Mendengar Jihan mengatakan sakit kepala, hati Wina tercekat dan dia bergegas mengelus pelipisnya."Sakitnya kambuh lagi?"Memikirkan kemungkinan itu, dia menyeret Jihan ke luar."Ayo periksa ke rumah sakit."Dia paling takut akan terjadi sesuatu pada Jihan. Jika saat itu terjadi, dia tidak bisa melanjutkan hidupnya.Jihan meraih pergelangan tangan Wina dan menariknya ke dalam pelukannya lagi, lalu memeluk pinggangnya dan mendudukkannya di atas meja."Sudah diperiksa dokter tadi. Katanya karena kebanyakan pikiran. Nggak akan kambuh lagi, tenang saja."Dengan kata-kata seperti inilah Jihan berbohong padanya saat menderita tumor otak dulu. Pada akhirnya?"Kalau kamu ingin aku tenang, dengarkan aku. Ayo ke rumah sakit."Dia tahu perusahaan keluarga Jihan memiliki cabang rumah sakit di Ostia. Semalam apa pun, akan ada dokter yang siap sedia untuk memeriksanya.Memikirkan hal ini, Wina tidak peduli Jihan setuju atau tidak. Dia langsung turun dari meja dan cepat-cepat menyeretnya untuk ganti
"...""Nggak mau."Bicara saja jarang. Disuruh menyanyi?Wina membuka matanya yang mengantuk dan melirik sekilas."Kukira kamu bisa segalanya ...."Jihan yang spontan terpancing pun merasa ada sesuatu yang familier dalam kata-kata itu ....Dia tidak terlalu memikirkannya, hanya mengeluarkan ponselnya dan mengunduh aplikasi musik.Setelah memasangnya, dia memeluk Wina dengan satu tangan dan mencari-cari daftar lagu rekomendasi."Kamu ingin dengar lagu apa?""Apa saja asal kamu yang nyanyi."Jihan terdiam beberapa detik, kemudian memilik lagu secara asal. Itu adalah sebuah lagu versi bahasa Kameria.Untungnya, dia punya ingatan fotografis dan bisa hafal melodinya hanya dalam sekali dengar.Dia terbatuk kecil, menunduk dengan ragu menatap wanita dalam pelukannya."Kamu yakin?"Wina mengangguk. Siapa suruh dia menyiksanya kemarin. Dia harus merasakan pembalasannya.Jihan hanya mendesah, apa lagi yang bisa dia lakukan? Dengan perasaan hangat sekaligus enggan, dia membuka mulutnya ....Mungk
"Tapi kamu bukannya sudah sibuk sendiri?""Aku cuma mengelola studio, jadi waktu luangku lumayan banyak. Kebetulan hasil kerajinanku sedang dipamerkan di Ostia beberapa waktu ini."Aulia punya sifat yang langsung melaksanakan apa yang dia katakan. Dia langsung mengambil tasnya dan bangkit."Ayo, antar aku menemui Pak Rian."Wina baru saja akan mengatakan sesuatu ketika Aulia memotongnya dengan sebuah kalimat."Ini cuma saran dariku. Soal Pak Rian setuju atau nggak itu lain cerita. Jangan khawatirkan apa-apa dulu."Wina bukannya takut terlalu merepotkan diri sendiri. Masalahnya, analisa dan usulan awal ini mengandalkan kerja sama Ivan. Duduk-duduk saja membicarakannya di sini hanya akan membuang waktu. Lebih baik langsung menanyakan pendapat Rian.Setelah Aulia berkata seperti itu, Wina tidak menyatakan keberatan. Saat dia berdiri, dia melirik pria yang duduk bertopang dagu di sampingnya."Sayang, kamu mau ikut?"Ekspresi Jihan yang acuh tak acuh berubah sedikit."Nggak."Dia mengatakan
Aulia mengangguk tetapi tidak menjawab, hanya melihat ke arah peralatan minum teh yang terletak di ujung meja, "Pak Rian masih suka membuat teh?"Ivan mengikuti mata Aulia dan melirik ke sana. "Kadang-kadang."Aulia mengangguk sekali lagi dan berhenti bicara.Hal ini membuat Ivan sedikit bingung. Meski demikian, dia tidak bisa memaksa orang lain untuk bicara. Dia hanya mengarahkan tatapannya pada Wina yang sedang makan pelan-pelan sambil menunduk.Setelah kunjungan Wina kemarin, Ivan tidur satu jam lebih lama dari biasanya. Dia juga bermimpi indah. Dalam mimpi itu, dia dan Wina memenuhi janji yang mereka buat saat masih muda, menikah, punya anak, saling berpelukan, dan kemudian hidup sampai tua bersama.Saat terbangun dari mimpinya, Ivan memandangi cahaya bulan di luar jendela dan menggantikan sosok dalam mimpinya dengan Jihan, barulah dia dapat melepaskan diri dari mimpi itu.Melihat Aulia tidak menyebutkan apa pun tentang rencana terapinya, Wina memberinya sebuah tatapan. Lalu Aulia
Setelah kata-kata ini keluar, wajah dingin Ivan berangsur-angsur diwarnai tatapan mata berat. "Kakiku, aku yang menyebabkannya sendiri. Depresiku juga karena aku sendiri. Itu bukan urusannya, aku akan menjelaskan pada Wina ..."Melihat dia menggerakkan kursi rodanya dan ingin berbalik, Aulia mengulurkan sepatu hak tingginya dan menghambat gerak rodanya. Ivan menoleh ke arah Aulia yang mengangkat dagu dan mengangkat alis kepadanya. "Lepaskan ..."Setelah Aulia menghentikan geraknya, dia melipat tangan di depan dada dan bicara dengan suara dingin kepada Ivan. "Pak Rian, kamu juga harusnya sudah sadar. Nggak peduli seberapa keras kamu meyakinkan Kak Wina bahwa masalahmu nggak ada hubungannya dengan dia, dia tetap akan menempatkan beban itu di pundaknya, karena kamu sudah berjasa terlalu besar di hidupnya.""Sangat besar, sampai dia merasa tidak mungkin bisa membalas budi seumur hidup. Dia cuma bisa menjalani hidup bersama kakakku dipenuhi rasa bersalah. Saat namamu disebut, muncullah rint
Ivan menghentikan langkahnya. "Berapa biayanya?"Aulia hendak mengatakan bahwa dia akan melakukannya dengan sukarela dan tidak perlu biaya apa pun, tetapi takut Ivan malah akan menolak. Jadi, dia asal berkata, "Dua miliar, Pak Rian pasti sanggup, 'kan?"Aulia sengaja mematok tarif sangat tinggi agar Ivan lebih terbuka menerima bantuannya.Ivan tidak bisa membaca pikiran Aulia, tetapi angka dua miliar membuat tenggorokannya tercekat, seperti duri ikan yang tersangkut. Wajahnya memucat. "Sanggup."Sekarang, tentu saja dia sanggup.Aulia langsung berbalik setelah menyelesaikan tugasnya.Ivan tetap diam di tempat untuk beberapa saat. Setelah kembali ke ruang tamu, ternyata Wina masih belum pergi, mungkin karena ingin berpamitan dulu."Ivan, kami pulang dulu hari ini. Kita ketemu lagi lain waktu."Ivan mengangguk. Senyum tipis nan elegan mewarnai sudut bibirnya."Wina, beberapa bulan ke depan mungkin aku ada di luar negeri untuk operasi. Jadi jangan datang ke sini."Nurwan yang mendampingi
Tiba di Istana Ostia, Sara memastikan dengan jelas nomor pintu ruang privat yang dikirimkan ke ponselnya, lalu berjalan masuk mendorong pintunya.Di dalam gelap gulita. Semua lampu padam dan tirai ditutup rapat, sehingga sangat sulit untuk melihat apa pun di sini. Hanya bau alkohol yang memenuhi ruangan, menyengat hidung.Staf yang mengikuti di belakang membantu menyalakan lampu. "Nona Sara, Tuan Muda Jefri tertidur di dalam, orang-orang kami nggak ada yang bisa membangunkannya. Tolong bantu kami mengantarnya pulang."Dia lalu mengeluarkan lembar tagihan dan menyerahkannya kepada Sara. "Totalnya 1,1 miliar. Nona Sara, tolong bantu mengurus pembayarannya terlebih dahulu."Sara melirik tagihan itu sambil memijat pelipisnya menahan diri. Jefri hanya minum anggur yang bagus. Tagihan sebesar ini tidaklah mengherankan sama sekali.Setelah melihat sebentar, dia mengeluarkan sebuah kartu dari tasnya dan menyerahkannya kepada petugas tadi. Lalu dia berbalik diiringi suara tajam sepatu hak tingg
"Jihan yang minta aku datang menjemputmu."Sara lalu membungkuk dan menyodorkan air putih di tangannya ke bibir Jefri. "Nggak ada sup di sini. Minum dulu buat menjernihkan pikiranmu."Jefri yang masih kebingungan melirik ke arah Sara, lalu melirik air yang disodorkan Sara. Perasaannya sedikit kaget dan sedikit senang. Dia membuka bibirnya dan meminum segelas air itu perlahan.Aneh, air mineral ini seharusnya tidak berasa. Kenapa dia bisa mengecap sedikit rasa manis? Mungkinkah air di Ostia lebih enak dari air di Aster?Setelah Jefri menghabiskan segelas air putih, Sara meletakkan gelasnya kembali dan menghampiri Jefri untuk membantunya bangkit. "Ayo, aku antar kamu pulang."Saat jari-jari lembut itu menyentuh lengannya, jantung Jefri bergetar, kebas, seperti ada aliran listrik yang mengalir. Bahkan anggota badan dan tulang-tulangnya pun seperti ikut tersetrum .Setelah berdiri, dia menunduk dan menatap Sara yang lebih pendek darinya, tetapi bisa menopang tubuh jangkungnya. "Terima kasi