Share

Chapter 2

Author: APStory
last update Last Updated: 2024-12-02 16:22:57

“Aku sedang sibuk. Tidak ada waktu mengobrol denganmu.” Alvin mengabaikan pertanyaan Mireya dan mengambil langkah mundur.

“Tunggu!” Mireya mencengkeram lengan pria itu, menahan kepergiannya. “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” ujarnya.

Alvin mendengkus kesal. “Apa kamu tidak dengar? Aku sedang sibuk!”

Tanpa terasa air bening berlinang dari pelupuk mata Mireya, membasahi pipinya. Hanya dengan melihat reaksi Alvin, Mireya dapat menemukan sendiri jawabannya.

“Kalian benar-benar berpacaran, ya?” tanya Mireya sekali lagi. Dia masih tidak percaya jika Alvin memang benar menjalin hubungan dengan wanita lain.

Hening. Baik Alvin maupun Shela sama-sama memilih bungkam.

“Kenapa, Al? Apa kamu marah karena semalam aku tiba-tiba menghilang tanpa kabar?” Mireya mulai menebak-nebak. “Al, tolong dengarkan dulu penjelasanku, aku tidak—”

Alvin menyela, “Sudahlah, Reya! Aku tidak ingin mendengar apa pun darimu. Mulai sekarang jangan hubungi aku lagi!”

Mireya menggeleng cepat. “Kita masih bisa membicarakannya baik-baik. Kamu hanya perlu mendengar penjelasanku.”

Alvin merasa sangat risih. Berulang kali dia menepis tangan Mireya, tapi wanita itu bersikeras menahan kepergiannya.

Shela ikut kesal, lalu memaki, “Dasar murahan! Kalau Alvin bilang tidak mau, tidak usah dipaksa! Apa kamu sudah tidak punya harga diri lagi, sampai rela mengemis begini?”

Seketika Mireya terkekeh. “Kamu bilang, aku murahan?” ulangnya. “Bukankah kamu yang menjadi orang ketiga dalam hubungan kami? Kamu yang seharusnya disebut murahan, bukan aku!”

Shela berdecih sinis, menatap Alvin dan menggandeng lengannya agar Mireya semakin cemburu. “Sayang, benarkah yang dia katakan? Apa aku hanya orang ketiga dalam hubungan kalian? Ah ... aku sangat sedih sekarang,” ucapnya dengan nada manja yang dibuat-buat.

“Itu tidak benar, Sayang. Kamu adalah satu-satunya untukku,” balas Alvin seraya mengecup lembut pelipis Shela.

Dada Mireya semakin sesak mendengar pengakuan langsung dari mulut Alvin. Hatinya semakin terluka menelan pahitnya kecewa.

“Apa aku tidak salah dengar?” Mireya bergumam pelan sambil terkekeh hambar, merasa sangat bodoh sekarang. “Katakan ... ini hanya bercanda, ‘kan?” harapnya.

Shela memasang wajah murung, tapi matanya melirik Mireya dengan angkuh. “Sepertinya masih ada yang tidak percaya di sini. Bisakah kamu menjelaskan lebih detail untukku, Sayang?”

Alvin mengangguk, menarik pandangan tajam ke wajah Mireya. “Jangan bersikap seperti orang gila, Reya! Kamu dan aku tidak pernah berpacaran!” tegasnya.

“Tidak pernah berpacaran?” Mireya segera mendongak, menatap nanar Alvin. “Lalu apa arti dari ucapanmu satu bulan lalu? Bukankah kamu sendiri yang mengatakan suka padaku?” tukasnya.

“Aku hanya mengatakan kagum pada perempuan sebaik kamu, tapi tidak pernah mengajakmu menjalin hubungan seserius itu,” beber Alvin sembari memperhatikan penampilan Mireya yang selalu terlihat sederhana setiap harinya.

Hanya memakai blus putih berbalut cardian, juga celana bahan panjang yang sudah menjadi ciri khasnya.

Alvin menegaskan, “Aku dan kamu bagaikan bumi dan langit, Reya! Kenapa berlebihan sekali mengira aku jatuh cinta padamu? Cih!”

“Lalu apa alasan kamu mendekatiku?” tanya Mireya.

“Oh, itu?” Alvin terkekeh santai tanpa merasa bersalah. “Aku bertaruh dengan orang-orang kantor.”

Kepalan tangan Mireya mengendur seketika. Tubuhnya begitu lemas seakan tulang lepas serentak dari daging. “Bertaruh?” gumamnya.

Mireya terkekeh getir. Apakah Alvin mengira dirinya adalah barang yang bisa dipertaruhkan?

“Kamu sangat licik ...” ujar Mireya dengan emosi besar yang menuntut untuk diledakkan. “Suatu saat kamu akan menyesalinya dan bertekuk lutut memohon maaf padaku!”

“Teruslah bermimpi!” Alvin berdecih remeh.

***

Kehidupan Mireya yang awalnya monoton—bahkan nyaris membosankan—kini menjadi sangat kacau setelah melewati satu malam bersama pria tak dikenal.

Beban yang dia tanggung bertambah semakin berat, pun isi kepalanya terasa begitu sesak dan berisik.

Selain meninggalkan luka dan rasa takut akan pandangan orang lain terhadapnya, kejadian di malam itu juga menyisakan gumpalan daging sebesar biji kacang yang terus bertumbuh di kantung rahimnya.

Tiga minggu setelah kejadian, Mireya mengalami telat datang bulan dan cukup sering merasakan kram perut serta mual di jam-jam tertentu.

Pikiran Mireya masih cukup positif kala itu. Jadi, dia mengira perubahan siklus haid yang dialaminya disebabkan oleh stress yang berlebihan, sedangkan mual dan kembung merupakan efek normal dari pola makan yang tidak teratur. Namun, dokter justru menyatakan dirinya hamil dan usia kandungannya sudah berjalan dua bulan ketika dia konsultasi perihal kondisinya.

Mireya dilema, antara harus mempertahankan atau menggugurkan janin tak berdosa itu.

Namun, mengingat dirinya juga terlahir sebagai anak yang tidak diharapkan akibat ‘kecelakaan’, dia tidak tega jika harus menghilangkan satu nyawa tak berdosa di rahimnya.

Maka, dia bertekad untuk menjaga dan membesarkan bayi di kandungannya seorang diri.

Hingga sampai kabar kehamilan itu terdengar, Mireya diusir dari rumah karena ayahnya sendiri bahkan sangat malu dan menganggap statusnya sebagai aib yang hanya akan mencoreng nama baik keluarga.

“Wanita murahan sepertimu memang pantas diusir!” Karin melempar koper berisi pakaian Mireya ke lantai teras.

Sambil menangis, Mireya menghampiri Henry, mencoba bernegosiasi supaya ayah kandungnya itu mau memberi kesempatan untuk dirinya menyelesaikan masalah yang terjadi.

“Ayah, kumohon jangan usir aku!” pinta Mireya dengan wajah mengharap belas kasihan. “Apakah Ayah tidak khawatir bagaimana aku akan menjalani hidup setelah ini?”

Henry melengos, menghindari tatapan Mireya. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya untuk menanggapi ucapan sang anak.

Lantas Karin menggandeng lengan Henry. “Sayang, jika dia tetap tinggal bersama kita dalam kondisi hamil, itu bisa merusak nama baik keluarga dan kamu pasti akan menjadi bahan olokan di kantor. Jika kita tidak bertindak tegas, aku takut hal itu berdampak buruk juga untuk Felly. Dia pasti akan sangat malu jika sampai teman-temannya tahu masalah ini.”

Di tengah rasa kecewa yang besar, Henry termakan oleh hasutan Karin dan berpikir bahwa Mireya memang perlu menerima konsekuensi atas situasi yang terjadi.

“Ayah, semua ini bukan kesalahanku. Aku benar-benar tidak tahu kenapa pria itu bisa masuk ke kamar,” ungkap Mireya, masih belum menyerah. “Bisakah ... Ayah percaya padaku sekali ini saja?” lanjutnya.

Pria paruh baya itu mengembuskan napas panjang dan melengos ke sembarang arah.

Mireya mengulurkan tangan hendak menyentuh lengan Henry. “Ayah ....”

Henry menepis tangan Mireya dengan penuh keterpaksaan. “Pergilah ...” ucapnya.

“Ayah, tapi—”

“Kubilang, pergilah!” potong Henry. Suaranya naik dua oktaf, sehingga itu membuat Mireya tertegun dan semakin luruh dalam kesedihan.

Sore itu, Mireya terpaksa angkat kaki dari rumah karena tidak punya pilihan lain. Dia genggam rasa kecewa itu erat-erat. Dia biarkan air mata berceceran di atas luka-luka yang menggerogoti dadanya semakin parah.

Mireya pergi tanpa arah dan tujuan. Mengingat Henry yang merupakan anak semata wayang, juga kakek, nenek dan ibu kandungnya yang telah tiada, membuatnya tidak memiliki tempat lain untuk pulang.

Terlebih lagi, Mireya juga tidak dekat dengan keluarga maupun sanak saudara dari ibunya. Sebab, mereka tidak akan sudi mengakui dirinya yang dianggap sebagai anak haram.

Beruntung, Mireya memiliki seorang sahabat yang menawarkan tinggal di rumahnya selama beberapa waktu.

“Terima kasih, ya, Bell. Kalau bukan atas kebaikan kamu, aku tidak tahu harus pergi ke mana lagi sekarang,” ujar Mireya.

Gadis bernama Bella itu tersenyum sambil meletakkan kedua tangan di atas bahu Mireya. “Dengar, Mireya! Kita sudah saling kenal cukup lama, bahkan kamu juga selalu membantu segala kesulitan yang aku lalui. Jadi, bagaimana bisa aku membiarkanmu sendirian dalam kondisi begini?”

Mireya sangat terharu dan tidak tahu harus mengatakan apa lagi.

Di tengah peliknya kisah yang dia jalani, setidaknya Mireya masih bisa bersyukur telah mengenal Bella.

Akan tetapi, dia sadar, jika dirinya terus menumpang makan dan tidur, itu hanya akan menyusahkan Bella. Apalagi dia sudah memutuskan resign dari tempat kerjanya setelah bertengkar dengan Alvin.

Mireya berpikir, akan jauh lebih baik jika dia menghasilkan uang agar tidak selalu menjadi beban bagi Bella. Maka, dia bertekad mencari pekerjaan. Apa pun itu, asalkan halal pasti akan dijalani.

“Kamu yakin mau cari pekerjaan?” tanya Bella memastikan.

“Yakin.” Mireya mengangguk pasti tanpa sedikit pun merasa ragu.

“Tapi bagaimana dengan kehamilan kamu? Bukankah orang yang sedang hamil trimester pertama tidak boleh terlalu banyak bergerak, apalagi bekerja?” ucap Bella khawatir.

Mireya tersenyum. “Kalau dapat posisi di bagian kantor, aku tidak perlu terlalu banyak gerak. Lagipula, kalau terus diam di rumah, itu hanya akan membuatku bosan dan stress. Bukankah itu juga tidak baik untuk kehamilan?”

Melihat tekad Mireya yang sepertinya tidak main-main, Bella hanya bisa menghela napas dan tidak banyak berkomentar.

Beberapa hari kemudian, Bella mengabarkan bahwa di perusahaan tempatnya bekerja kebetulan sedang membuka lowongan.

Mireya pun segera membuka link pendaftaran yang dikirim oleh Bella, lalu memasukkan data dirinya di sana.

Setelah menunggu selama hampir dua minggu, Mireya mendapatkan panggilan untuk melakukan interview kerja. Dia pun dengan senang hati datang ke perusahaan bersama Bella yang hendak bekerja.

“Semangat, Mireya! Kamu pasti bisa,” ucap Bella sambil mengangkat tangan ke udara.

Mireya mengembuskan napas panjang, mencoba mengusir gugup. “Terima kasih,” sahutnya.

Sementara Bella mulai memasuki ruang kerjanya, Mireya diarahkan oleh seseorang untuk masuk ke lift menuju ke lantai nomor dua belas. Di sana sudah ada beberapa peserta yang duduk menunggu di depan ruangan.

Mireya mengeluarkan selembar kertas berisi materi seputar job interview ketika dirinya baru saja duduk di kursi kosong.

Meskipun yakin dengan kemampuannya sendiri, tetapi entah kenapa berhadapan dengan orang baru selalu saja membuat kadar kepercayaan dirinya menurun.

Terlebih lagi, Mireya sudah mendengar cerita dari Bella mengenai sikap bosnya yang terkenal arogan dan menyebalkan. Maka, sejak satu minggu yang lalu Mireya telah menguatkan mental agar bersikap tenang dan sabar menghadapi orang begitu.

“Tuan Mervyn sudah datang!”

Mireya mendongak saat mendengar pengumuman mengenai kedatangan seseorang yang sepertinya membawa pengaruh besar di perusahaan.

Orang-orang itu kembali fokus pada pekerjaannya masing-masing. Lorong yang tadinya masih dia temukan dua atau tiga orang yang berlalu-lalang, seketika menjadi sepi dalam hitungan detik.

Tak lama setelah itu, pandangan Mireya beralih ke arah pintu lift yang terbuka. Ada dua pengawal berpakaian serba hitam yang berdiri menyambut di depan pintu.

Hingga saat dirinya menatap wajah seseorang yang baru saja keluar dari lift, jantung Mireya berdesir kencang seperti mau copot.

‘Ya, Tuhan ... b–bukankah dia orang yang masuk ke kamar hotel di malam itu?’ batin Mireya mulai tidak tenang.

Bersambung ….

Related chapters

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 3

    Saat melihat wajah Mervyn, Mireya yakin seratus persen bahwa itu adalah laki-laki asing yang telah merenggut kesuciannya di sebuah hotel. Mervyn melangkah percaya diri diikuti beberapa pengawal di belakangnya. Mireya terpaku dan jantungnya berdebar kencang saat Mervyn tak sengaja meliriknya. Tatapan Mervyn begitu tajam dan menyimpan banyak rahasia, sehingga Mireya tak mampu menemukan makna di balik sorot matanya yang penuh misteri. Adegan saling pandang itu terjadi tidak lebih dari tiga detik. Mervyn mengalihkan tatapan ke depan dan mengabaikan Mireya seperti bukan sesuatu yang berarti. “Sepertinya dia tidak mengingatku.” Mireya bergumam pelan yang hanya dapat didengar oleh diri sendiri. Dia berpikir, mungkin akan jauh lebih baik jika Mervyn tidak mengenalinya. Bisa jadi Mervyn sudah memiliki pacar atau bahkan seorang istri. Mireya tentu akan terlibat masalah besar jika pasangan Mervyn tahu kalau pria itu pernah tidur dengannya. Di sisi lain, bercinta dengan orang asing ba

    Last Updated : 2024-12-02
  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 4

    Mireya memegang gagang pintu dengan tangan gemetar. Sekujur tubuhnya seakan membeku saat mendengar pertanyaan Mervyn. “Saya belum bertemu lagi dengan Alvin, Pak,” ucap Rayyan, “Jadi, belum ada informasi apa pun yang saya dapatkan tentang wanita itu.” Alvin? Mireya bertanya-tanya, apakah Alvin yang sedang dibicarakan adalah mantan pacarnya? Jika iya, dia sungguh kehilangan kata-kata untuk mengekspresikan kemarahannya. Alvin terlalu jahat dan licik. Bahkan gelar ‘iblis’ pun masih terlalu halus jika disematkan pada pria itu. “Sudah kamu coba hubungi nomor teleponnya?” Suara Mervyn begitu dingin, tapi juga tegas. Rayyan mengangguk, “Sudah, Pak, tapi nomor teleponnya tidak aktif.” Mervyn menghela napas. “Cari tahu secepatnya.” “Baik, Pak!” Rayyan tidak punya pilihan untuk menolak, sehingga yang dia lakukan hanyalah mengangguk. Dalam keheningan, mata elang Mervyn tak sengaja melirik Mireya yang sejak tadi masih bergeming di dekat pintu. Apa wanita itu sedang menguping pemb

    Last Updated : 2024-12-05
  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 5

    Mireya dan Bella menoleh ke sumber suara—yang mana seorang wanita tampak melangkah semakin dekat ke arah mereka. “Mama!” Ternyata itu adalah Irene, ibunya Bella yang baru saja pulang dari urusan bisnis di luar kota. Bella menyambut kedatangan ibunya dengan pelukan hangat. “Wah, ada siapa di sini?” Irene menatap Mireya dengan sorot mata yang memancarkan kehangatan. Mereka sudah saling kenal, tentu saja. Apalagi Mireya adalah sahabat terbaik Bella. Walaupun tidak sering, tetapi Mireya pernah beberapa kali bertemu Irene saat ada kesempatan main ke sini. Mireya mencium punggung tangan Irene dengan sopan, lalu basa-basi menanyakan kabar satu sama lain. Namun, saat hidungnya menyentuh kulit tangan Irene, Mireya mencium aroma wewangian yang membuat dirinya pusing dan mual. “Maaf, aku harus ke belakang.” Mireya pamit ke wastafel untuk menyudahi dorongan kuat dari dalam lambungnya. Pada akhirnya, Mireya hanya muntah angin karena tidak ada sisa makanan yang keluar dari mulutnya

    Last Updated : 2024-12-06
  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 6

    Mireya baru saja membeli sebungkus roti dan air mineral di minimarket. Usia kehamilan pada trimester pertama membuatnya lebih sering merasa lapar. Di sisi lain, dia juga harus memikirkan bagaimana agar sisa uangnya bisa mencukupi hingga setidaknya satu bulan ke depan. Mau tak mau, dia harus hidup hemat dan memangkas segala pengeluaran yang tidak perlu. “Terima kasih,” ucapnya kepada kasir usai melakukan pembayaran. Saat ingin meninggalkan minimarket, tiba-tiba hujan turun dengan lumayan deras. Terpaksa Mireya harus berteduh karena tidak membawa mantel ataupun payung. Mireya duduk di atas kursi yang tersedia di teras minimarket. Dia membuka bungkus roti dan mulai memakannya sebagian, sementara setengah sisanya akan dia simpan untuk dimakan saat nanti lapar lagi. Detik selanjutnya, seorang wanita tua baru saja keluar dari minimarket dan ikut berteduh di sebelah Mireya. Di samping wanita itu, ada sosok pemuda bertubuh tinggi kurus yang terlihat mencurigakan. Akan tetapi, wa

    Last Updated : 2025-01-06
  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 7

    Suara itu menyadarkan Mireya dari lamunan. Di sampingnya sudah ada Sania sedang berdiri dengan tangan menyentuh lembut bahunya. Sontak Mireya tersenyum seolah tidak ada masalah apa pun. “Aku baik-baik saja, Nek,” dustanya. Meski senyuman itu terlukis di bibirnya, tetapi Sania melihat titik kegetiran yang berpendar di balik tatapan nanar wanita malang itu. Sania berpikir bahwa Mireya mungkin tidak nyaman jika orang lain mencampuri urusannya terlalu dalam—apalagi mereka tidak saling mengenal sebelumnya. Jadi, dia memutuskan untuk tidak bertanya lebih banyak. “Masalah yang dihadapi setiap orang memang berbeda-beda, tapi apa pun itu, jangan pernah berhenti berjuang!” ujar Sania dengan tulus. “Kamu boleh istirahat sejenak saat lelah, tapi jangan sampai menyerah. Kamu tahu apa? Gadis Kecil, dunia sangat kekurangan orang-orang sebaik kamu,” pungkasnya. Kalimat itu terdengar seperti sumber kekuatan yang merangkak masuk ke telinga, lalu merayap dan mengendap di dalam tubuh Mireya. M

    Last Updated : 2025-01-06
  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 8

    Mervyn memandangi wajah Mireya lekat-lekat. Merasa tidak asing, dia mengernyit ketika menyadari bahwa Mireya merupakan orang yang telah mengikuti seleksi di perusahaannya. Tatap mata mereka saling bertemu selama beberapa detik. Entah kenapa dada Mervyn berdesir cepat, seakan ada energi kuat di balik mata cantik Mireya yang tak dapat dijabarkan. Sampai akhirnya, wanita itu mulai hilang kesadaran dan menghentikan momen canggung di antara mereka berdua. Refleks, Mervyn segera menangkap tubuh Mireya yang hampir terjatuh, hingga wanita itu berakhir pingsan dalam pelukan hangatnya. “Apa lagi yang kamu tunggu? Gadis itu butuh pertolongan. Cepat bawa dia ke rumah sakit!” perintah Sania, menyadarkan cucunya yang sejak tadi terus memandangi wajah Mireya tanpa henti, seperti sedang terhipnotis. Setelah itu, Mervyn segera membawa Mireya masuk ke mobil dengan cara menggendongnya ala bridal. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, hujan mulai reda, tetapi Mervyn masih menyalakan wiper untuk

    Last Updated : 2025-01-07
  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 1

    “Kamu ... siapa?” Kelopak mata Mireya mengerjap lambat seirama dengan rasa sakit di kepala yang luar biasa. Sekujur tubuhnya begitu remuk bagaikan tergilas mobil bermuatan besar. Dalam kondisi setengah sadar, Mireya dikejutkan oleh keberadaan seseorang di atas tubuhnya. Dia ingin menolak kecupan lembut yang berjejak di leher dan bibir, tapi segalanya terjadi begitu cepat, hingga dia kehilangan peluang untuk mengumpulkan tenaga dan melawan. Mireya terjebak di antara kedua lengan kekar yang berotot. Tak ada yang bisa dia lakukan saat pria asing itu mulai menarik gaunnya dengan kasar dan meninggalkan robekan di beberapa bagian. Pria itu beraksi tanpa suara. Meski begitu, Mireya bisa mencium aroma alkohol yang cukup menyengat, menyatu dengan wangi parfum mahal yang menguar dari tubuhnya. Di bawah cahaya remang lampu hias, Mireya melihat dengan jelas sepasang mata elang yang menatapnya liar dan penuh hasrat. Saat menjelang pagi, wanita itu masih meringkuk di atas kasur dengan se

    Last Updated : 2024-12-02

Latest chapter

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 8

    Mervyn memandangi wajah Mireya lekat-lekat. Merasa tidak asing, dia mengernyit ketika menyadari bahwa Mireya merupakan orang yang telah mengikuti seleksi di perusahaannya. Tatap mata mereka saling bertemu selama beberapa detik. Entah kenapa dada Mervyn berdesir cepat, seakan ada energi kuat di balik mata cantik Mireya yang tak dapat dijabarkan. Sampai akhirnya, wanita itu mulai hilang kesadaran dan menghentikan momen canggung di antara mereka berdua. Refleks, Mervyn segera menangkap tubuh Mireya yang hampir terjatuh, hingga wanita itu berakhir pingsan dalam pelukan hangatnya. “Apa lagi yang kamu tunggu? Gadis itu butuh pertolongan. Cepat bawa dia ke rumah sakit!” perintah Sania, menyadarkan cucunya yang sejak tadi terus memandangi wajah Mireya tanpa henti, seperti sedang terhipnotis. Setelah itu, Mervyn segera membawa Mireya masuk ke mobil dengan cara menggendongnya ala bridal. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, hujan mulai reda, tetapi Mervyn masih menyalakan wiper untuk

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 7

    Suara itu menyadarkan Mireya dari lamunan. Di sampingnya sudah ada Sania sedang berdiri dengan tangan menyentuh lembut bahunya. Sontak Mireya tersenyum seolah tidak ada masalah apa pun. “Aku baik-baik saja, Nek,” dustanya. Meski senyuman itu terlukis di bibirnya, tetapi Sania melihat titik kegetiran yang berpendar di balik tatapan nanar wanita malang itu. Sania berpikir bahwa Mireya mungkin tidak nyaman jika orang lain mencampuri urusannya terlalu dalam—apalagi mereka tidak saling mengenal sebelumnya. Jadi, dia memutuskan untuk tidak bertanya lebih banyak. “Masalah yang dihadapi setiap orang memang berbeda-beda, tapi apa pun itu, jangan pernah berhenti berjuang!” ujar Sania dengan tulus. “Kamu boleh istirahat sejenak saat lelah, tapi jangan sampai menyerah. Kamu tahu apa? Gadis Kecil, dunia sangat kekurangan orang-orang sebaik kamu,” pungkasnya. Kalimat itu terdengar seperti sumber kekuatan yang merangkak masuk ke telinga, lalu merayap dan mengendap di dalam tubuh Mireya. M

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 6

    Mireya baru saja membeli sebungkus roti dan air mineral di minimarket. Usia kehamilan pada trimester pertama membuatnya lebih sering merasa lapar. Di sisi lain, dia juga harus memikirkan bagaimana agar sisa uangnya bisa mencukupi hingga setidaknya satu bulan ke depan. Mau tak mau, dia harus hidup hemat dan memangkas segala pengeluaran yang tidak perlu. “Terima kasih,” ucapnya kepada kasir usai melakukan pembayaran. Saat ingin meninggalkan minimarket, tiba-tiba hujan turun dengan lumayan deras. Terpaksa Mireya harus berteduh karena tidak membawa mantel ataupun payung. Mireya duduk di atas kursi yang tersedia di teras minimarket. Dia membuka bungkus roti dan mulai memakannya sebagian, sementara setengah sisanya akan dia simpan untuk dimakan saat nanti lapar lagi. Detik selanjutnya, seorang wanita tua baru saja keluar dari minimarket dan ikut berteduh di sebelah Mireya. Di samping wanita itu, ada sosok pemuda bertubuh tinggi kurus yang terlihat mencurigakan. Akan tetapi, wa

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 5

    Mireya dan Bella menoleh ke sumber suara—yang mana seorang wanita tampak melangkah semakin dekat ke arah mereka. “Mama!” Ternyata itu adalah Irene, ibunya Bella yang baru saja pulang dari urusan bisnis di luar kota. Bella menyambut kedatangan ibunya dengan pelukan hangat. “Wah, ada siapa di sini?” Irene menatap Mireya dengan sorot mata yang memancarkan kehangatan. Mereka sudah saling kenal, tentu saja. Apalagi Mireya adalah sahabat terbaik Bella. Walaupun tidak sering, tetapi Mireya pernah beberapa kali bertemu Irene saat ada kesempatan main ke sini. Mireya mencium punggung tangan Irene dengan sopan, lalu basa-basi menanyakan kabar satu sama lain. Namun, saat hidungnya menyentuh kulit tangan Irene, Mireya mencium aroma wewangian yang membuat dirinya pusing dan mual. “Maaf, aku harus ke belakang.” Mireya pamit ke wastafel untuk menyudahi dorongan kuat dari dalam lambungnya. Pada akhirnya, Mireya hanya muntah angin karena tidak ada sisa makanan yang keluar dari mulutnya

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 4

    Mireya memegang gagang pintu dengan tangan gemetar. Sekujur tubuhnya seakan membeku saat mendengar pertanyaan Mervyn. “Saya belum bertemu lagi dengan Alvin, Pak,” ucap Rayyan, “Jadi, belum ada informasi apa pun yang saya dapatkan tentang wanita itu.” Alvin? Mireya bertanya-tanya, apakah Alvin yang sedang dibicarakan adalah mantan pacarnya? Jika iya, dia sungguh kehilangan kata-kata untuk mengekspresikan kemarahannya. Alvin terlalu jahat dan licik. Bahkan gelar ‘iblis’ pun masih terlalu halus jika disematkan pada pria itu. “Sudah kamu coba hubungi nomor teleponnya?” Suara Mervyn begitu dingin, tapi juga tegas. Rayyan mengangguk, “Sudah, Pak, tapi nomor teleponnya tidak aktif.” Mervyn menghela napas. “Cari tahu secepatnya.” “Baik, Pak!” Rayyan tidak punya pilihan untuk menolak, sehingga yang dia lakukan hanyalah mengangguk. Dalam keheningan, mata elang Mervyn tak sengaja melirik Mireya yang sejak tadi masih bergeming di dekat pintu. Apa wanita itu sedang menguping pemb

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 3

    Saat melihat wajah Mervyn, Mireya yakin seratus persen bahwa itu adalah laki-laki asing yang telah merenggut kesuciannya di sebuah hotel. Mervyn melangkah percaya diri diikuti beberapa pengawal di belakangnya. Mireya terpaku dan jantungnya berdebar kencang saat Mervyn tak sengaja meliriknya. Tatapan Mervyn begitu tajam dan menyimpan banyak rahasia, sehingga Mireya tak mampu menemukan makna di balik sorot matanya yang penuh misteri. Adegan saling pandang itu terjadi tidak lebih dari tiga detik. Mervyn mengalihkan tatapan ke depan dan mengabaikan Mireya seperti bukan sesuatu yang berarti. “Sepertinya dia tidak mengingatku.” Mireya bergumam pelan yang hanya dapat didengar oleh diri sendiri. Dia berpikir, mungkin akan jauh lebih baik jika Mervyn tidak mengenalinya. Bisa jadi Mervyn sudah memiliki pacar atau bahkan seorang istri. Mireya tentu akan terlibat masalah besar jika pasangan Mervyn tahu kalau pria itu pernah tidur dengannya. Di sisi lain, bercinta dengan orang asing ba

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 2

    “Aku sedang sibuk. Tidak ada waktu mengobrol denganmu.” Alvin mengabaikan pertanyaan Mireya dan mengambil langkah mundur. “Tunggu!” Mireya mencengkeram lengan pria itu, menahan kepergiannya. “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” ujarnya. Alvin mendengkus kesal. “Apa kamu tidak dengar? Aku sedang sibuk!” Tanpa terasa air bening berlinang dari pelupuk mata Mireya, membasahi pipinya. Hanya dengan melihat reaksi Alvin, Mireya dapat menemukan sendiri jawabannya. “Kalian benar-benar berpacaran, ya?” tanya Mireya sekali lagi. Dia masih tidak percaya jika Alvin memang benar menjalin hubungan dengan wanita lain. Hening. Baik Alvin maupun Shela sama-sama memilih bungkam. “Kenapa, Al? Apa kamu marah karena semalam aku tiba-tiba menghilang tanpa kabar?” Mireya mulai menebak-nebak. “Al, tolong dengarkan dulu penjelasanku, aku tidak—” Alvin menyela, “Sudahlah, Reya! Aku tidak ingin mendengar apa pun darimu. Mulai sekarang jangan hubungi aku lagi!” Mireya menggeleng cepat. “Kita masih b

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 1

    “Kamu ... siapa?” Kelopak mata Mireya mengerjap lambat seirama dengan rasa sakit di kepala yang luar biasa. Sekujur tubuhnya begitu remuk bagaikan tergilas mobil bermuatan besar. Dalam kondisi setengah sadar, Mireya dikejutkan oleh keberadaan seseorang di atas tubuhnya. Dia ingin menolak kecupan lembut yang berjejak di leher dan bibir, tapi segalanya terjadi begitu cepat, hingga dia kehilangan peluang untuk mengumpulkan tenaga dan melawan. Mireya terjebak di antara kedua lengan kekar yang berotot. Tak ada yang bisa dia lakukan saat pria asing itu mulai menarik gaunnya dengan kasar dan meninggalkan robekan di beberapa bagian. Pria itu beraksi tanpa suara. Meski begitu, Mireya bisa mencium aroma alkohol yang cukup menyengat, menyatu dengan wangi parfum mahal yang menguar dari tubuhnya. Di bawah cahaya remang lampu hias, Mireya melihat dengan jelas sepasang mata elang yang menatapnya liar dan penuh hasrat. Saat menjelang pagi, wanita itu masih meringkuk di atas kasur dengan se

DMCA.com Protection Status