Ivan menghentikan langkahnya. "Berapa biayanya?"Aulia hendak mengatakan bahwa dia akan melakukannya dengan sukarela dan tidak perlu biaya apa pun, tetapi takut Ivan malah akan menolak. Jadi, dia asal berkata, "Dua miliar, Pak Rian pasti sanggup, 'kan?"Aulia sengaja mematok tarif sangat tinggi agar Ivan lebih terbuka menerima bantuannya.Ivan tidak bisa membaca pikiran Aulia, tetapi angka dua miliar membuat tenggorokannya tercekat, seperti duri ikan yang tersangkut. Wajahnya memucat. "Sanggup."Sekarang, tentu saja dia sanggup.Aulia langsung berbalik setelah menyelesaikan tugasnya.Ivan tetap diam di tempat untuk beberapa saat. Setelah kembali ke ruang tamu, ternyata Wina masih belum pergi, mungkin karena ingin berpamitan dulu."Ivan, kami pulang dulu hari ini. Kita ketemu lagi lain waktu."Ivan mengangguk. Senyum tipis nan elegan mewarnai sudut bibirnya."Wina, beberapa bulan ke depan mungkin aku ada di luar negeri untuk operasi. Jadi jangan datang ke sini."Nurwan yang mendampingi
Tiba di Istana Ostia, Sara memastikan dengan jelas nomor pintu ruang privat yang dikirimkan ke ponselnya, lalu berjalan masuk mendorong pintunya.Di dalam gelap gulita. Semua lampu padam dan tirai ditutup rapat, sehingga sangat sulit untuk melihat apa pun di sini. Hanya bau alkohol yang memenuhi ruangan, menyengat hidung.Staf yang mengikuti di belakang membantu menyalakan lampu. "Nona Sara, Tuan Muda Jefri tertidur di dalam, orang-orang kami nggak ada yang bisa membangunkannya. Tolong bantu kami mengantarnya pulang."Dia lalu mengeluarkan lembar tagihan dan menyerahkannya kepada Sara. "Totalnya 1,1 miliar. Nona Sara, tolong bantu mengurus pembayarannya terlebih dahulu."Sara melirik tagihan itu sambil memijat pelipisnya menahan diri. Jefri hanya minum anggur yang bagus. Tagihan sebesar ini tidaklah mengherankan sama sekali.Setelah melihat sebentar, dia mengeluarkan sebuah kartu dari tasnya dan menyerahkannya kepada petugas tadi. Lalu dia berbalik diiringi suara tajam sepatu hak tingg
"Jihan yang minta aku datang menjemputmu."Sara lalu membungkuk dan menyodorkan air putih di tangannya ke bibir Jefri. "Nggak ada sup di sini. Minum dulu buat menjernihkan pikiranmu."Jefri yang masih kebingungan melirik ke arah Sara, lalu melirik air yang disodorkan Sara. Perasaannya sedikit kaget dan sedikit senang. Dia membuka bibirnya dan meminum segelas air itu perlahan.Aneh, air mineral ini seharusnya tidak berasa. Kenapa dia bisa mengecap sedikit rasa manis? Mungkinkah air di Ostia lebih enak dari air di Aster?Setelah Jefri menghabiskan segelas air putih, Sara meletakkan gelasnya kembali dan menghampiri Jefri untuk membantunya bangkit. "Ayo, aku antar kamu pulang."Saat jari-jari lembut itu menyentuh lengannya, jantung Jefri bergetar, kebas, seperti ada aliran listrik yang mengalir. Bahkan anggota badan dan tulang-tulangnya pun seperti ikut tersetrum .Setelah berdiri, dia menunduk dan menatap Sara yang lebih pendek darinya, tetapi bisa menopang tubuh jangkungnya. "Terima kasi
Sara membantu Jefri menuju tempat parkir bawah tanah, membuka pintu mobil, dan membantunya masuk ke dalam mobil. Dia memasangkan sabuk pengaman untuk Jefri, lalu mengitari bagian depan mobil dan duduk di kursi pengemudi.Sebelum menyalakan mobil, Sara menoleh dan menatap Jefri yang terbaring di kursi mobil sambil menekan kepalanya kuat-kuat kesakitan. "Di mana rumahmu?"Jefri punya vila pribadi di Ostia, tetapi tidak pernah membawa Sara ke sini saat mereka bersama, jadi Sara tidak tahu.Jefri dengan mata terpejam menyerahkan ponselnya. "Buka maps, alamatnya ada di sana."Setelah itu, dia menambahkan, "PIN-nya tanggal ulang tahunmu."Tangan yang menerima telepon itu gemetar sedikit. Saat masih pacaran, Sara pernah ngambek tanpa alasan dan ngotot meminta Jefri memasang tanggal ulang tahunnya sebagai PIN layar kunci ponselnya.Entah karena ingin menggodanya atau apa, Jefri selalu menolak. Kini setelah dua tahun mereka putus, Jefri justru melakukan permintaannya itu.Sara mengerutkan kenin
Jefri menutup telepon, menahan sakit kepalanya yang hebat, dan bergegas keluar dari vila. Ketika dia melihat Sara masih berdiri di pinggir jalan menunggu taksi, barulah dia ingat Sara datang ke sini tidak pakai mobil sendiri. Jefri menendang diri sendiri dan cepat-cepat menghampirinya."Sara, sesuatu terjadi pada Lilia."Sara sedang memasukkan rute untuk memesan taksi online. Saat mendengar bahwa sesuatu telah terjadi pada Lilia, dia segera menatap Jefri."Apa yang terjadi?""Masuk ke mobil dulu."Jefri menyerahkan kunci mobil kepada Sara dan menggandeng tangannya ke mobil.Setelah keduanya masuk ke dalam mobil, Sara diberi tahu bahwa Lilia dan Yuno sedang sidang pertama hari ini. Yuno ingin membawa Lilia pergi, tetapi dihentikan oleh Reo. Tanpa aba-aba, Yuno langsung menyerang Reo. Artha melerai perkelahian dan bahkan terluka oleh pengawal yang dibawa Yuno.Ini adalah Ostia, wilayah keluarga Gerad dan Safwan, jadi Yuno berani sok berkuasa. Dia berhasil membawa Lilia ke dalam mobil. Or
Lilia tidak memberi tahu Jihan dan Wina tentang gugatannya terhadap Yuno agar tidak membuat mereka khawatir, jadi mereka tidak tahu.Kini, mendengar kabar bahwa Reo dan Artha dipukuli dan Lilia dibawa pergi Yuno, Wina dilanda ketakutan dan bangun dengan tergesa-gesa.Saat Jihan ikut berdiri, dia melirik Aulia yang masih duduk di sofa dengan kepala tertunduk. "Ayo ikut kalau kamu mau."Aulia awalnya berencana pergi setelah mengantar Wina pulang, tetapi Wina mengajaknya mampir sebentar. Memikirkan bahwa itu adalah rumah kakak iparnya, dia pun masuk untuk mengobrol. Siapa sangka kalau akan ada sesuatu menimpa Artha.Dia mengerti maksud Jihan. Pria itu mengajaknya ikut untuk mengunjungi Artha. Namun, dengan hubungannya saat ini dengan Artha, sepertinya agak tidak pantas, tapi .…Memikirkan bagaimana orang tuanya memperlakukan Artha dan bahkan menyakiti neneknya ... Aulia yang menyimpan rasa bersalah pun ikut berdiri.Mereka bertiga bergegas menuju rumah sakit dan melihat Sara berdiri di de
Saat Wina tak hentinya merasa gelisah, Jihan segera memerintahkan bawahannya untuk mencari keberadaan Lilia, lalu menutup panggilan telepon dan berbalik menghadap Daris yang terlihat penuh amarah. "Kamu mau selidiki sendiri?"Daris mengepalkan tinjunya dengan erat, lalu menggelengkan kepalanya, seraya berkata, "Pak Jihan, aku kembali ke Keluarga Safwan dulu."Beberapa dendam memang harus diselesaikan. Kalau tidak ... dirinya dan sepupunya itu mungkin akan selamanya diganggu oleh orang-orang dari Keluarga Safwan!Setelah merenungkannya sejenak, Jihan lalu mengangkat tangannya, memerintahkan beberapa pengawal mengikuti Daris untuk menyelesaikan permasalahan yang sudah terlalu lama tertunda itu.Setelah Daris pergi, tak berniat untuk berlama-lama di rumah sakit, Jihan pun ikut beranjak pergi sembari menggandeng tangan Wina. Namun, sebelum melangkahkan kakinya, Jihan menoleh ke arah Jefri yang sedang duduk di tepi ranjang rumah sakit. "Kalau Lilia sudah ketemu, aku akan beri tahu kalian."
Sementara di sisi Daris. Saat ini, pria itu tengah menendang keras pintu utama rumah Keluarga Safwan, membuat Zakaria Safwan dan Wela Saragih yang tengah berada di ruang makan begitu terkejut melihat Daris yang menerobos masuk.Wela Saragih adalah ibu kandung dari Daris. Sejak keduanya berpisah, mereka sangat jarang bertemu. Ketika Daris masih kecil, Wela akan sesekali pergi ke Kota Aster untuk diam-diam melihatnya, sampai akhirnya hal itu ketahuan oleh Daris, Wela pun tak berani mengunjunginya.Hari itu, Daris memakinya sebagai perempuan simpanan yang sudah merusak rumah tangga orang lain dan merupakan penyebab meninggalnya ibu kandung dari anak orang lain. Daris juga menyebutnya wanita yang tidak tahu malu, yang sudah membuatnya dicap sebagai anak haram. Oleh karena itu, Daris meminta Wela untuk jangan pernah mencarinya selamanya.Saat itu, Wela menangis sepanjang jalan dari Kota Aster hingga kembali ke Kota Ostia. Tak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya, fakta bahwa dirinya ad