Share

Chapter 2

Author: APStory
last update Last Updated: 2024-12-02 16:22:57

“Aku sedang sibuk. Tidak ada waktu mengobrol denganmu.” Alvin mengabaikan pertanyaan Mireya dan mengambil langkah mundur.

“Tunggu!” Mireya mencengkeram lengan pria itu, menahan kepergiannya. “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” ujarnya.

Alvin mendengkus kesal. “Apa kamu tidak dengar? Aku sedang sibuk!”

Tanpa terasa air bening berlinang dari pelupuk mata Mireya, membasahi pipinya. Hanya dengan melihat reaksi Alvin, Mireya dapat menemukan sendiri jawabannya.

“Kalian benar-benar berpacaran, ya?” tanya Mireya sekali lagi. Dia masih tidak percaya jika Alvin memang benar menjalin hubungan dengan wanita lain.

Hening. Baik Alvin maupun Shela sama-sama memilih bungkam.

“Kenapa, Al? Apa kamu marah karena semalam aku tiba-tiba menghilang tanpa kabar?” Mireya mulai menebak-nebak. “Al, tolong dengarkan dulu penjelasanku, aku tidak—”

Alvin menyela, “Sudahlah, Reya! Aku tidak ingin mendengar apa pun darimu. Mulai sekarang jangan hubungi aku lagi!”

Mireya menggeleng cepat. “Kita masih bisa membicarakannya baik-baik. Kamu hanya perlu mendengar penjelasanku.”

Alvin merasa sangat risih. Berulang kali dia menepis tangan Mireya, tapi wanita itu bersikeras menahan kepergiannya.

Shela ikut kesal, lalu memaki, “Dasar murahan! Kalau Alvin bilang tidak mau, tidak usah dipaksa! Apa kamu sudah tidak punya harga diri lagi, sampai rela mengemis begini?”

Seketika Mireya terkekeh. “Kamu bilang, aku murahan?” ulangnya. “Bukankah kamu yang menjadi orang ketiga dalam hubungan kami? Kamu yang seharusnya disebut murahan, bukan aku!”

Shela berdecih sinis, menatap Alvin dan menggandeng lengannya agar Mireya semakin cemburu. “Sayang, benarkah yang dia katakan? Apa aku hanya orang ketiga dalam hubungan kalian? Ah ... aku sangat sedih sekarang,” ucapnya dengan nada manja yang dibuat-buat.

“Itu tidak benar, Sayang. Kamu adalah satu-satunya untukku,” balas Alvin seraya mengecup lembut pelipis Shela.

Dada Mireya semakin sesak mendengar pengakuan langsung dari mulut Alvin. Hatinya semakin terluka menelan pahitnya kecewa.

“Apa aku tidak salah dengar?” Mireya bergumam pelan sambil terkekeh hambar, merasa sangat bodoh sekarang. “Katakan ... ini hanya bercanda, ‘kan?” harapnya.

Shela memasang wajah murung, tapi matanya melirik Mireya dengan angkuh. “Sepertinya masih ada yang tidak percaya di sini. Bisakah kamu menjelaskan lebih detail untukku, Sayang?”

Alvin mengangguk, menarik pandangan tajam ke wajah Mireya. “Jangan bersikap seperti orang gila, Reya! Kamu dan aku tidak pernah berpacaran!” tegasnya.

“Tidak pernah berpacaran?” Mireya segera mendongak, menatap nanar Alvin. “Lalu apa arti dari ucapanmu satu bulan lalu? Bukankah kamu sendiri yang mengatakan suka padaku?” tukasnya.

“Aku hanya mengatakan kagum pada perempuan sebaik kamu, tapi tidak pernah mengajakmu menjalin hubungan seserius itu,” beber Alvin sembari memperhatikan penampilan Mireya yang selalu terlihat sederhana setiap harinya.

Hanya memakai blus putih berbalut cardian, juga celana bahan panjang yang sudah menjadi ciri khasnya.

Alvin menegaskan, “Aku dan kamu bagaikan bumi dan langit, Reya! Kenapa berlebihan sekali mengira aku jatuh cinta padamu? Cih!”

“Lalu apa alasan kamu mendekatiku?” tanya Mireya.

“Oh, itu?” Alvin terkekeh santai tanpa merasa bersalah. “Aku bertaruh dengan orang-orang kantor.”

Kepalan tangan Mireya mengendur seketika. Tubuhnya begitu lemas seakan tulang lepas serentak dari daging. “Bertaruh?” gumamnya.

Mireya terkekeh getir. Apakah Alvin mengira dirinya adalah barang yang bisa dipertaruhkan?

“Kamu sangat licik ...” ujar Mireya dengan emosi besar yang menuntut untuk diledakkan. “Suatu saat kamu akan menyesalinya dan bertekuk lutut memohon maaf padaku!”

“Teruslah bermimpi!” Alvin berdecih remeh.

***

Kehidupan Mireya yang awalnya monoton—bahkan nyaris membosankan—kini menjadi sangat kacau setelah melewati satu malam bersama pria tak dikenal.

Beban yang dia tanggung bertambah semakin berat, pun isi kepalanya terasa begitu sesak dan berisik.

Selain meninggalkan luka dan rasa takut akan pandangan orang lain terhadapnya, kejadian di malam itu juga menyisakan gumpalan daging sebesar biji kacang yang terus bertumbuh di kantung rahimnya.

Tiga minggu setelah kejadian, Mireya mengalami telat datang bulan dan cukup sering merasakan kram perut serta mual di jam-jam tertentu.

Pikiran Mireya masih cukup positif kala itu. Jadi, dia mengira perubahan siklus haid yang dialaminya disebabkan oleh stress yang berlebihan, sedangkan mual dan kembung merupakan efek normal dari pola makan yang tidak teratur. Namun, dokter justru menyatakan dirinya hamil dan usia kandungannya sudah berjalan dua bulan ketika dia konsultasi perihal kondisinya.

Mireya dilema, antara harus mempertahankan atau menggugurkan janin tak berdosa itu.

Namun, mengingat dirinya juga terlahir sebagai anak yang tidak diharapkan akibat ‘kecelakaan’, dia tidak tega jika harus menghilangkan satu nyawa tak berdosa di rahimnya.

Maka, dia bertekad untuk menjaga dan membesarkan bayi di kandungannya seorang diri.

Hingga sampai kabar kehamilan itu terdengar, Mireya diusir dari rumah karena ayahnya sendiri bahkan sangat malu dan menganggap statusnya sebagai aib yang hanya akan mencoreng nama baik keluarga.

“Wanita murahan sepertimu memang pantas diusir!” Karin melempar koper berisi pakaian Mireya ke lantai teras.

Sambil menangis, Mireya menghampiri Henry, mencoba bernegosiasi supaya ayah kandungnya itu mau memberi kesempatan untuk dirinya menyelesaikan masalah yang terjadi.

“Ayah, kumohon jangan usir aku!” pinta Mireya dengan wajah mengharap belas kasihan. “Apakah Ayah tidak khawatir bagaimana aku akan menjalani hidup setelah ini?”

Henry melengos, menghindari tatapan Mireya. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya untuk menanggapi ucapan sang anak.

Lantas Karin menggandeng lengan Henry. “Sayang, jika dia tetap tinggal bersama kita dalam kondisi hamil, itu bisa merusak nama baik keluarga dan kamu pasti akan menjadi bahan olokan di kantor. Jika kita tidak bertindak tegas, aku takut hal itu berdampak buruk juga untuk Felly. Dia pasti akan sangat malu jika sampai teman-temannya tahu masalah ini.”

Di tengah rasa kecewa yang besar, Henry termakan oleh hasutan Karin dan berpikir bahwa Mireya memang perlu menerima konsekuensi atas situasi yang terjadi.

“Ayah, semua ini bukan kesalahanku. Aku benar-benar tidak tahu kenapa pria itu bisa masuk ke kamar,” ungkap Mireya, masih belum menyerah. “Bisakah ... Ayah percaya padaku sekali ini saja?” lanjutnya.

Pria paruh baya itu mengembuskan napas panjang dan melengos ke sembarang arah.

Mireya mengulurkan tangan hendak menyentuh lengan Henry. “Ayah ....”

Henry menepis tangan Mireya dengan penuh keterpaksaan. “Pergilah ...” ucapnya.

“Ayah, tapi—”

“Kubilang, pergilah!” potong Henry. Suaranya naik dua oktaf, sehingga itu membuat Mireya tertegun dan semakin luruh dalam kesedihan.

Sore itu, Mireya terpaksa angkat kaki dari rumah karena tidak punya pilihan lain. Dia genggam rasa kecewa itu erat-erat. Dia biarkan air mata berceceran di atas luka-luka yang menggerogoti dadanya semakin parah.

Mireya pergi tanpa arah dan tujuan. Mengingat Henry yang merupakan anak semata wayang, juga kakek, nenek dan ibu kandungnya yang telah tiada, membuatnya tidak memiliki tempat lain untuk pulang.

Terlebih lagi, Mireya juga tidak dekat dengan keluarga maupun sanak saudara dari ibunya. Sebab, mereka tidak akan sudi mengakui dirinya yang dianggap sebagai anak haram.

Beruntung, Mireya memiliki seorang sahabat yang menawarkan tinggal di rumahnya selama beberapa waktu.

“Terima kasih, ya, Bell. Kalau bukan atas kebaikan kamu, aku tidak tahu harus pergi ke mana lagi sekarang,” ujar Mireya.

Gadis bernama Bella itu tersenyum sambil meletakkan kedua tangan di atas bahu Mireya. “Dengar, Mireya! Kita sudah saling kenal cukup lama, bahkan kamu juga selalu membantu segala kesulitan yang aku lalui. Jadi, bagaimana bisa aku membiarkanmu sendirian dalam kondisi begini?”

Mireya sangat terharu dan tidak tahu harus mengatakan apa lagi.

Di tengah peliknya kisah yang dia jalani, setidaknya Mireya masih bisa bersyukur telah mengenal Bella.

Akan tetapi, dia sadar, jika dirinya terus menumpang makan dan tidur, itu hanya akan menyusahkan Bella. Apalagi dia sudah memutuskan resign dari tempat kerjanya setelah bertengkar dengan Alvin.

Mireya berpikir, akan jauh lebih baik jika dia menghasilkan uang agar tidak selalu menjadi beban bagi Bella. Maka, dia bertekad mencari pekerjaan. Apa pun itu, asalkan halal pasti akan dijalani.

“Kamu yakin mau cari pekerjaan?” tanya Bella memastikan.

“Yakin.” Mireya mengangguk pasti tanpa sedikit pun merasa ragu.

“Tapi bagaimana dengan kehamilan kamu? Bukankah orang yang sedang hamil trimester pertama tidak boleh terlalu banyak bergerak, apalagi bekerja?” ucap Bella khawatir.

Mireya tersenyum. “Kalau dapat posisi di bagian kantor, aku tidak perlu terlalu banyak gerak. Lagipula, kalau terus diam di rumah, itu hanya akan membuatku bosan dan stress. Bukankah itu juga tidak baik untuk kehamilan?”

Melihat tekad Mireya yang sepertinya tidak main-main, Bella hanya bisa menghela napas dan tidak banyak berkomentar.

Beberapa hari kemudian, Bella mengabarkan bahwa di perusahaan tempatnya bekerja kebetulan sedang membuka lowongan.

Mireya pun segera membuka link pendaftaran yang dikirim oleh Bella, lalu memasukkan data dirinya di sana.

Setelah menunggu selama hampir dua minggu, Mireya mendapatkan panggilan untuk melakukan interview kerja. Dia pun dengan senang hati datang ke perusahaan bersama Bella yang hendak bekerja.

“Semangat, Mireya! Kamu pasti bisa,” ucap Bella sambil mengangkat tangan ke udara.

Mireya mengembuskan napas panjang, mencoba mengusir gugup. “Terima kasih,” sahutnya.

Sementara Bella mulai memasuki ruang kerjanya, Mireya diarahkan oleh seseorang untuk masuk ke lift menuju ke lantai nomor dua belas. Di sana sudah ada beberapa peserta yang duduk menunggu di depan ruangan.

Mireya mengeluarkan selembar kertas berisi materi seputar job interview ketika dirinya baru saja duduk di kursi kosong.

Meskipun yakin dengan kemampuannya sendiri, tetapi entah kenapa berhadapan dengan orang baru selalu saja membuat kadar kepercayaan dirinya menurun.

Terlebih lagi, Mireya sudah mendengar cerita dari Bella mengenai sikap bosnya yang terkenal arogan dan menyebalkan. Maka, sejak satu minggu yang lalu Mireya telah menguatkan mental agar bersikap tenang dan sabar menghadapi orang begitu.

“Tuan Mervyn sudah datang!”

Mireya mendongak saat mendengar pengumuman mengenai kedatangan seseorang yang sepertinya membawa pengaruh besar di perusahaan.

Orang-orang itu kembali fokus pada pekerjaannya masing-masing. Lorong yang tadinya masih dia temukan dua atau tiga orang yang berlalu-lalang, seketika menjadi sepi dalam hitungan detik.

Tak lama setelah itu, pandangan Mireya beralih ke arah pintu lift yang terbuka. Ada dua pengawal berpakaian serba hitam yang berdiri menyambut di depan pintu.

Hingga saat dirinya menatap wajah seseorang yang baru saja keluar dari lift, jantung Mireya berdesir kencang seperti mau copot.

‘Ya, Tuhan ... b–bukankah dia orang yang masuk ke kamar hotel di malam itu?’ batin Mireya mulai tidak tenang.

Bersambung ….

Related chapters

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 3

    Saat melihat wajah Mervyn, Mireya yakin seratus persen bahwa itu adalah laki-laki asing yang telah merenggut kesuciannya di sebuah hotel. Mervyn melangkah percaya diri diikuti beberapa pengawal di belakangnya. Mireya terpaku dan jantungnya berdebar kencang saat Mervyn tak sengaja meliriknya. Tatapan Mervyn begitu tajam dan menyimpan banyak rahasia, sehingga Mireya tak mampu menemukan makna di balik sorot matanya yang penuh misteri. Adegan saling pandang itu terjadi tidak lebih dari tiga detik. Mervyn mengalihkan tatapan ke depan dan mengabaikan Mireya seperti bukan sesuatu yang berarti. “Sepertinya dia tidak mengingatku.” Mireya bergumam pelan yang hanya dapat didengar oleh diri sendiri. Dia berpikir, mungkin akan jauh lebih baik jika Mervyn tidak mengenalinya. Bisa jadi Mervyn sudah memiliki pacar atau bahkan seorang istri. Mireya tentu akan terlibat masalah besar jika pasangan Mervyn tahu kalau pria itu pernah tidur dengannya. Di sisi lain, bercinta dengan orang asing ba

    Last Updated : 2024-12-02
  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 4

    Mireya memegang gagang pintu dengan tangan gemetar. Sekujur tubuhnya seakan membeku saat mendengar pertanyaan Mervyn. “Saya belum bertemu lagi dengan Alvin, Pak,” ucap Rayyan, “Jadi, belum ada informasi apa pun yang saya dapatkan tentang wanita itu.” Alvin? Mireya bertanya-tanya, apakah Alvin yang sedang dibicarakan adalah mantan pacarnya? Jika iya, dia sungguh kehilangan kata-kata untuk mengekspresikan kemarahannya. Alvin terlalu jahat dan licik. Bahkan gelar ‘iblis’ pun masih terlalu halus jika disematkan pada pria itu. “Sudah kamu coba hubungi nomor teleponnya?” Suara Mervyn begitu dingin, tapi juga tegas. Rayyan mengangguk, “Sudah, Pak, tapi nomor teleponnya tidak aktif.” Mervyn menghela napas. “Cari tahu secepatnya.” “Baik, Pak!” Rayyan tidak punya pilihan untuk menolak, sehingga yang dia lakukan hanyalah mengangguk. Dalam keheningan, mata elang Mervyn tak sengaja melirik Mireya yang sejak tadi masih bergeming di dekat pintu. Apa wanita itu sedang menguping pemb

    Last Updated : 2024-12-05
  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 5

    Mireya dan Bella menoleh ke sumber suara—yang mana seorang wanita tampak melangkah semakin dekat ke arah mereka. “Mama!” Ternyata itu adalah Irene, ibunya Bella yang baru saja pulang dari urusan bisnis di luar kota. Bella menyambut kedatangan ibunya dengan pelukan hangat. “Wah, ada siapa di sini?” Irene menatap Mireya dengan sorot mata yang memancarkan kehangatan. Mereka sudah saling kenal, tentu saja. Apalagi Mireya adalah sahabat terbaik Bella. Walaupun tidak sering, tetapi Mireya pernah beberapa kali bertemu Irene saat ada kesempatan main ke sini. Mireya mencium punggung tangan Irene dengan sopan, lalu basa-basi menanyakan kabar satu sama lain. Namun, saat hidungnya menyentuh kulit tangan Irene, Mireya mencium aroma wewangian yang membuat dirinya pusing dan mual. “Maaf, aku harus ke belakang.” Mireya pamit ke wastafel untuk menyudahi dorongan kuat dari dalam lambungnya. Pada akhirnya, Mireya hanya muntah angin karena tidak ada sisa makanan yang keluar dari mulutnya

    Last Updated : 2024-12-06
  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 6

    Mireya baru saja membeli sebungkus roti dan air mineral di minimarket. Usia kehamilan pada trimester pertama membuatnya lebih sering merasa lapar. Di sisi lain, dia juga harus memikirkan bagaimana agar sisa uangnya bisa mencukupi hingga setidaknya satu bulan ke depan. Mau tak mau, dia harus hidup hemat dan memangkas segala pengeluaran yang tidak perlu. “Terima kasih,” ucapnya kepada kasir usai melakukan pembayaran. Saat ingin meninggalkan minimarket, tiba-tiba hujan turun dengan lumayan deras. Terpaksa Mireya harus berteduh karena tidak membawa mantel ataupun payung. Mireya duduk di atas kursi yang tersedia di teras minimarket. Dia membuka bungkus roti dan mulai memakannya sebagian, sementara setengah sisanya akan dia simpan untuk dimakan saat nanti lapar lagi. Detik selanjutnya, seorang wanita tua baru saja keluar dari minimarket dan ikut berteduh di sebelah Mireya. Di samping wanita itu, ada sosok pemuda bertubuh tinggi kurus yang terlihat mencurigakan. Akan tetapi, wa

    Last Updated : 2025-01-06
  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 7

    Suara itu menyadarkan Mireya dari lamunan. Di sampingnya sudah ada Sania sedang berdiri dengan tangan menyentuh lembut bahunya. Sontak Mireya tersenyum seolah tidak ada masalah apa pun. “Aku baik-baik saja, Nek,” dustanya. Meski senyuman itu terlukis di bibirnya, tetapi Sania melihat titik kegetiran yang berpendar di balik tatapan nanar wanita malang itu. Sania berpikir bahwa Mireya mungkin tidak nyaman jika orang lain mencampuri urusannya terlalu dalam—apalagi mereka tidak saling mengenal sebelumnya. Jadi, dia memutuskan untuk tidak bertanya lebih banyak. “Masalah yang dihadapi setiap orang memang berbeda-beda, tapi apa pun itu, jangan pernah berhenti berjuang!” ujar Sania dengan tulus. “Kamu boleh istirahat sejenak saat lelah, tapi jangan sampai menyerah. Kamu tahu apa? Gadis Kecil, dunia sangat kekurangan orang-orang sebaik kamu,” pungkasnya. Kalimat itu terdengar seperti sumber kekuatan yang merangkak masuk ke telinga, lalu merayap dan mengendap di dalam tubuh Mireya. M

    Last Updated : 2025-01-06
  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 8

    Mervyn memandangi wajah Mireya lekat-lekat. Merasa tidak asing, dia mengernyit ketika menyadari bahwa Mireya merupakan orang yang telah mengikuti seleksi di perusahaannya. Tatap mata mereka saling bertemu selama beberapa detik. Entah kenapa dada Mervyn berdesir cepat, seakan ada energi kuat di balik mata cantik Mireya yang tak dapat dijabarkan. Sampai akhirnya, wanita itu mulai hilang kesadaran dan menghentikan momen canggung di antara mereka berdua. Refleks, Mervyn segera menangkap tubuh Mireya yang hampir terjatuh, hingga wanita itu berakhir pingsan dalam pelukan hangatnya. “Apa lagi yang kamu tunggu? Gadis itu butuh pertolongan. Cepat bawa dia ke rumah sakit!” perintah Sania, menyadarkan cucunya yang sejak tadi terus memandangi wajah Mireya tanpa henti, seperti sedang terhipnotis. Setelah itu, Mervyn segera membawa Mireya masuk ke mobil dengan cara menggendongnya ala bridal. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, hujan mulai reda, tetapi Mervyn masih menyalakan wiper untuk

    Last Updated : 2025-01-07
  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 9

    Mireya tertegun mendengar pertanyaan Sania. Setelah terdiam beberapa detik, wanita itu menjawab, “Dia sedang pergi ke luar kota.” Terpaksa Mireya berbohong. Sebab, tidak mungkin juga dia mengatakan bahwa kehamilannya ini adalah hasil hubungan di luar nikah dan pelakunya ada di depan mata mereka, nanti yang ada malah menambah masalah. “Lalu kamu mau mencari rumah kost sendirian?” tanya Sania lagi. “Iya, Nek.” Melihat kondisi Mireya yang sepertinya belum cukup pulih, Sania khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk pada Mireya di luar sana. Dia pun menyarankan, “Bagaimana kalau kamu istirahat dulu di rumahku? Setelah membaik, barulah kamu bisa lanjut mencari rumah kost.” Mervyn membulatkan mata. Sungguh tidak habis pikir atas kebaikan sang nenek yang menurutnya terlalu berlebihan. “Ah, tidak perlu, Nek. Lagipula aku sudah lebih baik sekarang.” Mireya menggeleng cepat, merasa sungkan atas tawaran yang Sania berikan. “Kamu yakin tidak apa-apa?” tanya Sania memastikan. “Yakin, N

    Last Updated : 2025-01-10
  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 10

    Tepukan kecil yang Mervyn lakukan berhasil menyadarkan Mireya dari mimpi buruk. Dengan cepat kelopak matanya terbuka lebar, tetapi yang membuatnya lebih kaget lagi adalah ketika dirinya mendapati kehadiran Mervyn pada jarak yang cukup dekat. Posisi Mervyn dengan tubuh sedikit dicondongkan ke depan jelas kembali mengingatkan Mireya pada momen di malam itu, ketika pertama kalinya dia melihat pria itu berkuasa di atasnya. Sulit bagi Mireya untuk bisa mengendalikan perasaan sekarang. Tubuhnya menjadi bergetar hebat seiring peluh yang mulai membasahi kening dan telapak tangan. Lalu, dia tanpa sadar meloloskan setitik air mata yang tak lagi dapat dibendung. “Apa mimpi kamu sangat buruk?” Mervyn bertanya dengan hati-hati. Karena melihat Mireya sudah sangat ketakutan, jadi dia bicara lebih lembut agar tidak membuatnya semakin takut. Mireya tidak menjawab, melainkan hanya terus menangis seraya menutup rapat kedua telinga seperti menyimpan trauma yang begitu dalam. Sejujurnya dia baru sa

    Last Updated : 2025-01-11

Latest chapter

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 58

    Mireya terdiam sesaat, merasa pipinya memanas ketika Mervyn menatapnya dengan penuh perhatian, sambil mengajukan satu kalimat tanya yang cukup mengejutkan.Cemburu, katanya?Mervyn tampak tenang saat mengatakan itu, tapi bagi Mireya, pertanyaan itu berhasil menyentuh ruang tersembunyi dalam hatinya.“Bukan begitu,” jawab Mireya buru-buru, berusaha menenangkan diri. “Aku hanya khawatir dia salah paham.” Meskipun nadanya terkesan biasa, tetapi jauh di lubuk hatinya, ada keraguan yang sulit diungkapkan.“Aku pikir, kamu sepertinya sudah punya hubungan khusus dengan dia,” lanjut wanita itu dengan suara serak yang mencerminkan kebingungan.Mervyn mengernyit, lalu mencoba menjelaskan, “Mireya, jangan berpikir terlalu jauh. Itu tidak seperti yang kamu pikirkan.”Ucapan Mervyn masih belum cukup untuk menenangkan hati Mireya yang mulai terombang-ambing.Bagaimana kalau Mervyn sedang berbohong dan sebenarnya memang sudah memiliki pasangan?Mungkin wanita itu adalah bagian dari hidup Mervyn yang

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 57

    Mervyn terbungkam beberapa detik ketika Mireya menawarkannya kopi. Itu mungkin hanya tawaran biasa dan tak berarti apa-apa bagi orang lain, tetapi ... entah kenapa, sesuatu di balik rongga dada Mervyn seketika menjadi hangat saat mendengarnya.Ada getaran samar yang menggelitik perut seperti kupu-kupu, lalu perlahan naik dan menjalar hingga ke ulu hati.Padahal, sebagai nyonya rumah, wajar jika Mireya menawarkan kopi, ‘kan?Mencoba bersikap tenang, kali ini Mervyn memandang Mireya seraya mengangguk kecil. “Boleh,” ujarnya.Mireya berjalan menuju pantry, mengambil panci kecil, disi dengan sedikit air dan merebusnya di atas kompor yang telah dinyalakan.Sambil menunggu air matang, Mireya menyibukkan diri dengan menyiapkan bubuk kopi, gula dan cangkir.“Kamu suka kopi yang manis atau dengan sedikit gula?” tanya Mireya.“Sedikit gula, tapi dicampur dengan satu sendok krimer,” kata Mervyn.Mireya mengangguk paham. Setelah mencampurkan semua bahan ke dalam cangkir sesuai permintaan Mervyn,

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 56

    “Maaf ...” ucap Mervyn seraya mengalihkan tatapan dari tubuh indah Mireya yang berlekuk sempurna.“Aku sudah tidak melihatnya lagi,” sambung pria itu dengan nada gugup yang berusaha dia sembunyikan.Usai memastikan kalau Mervyn benar-benar sudah menjaga pandangan, tanpa banyak basa-basi, Mireya pun bergegas meninggalkan lokasi menuju ke kamar pribadinya.“Kenapa dia bisa ada di sana? Seharusnya dia tidak boleh masuk ke rumah orang sembarangan!” gumam Mireya sambil mengetuk-ngetuk keningnya sendiri.Dia merasa sangat malu, bodoh sekaligus marah sekarang.“Walaupun dia adalah ayah dari kedua anakku, tapi bukan berarti dia bisa bertindak semaunya di sini. Apa dia pikir rumah ini adalah miliknya?!”Mireya mengunci diri di dalam kamar dan bersandar di belakang pintu. Satu tangannya menyentuh dada, merasakan debar kencang yang tidak terkendali dari dasar jantungnya.Di sisi lain, Mervyn merasa tenggorokannya semakin kering setelah dia tak sengaja melihat Mireya dengan penampilan yang menuru

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 55

    Sarah tercengang mendengar informasi yang diberikan oleh Lisa. “Maksud kamu apa? Bagaimana bisa Mervyn memiliki anak dengan wanita yang ... bahkan, Tante saja baru tahu kalau mereka pernah saling terikat di masa lalu,” ujarnya. “Kalau kamu tidak bercerita, sampai sekarang mungkin Tante tidak akan pernah tahu siapa itu Mireya.”Lisa menepis sejenak air mata yang bergumul di pelupuk mata. Tangannya mengeluarkan amplop putih dari dalam tas dan menunjukkannya pada Sarah. “Tante bisa lihat sendiri buktinya,” ucapnya dengan suara bergetar. “Pada awalnya, aku juga tidak menyangka, tetapi begitulah kenyataannya.”Sarah mengambil amplop tersebut dengan tangan gemetar. Dia langsung membukanya bersama emosi yang bercampur aduk di rongga dada.Wanita itu mengeluarkan isi di dalam amplop yang menampilkan foto ketika Mervyn sedang berada di rumah sakit bersama kedua anak kembarnya.Mervyn berjalan di lorong sambil menggendong Marcell yang tertidur di bahunya, sementara Michelle berjalan bergandenga

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 54

    Kehadiran Lisa dan Sarah di dalam ruang tamu apartemennya, membuat Mervyn cukup terkejut dan bingung.Kenapa mereka tiba-tiba ada di ruang tamu apartemennya tanpa memberi kabar terlebih dahulu?“Ada beberapa hal yang ingin Ibu tanyakan padamu, Mervyn,” ucap Sarah seraya mengelus punggung Lisa—seolah sedang berusaha menenangkannya.Saat dia menatap Lisa dan memperhatikannya lebih serius, Mervyn baru menyadari kalau gadis itu terlihat seperti sedang menangis.Mervyn kembali melirik ke arah ibunya, lalu bertanya dengan suara dingin, “Apa?”“Ibu sudah mendengar semua cerita dari Lisa, tentang wanita yang tidak sengaja bertemu dengan kamu di mall,” ujar Sarah, terlihat menahan amarah. “Sekarang katakan dengan jujur, siapa wanita itu?!” desaknya, tidak ingin mendengar penyangkalan apa pun.Mervyn hanya sedikit mengerutkan kening saat mendengar itu. Namun, tak ada sedikit pun ekspresi takut di wajahnya. Dia hanya memandang Sarah dan Lisa dengan wajah dingin.“Apa urusannya dengan kalian kala

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 53

    Julian berdiri di depan pintu, matanya terfokus pada Mireya yang baru saja membukakan pintu.Senyum tipis di wajah Julian langsung memudar saat dia melihat pria yang berdiri di samping Mireya.“Mervyn ...?”Julian mengerutkan dahi. Tiba-tiba, kenangan beberapa waktu lalu langsung berputar memenuhi kepala.Saat itu, di sudut lorong perusahaan, setelah menjalani rapat bisnis dengan perusahaan Mervyn, Julian tak sengaja melihat Mervyn berusaha membangun interaksi yang cukup serius dengan Mireya—seolah ada sesuatu yang lebih dari sebatas profesional kerja.Ada ketegangan di antara mereka, yang sempat membuat Julian curiga bahwa sebenarnya Mervyn adalah ayah kandung dari Marcell dan Michelle. Akan tetapi, saat itu Mireya sama sekali tidak menjawab keraguannya.Kini, dengan berdirinya Mervyn di sini, Julian semakin yakin dengan kecurigaan yang dia pendam.Di sisi lain, Mervyn juga merasakan sesuatu yang tidak bisa dia jelaskan.Masih segar dalam ingatan Mervyn, ketika Rayyan menginformasika

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 52

    Pertanyaan itu membuat Mervyn terkejut. Dia mengernyitkan dahi, merasakan kekakuan yang mencekam.Meskipun secara biologis Mervyn memang ayah kandung Marcell dan Michelle, tetapi hubungan antara dia dan Mireya tidak cukup kuat untuk menjustifikasi hal seperti itu.Tidak ada status pernikahan antara Mervyn dan Mireya. Jadi, jika mereka berada dalam satu rumah meskipun hanya semalam saja, itu pasti akan menimbulkan tanda tanya besar bagi warga sekitar.Mervyn tidak ingin hal seperti itu terjadi dan mengganggu kenyamanan yang selama ini telah Mireya bangun bertahun-tahun di rumahnya.Mervyn merasa sedikit canggung, tidak tahu bagaimana seharusnya menjawab pertanyaan yang sekilas tampak sederhana bagi anak-anak, tetapi sebenarnya penuh dengan lapisan perasaan dan situasi yang rumit.“Uhm ... anak-anak?” Mervyn bicara dengan suara lembut dan berpikir, “Meskipun Papi adalah ayah kandung kalian, tapi ... Papi dan Mami tidak memiliki hubungan yang sah. Jadi, ada batasan antara Papi dan Mami y

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 51

    “Baiklah, aku duluan.” Karena tidak ingin berdebat terlalu lama, Marcell akhirnya mengalah dan mulai angkat suara untuk menjawab pertanyaan Mervyn. “Paman, sebenarnya kamu baru saja mengajukan pertanyaan retoris. Dari pertanyaan Paman, jawabannya tentu saja; pernah.”Marcell lalu menambahkan, “Memangnya siapa anak yang tidak merasa sedih jika hidup tanpa figur seorang ayah? Tapi, beruntungnya, aku dan Michelle mempunyai ibu yang luar biasa hebat dan kuat seperti Mami, sehingga dengan ada ataupun tanpa adanya sosok ayah, itu bukan lagi menjadi masalah bagi kami.”Mervyn hanya diam sambil mendengarkan dengan serius.“Paman lihat sendiri, ‘kan? Kami tumbuh besar, sehat dan kuat. Kami juga selalu bahagia bersama Mami,” pungkas Marcell, seolah menegaskan bahwa kehilangan seorang ayah sejak masih di dalam kandungan, bukanlah hal yang perlu disesali dalam hidup.Mervyn mengangguk paham. “Itu bagus!” ucapnya seraya tersenyum getir, membayangkan sebesar apa perjuangan Mireya hingga mampu mendi

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 50

    Mireya terbelalak mendengar permintaan Mervyn terkait keputusan untuk membeberkan semuanya kepada Marcell dan Michelle. “T–tapi ... apa menurutmu itu tidak akan membuat mereka marah? Bagaimana kalau aku dibenci karena menutupi fakta kalau kamu adalah ayahnya?”Mervyn menjawab dengan tenang, “Mereka tidak akan membenci kamu, Mireya. Aku lihat, mereka tumbuh menjadi anak-anak yang baik dan pengertian. Tapi kalaupun mereka marah atau benci padamu, bukankah itu hal yang wajar? Mereka memang belum cukup mampu mengendalikan emosi, tapi percayalah, perlahan waktu pasti akan mendewasakan pikiran anak-anak kita.”Pipi Mireya sedikit memerah saat mendengar tiga kata terakhir yang terucap dari bibir Mervyn.‘Anak-anak kita’?Entah kenapa, meskipun kenyataannya memang benar, tetapi Mireya merasa bahwa ucapan itu sedikit berlebihan. Bukankah itu terkesan seolah mereka adalah keluarga?“Mireya ...?” panggil Mervyn sembari menelengkan kepala, mencoba menatap wajah Mireya lebih detail. “Kenapa diam s

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status