“Aku sedang sibuk. Tidak ada waktu mengobrol denganmu.” Alvin mengabaikan pertanyaan Mireya dan mengambil langkah mundur.
“Tunggu!” Mireya mencengkeram lengan pria itu, menahan kepergiannya. “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” ujarnya. Alvin mendengkus kesal. “Apa kamu tidak dengar? Aku sedang sibuk!” Tanpa terasa air bening berlinang dari pelupuk mata Mireya, membasahi pipinya. Hanya dengan melihat reaksi Alvin, Mireya dapat menemukan sendiri jawabannya. “Kalian benar-benar berpacaran, ya?” tanya Mireya sekali lagi. Dia masih tidak percaya jika Alvin memang benar menjalin hubungan dengan wanita lain. Hening. Baik Alvin maupun Shela sama-sama memilih bungkam. “Kenapa, Al? Apa kamu marah karena semalam aku tiba-tiba menghilang tanpa kabar?” Mireya mulai menebak-nebak. “Al, tolong dengarkan dulu penjelasanku, aku tidak—” Alvin menyela, “Sudahlah, Reya! Aku tidak ingin mendengar apa pun darimu. Mulai sekarang jangan hubungi aku lagi!” Mireya menggeleng cepat. “Kita masih bisa membicarakannya baik-baik. Kamu hanya perlu mendengar penjelasanku.” Alvin merasa sangat risih. Berulang kali dia menepis tangan Mireya, tapi wanita itu bersikeras menahan kepergiannya. Shela ikut kesal, lalu memaki, “Dasar murahan! Kalau Alvin bilang tidak mau, tidak usah dipaksa! Apa kamu sudah tidak punya harga diri lagi, sampai rela mengemis begini?” Seketika Mireya terkekeh. “Kamu bilang, aku murahan?” ulangnya. “Bukankah kamu yang menjadi orang ketiga dalam hubungan kami? Kamu yang seharusnya disebut murahan, bukan aku!” Shela berdecih sinis, menatap Alvin dan menggandeng lengannya agar Mireya semakin cemburu. “Sayang, benarkah yang dia katakan? Apa aku hanya orang ketiga dalam hubungan kalian? Ah ... aku sangat sedih sekarang,” ucapnya dengan nada manja yang dibuat-buat. “Itu tidak benar, Sayang. Kamu adalah satu-satunya untukku,” balas Alvin seraya mengecup lembut pelipis Shela. Dada Mireya semakin sesak mendengar pengakuan langsung dari mulut Alvin. Hatinya semakin terluka menelan pahitnya kecewa. “Apa aku tidak salah dengar?” Mireya bergumam pelan sambil terkekeh hambar, merasa sangat bodoh sekarang. “Katakan ... ini hanya bercanda, ‘kan?” harapnya. Shela memasang wajah murung, tapi matanya melirik Mireya dengan angkuh. “Sepertinya masih ada yang tidak percaya di sini. Bisakah kamu menjelaskan lebih detail untukku, Sayang?” Alvin mengangguk, menarik pandangan tajam ke wajah Mireya. “Jangan bersikap seperti orang gila, Reya! Kamu dan aku tidak pernah berpacaran!” tegasnya. “Tidak pernah berpacaran?” Mireya segera mendongak, menatap nanar Alvin. “Lalu apa arti dari ucapanmu satu bulan lalu? Bukankah kamu sendiri yang mengatakan suka padaku?” tukasnya. “Aku hanya mengatakan kagum pada perempuan sebaik kamu, tapi tidak pernah mengajakmu menjalin hubungan seserius itu,” beber Alvin sembari memperhatikan penampilan Mireya yang selalu terlihat sederhana setiap harinya. Hanya memakai blus putih berbalut cardian, juga celana bahan panjang yang sudah menjadi ciri khasnya. Alvin menegaskan, “Aku dan kamu bagaikan bumi dan langit, Reya! Kenapa berlebihan sekali mengira aku jatuh cinta padamu? Cih!” “Lalu apa alasan kamu mendekatiku?” tanya Mireya. “Oh, itu?” Alvin terkekeh santai tanpa merasa bersalah. “Aku bertaruh dengan orang-orang kantor.” Kepalan tangan Mireya mengendur seketika. Tubuhnya begitu lemas seakan tulang lepas serentak dari daging. “Bertaruh?” gumamnya. Mireya terkekeh getir. Apakah Alvin mengira dirinya adalah barang yang bisa dipertaruhkan? “Kamu sangat licik ...” ujar Mireya dengan emosi besar yang menuntut untuk diledakkan. “Suatu saat kamu akan menyesalinya dan bertekuk lutut memohon maaf padaku!” “Teruslah bermimpi!” Alvin berdecih remeh. *** Kehidupan Mireya yang awalnya monoton—bahkan nyaris membosankan—kini menjadi sangat kacau setelah melewati satu malam bersama pria tak dikenal. Beban yang dia tanggung bertambah semakin berat, pun isi kepalanya terasa begitu sesak dan berisik. Selain meninggalkan luka dan rasa takut akan pandangan orang lain terhadapnya, kejadian di malam itu juga menyisakan gumpalan daging sebesar biji kacang yang terus bertumbuh di kantung rahimnya. Tiga minggu setelah kejadian, Mireya mengalami telat datang bulan dan cukup sering merasakan kram perut serta mual di jam-jam tertentu. Pikiran Mireya masih cukup positif kala itu. Jadi, dia mengira perubahan siklus haid yang dialaminya disebabkan oleh stress yang berlebihan, sedangkan mual dan kembung merupakan efek normal dari pola makan yang tidak teratur. Namun, dokter justru menyatakan dirinya hamil dan usia kandungannya sudah berjalan dua bulan ketika dia konsultasi perihal kondisinya. Mireya dilema, antara harus mempertahankan atau menggugurkan janin tak berdosa itu. Namun, mengingat dirinya juga terlahir sebagai anak yang tidak diharapkan akibat ‘kecelakaan’, dia tidak tega jika harus menghilangkan satu nyawa tak berdosa di rahimnya. Maka, dia bertekad untuk menjaga dan membesarkan bayi di kandungannya seorang diri. Hingga sampai kabar kehamilan itu terdengar, Mireya diusir dari rumah karena ayahnya sendiri bahkan sangat malu dan menganggap statusnya sebagai aib yang hanya akan mencoreng nama baik keluarga. “Wanita murahan sepertimu memang pantas diusir!” Karin melempar koper berisi pakaian Mireya ke lantai teras. Sambil menangis, Mireya menghampiri Henry, mencoba bernegosiasi supaya ayah kandungnya itu mau memberi kesempatan untuk dirinya menyelesaikan masalah yang terjadi. “Ayah, kumohon jangan usir aku!” pinta Mireya dengan wajah mengharap belas kasihan. “Apakah Ayah tidak khawatir bagaimana aku akan menjalani hidup setelah ini?” Henry melengos, menghindari tatapan Mireya. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya untuk menanggapi ucapan sang anak. Lantas Karin menggandeng lengan Henry. “Sayang, jika dia tetap tinggal bersama kita dalam kondisi hamil, itu bisa merusak nama baik keluarga dan kamu pasti akan menjadi bahan olokan di kantor. Jika kita tidak bertindak tegas, aku takut hal itu berdampak buruk juga untuk Felly. Dia pasti akan sangat malu jika sampai teman-temannya tahu masalah ini.” Di tengah rasa kecewa yang besar, Henry termakan oleh hasutan Karin dan berpikir bahwa Mireya memang perlu menerima konsekuensi atas situasi yang terjadi. “Ayah, semua ini bukan kesalahanku. Aku benar-benar tidak tahu kenapa pria itu bisa masuk ke kamar,” ungkap Mireya, masih belum menyerah. “Bisakah ... Ayah percaya padaku sekali ini saja?” lanjutnya. Pria paruh baya itu mengembuskan napas panjang dan melengos ke sembarang arah. Mireya mengulurkan tangan hendak menyentuh lengan Henry. “Ayah ....” Henry menepis tangan Mireya dengan penuh keterpaksaan. “Pergilah ...” ucapnya. “Ayah, tapi—” “Kubilang, pergilah!” potong Henry. Suaranya naik dua oktaf, sehingga itu membuat Mireya tertegun dan semakin luruh dalam kesedihan. Sore itu, Mireya terpaksa angkat kaki dari rumah karena tidak punya pilihan lain. Dia genggam rasa kecewa itu erat-erat. Dia biarkan air mata berceceran di atas luka-luka yang menggerogoti dadanya semakin parah. Mireya pergi tanpa arah dan tujuan. Mengingat Henry yang merupakan anak semata wayang, juga kakek, nenek dan ibu kandungnya yang telah tiada, membuatnya tidak memiliki tempat lain untuk pulang. Terlebih lagi, Mireya juga tidak dekat dengan keluarga maupun sanak saudara dari ibunya. Sebab, mereka tidak akan sudi mengakui dirinya yang dianggap sebagai anak haram. Beruntung, Mireya memiliki seorang sahabat yang menawarkan tinggal di rumahnya selama beberapa waktu. “Terima kasih, ya, Bell. Kalau bukan atas kebaikan kamu, aku tidak tahu harus pergi ke mana lagi sekarang,” ujar Mireya. Gadis bernama Bella itu tersenyum sambil meletakkan kedua tangan di atas bahu Mireya. “Dengar, Mireya! Kita sudah saling kenal cukup lama, bahkan kamu juga selalu membantu segala kesulitan yang aku lalui. Jadi, bagaimana bisa aku membiarkanmu sendirian dalam kondisi begini?” Mireya sangat terharu dan tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Di tengah peliknya kisah yang dia jalani, setidaknya Mireya masih bisa bersyukur telah mengenal Bella. Akan tetapi, dia sadar, jika dirinya terus menumpang makan dan tidur, itu hanya akan menyusahkan Bella. Apalagi dia sudah memutuskan resign dari tempat kerjanya setelah bertengkar dengan Alvin. Mireya berpikir, akan jauh lebih baik jika dia menghasilkan uang agar tidak selalu menjadi beban bagi Bella. Maka, dia bertekad mencari pekerjaan. Apa pun itu, asalkan halal pasti akan dijalani. “Kamu yakin mau cari pekerjaan?” tanya Bella memastikan. “Yakin.” Mireya mengangguk pasti tanpa sedikit pun merasa ragu. “Tapi bagaimana dengan kehamilan kamu? Bukankah orang yang sedang hamil trimester pertama tidak boleh terlalu banyak bergerak, apalagi bekerja?” ucap Bella khawatir. Mireya tersenyum. “Kalau dapat posisi di bagian kantor, aku tidak perlu terlalu banyak gerak. Lagipula, kalau terus diam di rumah, itu hanya akan membuatku bosan dan stress. Bukankah itu juga tidak baik untuk kehamilan?” Melihat tekad Mireya yang sepertinya tidak main-main, Bella hanya bisa menghela napas dan tidak banyak berkomentar. Beberapa hari kemudian, Bella mengabarkan bahwa di perusahaan tempatnya bekerja kebetulan sedang membuka lowongan. Mireya pun segera membuka link pendaftaran yang dikirim oleh Bella, lalu memasukkan data dirinya di sana. Setelah menunggu selama hampir dua minggu, Mireya mendapatkan panggilan untuk melakukan interview kerja. Dia pun dengan senang hati datang ke perusahaan bersama Bella yang hendak bekerja. “Semangat, Mireya! Kamu pasti bisa,” ucap Bella sambil mengangkat tangan ke udara. Mireya mengembuskan napas panjang, mencoba mengusir gugup. “Terima kasih,” sahutnya. Sementara Bella mulai memasuki ruang kerjanya, Mireya diarahkan oleh seseorang untuk masuk ke lift menuju ke lantai nomor dua belas. Di sana sudah ada beberapa peserta yang duduk menunggu di depan ruangan. Mireya mengeluarkan selembar kertas berisi materi seputar job interview ketika dirinya baru saja duduk di kursi kosong. Meskipun yakin dengan kemampuannya sendiri, tetapi entah kenapa berhadapan dengan orang baru selalu saja membuat kadar kepercayaan dirinya menurun. Terlebih lagi, Mireya sudah mendengar cerita dari Bella mengenai sikap bosnya yang terkenal arogan dan menyebalkan. Maka, sejak satu minggu yang lalu Mireya telah menguatkan mental agar bersikap tenang dan sabar menghadapi orang begitu. “Tuan Mervyn sudah datang!” Mireya mendongak saat mendengar pengumuman mengenai kedatangan seseorang yang sepertinya membawa pengaruh besar di perusahaan. Orang-orang itu kembali fokus pada pekerjaannya masing-masing. Lorong yang tadinya masih dia temukan dua atau tiga orang yang berlalu-lalang, seketika menjadi sepi dalam hitungan detik. Tak lama setelah itu, pandangan Mireya beralih ke arah pintu lift yang terbuka. Ada dua pengawal berpakaian serba hitam yang berdiri menyambut di depan pintu. Hingga saat dirinya menatap wajah seseorang yang baru saja keluar dari lift, jantung Mireya berdesir kencang seperti mau copot. ‘Ya, Tuhan ... b–bukankah dia orang yang masuk ke kamar hotel di malam itu?’ batin Mireya mulai tidak tenang. Bersambung ….Saat melihat wajah Mervyn, Mireya yakin seratus persen bahwa itu adalah laki-laki asing yang telah merenggut kesuciannya di sebuah hotel. Mervyn melangkah percaya diri diikuti beberapa pengawal di belakangnya. Mireya terpaku dan jantungnya berdebar kencang saat Mervyn tak sengaja meliriknya. Tatapan Mervyn begitu tajam dan menyimpan banyak rahasia, sehingga Mireya tak mampu menemukan makna di balik sorot matanya yang penuh misteri. Adegan saling pandang itu terjadi tidak lebih dari tiga detik. Mervyn mengalihkan tatapan ke depan dan mengabaikan Mireya seperti bukan sesuatu yang berarti. “Sepertinya dia tidak mengingatku.” Mireya bergumam pelan yang hanya dapat didengar oleh diri sendiri. Dia berpikir, mungkin akan jauh lebih baik jika Mervyn tidak mengenalinya. Bisa jadi Mervyn sudah memiliki pacar atau bahkan seorang istri. Mireya tentu akan terlibat masalah besar jika pasangan Mervyn tahu kalau pria itu pernah tidur dengannya. Di sisi lain, bercinta dengan orang asing ba
Mireya memegang gagang pintu dengan tangan gemetar. Sekujur tubuhnya seakan membeku saat mendengar pertanyaan Mervyn. “Saya belum bertemu lagi dengan Alvin, Pak,” ucap Rayyan, “Jadi, belum ada informasi apa pun yang saya dapatkan tentang wanita itu.” Alvin? Mireya bertanya-tanya, apakah Alvin yang sedang dibicarakan adalah mantan pacarnya? Jika iya, dia sungguh kehilangan kata-kata untuk mengekspresikan kemarahannya. Alvin terlalu jahat dan licik. Bahkan gelar ‘iblis’ pun masih terlalu halus jika disematkan pada pria itu. “Sudah kamu coba hubungi nomor teleponnya?” Suara Mervyn begitu dingin, tapi juga tegas. Rayyan mengangguk, “Sudah, Pak, tapi nomor teleponnya tidak aktif.” Mervyn menghela napas. “Cari tahu secepatnya.” “Baik, Pak!” Rayyan tidak punya pilihan untuk menolak, sehingga yang dia lakukan hanyalah mengangguk. Dalam keheningan, mata elang Mervyn tak sengaja melirik Mireya yang sejak tadi masih bergeming di dekat pintu. Apa wanita itu sedang menguping pemb
Mireya dan Bella menoleh ke sumber suara—yang mana seorang wanita tampak melangkah semakin dekat ke arah mereka. “Mama!” Ternyata itu adalah Irene, ibunya Bella yang baru saja pulang dari urusan bisnis di luar kota. Bella menyambut kedatangan ibunya dengan pelukan hangat. “Wah, ada siapa di sini?” Irene menatap Mireya dengan sorot mata yang memancarkan kehangatan. Mereka sudah saling kenal, tentu saja. Apalagi Mireya adalah sahabat terbaik Bella. Walaupun tidak sering, tetapi Mireya pernah beberapa kali bertemu Irene saat ada kesempatan main ke sini. Mireya mencium punggung tangan Irene dengan sopan, lalu basa-basi menanyakan kabar satu sama lain. Namun, saat hidungnya menyentuh kulit tangan Irene, Mireya mencium aroma wewangian yang membuat dirinya pusing dan mual. “Maaf, aku harus ke belakang.” Mireya pamit ke wastafel untuk menyudahi dorongan kuat dari dalam lambungnya. Pada akhirnya, Mireya hanya muntah angin karena tidak ada sisa makanan yang keluar dari mulutnya
Mireya baru saja membeli sebungkus roti dan air mineral di minimarket. Usia kehamilan pada trimester pertama membuatnya lebih sering merasa lapar. Di sisi lain, dia juga harus memikirkan bagaimana agar sisa uangnya bisa mencukupi hingga setidaknya satu bulan ke depan. Mau tak mau, dia harus hidup hemat dan memangkas segala pengeluaran yang tidak perlu. “Terima kasih,” ucapnya kepada kasir usai melakukan pembayaran. Saat ingin meninggalkan minimarket, tiba-tiba hujan turun dengan lumayan deras. Terpaksa Mireya harus berteduh karena tidak membawa mantel ataupun payung. Mireya duduk di atas kursi yang tersedia di teras minimarket. Dia membuka bungkus roti dan mulai memakannya sebagian, sementara setengah sisanya akan dia simpan untuk dimakan saat nanti lapar lagi. Detik selanjutnya, seorang wanita tua baru saja keluar dari minimarket dan ikut berteduh di sebelah Mireya. Di samping wanita itu, ada sosok pemuda bertubuh tinggi kurus yang terlihat mencurigakan. Akan tetapi, wa
Suara itu menyadarkan Mireya dari lamunan. Di sampingnya sudah ada Sania sedang berdiri dengan tangan menyentuh lembut bahunya. Sontak Mireya tersenyum seolah tidak ada masalah apa pun. “Aku baik-baik saja, Nek,” dustanya. Meski senyuman itu terlukis di bibirnya, tetapi Sania melihat titik kegetiran yang berpendar di balik tatapan nanar wanita malang itu. Sania berpikir bahwa Mireya mungkin tidak nyaman jika orang lain mencampuri urusannya terlalu dalam—apalagi mereka tidak saling mengenal sebelumnya. Jadi, dia memutuskan untuk tidak bertanya lebih banyak. “Masalah yang dihadapi setiap orang memang berbeda-beda, tapi apa pun itu, jangan pernah berhenti berjuang!” ujar Sania dengan tulus. “Kamu boleh istirahat sejenak saat lelah, tapi jangan sampai menyerah. Kamu tahu apa? Gadis Kecil, dunia sangat kekurangan orang-orang sebaik kamu,” pungkasnya. Kalimat itu terdengar seperti sumber kekuatan yang merangkak masuk ke telinga, lalu merayap dan mengendap di dalam tubuh Mireya. M
Mervyn memandangi wajah Mireya lekat-lekat. Merasa tidak asing, dia mengernyit ketika menyadari bahwa Mireya merupakan orang yang telah mengikuti seleksi di perusahaannya. Tatap mata mereka saling bertemu selama beberapa detik. Entah kenapa dada Mervyn berdesir cepat, seakan ada energi kuat di balik mata cantik Mireya yang tak dapat dijabarkan. Sampai akhirnya, wanita itu mulai hilang kesadaran dan menghentikan momen canggung di antara mereka berdua. Refleks, Mervyn segera menangkap tubuh Mireya yang hampir terjatuh, hingga wanita itu berakhir pingsan dalam pelukan hangatnya. “Apa lagi yang kamu tunggu? Gadis itu butuh pertolongan. Cepat bawa dia ke rumah sakit!” perintah Sania, menyadarkan cucunya yang sejak tadi terus memandangi wajah Mireya tanpa henti, seperti sedang terhipnotis. Setelah itu, Mervyn segera membawa Mireya masuk ke mobil dengan cara menggendongnya ala bridal. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, hujan mulai reda, tetapi Mervyn masih menyalakan wiper untuk
Mireya tertegun mendengar pertanyaan Sania. Setelah terdiam beberapa detik, wanita itu menjawab, “Dia sedang pergi ke luar kota.” Terpaksa Mireya berbohong. Sebab, tidak mungkin juga dia mengatakan bahwa kehamilannya ini adalah hasil hubungan di luar nikah dan pelakunya ada di depan mata mereka, nanti yang ada malah menambah masalah. “Lalu kamu mau mencari rumah kost sendirian?” tanya Sania lagi. “Iya, Nek.” Melihat kondisi Mireya yang sepertinya belum cukup pulih, Sania khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk pada Mireya di luar sana. Dia pun menyarankan, “Bagaimana kalau kamu istirahat dulu di rumahku? Setelah membaik, barulah kamu bisa lanjut mencari rumah kost.” Mervyn membulatkan mata. Sungguh tidak habis pikir atas kebaikan sang nenek yang menurutnya terlalu berlebihan. “Ah, tidak perlu, Nek. Lagipula aku sudah lebih baik sekarang.” Mireya menggeleng cepat, merasa sungkan atas tawaran yang Sania berikan. “Kamu yakin tidak apa-apa?” tanya Sania memastikan. “Yakin, N
Tepukan kecil yang Mervyn lakukan berhasil menyadarkan Mireya dari mimpi buruk. Dengan cepat kelopak matanya terbuka lebar, tetapi yang membuatnya lebih kaget lagi adalah ketika dirinya mendapati kehadiran Mervyn pada jarak yang cukup dekat. Posisi Mervyn dengan tubuh sedikit dicondongkan ke depan jelas kembali mengingatkan Mireya pada momen di malam itu, ketika pertama kalinya dia melihat pria itu berkuasa di atasnya. Sulit bagi Mireya untuk bisa mengendalikan perasaan sekarang. Tubuhnya menjadi bergetar hebat seiring peluh yang mulai membasahi kening dan telapak tangan. Lalu, dia tanpa sadar meloloskan setitik air mata yang tak lagi dapat dibendung. “Apa mimpi kamu sangat buruk?” Mervyn bertanya dengan hati-hati. Karena melihat Mireya sudah sangat ketakutan, jadi dia bicara lebih lembut agar tidak membuatnya semakin takut. Mireya tidak menjawab, melainkan hanya terus menangis seraya menutup rapat kedua telinga seperti menyimpan trauma yang begitu dalam. Sejujurnya dia baru sa
Mireya pun menjelaskan kejadian mengenai Felix yang membohonginya dengan mengatakan bahwa Henry, ayah mereka, sedang mengalami kritis di rumah sakit. Namun, ternyata Felix malah membawanya ke tempat asing dan menjadikannya jaminan utang.“Felix?” Mervyn mengerutkan dahi saat mendengar nama yang tak dia kenal. “Siapa dia?”“Dia kakak laki-lakiku. Kami lahir dari ibu yang berbeda, tetapi masih satu ayah,” terang Mireya.“Kalau begitu, artinya dia juga kakaknya Felly?” tebak pria itu.Lantas Mireya mengangguk. “Ya, mereka satu ibu,” tambahnya.Mervyn manggut-manggut paham, lalu terdiam setelahnya. Akan tetapi, isi kepalanya terus bekerja memikirkan sosok Felix yang telah membuat istri kesayangannya hampir menjadi korban pemerkosaan.Mervyn bersumpah, suatu saat Felix pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya!“Mervyn, kenapa melamun?” Mireya menyentuh sebelah pipi Mervyn dan membuatnya sedikit terkejut.Mervyn menunduk, menatap ke dalam mata cantik istrinya, lalu ter
“Hey ... apa yang kamu pikirkan?” Mervyn menyelipkan anak rambut Mireya ke belakang telinga wanita itu. “Aku tidak pernah menganggap kamu pembawa sial. Sebaliknya, aku justru merasa lebih bahagia setelah bertemu kembali dengan kamu dan anak-anak. Siapa bilang kalau kamu pembawa sial?”Mireya merasa sedikit lebih lega. Namun, perasaan sedih dan bersalah itu masih belum hilang sepenuhnya dari dalam diri. Melihat kondisi Mervyn yang tidak berdaya seperti saat ini membuatnya sangat sedih.“Mervyn, apa boleh aku menceritakan alasan yang sebenarnya?” tanya Mireya seraya mendongak, menatap mata sang suami dengan lebih serius dan dalam.Cup!Mervyn mengecup pelipis Mireya lekat-lekat. “Ceritakanlah,” balasnya.Mireya menghela napas sejenak. “Sebenarnya ... saat tiba di rumah sakit, aku duduk menunggu kamu di luar ruangan. Aku terus mendoakan untuk keselamatan kamu. Kemudian, tiba-tiba Ibu datang bersama Lisa. Aku menjelaskan pada Ibu mengenai apa yang terjadi dengan kamu, lalu Ibu menyalahkan
Setelah menjalani rawat inap selama hampir satu minggu di rumah sakit, Mervyn akhirnya diperbolehkan pulang oleh dokter hari ini. Akan tetapi, dia tetap membutuhkan banyak istirahat di rumah, supaya proses penyembuhan luka di perutnya lebih cepat selesai.Malam itu, di saat Marcell dan Michelle sedang belajar bersama di kamar mereka, Mireya membuatkan segelas susu hangat untuk Mervyn.Mireya menghampiri Mervyn yang berbaring di atas kasur, meletakkan sejenak gelas di atas meja. Kemudian, membantu Mervyn mengubah posisi menjadi duduk dengan kedua kaki diluruskan serta punggung yang bersandar pada kepala kasur.“Minumlah ...” ucap Mireya sembari menyodorkan kembali susu di dalam gelas berbahan kaca ke arah Mervyn.“Terima kasih,” ucap Mervyn seraya mengambil alih benda itu dan mulai meneguk minumannya pelan-pelan.“Mireya, aku mau tanya sesuatu.” Mervyn meletakkan gelas di atas meja, lalu menatap istrinya dengan serius.“Tanyakan saja,” kata Mireya yang tengah duduk di tepi kasur, menun
Lisa tercengang saat Mervyn mengusirnya secara terang-terangan di hadapan Mireya dan kedua anaknya. “Mervyn, kamu—” “Aku bilang, keluar!” Suara Mervyn terdengar lebih keras dari sebelumnya. “Jangan sampai aku memanggil satpam untuk menyeret kamu pergi dari sini!” Sungguh, Lisa terbungkam dibuatnya. Tidak ada lagi yang dapat dia lakukan selain mengalah, lalu melangkah keluar dengan wajah diselimuti amarah. Dia sama sekali tidak mengeluarkan kata apa pun untuk membalas ucapan Mervyn. Bruk! Pintu dibanting lumayan keras oleh Lisa. Saking kesalnya, mungkin dia ingin menunjukkan kepada Mervyn dan yang lain mengenai suasana hatinya. Saat ini hanya tersisa Mervyn, Mireya dan kedua anak kembar mereka di dalam ruangan. Lalu, Mireya mendekat, berdiri di samping ranjang pasien, mengambil posisi di seberang Marcell dan Michelle. Melihat wajah cantik sang istri yang tampak dipenuhi kecemasan, Mervyn lantas tersenyum lembut. “Hai ...!” Mireya ikut tersenyum, sadar bahwa kondisi suami
“Tidak mau!” Anak-anak itu menggeleng dengan kompak sambil bergerak mundur satu langkah.Mereka menatap Lisa seolah sedang berhadapan dengan penyihir jahat.Lisa sebenarnya cukup tersinggung dan kesal melihat reaksi Marcell dan Michelle. Namun, dia segera menghela napas, mencoba bersikap tenang.“Tidak perlu takut, Sayang!” ujar wanita yang diketahui merupakan mantan tunangan Mervyn tersebut. “Aku tidak akan menyakiti kalian. Sebaliknya, aku akan menjaga kalian lebih baik dari yang bisa dilakukan oleh ibu kalian,” lanjutnya.Mireya mendelik gusar. Dia menangkap adanya niat terselubung di balik perkataan Lisa yang sepertinya sedang berusaha menghasut pikiran kedua anak kembarnya.“Mami adalah yang terbaik bagi kami! Tante hanyalah orang asing. Bagaimana bisa menjadi yang lebih baik dari Mami?!” protes Marcell sambil menggenggam telapak tangan Mireya yang berdiri di sampingnya.“Ya, tentu saja aku bisa.” Lisa terkekeh pelan dengan ekspresi wajah yang tampak menyebalkan di mata kedua ana
“Papi ... sedang dirawat di rumah sakit.” Mireya memutuskan untuk mengungkapkan fakta—meskipun keadaan Mervyn yang sebenarnya jauh lebih buruk dari yang dia ungkapkan. Marcell dan Michelle terdiam seketika. Wajah mereka berubah, mencerminkan kesedihan yang dalam.Mireya bisa melihat betapa khawatirnya mereka, walaupun anak-anak itu masih kecil.Mereka tidak bisa disalahkan jika merasa bingung dan cemas mendengar kabar buruk tentang Mervyn.“Apa Papi sakit parah, Mi?” Suara Michelle terdengar bergetar seiring air mata yang memenuhi pelupuknya.Tidak bisa dipungkiri, gadis kecil itu sangat menyayangi ayahnya. Kabar ini jelas membuatnya merasa takut.Mireya merasakan hatinya semakin sakit saat melihat reaksi anaknya. Namun, dia berusaha tetap tenang.Sebagai seorang ibu, Mireya sadar, dia harus memberikan penjelasan yang bisa menenangkan hati kedua anaknya tanpa membebani lebih banyak.“Papi kecelakaan, sayang,” ucap Mireya, mulai menjelaskan dengan hati-hati. Dia berusaha memilih kata-
Mervyn perlahan membuka mata. Cahaya terang dari lampu rumah sakit menyilaukan, tetapi dia masih bisa merasakan udara dingin ruangan yang menyentuh permukaan kulit.Dia mengerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan dunia yang tampak kabur di sekitarnya. Perlahan wajah-wajah yang familiar mulai muncul satu per satu.Sarah yang semula duduk di samping ranjang, seketika bangkit saat tahu kalau Mervyn sudah sadar. Lantas dia menghampiri anak lelakinya.“Mervyn, akhirnya kamu sadar juga,” ucapnya dengan wajah antusias. Ada senyum kecil di sudut bibirnya saat melontarkan kalimat itu.Di sebelah Sarah, Lisa duduk dengan wajah penuh kekhawatiran. Matanya tidak bisa lepas dari Mervyn seakan memastikan pria itu baik-baik saja.Mervyn tidak peduli. Dia hanya mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari keberadaan Mireya. Matanya menyusuri setiap sudut ruangan.Tidak ada tanda-tanda kehadiran istri dan kedua anaknya di sini. Hanya ada dua wajah yang dia kenal, tetapi tanpa melihat wajah Mireya dan si
Mireya menoleh ke sumber suara, mendapati seseorang yang melangkah semakin dekat ke arahnya.“Julian ...?”“Apa yang kamu lakukan di sini?” Pria itu duduk di samping Mireya tanpa meminta izin, seakan mereka memiliki hubungan yang sudah cukup dekat dan tidak perlu lagi basa-basi.Mireya tidak menjawab. Sebab, dia juga tak tahu harus mengatakan apa.“Mireya, apa kamu menangis?” Melihat sudut mata Mireya yang berair, Julian merasa khawatir. ”Kamu sedang ada masalah, ya?”“Sedikit,” jawab Mireya setengah ragu, membuat Julian mengerutkan kening saat mendengarnya.“Apa ini ada kaitannya dengan Mervyn?” tanya Julian, mencoba menggali informasi lebih dalam.Mireya bimbang, antara harus menjawab jujur atau tidak. Di sisi lain, dia merasa tidak memiliki kepentingan apa pun untuk menceritakan masalahnya kepada Julian—apalagi ini tentang masalah pribadi dalam rumah tangganya.Melihat reaksi Mireya yang hanya diam, Julian tahu bahwa dugaannya memang benar. Dia pun merasa kalau ini merupakan peluan
“Ibu, izinkan aku menjelaskan semuanya ...” pinta Mireya dengan ekspresi merasa bersalah, tetapi mencoba tetap tenang menghadapi emosi Sarah yang tidak terkontrol.“Memangnya apa lagi yang bisa kamu jelaskan, hah?!” Sarah terkekeh sinis, merasa tidak lagi butuh penjelasan apa pun dari bibir sang menantu.“Tadi aku hampir menjadi korban pemerkosaan, tapi kemudian Mervyn datang menyelamatkanku dan ... pada akhirnya dia ditusuk oleh salah satu anak buah dari pria itu,” ujar Mireya dengan nada gugup yang begitu kental.Mendengar itu, alih-alih iba atau basa-basi menanyakan bagaimana keadaan Mireya, seperti apa kondisi mentalnya, apakah Mireya baik-baik saja dan sebagainya, Sarah justru semakin naik pitam. Matanya jelas menunjukkan amarah yang melimpah.“Kamu tahu, Mireya? Bertemu dengan kamu adalah suatu kesialan terbesar dalam hidup Mervyn!” Sarah berbicara dengan nada tajam dan penuh tekanan di setiap kata yang dia lontarkan.Hati Mireya terasa perih mendengarnya. Sebelum bertemu dengan