Share

Chapter 2

Author: APStory
last update Last Updated: 2024-12-02 16:22:57

“Aku sedang sibuk. Tidak ada waktu mengobrol denganmu.” Alvin mengabaikan pertanyaan Mireya dan mengambil langkah mundur.

“Tunggu!” Mireya mencengkeram lengan pria itu, menahan kepergiannya. “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” ujarnya.

Alvin mendengkus kesal. “Apa kamu tidak dengar? Aku sedang sibuk!”

Tanpa terasa air bening berlinang dari pelupuk mata Mireya, membasahi pipinya. Hanya dengan melihat reaksi Alvin, Mireya dapat menemukan sendiri jawabannya.

“Kalian benar-benar berpacaran, ya?” tanya Mireya sekali lagi. Dia masih tidak percaya jika Alvin memang benar menjalin hubungan dengan wanita lain.

Hening. Baik Alvin maupun Shela sama-sama memilih bungkam.

“Kenapa, Al? Apa kamu marah karena semalam aku tiba-tiba menghilang tanpa kabar?” Mireya mulai menebak-nebak. “Al, tolong dengarkan dulu penjelasanku, aku tidak—”

Alvin menyela, “Sudahlah, Reya! Aku tidak ingin mendengar apa pun darimu. Mulai sekarang jangan hubungi aku lagi!”

Mireya menggeleng cepat. “Kita masih bisa membicarakannya baik-baik. Kamu hanya perlu mendengar penjelasanku.”

Alvin merasa sangat risih. Berulang kali dia menepis tangan Mireya, tapi wanita itu bersikeras menahan kepergiannya.

Shela ikut kesal, lalu memaki, “Dasar murahan! Kalau Alvin bilang tidak mau, tidak usah dipaksa! Apa kamu sudah tidak punya harga diri lagi, sampai rela mengemis begini?”

Seketika Mireya terkekeh. “Kamu bilang, aku murahan?” ulangnya. “Bukankah kamu yang menjadi orang ketiga dalam hubungan kami? Kamu yang seharusnya disebut murahan, bukan aku!”

Shela berdecih sinis, menatap Alvin dan menggandeng lengannya agar Mireya semakin cemburu. “Sayang, benarkah yang dia katakan? Apa aku hanya orang ketiga dalam hubungan kalian? Ah ... aku sangat sedih sekarang,” ucapnya dengan nada manja yang dibuat-buat.

“Itu tidak benar, Sayang. Kamu adalah satu-satunya untukku,” balas Alvin seraya mengecup lembut pelipis Shela.

Dada Mireya semakin sesak mendengar pengakuan langsung dari mulut Alvin. Hatinya semakin terluka menelan pahitnya kecewa.

“Apa aku tidak salah dengar?” Mireya bergumam pelan sambil terkekeh hambar, merasa sangat bodoh sekarang. “Katakan ... ini hanya bercanda, ‘kan?” harapnya.

Shela memasang wajah murung, tapi matanya melirik Mireya dengan angkuh. “Sepertinya masih ada yang tidak percaya di sini. Bisakah kamu menjelaskan lebih detail untukku, Sayang?”

Alvin mengangguk, menarik pandangan tajam ke wajah Mireya. “Jangan bersikap seperti orang gila, Reya! Kamu dan aku tidak pernah berpacaran!” tegasnya.

“Tidak pernah berpacaran?” Mireya segera mendongak, menatap nanar Alvin. “Lalu apa arti dari ucapanmu satu bulan lalu? Bukankah kamu sendiri yang mengatakan suka padaku?” tukasnya.

“Aku hanya mengatakan kagum pada perempuan sebaik kamu, tapi tidak pernah mengajakmu menjalin hubungan seserius itu,” beber Alvin sembari memperhatikan penampilan Mireya yang selalu terlihat sederhana setiap harinya.

Hanya memakai blus putih berbalut cardian, juga celana bahan panjang yang sudah menjadi ciri khasnya.

Alvin menegaskan, “Aku dan kamu bagaikan bumi dan langit, Reya! Kenapa berlebihan sekali mengira aku jatuh cinta padamu? Cih!”

“Lalu apa alasan kamu mendekatiku?” tanya Mireya.

“Oh, itu?” Alvin terkekeh santai tanpa merasa bersalah. “Aku bertaruh dengan orang-orang kantor.”

Kepalan tangan Mireya mengendur seketika. Tubuhnya begitu lemas seakan tulang lepas serentak dari daging. “Bertaruh?” gumamnya.

Mireya terkekeh getir. Apakah Alvin mengira dirinya adalah barang yang bisa dipertaruhkan?

“Kamu sangat licik ...” ujar Mireya dengan emosi besar yang menuntut untuk diledakkan. “Suatu saat kamu akan menyesalinya dan bertekuk lutut memohon maaf padaku!”

“Teruslah bermimpi!” Alvin berdecih remeh.

***

Kehidupan Mireya yang awalnya monoton—bahkan nyaris membosankan—kini menjadi sangat kacau setelah melewati satu malam bersama pria tak dikenal.

Beban yang dia tanggung bertambah semakin berat, pun isi kepalanya terasa begitu sesak dan berisik.

Selain meninggalkan luka dan rasa takut akan pandangan orang lain terhadapnya, kejadian di malam itu juga menyisakan gumpalan daging sebesar biji kacang yang terus bertumbuh di kantung rahimnya.

Tiga minggu setelah kejadian, Mireya mengalami telat datang bulan dan cukup sering merasakan kram perut serta mual di jam-jam tertentu.

Pikiran Mireya masih cukup positif kala itu. Jadi, dia mengira perubahan siklus haid yang dialaminya disebabkan oleh stress yang berlebihan, sedangkan mual dan kembung merupakan efek normal dari pola makan yang tidak teratur. Namun, dokter justru menyatakan dirinya hamil dan usia kandungannya sudah berjalan dua bulan ketika dia konsultasi perihal kondisinya.

Mireya dilema, antara harus mempertahankan atau menggugurkan janin tak berdosa itu.

Namun, mengingat dirinya juga terlahir sebagai anak yang tidak diharapkan akibat ‘kecelakaan’, dia tidak tega jika harus menghilangkan satu nyawa tak berdosa di rahimnya.

Maka, dia bertekad untuk menjaga dan membesarkan bayi di kandungannya seorang diri.

Hingga sampai kabar kehamilan itu terdengar, Mireya diusir dari rumah karena ayahnya sendiri bahkan sangat malu dan menganggap statusnya sebagai aib yang hanya akan mencoreng nama baik keluarga.

“Wanita murahan sepertimu memang pantas diusir!” Karin melempar koper berisi pakaian Mireya ke lantai teras.

Sambil menangis, Mireya menghampiri Henry, mencoba bernegosiasi supaya ayah kandungnya itu mau memberi kesempatan untuk dirinya menyelesaikan masalah yang terjadi.

“Ayah, kumohon jangan usir aku!” pinta Mireya dengan wajah mengharap belas kasihan. “Apakah Ayah tidak khawatir bagaimana aku akan menjalani hidup setelah ini?”

Henry melengos, menghindari tatapan Mireya. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya untuk menanggapi ucapan sang anak.

Lantas Karin menggandeng lengan Henry. “Sayang, jika dia tetap tinggal bersama kita dalam kondisi hamil, itu bisa merusak nama baik keluarga dan kamu pasti akan menjadi bahan olokan di kantor. Jika kita tidak bertindak tegas, aku takut hal itu berdampak buruk juga untuk Felly. Dia pasti akan sangat malu jika sampai teman-temannya tahu masalah ini.”

Di tengah rasa kecewa yang besar, Henry termakan oleh hasutan Karin dan berpikir bahwa Mireya memang perlu menerima konsekuensi atas situasi yang terjadi.

“Ayah, semua ini bukan kesalahanku. Aku benar-benar tidak tahu kenapa pria itu bisa masuk ke kamar,” ungkap Mireya, masih belum menyerah. “Bisakah ... Ayah percaya padaku sekali ini saja?” lanjutnya.

Pria paruh baya itu mengembuskan napas panjang dan melengos ke sembarang arah.

Mireya mengulurkan tangan hendak menyentuh lengan Henry. “Ayah ....”

Henry menepis tangan Mireya dengan penuh keterpaksaan. “Pergilah ...” ucapnya.

“Ayah, tapi—”

“Kubilang, pergilah!” potong Henry. Suaranya naik dua oktaf, sehingga itu membuat Mireya tertegun dan semakin luruh dalam kesedihan.

Sore itu, Mireya terpaksa angkat kaki dari rumah karena tidak punya pilihan lain. Dia genggam rasa kecewa itu erat-erat. Dia biarkan air mata berceceran di atas luka-luka yang menggerogoti dadanya semakin parah.

Mireya pergi tanpa arah dan tujuan. Mengingat Henry yang merupakan anak semata wayang, juga kakek, nenek dan ibu kandungnya yang telah tiada, membuatnya tidak memiliki tempat lain untuk pulang.

Terlebih lagi, Mireya juga tidak dekat dengan keluarga maupun sanak saudara dari ibunya. Sebab, mereka tidak akan sudi mengakui dirinya yang dianggap sebagai anak haram.

Beruntung, Mireya memiliki seorang sahabat yang menawarkan tinggal di rumahnya selama beberapa waktu.

“Terima kasih, ya, Bell. Kalau bukan atas kebaikan kamu, aku tidak tahu harus pergi ke mana lagi sekarang,” ujar Mireya.

Gadis bernama Bella itu tersenyum sambil meletakkan kedua tangan di atas bahu Mireya. “Dengar, Mireya! Kita sudah saling kenal cukup lama, bahkan kamu juga selalu membantu segala kesulitan yang aku lalui. Jadi, bagaimana bisa aku membiarkanmu sendirian dalam kondisi begini?”

Mireya sangat terharu dan tidak tahu harus mengatakan apa lagi.

Di tengah peliknya kisah yang dia jalani, setidaknya Mireya masih bisa bersyukur telah mengenal Bella.

Akan tetapi, dia sadar, jika dirinya terus menumpang makan dan tidur, itu hanya akan menyusahkan Bella. Apalagi dia sudah memutuskan resign dari tempat kerjanya setelah bertengkar dengan Alvin.

Mireya berpikir, akan jauh lebih baik jika dia menghasilkan uang agar tidak selalu menjadi beban bagi Bella. Maka, dia bertekad mencari pekerjaan. Apa pun itu, asalkan halal pasti akan dijalani.

“Kamu yakin mau cari pekerjaan?” tanya Bella memastikan.

“Yakin.” Mireya mengangguk pasti tanpa sedikit pun merasa ragu.

“Tapi bagaimana dengan kehamilan kamu? Bukankah orang yang sedang hamil trimester pertama tidak boleh terlalu banyak bergerak, apalagi bekerja?” ucap Bella khawatir.

Mireya tersenyum. “Kalau dapat posisi di bagian kantor, aku tidak perlu terlalu banyak gerak. Lagipula, kalau terus diam di rumah, itu hanya akan membuatku bosan dan stress. Bukankah itu juga tidak baik untuk kehamilan?”

Melihat tekad Mireya yang sepertinya tidak main-main, Bella hanya bisa menghela napas dan tidak banyak berkomentar.

Beberapa hari kemudian, Bella mengabarkan bahwa di perusahaan tempatnya bekerja kebetulan sedang membuka lowongan.

Mireya pun segera membuka link pendaftaran yang dikirim oleh Bella, lalu memasukkan data dirinya di sana.

Setelah menunggu selama hampir dua minggu, Mireya mendapatkan panggilan untuk melakukan interview kerja. Dia pun dengan senang hati datang ke perusahaan bersama Bella yang hendak bekerja.

“Semangat, Mireya! Kamu pasti bisa,” ucap Bella sambil mengangkat tangan ke udara.

Mireya mengembuskan napas panjang, mencoba mengusir gugup. “Terima kasih,” sahutnya.

Sementara Bella mulai memasuki ruang kerjanya, Mireya diarahkan oleh seseorang untuk masuk ke lift menuju ke lantai nomor dua belas. Di sana sudah ada beberapa peserta yang duduk menunggu di depan ruangan.

Mireya mengeluarkan selembar kertas berisi materi seputar job interview ketika dirinya baru saja duduk di kursi kosong.

Meskipun yakin dengan kemampuannya sendiri, tetapi entah kenapa berhadapan dengan orang baru selalu saja membuat kadar kepercayaan dirinya menurun.

Terlebih lagi, Mireya sudah mendengar cerita dari Bella mengenai sikap bosnya yang terkenal arogan dan menyebalkan. Maka, sejak satu minggu yang lalu Mireya telah menguatkan mental agar bersikap tenang dan sabar menghadapi orang begitu.

“Tuan Mervyn sudah datang!”

Mireya mendongak saat mendengar pengumuman mengenai kedatangan seseorang yang sepertinya membawa pengaruh besar di perusahaan.

Orang-orang itu kembali fokus pada pekerjaannya masing-masing. Lorong yang tadinya masih dia temukan dua atau tiga orang yang berlalu-lalang, seketika menjadi sepi dalam hitungan detik.

Tak lama setelah itu, pandangan Mireya beralih ke arah pintu lift yang terbuka. Ada dua pengawal berpakaian serba hitam yang berdiri menyambut di depan pintu.

Hingga saat dirinya menatap wajah seseorang yang baru saja keluar dari lift, jantung Mireya berdesir kencang seperti mau copot.

‘Ya, Tuhan ... b–bukankah dia orang yang masuk ke kamar hotel di malam itu?’ batin Mireya mulai tidak tenang.

Bersambung ….

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 3

    Saat melihat wajah Mervyn, Mireya yakin seratus persen bahwa itu adalah laki-laki asing yang telah merenggut kesuciannya di sebuah hotel. Mervyn melangkah percaya diri diikuti beberapa pengawal di belakangnya. Mireya terpaku dan jantungnya berdebar kencang saat Mervyn tak sengaja meliriknya. Tatapan Mervyn begitu tajam dan menyimpan banyak rahasia, sehingga Mireya tak mampu menemukan makna di balik sorot matanya yang penuh misteri. Adegan saling pandang itu terjadi tidak lebih dari tiga detik. Mervyn mengalihkan tatapan ke depan dan mengabaikan Mireya seperti bukan sesuatu yang berarti. “Sepertinya dia tidak mengingatku.” Mireya bergumam pelan yang hanya dapat didengar oleh diri sendiri. Dia berpikir, mungkin akan jauh lebih baik jika Mervyn tidak mengenalinya. Bisa jadi Mervyn sudah memiliki pacar atau bahkan seorang istri. Mireya tentu akan terlibat masalah besar jika pasangan Mervyn tahu kalau pria itu pernah tidur dengannya. Di sisi lain, bercinta dengan orang asing ba

    Last Updated : 2024-12-02
  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 4

    Mireya memegang gagang pintu dengan tangan gemetar. Sekujur tubuhnya seakan membeku saat mendengar pertanyaan Mervyn. “Saya belum bertemu lagi dengan Alvin, Pak,” ucap Rayyan, “Jadi, belum ada informasi apa pun yang saya dapatkan tentang wanita itu.” Alvin? Mireya bertanya-tanya, apakah Alvin yang sedang dibicarakan adalah mantan pacarnya? Jika iya, dia sungguh kehilangan kata-kata untuk mengekspresikan kemarahannya. Alvin terlalu jahat dan licik. Bahkan gelar ‘iblis’ pun masih terlalu halus jika disematkan pada pria itu. “Sudah kamu coba hubungi nomor teleponnya?” Suara Mervyn begitu dingin, tapi juga tegas. Rayyan mengangguk, “Sudah, Pak, tapi nomor teleponnya tidak aktif.” Mervyn menghela napas. “Cari tahu secepatnya.” “Baik, Pak!” Rayyan tidak punya pilihan untuk menolak, sehingga yang dia lakukan hanyalah mengangguk. Dalam keheningan, mata elang Mervyn tak sengaja melirik Mireya yang sejak tadi masih bergeming di dekat pintu. Apa wanita itu sedang menguping pemb

    Last Updated : 2024-12-05
  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 5

    Mireya dan Bella menoleh ke sumber suara—yang mana seorang wanita tampak melangkah semakin dekat ke arah mereka. “Mama!” Ternyata itu adalah Irene, ibunya Bella yang baru saja pulang dari urusan bisnis di luar kota. Bella menyambut kedatangan ibunya dengan pelukan hangat. “Wah, ada siapa di sini?” Irene menatap Mireya dengan sorot mata yang memancarkan kehangatan. Mereka sudah saling kenal, tentu saja. Apalagi Mireya adalah sahabat terbaik Bella. Walaupun tidak sering, tetapi Mireya pernah beberapa kali bertemu Irene saat ada kesempatan main ke sini. Mireya mencium punggung tangan Irene dengan sopan, lalu basa-basi menanyakan kabar satu sama lain. Namun, saat hidungnya menyentuh kulit tangan Irene, Mireya mencium aroma wewangian yang membuat dirinya pusing dan mual. “Maaf, aku harus ke belakang.” Mireya pamit ke wastafel untuk menyudahi dorongan kuat dari dalam lambungnya. Pada akhirnya, Mireya hanya muntah angin karena tidak ada sisa makanan yang keluar dari mulutnya

    Last Updated : 2024-12-06
  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 6

    Mireya baru saja membeli sebungkus roti dan air mineral di minimarket. Usia kehamilan pada trimester pertama membuatnya lebih sering merasa lapar. Di sisi lain, dia juga harus memikirkan bagaimana agar sisa uangnya bisa mencukupi hingga setidaknya satu bulan ke depan. Mau tak mau, dia harus hidup hemat dan memangkas segala pengeluaran yang tidak perlu. “Terima kasih,” ucapnya kepada kasir usai melakukan pembayaran. Saat ingin meninggalkan minimarket, tiba-tiba hujan turun dengan lumayan deras. Terpaksa Mireya harus berteduh karena tidak membawa mantel ataupun payung. Mireya duduk di atas kursi yang tersedia di teras minimarket. Dia membuka bungkus roti dan mulai memakannya sebagian, sementara setengah sisanya akan dia simpan untuk dimakan saat nanti lapar lagi. Detik selanjutnya, seorang wanita tua baru saja keluar dari minimarket dan ikut berteduh di sebelah Mireya. Di samping wanita itu, ada sosok pemuda bertubuh tinggi kurus yang terlihat mencurigakan. Akan tetapi, wa

    Last Updated : 2025-01-06
  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 7

    Suara itu menyadarkan Mireya dari lamunan. Di sampingnya sudah ada Sania sedang berdiri dengan tangan menyentuh lembut bahunya. Sontak Mireya tersenyum seolah tidak ada masalah apa pun. “Aku baik-baik saja, Nek,” dustanya. Meski senyuman itu terlukis di bibirnya, tetapi Sania melihat titik kegetiran yang berpendar di balik tatapan nanar wanita malang itu. Sania berpikir bahwa Mireya mungkin tidak nyaman jika orang lain mencampuri urusannya terlalu dalam—apalagi mereka tidak saling mengenal sebelumnya. Jadi, dia memutuskan untuk tidak bertanya lebih banyak. “Masalah yang dihadapi setiap orang memang berbeda-beda, tapi apa pun itu, jangan pernah berhenti berjuang!” ujar Sania dengan tulus. “Kamu boleh istirahat sejenak saat lelah, tapi jangan sampai menyerah. Kamu tahu apa? Gadis Kecil, dunia sangat kekurangan orang-orang sebaik kamu,” pungkasnya. Kalimat itu terdengar seperti sumber kekuatan yang merangkak masuk ke telinga, lalu merayap dan mengendap di dalam tubuh Mireya. M

    Last Updated : 2025-01-06
  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 8

    Mervyn memandangi wajah Mireya lekat-lekat. Merasa tidak asing, dia mengernyit ketika menyadari bahwa Mireya merupakan orang yang telah mengikuti seleksi di perusahaannya. Tatap mata mereka saling bertemu selama beberapa detik. Entah kenapa dada Mervyn berdesir cepat, seakan ada energi kuat di balik mata cantik Mireya yang tak dapat dijabarkan. Sampai akhirnya, wanita itu mulai hilang kesadaran dan menghentikan momen canggung di antara mereka berdua. Refleks, Mervyn segera menangkap tubuh Mireya yang hampir terjatuh, hingga wanita itu berakhir pingsan dalam pelukan hangatnya. “Apa lagi yang kamu tunggu? Gadis itu butuh pertolongan. Cepat bawa dia ke rumah sakit!” perintah Sania, menyadarkan cucunya yang sejak tadi terus memandangi wajah Mireya tanpa henti, seperti sedang terhipnotis. Setelah itu, Mervyn segera membawa Mireya masuk ke mobil dengan cara menggendongnya ala bridal. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, hujan mulai reda, tetapi Mervyn masih menyalakan wiper untuk

    Last Updated : 2025-01-07
  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 9

    Mireya tertegun mendengar pertanyaan Sania. Setelah terdiam beberapa detik, wanita itu menjawab, “Dia sedang pergi ke luar kota.” Terpaksa Mireya berbohong. Sebab, tidak mungkin juga dia mengatakan bahwa kehamilannya ini adalah hasil hubungan di luar nikah dan pelakunya ada di depan mata mereka, nanti yang ada malah menambah masalah. “Lalu kamu mau mencari rumah kost sendirian?” tanya Sania lagi. “Iya, Nek.” Melihat kondisi Mireya yang sepertinya belum cukup pulih, Sania khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk pada Mireya di luar sana. Dia pun menyarankan, “Bagaimana kalau kamu istirahat dulu di rumahku? Setelah membaik, barulah kamu bisa lanjut mencari rumah kost.” Mervyn membulatkan mata. Sungguh tidak habis pikir atas kebaikan sang nenek yang menurutnya terlalu berlebihan. “Ah, tidak perlu, Nek. Lagipula aku sudah lebih baik sekarang.” Mireya menggeleng cepat, merasa sungkan atas tawaran yang Sania berikan. “Kamu yakin tidak apa-apa?” tanya Sania memastikan. “Yakin, N

    Last Updated : 2025-01-10
  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 10

    Tepukan kecil yang Mervyn lakukan berhasil menyadarkan Mireya dari mimpi buruk. Dengan cepat kelopak matanya terbuka lebar, tetapi yang membuatnya lebih kaget lagi adalah ketika dirinya mendapati kehadiran Mervyn pada jarak yang cukup dekat. Posisi Mervyn dengan tubuh sedikit dicondongkan ke depan jelas kembali mengingatkan Mireya pada momen di malam itu, ketika pertama kalinya dia melihat pria itu berkuasa di atasnya. Sulit bagi Mireya untuk bisa mengendalikan perasaan sekarang. Tubuhnya menjadi bergetar hebat seiring peluh yang mulai membasahi kening dan telapak tangan. Lalu, dia tanpa sadar meloloskan setitik air mata yang tak lagi dapat dibendung. “Apa mimpi kamu sangat buruk?” Mervyn bertanya dengan hati-hati. Karena melihat Mireya sudah sangat ketakutan, jadi dia bicara lebih lembut agar tidak membuatnya semakin takut. Mireya tidak menjawab, melainkan hanya terus menangis seraya menutup rapat kedua telinga seperti menyimpan trauma yang begitu dalam. Sejujurnya dia baru sa

    Last Updated : 2025-01-11

Latest chapter

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 114

    Di ruang CEO, Mervyn tampak duduk di kursi putar seraya menatap Rayyan yang berdiri di depan meja kerjanya.“Apa sudah kamu informasikan kepada orang-orang itu mengenai kedatangan istriku hari ini?” tanya sang CEO.Rayyan menjawab, “Sudah, Pak. Persiapannya juga sudah matang.”“Bagus!” Mervyn mengangguk, merasa puas mendengar jawaban asistennya. “Bagaimana dengan hadiah yang aku bicarakan kemarin?”“Hadiahnya juga aman, Pak. Saya sudah menyuruh seseorang untuk memberikan hadiahnya kepada Nyonya, Tuan dan Nona Kecil ketika mereka sampai di rumah.”“Kerja bagus!” puji Mervyn. Rayyan memang selalu dapat diandalkan kapan dan di mana pun dia membutuhkannya.***Beberapa jam setelah melakukan perjalanan, Mireya, Marcell dan Michelle akhirnya tiba di lokasi tujuan.Kedatangan Mireya bersama kedua anaknya di tempat kediaman Mervyn disambut oleh banyak orang yang telah dipekerjakan oleh Mervyn dengan posisi bagian dan tugas yang berbeda-beda.Saat melewati pintu, ada beberapa penjaga yang lang

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 113

    Mervyn meraih telapak tangan Mireya untuk digenggam. “Kamu tahu, ‘kan, alasan dari kedatangan aku ke sini hanya untuk mengurus project anak perusahaan Grup Jordan?”Mireya mengangguk pelan, tetapi dia mulai bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang ingin disampaikan oleh Mervyn.“Dan sekarang urusannya sudah selesai. Aku berencana akan membawa kamu dan anak-anak kembali ke kota A. Apa kamu keberatan?” tanya Mervyn tanpa banyak basa-basi. Sebab, cepat atau lambat dia memang harus bicara jujur pada Mireya.Wajah Mireya berubah murung ketika mendengar ucapan Mervyn.Bagi Mireya, kota A menyimpan banyak kenangan pahit yang telah lama berusaha dia kubur bersama luka-lukanya.Dari sejuta mimpi buruk yang dia miliki di kota tersebut, satu-satunya yang bisa dia syukuri hingga sekarang hanyalah kehadiran anak kembar dalam hidupnya. Sementara sisanya tak lebih dari tumpukan benang yang hanya akan memperparah bongkahan luka di dada.“Maksud kamu, kita akan tinggal di sana?” tanya Mireya dengan

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 112

    Pertanyaan polos Michelle membuat Mireya gelagapan. Napasnya berhenti sejenak seiring kelopak mata yang terbuka lebar. Dengan cepat dia pun menyembunyikan jejak kemerahan di lehernya menggunakan telapak tangan.“I–ini ....” Mireya mencoba menemukan alasan yang masuk akal.Tapi apa?Tak jauh darinya, Mireya melihat Mervyn sedang berdiam diri di depan pintu toilet sembari menahan tawa. Membuatnya melotot kesal.Bisa-bisanya pria itu tertawa dengan sikap yang begitu tenang, sementara Mireya sedang pusing memikirkan jawaban!Padahal, tanda merah yang Mireya dapatkan jelas-jelas dibuat olehnya!Mireya kembali menatap Michelle. “Elle bisa tanya langsung pada Papi. Karena, Papi lebih tahu,” ucapnya seraya tersenyum lebar.“A–apa?” Mervyn mengerjap. Raut wajahnya berubah datar hanya dalam hitungan detik. “Kenapa harus aku yang jawab?”Mireya tersenyum miring. Merasa puas menyaksikan reaksi sang suami. “Bukankah kamu yang menyebabkan ini terjadi? Jadi, kamu saja yang jawab!” putusnya secara mu

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 111

    Mervyn dan Mireya terkejut ketika ada yang mengetuk pintu dari luar. Setelah itu, suara imut khas anak kecil mulai terdengar.“Mami, Papi! Acell dan adik boleh buka pintunya, tidak?” tanya Marcell.Sepasang suami dan istri itu tampak kelimpungan. Bagaimana mungkin mereka membiarkan kedua anak itu masuk dalam keadaan tubuh yang tidak mengenakan apa pun?Ah, kecuali Mervyn yang hanya memakai celana panjang.“T–tunggu sebentar! Mami akan membukanya,” sahut Mireya, lalu mengambil pakaian yang berserakan di lantai dan segera mengenakannya.Usai keduanya mengenakan kembali pakaian mereka, Mireya pun berjalan untuk membukakan kunci pintu.“Elle, Acell, ada apa?” tanya Mireya, sementara Mervyn baru saja masuk ke toilet untuk buang air kecil.“Mami ... eum, ada yang ingin kami katakan, tapi kami khawatir Mami akan marah,” ujar Marcell dengan raut wajah terlihat sedikit cemas.Mireya mengernyit. “Bagaimana kalian bisa tahu Mami akan marah atau tidak, sedangkan kalian saja belum mengatakan apa-a

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 110

    Di atas kasur, Mireya tampak mengenakan selimut tebal yang menutupi seluruh tubuh polosnya.Wanita itu memandang Mervyn yang baru saja memungut celana dan kaos miliknya yang berserakan di lantai, lalu mulai memakainya kembali.Mireya cukup terkejut menerima perlakuan suaminya yang tiba-tiba menjadi begitu liar dan brutal.Dugaan sementara, Mireya menaruh curiga bahwa semua yang dilakukan Mervyn disebabkan oleh rasa cemburu akibat kesalahpahaman antara pria itu, Mireya dan juga Julian.Selesai mengenakan celana panjang berbahan levis, dengan tubuh bagian atas yang masih telanjang, Mervyn naik ke atas kasur untuk kembali mendekati istrinya.Cup!Mervyn mendekap wanita itu seraya mengecup pelipisnya sekilas. “Ingat apa yang tadi kukatakan? Kamu, dan semua yang ada pada dirimu adalah milikku, Mireya. Jangan biarkan orang lain menyentuhnya!”Mireya mengangguk, tetapi perasaannya tidak kunjung lega meskipun dirinya kini sedang ada dalam dekapan hangat sang suami.“Kenapa menatapku begitu, h

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 109

    Brak!Mervyn membuka pintu kamar, mendapati Mireya yang kini sedang melipat pakaian sembari duduk di tepi kasur bermotif bunga mawar.Wanita itu mendongak saat mendengar derit pintu, lalu bergegas bangkit menghampiri suaminya yang baru pulang ke rumah entah dari mana.“Kamu sudah kembali?” sambut Mireya seraya tersenyum manis.Mervyn, dengan wajah garang serta sorot mata yang menunjukkan amarah, sama sekali tidak menjawab kalimat tanya yang diajukan oleh Mireya.Di sepanjang jalan menuju ke rumah, Mervyn sudah terlalu banyak menahan emosi, dan sekarang kemarahan itu bertambah semakin besar saat dia melihat ekspresi lugu istrinya yang terkesan seakan tidak melakukan kesalahan apa pun di belakangnya.Mireya menyadari ada yang tidak beres dari raut wajah Mervyn. Lantas pada saat dirinya berada di hadapan Mervyn, dia segera mengangkat satu tangan guna menyentuh pipi pria itu.“Mervyn, apa yang terjadi?” tanya Mireya lembut. “Apa kamu baru saja mendapatkan masalah?” tambahnya.Tatapan Merv

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 108

    Mireya pun menjelaskan kejadian mengenai Felix yang membohonginya dengan mengatakan bahwa Henry, ayah mereka, sedang mengalami kritis di rumah sakit. Namun, ternyata Felix malah membawanya ke tempat asing dan menjadikannya jaminan utang. “Felix?” Mervyn mengerutkan dahi saat mendengar nama yang tak dia kenal. “Siapa dia?” “Dia kakak laki-lakiku. Kami lahir dari ibu yang berbeda, tetapi masih satu ayah,” terang Mireya. “Kalau begitu, artinya dia juga kakaknya Felly?” tebak pria itu. Lantas Mireya mengangguk. “Ya, mereka satu ibu,” tambahnya. Mervyn manggut-manggut paham, lalu terdiam setelahnya. Akan tetapi, isi kepalanya terus bekerja memikirkan sosok Felix yang telah membuat istri kesayangannya hampir menjadi korban pemerkosaan. Mervyn bersumpah, suatu saat Felix pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya! “Mervyn, kenapa melamun?” Mireya menyentuh sebelah pipi Mervyn dan membuatnya sedikit terkejut. Mervyn menunduk, menatap ke dalam mata cantik ist

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 107

    “Hey ... apa yang kamu pikirkan?” Mervyn menyelipkan anak rambut Mireya ke belakang telinga wanita itu. “Aku tidak pernah menganggap kamu pembawa sial. Sebaliknya, aku justru merasa lebih bahagia setelah bertemu kembali dengan kamu dan anak-anak. Siapa bilang kalau kamu pembawa sial?”Mireya merasa sedikit lebih lega. Namun, perasaan sedih dan bersalah itu masih belum hilang sepenuhnya dari dalam diri. Melihat kondisi Mervyn yang tidak berdaya seperti saat ini membuatnya sangat sedih.“Mervyn, apa boleh aku menceritakan alasan yang sebenarnya?” tanya Mireya seraya mendongak, menatap mata sang suami dengan lebih serius dan dalam.Cup!Mervyn mengecup pelipis Mireya lekat-lekat. “Ceritakanlah,” balasnya.Mireya menghela napas sejenak. “Sebenarnya ... saat tiba di rumah sakit, aku duduk menunggu kamu di luar ruangan. Aku terus mendoakan untuk keselamatan kamu. Kemudian, tiba-tiba Ibu datang bersama Lisa. Aku menjelaskan pada Ibu mengenai apa yang terjadi dengan kamu, lalu Ibu menyalahkan

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 106

    Setelah menjalani rawat inap selama hampir satu minggu di rumah sakit, Mervyn akhirnya diperbolehkan pulang oleh dokter hari ini. Akan tetapi, dia tetap membutuhkan banyak istirahat di rumah, supaya proses penyembuhan luka di perutnya lebih cepat selesai.Malam itu, di saat Marcell dan Michelle sedang belajar bersama di kamar mereka, Mireya membuatkan segelas susu hangat untuk Mervyn.Mireya menghampiri Mervyn yang berbaring di atas kasur, meletakkan sejenak gelas di atas meja. Kemudian, membantu Mervyn mengubah posisi menjadi duduk dengan kedua kaki diluruskan serta punggung yang bersandar pada kepala kasur.“Minumlah ...” ucap Mireya sembari menyodorkan kembali susu di dalam gelas berbahan kaca ke arah Mervyn.“Terima kasih,” ucap Mervyn seraya mengambil alih benda itu dan mulai meneguk minumannya pelan-pelan.“Mireya, aku mau tanya sesuatu.” Mervyn meletakkan gelas di atas meja, lalu menatap istrinya dengan serius.“Tanyakan saja,” kata Mireya yang tengah duduk di tepi kasur, menun

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status