Setelah kata-kata ini keluar, wajah dingin Ivan berangsur-angsur diwarnai tatapan mata berat. "Kakiku, aku yang menyebabkannya sendiri. Depresiku juga karena aku sendiri. Itu bukan urusannya, aku akan menjelaskan pada Wina ..."Melihat dia menggerakkan kursi rodanya dan ingin berbalik, Aulia mengulurkan sepatu hak tingginya dan menghambat gerak rodanya. Ivan menoleh ke arah Aulia yang mengangkat dagu dan mengangkat alis kepadanya. "Lepaskan ..."Setelah Aulia menghentikan geraknya, dia melipat tangan di depan dada dan bicara dengan suara dingin kepada Ivan. "Pak Rian, kamu juga harusnya sudah sadar. Nggak peduli seberapa keras kamu meyakinkan Kak Wina bahwa masalahmu nggak ada hubungannya dengan dia, dia tetap akan menempatkan beban itu di pundaknya, karena kamu sudah berjasa terlalu besar di hidupnya.""Sangat besar, sampai dia merasa tidak mungkin bisa membalas budi seumur hidup. Dia cuma bisa menjalani hidup bersama kakakku dipenuhi rasa bersalah. Saat namamu disebut, muncullah rint
Ivan menghentikan langkahnya. "Berapa biayanya?"Aulia hendak mengatakan bahwa dia akan melakukannya dengan sukarela dan tidak perlu biaya apa pun, tetapi takut Ivan malah akan menolak. Jadi, dia asal berkata, "Dua miliar, Pak Rian pasti sanggup, 'kan?"Aulia sengaja mematok tarif sangat tinggi agar Ivan lebih terbuka menerima bantuannya.Ivan tidak bisa membaca pikiran Aulia, tetapi angka dua miliar membuat tenggorokannya tercekat, seperti duri ikan yang tersangkut. Wajahnya memucat. "Sanggup."Sekarang, tentu saja dia sanggup.Aulia langsung berbalik setelah menyelesaikan tugasnya.Ivan tetap diam di tempat untuk beberapa saat. Setelah kembali ke ruang tamu, ternyata Wina masih belum pergi, mungkin karena ingin berpamitan dulu."Ivan, kami pulang dulu hari ini. Kita ketemu lagi lain waktu."Ivan mengangguk. Senyum tipis nan elegan mewarnai sudut bibirnya."Wina, beberapa bulan ke depan mungkin aku ada di luar negeri untuk operasi. Jadi jangan datang ke sini."Nurwan yang mendampingi
Tiba di Istana Ostia, Sara memastikan dengan jelas nomor pintu ruang privat yang dikirimkan ke ponselnya, lalu berjalan masuk mendorong pintunya.Di dalam gelap gulita. Semua lampu padam dan tirai ditutup rapat, sehingga sangat sulit untuk melihat apa pun di sini. Hanya bau alkohol yang memenuhi ruangan, menyengat hidung.Staf yang mengikuti di belakang membantu menyalakan lampu. "Nona Sara, Tuan Muda Jefri tertidur di dalam, orang-orang kami nggak ada yang bisa membangunkannya. Tolong bantu kami mengantarnya pulang."Dia lalu mengeluarkan lembar tagihan dan menyerahkannya kepada Sara. "Totalnya 1,1 miliar. Nona Sara, tolong bantu mengurus pembayarannya terlebih dahulu."Sara melirik tagihan itu sambil memijat pelipisnya menahan diri. Jefri hanya minum anggur yang bagus. Tagihan sebesar ini tidaklah mengherankan sama sekali.Setelah melihat sebentar, dia mengeluarkan sebuah kartu dari tasnya dan menyerahkannya kepada petugas tadi. Lalu dia berbalik diiringi suara tajam sepatu hak tingg
"Jihan yang minta aku datang menjemputmu."Sara lalu membungkuk dan menyodorkan air putih di tangannya ke bibir Jefri. "Nggak ada sup di sini. Minum dulu buat menjernihkan pikiranmu."Jefri yang masih kebingungan melirik ke arah Sara, lalu melirik air yang disodorkan Sara. Perasaannya sedikit kaget dan sedikit senang. Dia membuka bibirnya dan meminum segelas air itu perlahan.Aneh, air mineral ini seharusnya tidak berasa. Kenapa dia bisa mengecap sedikit rasa manis? Mungkinkah air di Ostia lebih enak dari air di Aster?Setelah Jefri menghabiskan segelas air putih, Sara meletakkan gelasnya kembali dan menghampiri Jefri untuk membantunya bangkit. "Ayo, aku antar kamu pulang."Saat jari-jari lembut itu menyentuh lengannya, jantung Jefri bergetar, kebas, seperti ada aliran listrik yang mengalir. Bahkan anggota badan dan tulang-tulangnya pun seperti ikut tersetrum .Setelah berdiri, dia menunduk dan menatap Sara yang lebih pendek darinya, tetapi bisa menopang tubuh jangkungnya. "Terima kasi
Sara membantu Jefri menuju tempat parkir bawah tanah, membuka pintu mobil, dan membantunya masuk ke dalam mobil. Dia memasangkan sabuk pengaman untuk Jefri, lalu mengitari bagian depan mobil dan duduk di kursi pengemudi.Sebelum menyalakan mobil, Sara menoleh dan menatap Jefri yang terbaring di kursi mobil sambil menekan kepalanya kuat-kuat kesakitan. "Di mana rumahmu?"Jefri punya vila pribadi di Ostia, tetapi tidak pernah membawa Sara ke sini saat mereka bersama, jadi Sara tidak tahu.Jefri dengan mata terpejam menyerahkan ponselnya. "Buka maps, alamatnya ada di sana."Setelah itu, dia menambahkan, "PIN-nya tanggal ulang tahunmu."Tangan yang menerima telepon itu gemetar sedikit. Saat masih pacaran, Sara pernah ngambek tanpa alasan dan ngotot meminta Jefri memasang tanggal ulang tahunnya sebagai PIN layar kunci ponselnya.Entah karena ingin menggodanya atau apa, Jefri selalu menolak. Kini setelah dua tahun mereka putus, Jefri justru melakukan permintaannya itu.Sara mengerutkan kenin
Jefri menutup telepon, menahan sakit kepalanya yang hebat, dan bergegas keluar dari vila. Ketika dia melihat Sara masih berdiri di pinggir jalan menunggu taksi, barulah dia ingat Sara datang ke sini tidak pakai mobil sendiri. Jefri menendang diri sendiri dan cepat-cepat menghampirinya."Sara, sesuatu terjadi pada Lilia."Sara sedang memasukkan rute untuk memesan taksi online. Saat mendengar bahwa sesuatu telah terjadi pada Lilia, dia segera menatap Jefri."Apa yang terjadi?""Masuk ke mobil dulu."Jefri menyerahkan kunci mobil kepada Sara dan menggandeng tangannya ke mobil.Setelah keduanya masuk ke dalam mobil, Sara diberi tahu bahwa Lilia dan Yuno sedang sidang pertama hari ini. Yuno ingin membawa Lilia pergi, tetapi dihentikan oleh Reo. Tanpa aba-aba, Yuno langsung menyerang Reo. Artha melerai perkelahian dan bahkan terluka oleh pengawal yang dibawa Yuno.Ini adalah Ostia, wilayah keluarga Gerad dan Safwan, jadi Yuno berani sok berkuasa. Dia berhasil membawa Lilia ke dalam mobil. Or
Lilia tidak memberi tahu Jihan dan Wina tentang gugatannya terhadap Yuno agar tidak membuat mereka khawatir, jadi mereka tidak tahu.Kini, mendengar kabar bahwa Reo dan Artha dipukuli dan Lilia dibawa pergi Yuno, Wina dilanda ketakutan dan bangun dengan tergesa-gesa.Saat Jihan ikut berdiri, dia melirik Aulia yang masih duduk di sofa dengan kepala tertunduk. "Ayo ikut kalau kamu mau."Aulia awalnya berencana pergi setelah mengantar Wina pulang, tetapi Wina mengajaknya mampir sebentar. Memikirkan bahwa itu adalah rumah kakak iparnya, dia pun masuk untuk mengobrol. Siapa sangka kalau akan ada sesuatu menimpa Artha.Dia mengerti maksud Jihan. Pria itu mengajaknya ikut untuk mengunjungi Artha. Namun, dengan hubungannya saat ini dengan Artha, sepertinya agak tidak pantas, tapi .…Memikirkan bagaimana orang tuanya memperlakukan Artha dan bahkan menyakiti neneknya ... Aulia yang menyimpan rasa bersalah pun ikut berdiri.Mereka bertiga bergegas menuju rumah sakit dan melihat Sara berdiri di de
Saat Wina tak hentinya merasa gelisah, Jihan segera memerintahkan bawahannya untuk mencari keberadaan Lilia, lalu menutup panggilan telepon dan berbalik menghadap Daris yang terlihat penuh amarah. "Kamu mau selidiki sendiri?"Daris mengepalkan tinjunya dengan erat, lalu menggelengkan kepalanya, seraya berkata, "Pak Jihan, aku kembali ke Keluarga Safwan dulu."Beberapa dendam memang harus diselesaikan. Kalau tidak ... dirinya dan sepupunya itu mungkin akan selamanya diganggu oleh orang-orang dari Keluarga Safwan!Setelah merenungkannya sejenak, Jihan lalu mengangkat tangannya, memerintahkan beberapa pengawal mengikuti Daris untuk menyelesaikan permasalahan yang sudah terlalu lama tertunda itu.Setelah Daris pergi, tak berniat untuk berlama-lama di rumah sakit, Jihan pun ikut beranjak pergi sembari menggandeng tangan Wina. Namun, sebelum melangkahkan kakinya, Jihan menoleh ke arah Jefri yang sedang duduk di tepi ranjang rumah sakit. "Kalau Lilia sudah ketemu, aku akan beri tahu kalian."
Lama sekali Jodie hanya tertegun setelah menerima berita kematian Wina, tetapi akhirnya bergegas dan mengantar kepergian Wina ke tempat peristirahatan terakhirnya. Setelah semua orang meninggalkan pemakaman, Jodie mengelus batu nisan Wina dengan penuh rindu."Wina."Jodie perlahan berjongkok sambil bertopang pada batu nisan Wina dan menatap wajah Wina dalam foto dengan matanya yang sudah menua ...."Nggak disangka, ya?""Ternyata begitu aku jatuh cinta, rasa cintaku bisa bertahan selama ini," gumam Jodie sambil mengangkat alisnya. "Aku saja nggak tahu kalau aku ternyata tipe orang yang sepenyayang ini."Jodie menatap foto itu dan tersenyum. "Sampai-sampai ... aku merasa nggak ada satu wanita lain pun yang menarik perhatianku. Tuh Wina, aku nggak kalah dari Jihan, 'kan?"Namun, yang menjawab Jodie adalah bunyi kepak sayap burung yang terbang di pemakaman. Setelah semua binatang itu pergi, yang tersisa hanyalah keheningan. Sama heningnya seperti rasa cinta yang selama ini Jodie pendam da
Sebelum kehidupan Wina berakhir, yang terlintas di benaknya adalah rasa cinta yang Jihan sembunyikan selama lima tahun itu ....Saat membalikkan tubuhnya dan bangun, Wina bisa melihat tubuhnya dipeluk dengan erat oleh sepasang lengan yang kuat dan bertenaga. Jika itu bukan cinta, lantas apa ....Wina juga bisa melihat suasana makan di akhir pekan itu dengan jelas. Jihan yang duduk di depannya sesekali melirik Wina melalui ekor matanya. Jika itu bukan karena Jihan sudah lama menyukainya waktu, lantas apa ....Apalagi setelah Jihan selesai melakukannya. Dia akan menggendong dan membiarkan Wina berbaring tengkurap, lalu mengusap-usap punggung Wina untuk menidurkannya seperti anak kecil ....Rasa cinta Jihan terwujud dalam hal-hal kecil. Mungkin sekilas tidak terlihat jelas cinta macam apa itu dan hanya Jihan sendiri yang tahu betapa dia menyayangi dan mencintai Wina ....Mata Wina tidak bisa lagi terbuka, rasanya jiwanya tersedot keluar. Dia tidak punya tenaga lagi untuk bangkit, dia juga
Wina mengelus bagian belakang kepala Delwyn, ekspresinya terlihat sangat tenang seolah-olah dia sudah berdamai dengan kenyataan. "Kapan kamu akan menikah?"Tubuh Delwyn sontak menegang, air mata menggenangi pelupuk matanya. Dia pun perlahan menengadah dan melepaskan Wina. "Ibu ... aku ... aku belum bertemu dengan gadis yang kusuka."Wina bisa melihat pantulan dirinya dari bola mata Delwyn, jadi dia menyentuh wajah putranya. "Kamu lihat sendiri betapa menderitanya ibumu tetap bertahan hidup. Masa kamu nggak mau membiarkan Ibu menyusul ayahmu?"Sewaktu kecil Delwyn dikekang oleh orang tuanya, tetapi sekarang setelah besar, giliran dia yang mengekang orang tuanya. Karena hanya pengekangan ini saja yang bisa mencegah Delwyn menjadi yatim piatu. Jadi ... biarkan Delwyn menjadi egois untuk kali ini saja ....Delwyn meraih lengan Wina dan memohon, "Ibu, tolong tunggu sebentar lagi. Aku akan menemukan gadis yang kusuka dan menikahinya, oke?"Wina tidak tega menyakiti hati putranya, jadi dia me
Demi putranya, Wina sama sekali tidak mengikuti Jihan. Namun, rambut Wina mendadak beruban dalam satu malam dan wajahnya seolah menua sepuluh tahun. Kerutannya sontak tampak lebih kentara, tatapan matanya selalu terlihat kosong.Di depan makam Jihan, Wina meminta Jihan untuk menunggunya. Sekarang Wina sudah punya anak, jadi dia tidak bisa melakukan sesuatu dengan asal. Nanti setelah putra mereka menikah, barulah Wina akan pergi menyusul Jihan. Jika Jihan ternyata tidak menunggunya, Wina akan menarik kembali janjinya tentang kehidupan selanjutnya sehingga mereka tidak akan pernah bertemu lagi ....Wina tidak menghadiri pemakaman Jihan. Itu sebabnya dia akhirnya terbangun, lalu berjalan ke makam Jihan dengan tubuh yang terhuyung-huyung. Tidak ada yang tahu tentang apa yang Wina katakan kepada Jihan, selain Delwyn yang memapah ibunya untuk menemui ayahnya ....Malam itu, Wina tiba-tiba pingsan di salju dan segera dibawa ke rumah sakit untuk diberikan pertolongan pertama. Wina baru sadar s
Bulu mata Wina tampak bergetar. Dia mengangkat matanya yang terkesan kosong dan menatap ke kejauhan. "Nggak, aku nggak akan ke mana-mana. Kami akan tetap di sini sampai aku ikut mati beku. Nggak akan ada yang bisa memisahkan kami."Semua orang sontak merasa tercekat. Mereka semua bergegas membujuk Wina agar jangan melakukan hal bodoh, tetapi Wina tidak mengacuhkan semua omongan mereka. Dia hanya duduk diam di sana sambil memeluk Jihan, menunggu ajal menjemputnya.Delwyn akhirnya menggenggam tangan Wina dengan erat sehingga pandangan Wina beralih kepadanya. "Ibu, aku tahu betapa Ibu mencintai Ayah dan Ibu pasti sulit menerima kenyataan ini, tapi tolong jangan lakukan hal bodoh. Aku sudah kehilangan Ayah dan aku nggak bisa kalau harus kehilangan Ibu juga ...."Suara putranya membuat Wina akhirnya perlahan menatap Delwyn. Wina menyentuh wajah Delwyn yang tampak begitu mirip dengan Jihan, lalu tersenyum kecil dengan senang ...."Ibu sudah lama mempersiapkan diri untuk kematian ayahmu. Kare
Air mata Wina pun mendadak mengalir turun. Tidak ada tangisan yang memilukan hati, hanya keheningan dan bibir Wina yang terbuka. Wina ingin mengatakan sesuatu, tetapi sepertinya dia sudah mengatakan semua yang ingin dia katakan kepada Jihan. Pada akhirnya, Wina hanya menurunkan pandangannya menatap wajah Jihan yang sudah pucat itu ...."Bodoh. Mau seberapa banyak pun darahmu mengalir keluar, kamu tetap suamiku. Mana mungkin aku takut? Aku nggak takut. Kenapa kamu malah pergi ke tempat seperti ini sendirian?"Yang membuat Wina merasa begitu getir adalah karena dia tidak sempat berpamitan untuk terakhir kalinya. Namun, Jihan sama sekali tidak memikirkan rasa penyesalan Wina dan fokus ingin menyembunyikan kondisinya dari Wina ....Lantas, bagaimana jika ... Wina tidak mengenali tiruan Jihan? Apa itu berarti Wina tidak akan pernah menemukan tubuh Jihan? Apa itu berarti Jihan akan selamanya terkubur beku di bawah salju ....Jihan sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum ajal menjemputn
Saat Delwyn meraih tangan Jihan dengan gemetar, Wina sontak menengadah seolah mendapatkan firasat. Dia melihat ke arah Delwyn sekilas, lalu bergegas merangkak menghampiri putranya dengan rambut acak-acakan seperti orang gila.Wina tetap tidak menangis. Dia bahkan menyentuh tangan yang kaku dan putih membeku itu dengan tatapan tegas, lalu menurunkan pandangannya yang bergetar dan menggali salju yang menutupi tubuh Jihan dengan tangannya yang sudah berdarah.Salju yang menumpuk di gunung lebih dalam, setiap lapisannya mengubur Jihan. Wina berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengeluarkan suaminya dari dalam salju, lalu akhirnya melihat wajah Jihan yang berlumuran darah. Tidak ada rona kemerahan apa pun di wajah yang tampan itu, hanya ada noda darah dan salju yang menghiasi ....Delwyn menatap sosok ayahnya dengan tidak percaya. Dia pun jatuh terduduk, hatinya terasa remuk redam. Langit seolah mendadak runtuh dan hanya ada kegelapan tak berujung yang menyelimuti ...."Delwyn.""Tolong Ibu,
Wina yang sedang mencari ke mana-mana sontak berhenti melangkah, rasanya dia seperti mendengar ada yang memanggil namanya. Wina pun menoleh dengan tatapan kosong, tetapi terlihat jelas hanya ada dia di sini.Wina berdiri dalam diam, lalu memegangi dadanya yang berdetak dengan begitu kuat. Tiba-tiba, hatinya terasa tersayat seolah-olah dia akan kehilangan sesuatu. Saking sakitnya, Wina sampai membungkukkan tubuhnya. Akan tetapi, rasa sakit itu tidak kunjung hilang ....Firasatnya mengatakan bahwa sesuatu terjadi pada Jihan. Di saat Wina ingin kembali mencari Jihan, tiba-tiba sosok Jihan yang tampan muncul di hadapannya sambil membawa sebuket mawar."Sayang, kok kamu di sini? 'Kan sudah kubilang tunggu aku?"Begitu melihat Jihan tampak baik-baik saja, jantung Wina yang semula berdegap kencang mendadak menjadi tenang kembali.Wina langsung melempar payungnya dan melompat memeluk Jihan dengan gembira.Wina menghela napas lega saat merasakan hangat tubuh dan napas Jihan."Sayang, kamu tahu
Saat melihat Jihan berdiri sempoyongan dan mengerahkan sedikit tenaga untuk melambaikan tangannya, Jefri akhirnya tidak tahan lagi. Dia menggertakkan gigi dan berlari secepat mungkin ke dasar Gunung Kiron ...."Kak Jihan, aku panggil dokter dulu, terus menyuruh robot itu naik gunung dan baru setelah itu aku akan menjemputmu! Kakak berdiri saja di sana dan tunggu aku, ya! Aku akan segera kembali!"Jalan gunung di malam hari memang tidak dapat diprediksi, salju yang turun dari langit seolah menjadi sumber penerangan. Jefri merasa seperti sedang berjalan di siang hari. Namun, saking langkahnya terburu-buru, Jefri sampai beberapa kali jatuh tersungkur ke atas tanah dan dia bahkan tidak tahu berjalan ke arah mana ....Jihan memandangi punggung Jefri yang berangsur-angsur menghilang dari pandangannya, lalu memegangi dadanya. Dia bisa merasakan detak jantungnya yang perlahan melambat. Jihan berdiri diam sambil merasakan bagaimana nyawanya meregang ....Entah berapa lama waktu berlalu, yang je