya dipeluk dengan erat oleh sepasang lengan yang kuat dan bertenaga. Jika itu bukan cinta, lantas apa ....Wina juga bisa melihat suasana makan di akhir pekan itu dengan jelas. Jihan yang duduk di depannya sesekali melirik Wina melalui ekor matanya. Jika itu bukan karena Jihan sudah lama menyukainya waktu, lantas apa ....Apalagi setelah Jihan selesai melakukannya. Dia akan menggendong dan membiarkan Wina berbaring tengkurap, lalu mengusap-usap punggung Wina untuk menidurkannya seperti anak kecil ....Rasa cinta Jihan terwujud dalam hal-hal kecil. Mungkin sekilas tidak terlihat jelas cinta macam apa itu dan hanya Jihan sendiri yang tahu betapa dia menyayangi dan mencintai Wina ....Mata Wina tidak bisa lagi terbuka, rasanya jiwanya tersedot keluar. Dia tidak punya tenaga lagi untuk bangkit, dia juga
Wina mengelus bagian belakang kepala Delwyn, ekspresinya terlihat sangat tenang seolah-olah dia sudah berdamai dengan kenyataan. "Kapan kamu akan menikah?"Tubuh Delwyn sontak menegang, air mata menggenangi pelupuk matanya. Dia pun perlahan menengadah dan melepaskan Wina. "Ibu ... aku ... aku belum bertemu dengan gadis yang kusuka."Wina bisa melihat pantulan dirinya dari bola mata Delwyn, jadi dia menyentuh wajah putranya. "Kamu lihat sendiri betapa menderitanya ibumu tetap bertahan hidup. Masa kamu nggak mau membiarkan Ibu menyusul ayahmu?"Sewaktu kecil Delwyn dikekang oleh orang tuanya, tetapi sekarang setelah besar, giliran dia yang mengekang orang tuanya. Karena hanya pengekangan ini saja yang bisa mencegah Delwyn menjadi yatim piatu. Jadi ... biarkan Delwyn menjadi egois untuk kali ini saja ....Delwyn meraih lengan Wina dan memohon, "Ibu, tolong tunggu sebentar lagi. Aku akan menemukan gadis yang kusuka dan menikahinya, oke?"Wina tidak tega menyakiti hati putranya, jadi dia me
Demi putranya, Wina sama sekali tidak mengikuti Jihan. Namun, rambut Wina mendadak beruban dalam satu malam dan wajahnya seolah menua sepuluh tahun. Kerutannya sontak tampak lebih kentara, tatapan matanya selalu terlihat kosong.Di depan makam Jihan, Wina meminta Jihan untuk menunggunya. Sekarang Wina sudah punya anak, jadi dia tidak bisa melakukan sesuatu dengan asal. Nanti setelah putra mereka menikah, barulah Wina akan pergi menyusul Jihan. Jika Jihan ternyata tidak menunggunya, Wina akan menarik kembali janjinya tentang kehidupan selanjutnya sehingga mereka tidak akan pernah bertemu lagi ....Wina tidak menghadiri pemakaman Jihan. Itu sebabnya dia akhirnya terbangun, lalu berjalan ke makam Jihan dengan tubuh yang terhuyung-huyung. Tidak ada yang tahu tentang apa yang Wina katakan kepada Jihan, selain Delwyn yang memapah ibunya untuk menemui ayahnya ....Malam itu, Wina tiba-tiba pingsan di salju dan segera dibawa ke rumah sakit untuk diberikan pertolongan pertama. Wina baru sadar s
Bulu mata Wina tampak bergetar. Dia mengangkat matanya yang terkesan kosong dan menatap ke kejauhan. "Nggak, aku nggak akan ke mana-mana. Kami akan tetap di sini sampai aku ikut mati beku. Nggak akan ada yang bisa memisahkan kami."Semua orang sontak merasa tercekat. Mereka semua bergegas membujuk Wina agar jangan melakukan hal bodoh, tetapi Wina tidak mengacuhkan semua omongan mereka. Dia hanya duduk diam di sana sambil memeluk Jihan, menunggu ajal menjemputnya.Delwyn akhirnya menggenggam tangan Wina dengan erat sehingga pandangan Wina beralih kepadanya. "Ibu, aku tahu betapa Ibu mencintai Ayah dan Ibu pasti sulit menerima kenyataan ini, tapi tolong jangan lakukan hal bodoh. Aku sudah kehilangan Ayah dan aku nggak bisa kalau harus kehilangan Ibu juga ...."Suara putranya membuat Wina akhirnya perlahan menatap Delwyn. Wina menyentuh wajah Delwyn yang tampak begitu mirip dengan Jihan, lalu tersenyum kecil dengan senang ...."Ibu sudah lama mempersiapkan diri untuk kematian ayahmu. Kare
Air mata Wina pun mendadak mengalir turun. Tidak ada tangisan yang memilukan hati, hanya keheningan dan bibir Wina yang terbuka. Wina ingin mengatakan sesuatu, tetapi sepertinya dia sudah mengatakan semua yang ingin dia katakan kepada Jihan. Pada akhirnya, Wina hanya menurunkan pandangannya menatap wajah Jihan yang sudah pucat itu ...."Bodoh. Mau seberapa banyak pun darahmu mengalir keluar, kamu tetap suamiku. Mana mungkin aku takut? Aku nggak takut. Kenapa kamu malah pergi ke tempat seperti ini sendirian?"Yang membuat Wina merasa begitu getir adalah karena dia tidak sempat berpamitan untuk terakhir kalinya. Namun, Jihan sama sekali tidak memikirkan rasa penyesalan Wina dan fokus ingin menyembunyikan kondisinya dari Wina ....Lantas, bagaimana jika ... Wina tidak mengenali tiruan Jihan? Apa itu berarti Wina tidak akan pernah menemukan tubuh Jihan? Apa itu berarti Jihan akan selamanya terkubur beku di bawah salju ....Jihan sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum ajal menjemputn
Saat Delwyn meraih tangan Jihan dengan gemetar, Wina sontak menengadah seolah mendapatkan firasat. Dia melihat ke arah Delwyn sekilas, lalu bergegas merangkak menghampiri putranya dengan rambut acak-acakan seperti orang gila.Wina tetap tidak menangis. Dia bahkan menyentuh tangan yang kaku dan putih membeku itu dengan tatapan tegas, lalu menurunkan pandangannya yang bergetar dan menggali salju yang menutupi tubuh Jihan dengan tangannya yang sudah berdarah.Salju yang menumpuk di gunung lebih dalam, setiap lapisannya mengubur Jihan. Wina berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengeluarkan suaminya dari dalam salju, lalu akhirnya melihat wajah Jihan yang berlumuran darah. Tidak ada rona kemerahan apa pun di wajah yang tampan itu, hanya ada noda darah dan salju yang menghiasi ....Delwyn menatap sosok ayahnya dengan tidak percaya. Dia pun jatuh terduduk, hatinya terasa remuk redam. Langit seolah mendadak runtuh dan hanya ada kegelapan tak berujung yang menyelimuti ...."Delwyn.""Tolong Ibu,
Wina yang sedang mencari ke mana-mana sontak berhenti melangkah, rasanya dia seperti mendengar ada yang memanggil namanya. Wina pun menoleh dengan tatapan kosong, tetapi terlihat jelas hanya ada dia di sini.Wina berdiri dalam diam, lalu memegangi dadanya yang berdetak dengan begitu kuat. Tiba-tiba, hatinya terasa tersayat seolah-olah dia akan kehilangan sesuatu. Saking sakitnya, Wina sampai membungkukkan tubuhnya. Akan tetapi, rasa sakit itu tidak kunjung hilang ....Firasatnya mengatakan bahwa sesuatu terjadi pada Jihan. Di saat Wina ingin kembali mencari Jihan, tiba-tiba sosok Jihan yang tampan muncul di hadapannya sambil membawa sebuket mawar."Sayang, kok kamu di sini? 'Kan sudah kubilang tunggu aku?"Begitu melihat Jihan tampak baik-baik saja, jantung Wina yang semula berdegap kencang mendadak menjadi tenang kembali.Wina langsung melempar payungnya dan melompat memeluk Jihan dengan gembira.Wina menghela napas lega saat merasakan hangat tubuh dan napas Jihan."Sayang, kamu tahu
Saat melihat Jihan berdiri sempoyongan dan mengerahkan sedikit tenaga untuk melambaikan tangannya, Jefri akhirnya tidak tahan lagi. Dia menggertakkan gigi dan berlari secepat mungkin ke dasar Gunung Kiron ...."Kak Jihan, aku panggil dokter dulu, terus menyuruh robot itu naik gunung dan baru setelah itu aku akan menjemputmu! Kakak berdiri saja di sana dan tunggu aku, ya! Aku akan segera kembali!"Jalan gunung di malam hari memang tidak dapat diprediksi, salju yang turun dari langit seolah menjadi sumber penerangan. Jefri merasa seperti sedang berjalan di siang hari. Namun, saking langkahnya terburu-buru, Jefri sampai beberapa kali jatuh tersungkur ke atas tanah dan dia bahkan tidak tahu berjalan ke arah mana ....Jihan memandangi punggung Jefri yang berangsur-angsur menghilang dari pandangannya, lalu memegangi dadanya. Dia bisa merasakan detak jantungnya yang perlahan melambat. Jihan berdiri diam sambil merasakan bagaimana nyawanya meregang ....Entah berapa lama waktu berlalu, yang je