Tuduhan Mervyn membuat Mireya tersinggung, tetapi dia masih dapat mengendalikan diri untuk tidak marah. “Pak, bahkan seandainya di dunia ini tidak ada lagi yang aku miliki, jangan pernah berpikir aku akan melakukan hal curang demi mendapatkan uang,” ucap Mireya. “Sedikit pun aku tidak pernah bermain-main dengan kebaikan hati seseorang.” Jawaban Mireya cukup mengesankan, seperti orang yang memiliki hati tulus. Namun, masih ada kejanggalan di benak Mervyn yang membuatnya tidak langsung percaya begitu saja. Bisa jadi Mireya memang tipikal manusia yang pandai bersilat lidah, ‘kan? “Baguslah.” Mervyn kembali menguji Mireya. Kali ini dengan mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet. “Aku dengar kamu sudah menolong Nenek yang barangnya hampir dicuri. Jadi, ambil saja ini sebagai tanda terima kasih.” Mata Mireya tertuju pada uang yang Mervyn sodorkan. Dia tidak tahu berapa jumlah pastinya, yang jelas itu terlihat lebih banyak dibanding sisa uang yang dia punya sekarang. Namun, teta
Mervyn bersama beberapa pengawalnya langsung mendatangi alamat rumah yang mereka dapatkan dari Alvin. Berdasarkan informasi yang pria itu berikan, ini adalah tempat kediaman keluarga Henry Darmawan, dan wanita yang dijual ke Mervyn pada malam itu merupakan putri kandung Henry. Berdiri di depan pintu, salah satu pengawal menekan bel beberapa kali, sedangkan Mervyn hanya menunggu dengan wajah tenang. Ya, Mervyn memang selalu pandai menyembunyikan perasaan walaupun sebenarnya dia mungkin juga cukup penasaran pada wanita itu. Tak berapa lama, pintu terbuka. Menampilkan sosok wanita paruh baya yang tengah berdiri di ambang pintu dengan dahi mengernyit. “Kalian siapa?” Itu adalah Karin. Dia merasa tidak memiliki janji temu dengan siapa pun hari ini. Jadi, kedatangan orang-orang berpakaian formal di hadapannya saat ini sungguh membuatnya bingung. Tanpa perlu disuruh, satu dari lima anak buah Mervyn segera maju untuk menjawab pertanyaan Karin. “Selamat siang, Nyonya! Apa benar
Felly dan Karin kembali menghampiri Mervyn dan anak buahnya yang masih diam menunggu di depan pintu. “Tuan, mohon maaf jika ada ucapan ibuku yang membuatmu tersinggung. Aku sudah memberinya pengertian,” ujar Felly sambil menunduk sopan. Raut wajah Karin berubah seketika. Tidak ada keangkuhan yang tergambar di sana, selain hanya kerendahan hati yang seakan menunjukkan bahwa dia sangat bahagia melihat kedatangan Mervyn. “Tuan, Felly sudah menjelaskan semuanya padaku. Aku sangat menyesal sudah mengatakan beberapa hal buruk sebelumnya,” kata Karin. “Aku hanya terkejut mengetahui putriku pernah berhubungan dengan seorang laki-laki, padahal yang selama ini aku tahu, dia adalah anak yang sangat baik.” “Aku sudah bilang, Bu, aku dijebak.” Felly berpura-pura menangis. “Apa Ibu masih belum percaya?” sambungnya. “Ya, Ibu percaya sekarang. Kamu tidak mungkin semurahan itu.” Karin segera menarik Felly ke dalam pelukan. “Sayang, maafkan Ibu sudah salah paham padamu. Pasti kamu sangat traum
Di sebuah ruangan yang penuh rahasia, Felly dibawa masuk dan diminta duduk di atas sofa empuk, sedangkan Mervyn memilih duduk di kursi yang berbeda. “Tuan, sebenarnya apa tujuan Tuan membawaku kemari?” tanya Felly seraya memainkan tangannya dengan gelisah. “Apa kamu benar-benar wanita di malam itu?” Mata Mervyn menyipit. Entah kenapa dia sedikit ragu kalau Felly merupakan orang yang dia cari. “Benar, Tuan.” Mervyn mendengkus, lalu beralih memandang salah satu anak buahnya. “Sudah menghubungi Rayyan?” “Sudah, Pak. Katanya, dia sedang dalam perjalanan dari kantor menuju kemari.” Rayyan adalah asisten kepercayaan Mervyn. Sebelumnya, Mervyn memang meminta pria itu menggantikannya mengisi sebuah rapat di perusahaan. Itu karena Mervyn harus menjemput neneknya yang telah nekat datang ke minimarket sendirian hingga harus berakhir terjebak hujan. Pada malam kejadian, Rayyan menjadi satu-satunya orang yang menyaksikan sendiri seperti apa wajah wanita itu. Karena, Rayyan yang mengan
“Kakak ...?” Felly mengerutkan kening melihat wanita di hadapannya. Dia pun segera bangkit sendiri tanpa menerima uluran tangan Mireya. Mervyn yang sejak tadi berada di samping Felly tampak mengernyit curiga. “Apa kalian saling kenal?” tanyanya. Felly mendadak gelagapan. Dia takut Mervyn menyadari kalau wanita yang dia cari sebenarnya adalah Mireya. “Kami hanya saudara beda ibu,” ujar Felly dengan nada meremehkan. Mireya tidak menjawab, melainkan hanya bingung kenapa Felly dan Mervyn bisa datang ke restoran bersama? Apa mereka saling kenal sebelumnya? “Meskipun beda ibu, bukankah itu tetap saja saudara?” tanya Mervyn. “Ya, tapi kami berbeda. Dia sangat nakal dan susah diatur, jadi Ibu dan Ayah mengusirnya dari rumah,” ucap Felly, sengaja ingin menjelek-jelekkan Mireya di depan Mervyn. Mervyn hanya diam memperhatikan Mireya sambil memikirkan kebenaran atas kalimat yang Felly lontarkan. Tak ada satu pun kata yang Mireya keluarkan untuk menyangkal ucapan Felly. Dia hanya m
Mervyn mengernyit. “Maksud kamu?” Felly pun menjelaskan, “Jika Ayah tahu kalau aku pernah tidur dengan seorang pria, tidak peduli apa pun alasannya, aku khawatir itu akan membuat Ayah marah dan mengusirku dari rumah.” “Apa itu juga alasan kenapa Mireya bisa diusir dari rumah?” Felly terbelalak, tidak menyangka bahwa Mervyn akan langsung menyimpulkan dan mengaitkan semuanya dengan Mireya. Otak Felly berpikir dengan sangat cepat, mencoba mencari jawaban yang dapat membuat nama Mireya semakin buruk di mata Mervyn. “Sebenarnya aku tidak tahu pasti alasan kenapa Ibu dan Ayah mengusirnya, tapi yang aku tahu, Mireya sering pulang hampir pagi dan membuat Ayah curiga kalau dia bekerja sebagai wanita malam.” Mervyn terdiam, mencerna seluruh kalimat yang dilontarkan oleh Felly. “Itu juga alasan kenapa aku sampai terjebak masuk ke kamar hotel kamu,” sambung gadis itu. “Mereka mengira aku adalah Mireya dan menjualku demi keuntungan pribadi,” sesalnya. Mervyn menghela napas, turut prih
Hati Mireya sedikit menghangat ketika Mervyn menawarkan makanan untuknya. Kebetulan perutnya masih kosong karena belum diisi apa-apa. Namun, dia juga sungkan menerima tawaran dari Mervyn. Karena Mireya tidak menjawab pertanyaannya, Mervyn menganggap itu sebagai persetujuan. “Tunggu sebentar! Aku akan segera kembali,” ucapnya. Mervyn melangkah menuju mobil yang bertengger di area parkir, mengambil kotak makanan serta beberapa camilan yang tersedia di dalam sana. Kemudian, dia kembali menghampiri Mireya. “Ini untukmu.” Mireya yang masih duduk di trotoar segera mendongak, mendapati Mervyn sudah berdiri di hadapannya sembari menyodorkan beberapa makanan. “Makanlah!” ucap Mervyn lembut. Ada segaris senyuman di ujung bibir yang sengaja dia tunjukkan demi membuat Mireya nyaman berada di dekatnya. Jujur, Mireya ragu untuk menerima pemberian Mervyn—terlebih lagi, dia masih ingat bagaimana cara Mervyn berpikir tentang dirinya yang dinilai hanya memanfaatkan kebaikan Sania. Bukankah a
Mervyn dan Mireya menoleh ke sumber suara—yang mana saat ini Felly terlihat sedang berjalan menghampiri keduanya.Begitu sampai di hadapan kedua manusia itu, Felly melirik Mervyn dan mengatakan, “Aku menunggu kamu sejak tadi, tapi ternyata kamu ada di sini.”Mervyn segera bangkit berdiri, lalu menatap Felly dengan tenang. “Apa ada yang salah?” Dia bertanya seperti orang yang tidak merasa melakukan kesalahan apa pun. “Mireya sedang lapar, jadi aku memberinya beberapa makanan. Apa itu menyinggung perasaan kamu?”Felly tidak buru-buru menjawab. Dia sebetulnya cemburu melihat kepedulian Mervyn pada Mireya, hanya saja dia juga bingung bagaimana mendeskripsikan perasaannya sekarang.Kalau terlalu sering marah, Felly khawatir hal itu hanya akan membuat Mervyn muak akan sikapnya.“Aku tidak marah karena kamu memberi makanan untuk Kakak, tapi aku hanya sedikit cemas karena kamu belum juga kembali dari toilet,” ucap Felly seraya menghela napas setelahnya. “Maaf, aku tidak bermaksud merusak suas
“Diamlah” Mervyn mengerling gusar, menyembunyikan garis wajahnya yang memerah setelah mendengar ucapan Rayyan. “Belikan mainan dan hadiah untuk Mireya dan anak-anak! Nanti sore aku akan datang ke rumahnya.”Rayyan mengangguk. “Baik, Pak. Bagaimana kalau sebuket bunga untuk Nona Mireya?” tawarnya.“Boleh juga.”“Lalu, mainan seperti apa yang ingin Anda berikan untuk si kembar?”Mendengar pertanyaan itu, Mervyn segera menatap tajam mata Rayyan.“Apa kamu pikir aku cukup berpengalaman tentang ini?” sindir Mervyn sambil terkekeh sinis. “Kamu tanyakan saja pada orang lain! Aku belum pernah membelikan mainan untuk anak-anak!” omelnya.“M–maaf, Pak.” Rayyan langsung menundukkan kepala. “Baiklah, tidak masalah. Saya akan bertanya pada yang lain,” ucapnya sambil tertawa renyah untuk menyembunyikan rasa takut.***Sambil menunggu Mireya pulang, Marcell dan Michelle memutuskan membuat bolu cokelat panggang.Walaupun tidak cukup pandai di bagian dapur, tetapi mereka masih bisa mengandalkan buku r
Pertanyaan Julian yang sebetulnya begitu sederhana membuat Mireya terdiam sejenak. Wajahnya memerah dan tenggorokannya terasa kering. Pikiran Mireya kini bercabang, mencoba menemukan jawaban yang tepat untuk menjelaskan hubungannya dengan Mervyn tanpa membuka terlalu banyak luka lama. Julian menatapnya penuh tanda tanya, masih menunggu satu jawaban pasti. “Iya.” Akhirnya, dengan suara rendah, Mireya mengangguk pelan, memberi jawaban yang terkesan setengah hati. Julian mengamati setiap gerakan kecil Mireya, bagaimana wanita itu terlihat salah tingkah dan bingung. Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang tersembunyi di balik sorot mata itu. Perlahan, Julian mencoba untuk menyusun sendiri potongan teka-teki yang belum lengkap. Kemudian, sebilah dugaan mulai muncul dalam benaknya. “Mungkinkah pria itu adalah dia...?” tanya Julian sedikit mengambang. Mireya hampir tercengang. Kenapa tebakan Julian bisa setepat itu? Julian telah mendengar cukup banyak cerita dari masa lalu Mireya.
Mireya berjuang keras melepaskan cengkeraman Mervyn yang menahan tangannya dengan begitu rapat.Namun, setiap kali dia berusaha menarik diri, hanya rasa sakit di sekitar pergelangan tangan yang Mireya rasakan. Membuatnya tak berdaya dan terpaksa menyerah.“Apa mau kamu?” Kalimat itu baru saja keluar dari pita suara Mireya. Dia benar-benar hampir frustrasi.Mervyn, dengan bola mata gelapnya yang tajam, menatap Mireya seperti singa lapar yang sekian lama tidak pernah melihat seonggok daging.“Katakan, kedua bocah kembar itu memang anak-anakku, ‘kan?” Mervyn bicara dengan nada suara yang justru terkesan seperti menegaskan, bukan sedang mempertanyakan sesuatu.“Bukan!” elak Mireya secepat kilat, seolah tak ingin membiarkan Mervyn mencurigai anak-anaknya lebih lama.“Jangan bohong, Mireya!” Urat-urat tangan Mervyn sampai keluar saat dia mencengkeram lengan Mireya lebih erat lagi. “Sudah jelas wajah mereka sangat mirip denganku. Masih mau menyangkal?”Mireya meringis kesakitan. Dia yakin, p
Siang itu, Mireya sedang berada di perusahaan tempatnya bekerja. Dia masih ingat akan pertemuan yang tak disengaja dengan seorang laki-laki asing di dalam pesawat, yang telah membawanya masuk ke dunia baru yang—seharusnya—lebih baik. Dalam kenangan, Mireya menemukan bayangan dirinya sedang merenung dan menangis sambil menatap jendela pesawat. Di tengah momen sedih tersebut, Julian, seseorang yang kebetulan menempati kursi penumpang di sebelah Mireya, tiba-tiba bertanya alasan kenapa wanita itu menangis. ‘Apakah rasanya begitu mengerikan duduk di sampingku?’ tanya Julian pada saat itu. Karena tidak saling kenal, Mireya tidak berniat menjelaskan apa pun padanya. Namun, tanpa diduga, Julian menyodorkan selembar tisu dengan senyuman lembut di wajahnya. Mereka tak banyak bicara selama penerbangan. Julian lebih memilih diam, seolah sengaja memberi ruang untuk Mireya menikmati lukanya. Lalu, saat hampir mendarat di bandara, Mireya mengalami kram perut yang membuatnya kesulitan turu
“Mami, kenapa orang lain bisa punya ayah yang baik dan bertanggung jawab, sedangkan aku dan Kakak tidak?” Michelle menunduk, menarik tubuhnya dari pelukan Mireya. Tangan mungil itu saling tertaut diiringi wajah sedih yang sulit diungkapkan. Mireya terbungkam. Seperti ada sekat tebal yang menutup saluran pernapasan saat mendengar pertanyaan Michelle. Melalui pertanyaan itu, Mireya bisa menebak sebesar apa keingintahuan yang selama ini terpendam di hati Michelle. Namun, mungkin anak itu selalu menahan diri untuk menggali informasi lebih detail dan sekarang sudah tidak bisa menahannya lagi. Tanpa sadar, mata Mireya mulai berkaca-kaca. Dia tahu, ada banyak hal yang belum bisa dijelaskan kepada anak-anaknya. Setiap kali Michelle ataupun Marcell bertanya mengenai ayah kandung mereka, Mireya merasa seolah dunia mengimpit rongga dadanya dengan sangat kuat. Sejenak Mireya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, tetapi sulit untuk mengelak dari perasaan sedih yang mulai
Mervyn berdiri di hadapan Mireya, menahan langkahnya. Ada satu hal yang sangat ingin dia tanyakan. “Mireya ...” panggilnya dengan hati-hati, “aku ingin bicara denganmu.” Mireya segera menepis tangan Mervyn. Wajahnya terlihat buru-buru, seperti ada hal mendesak yang memaksanya menghindar secepat mungkin. “Maaf, aku tidak bisa. Aku sedang buru-buru,” jawabnya singkat, sambil menarik Marcell dan Michelle menjauh dari hadapan pria jangkung itu. Mervyn bingung. Pertanyaannya masih menggantung di udara, tetapi Mireya sudah terlalu cepat menghilang dari pandangannya. Sebelum dia sempat mengejar, Lisa sudah kembali menggandeng lengannya. “Sayang, ayo kita pergi!” ajak Lisa dengan suara tegas, tapi ada sedikit nada khawatir di baliknya. Meskipun tidak tahu pasti apa yang terjadi, tapi setelah menyimpulkan dari cara Mervyn menatap dan bicara dengan wanita itu, Lisa menyadari bahwa Mervyn memiliki kenangan lama yang mungkin masih belum usai dengan Mireya. Dia takut kenangan itu kemb
Michelle tertegun. “Kita tidak pernah bertemu dengannya. Apa kamu yakin itu memang dia?” Marcell mengangguk cepat. Rasa penasaran dan emosi seketika bercampur di dalam dadanya. Mereka melihat pria yang diduga adalah Mervyn itu berjalan santai di sekitar mall. Namun, yang membuat hati terasa hancur adalah kenyataan bahwa pria itu sedang menggandeng seorang wanita di sisinya. Wanita itu tampak elegan dengan mengenakan pakaian bermerk, berpenampilan menarik, rapi, cantik dan terlihat sangat akrab dengan Mervyn—seperti pasangan yang sedang menikmati waktu kencan bersama. Perasaan marah mulai bergemuruh di dalam hati Marcell. “Kenapa dia tidak pernah mencari kita? Kenapa malah pergi bersama wanita lain?” Tanpa sadar, air matanya hampir jatuh, tetapi dia segera menahan diri. Michelle menghela napas dan mencoba menenangkan Marcell. "Mungkin kita hanya salah lihat, Kak. Itu mungkin bukan dia,” ujarnya, mencoba berpikir positif walaupun agak berat. Namun, Marcell tidak bisa menghent
Marcell mengambil tas laptop dan membawanya naik ke atas kasur. Di sampingnya ada Michelle yang sedang duduk dengan kedua kaki diluruskan.Tangan mungil anak laki-laki itu bergerak cepat memainkan mouse, menekan satu ikon yang tertera pada layar monitor, mencari sesuatu yang ingin dia tunjukkan kepada adiknya.Selang beberapa detik, Marcell menghadapkan laptop ke arah Michelle. “Bagaimana menurutmu?”Michelle hampir tidak berkedip saat melihat foto seorang laki-laki dewasa yang tampak tidak asing di matanya. “Kakak, apa kamu menggunakan teknologi AI untuk menciptakan foto di masa depan?”Marcell mengangkat telunjuk, menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri sambil menggeleng kecil. “No!” sangkalnya. “Itu foto orang lain.”“Tapi dia terlihat seperti kamu dengan versi lebih besar,” komentar Michelle. Beberapa kali dia memandangi foto yang ditampilkan pada layar, lalu bergantian menatap Marcell demi memastikan seberapa mirip wajah mereka. “Hampir tidak ada bedanya.”Marcell kembali membawa l
Beberapa tahun kemudian .... Keputusan Mireya untuk meninggalkan kota A tak pernah membuatnya menyesal sedikit pun. Meski harus berjuang keras demi kelangsungan hidup, tapi akhirnya dia mampu melewati masa-masa sulit itu dengan penuh rasa syukur. “Mami, apa aku boleh membuat susu hangat?” Gadis mungil berusia tujuh tahun baru saja menghampiri Mireya yang sedang memasak di dapur. “Kamu bisa melakukannya sendiri, Michelle?” Mireya melirik sejenak ke arah bocah menggemaskan dengan gaya rambut yang diikat tinggi tersebut. “Tentu, Mami! Aku selalu memperhatikan saat Mami membuat susu dan mempelajarinya diam-diam.” Saat Michelle mengangguk, poni tebal sebatas alisnya ikut bergoyang. “Itu bukan hal yang sulit,” katanya. “Benarkah?” Mireya tersenyum bangga mendengarnya. “Kalau begitu, buatlah! Mami ingin mencicipi sedikit susu hangat buatan putri tercinta Mami.” “Aku ingin mencicipinya juga!” Dari arah lain, anak laki-laki dengan tubuh lebih tinggi baru saja bergabung dengan Michel