Felly dan Karin kembali menghampiri Mervyn dan anak buahnya yang masih diam menunggu di depan pintu. “Tuan, mohon maaf jika ada ucapan ibuku yang membuatmu tersinggung. Aku sudah memberinya pengertian,” ujar Felly sambil menunduk sopan. Raut wajah Karin berubah seketika. Tidak ada keangkuhan yang tergambar di sana, selain hanya kerendahan hati yang seakan menunjukkan bahwa dia sangat bahagia melihat kedatangan Mervyn. “Tuan, Felly sudah menjelaskan semuanya padaku. Aku sangat menyesal sudah mengatakan beberapa hal buruk sebelumnya,” kata Karin. “Aku hanya terkejut mengetahui putriku pernah berhubungan dengan seorang laki-laki, padahal yang selama ini aku tahu, dia adalah anak yang sangat baik.” “Aku sudah bilang, Bu, aku dijebak.” Felly berpura-pura menangis. “Apa Ibu masih belum percaya?” sambungnya. “Ya, Ibu percaya sekarang. Kamu tidak mungkin semurahan itu.” Karin segera menarik Felly ke dalam pelukan. “Sayang, maafkan Ibu sudah salah paham padamu. Pasti kamu sangat traum
Di sebuah ruangan yang penuh rahasia, Felly dibawa masuk dan diminta duduk di atas sofa empuk, sedangkan Mervyn memilih duduk di kursi yang berbeda. “Tuan, sebenarnya apa tujuan Tuan membawaku kemari?” tanya Felly seraya memainkan tangannya dengan gelisah. “Apa kamu benar-benar wanita di malam itu?” Mata Mervyn menyipit. Entah kenapa dia sedikit ragu kalau Felly merupakan orang yang dia cari. “Benar, Tuan.” Mervyn mendengkus, lalu beralih memandang salah satu anak buahnya. “Sudah menghubungi Rayyan?” “Sudah, Pak. Katanya, dia sedang dalam perjalanan dari kantor menuju kemari.” Rayyan adalah asisten kepercayaan Mervyn. Sebelumnya, Mervyn memang meminta pria itu menggantikannya mengisi sebuah rapat di perusahaan. Itu karena Mervyn harus menjemput neneknya yang telah nekat datang ke minimarket sendirian hingga harus berakhir terjebak hujan. Pada malam kejadian, Rayyan menjadi satu-satunya orang yang menyaksikan sendiri seperti apa wajah wanita itu. Karena, Rayyan yang mengan
“Kakak ...?” Felly mengerutkan kening melihat wanita di hadapannya. Dia pun segera bangkit sendiri tanpa menerima uluran tangan Mireya. Mervyn yang sejak tadi berada di samping Felly tampak mengernyit curiga. “Apa kalian saling kenal?” tanyanya. Felly mendadak gelagapan. Dia takut Mervyn menyadari kalau wanita yang dia cari sebenarnya adalah Mireya. “Kami hanya saudara beda ibu,” ujar Felly dengan nada meremehkan. Mireya tidak menjawab, melainkan hanya bingung kenapa Felly dan Mervyn bisa datang ke restoran bersama? Apa mereka saling kenal sebelumnya? “Meskipun beda ibu, bukankah itu tetap saja saudara?” tanya Mervyn. “Ya, tapi kami berbeda. Dia sangat nakal dan susah diatur, jadi Ibu dan Ayah mengusirnya dari rumah,” ucap Felly, sengaja ingin menjelek-jelekkan Mireya di depan Mervyn. Mervyn hanya diam memperhatikan Mireya sambil memikirkan kebenaran atas kalimat yang Felly lontarkan. Tak ada satu pun kata yang Mireya keluarkan untuk menyangkal ucapan Felly. Dia hanya m
Mervyn mengernyit. “Maksud kamu?” Felly pun menjelaskan, “Jika Ayah tahu kalau aku pernah tidur dengan seorang pria, tidak peduli apa pun alasannya, aku khawatir itu akan membuat Ayah marah dan mengusirku dari rumah.” “Apa itu juga alasan kenapa Mireya bisa diusir dari rumah?” Felly terbelalak, tidak menyangka bahwa Mervyn akan langsung menyimpulkan dan mengaitkan semuanya dengan Mireya. Otak Felly berpikir dengan sangat cepat, mencoba mencari jawaban yang dapat membuat nama Mireya semakin buruk di mata Mervyn. “Sebenarnya aku tidak tahu pasti alasan kenapa Ibu dan Ayah mengusirnya, tapi yang aku tahu, Mireya sering pulang hampir pagi dan membuat Ayah curiga kalau dia bekerja sebagai wanita malam.” Mervyn terdiam, mencerna seluruh kalimat yang dilontarkan oleh Felly. “Itu juga alasan kenapa aku sampai terjebak masuk ke kamar hotel kamu,” sambung gadis itu. “Mereka mengira aku adalah Mireya dan menjualku demi keuntungan pribadi,” sesalnya. Mervyn menghela napas, turut prih
Hati Mireya sedikit menghangat ketika Mervyn menawarkan makanan untuknya. Kebetulan perutnya masih kosong karena belum diisi apa-apa. Namun, dia juga sungkan menerima tawaran dari Mervyn. Karena Mireya tidak menjawab pertanyaannya, Mervyn menganggap itu sebagai persetujuan. “Tunggu sebentar! Aku akan segera kembali,” ucapnya. Mervyn melangkah menuju mobil yang bertengger di area parkir, mengambil kotak makanan serta beberapa camilan yang tersedia di dalam sana. Kemudian, dia kembali menghampiri Mireya. “Ini untukmu.” Mireya yang masih duduk di trotoar segera mendongak, mendapati Mervyn sudah berdiri di hadapannya sembari menyodorkan beberapa makanan. “Makanlah!” ucap Mervyn lembut. Ada segaris senyuman di ujung bibir yang sengaja dia tunjukkan demi membuat Mireya nyaman berada di dekatnya. Jujur, Mireya ragu untuk menerima pemberian Mervyn—terlebih lagi, dia masih ingat bagaimana cara Mervyn berpikir tentang dirinya yang dinilai hanya memanfaatkan kebaikan Sania. Bukankah a
Mervyn dan Mireya menoleh ke sumber suara—yang mana saat ini Felly terlihat sedang berjalan menghampiri keduanya.Begitu sampai di hadapan kedua manusia itu, Felly melirik Mervyn dan mengatakan, “Aku menunggu kamu sejak tadi, tapi ternyata kamu ada di sini.”Mervyn segera bangkit berdiri, lalu menatap Felly dengan tenang. “Apa ada yang salah?” Dia bertanya seperti orang yang tidak merasa melakukan kesalahan apa pun. “Mireya sedang lapar, jadi aku memberinya beberapa makanan. Apa itu menyinggung perasaan kamu?”Felly tidak buru-buru menjawab. Dia sebetulnya cemburu melihat kepedulian Mervyn pada Mireya, hanya saja dia juga bingung bagaimana mendeskripsikan perasaannya sekarang.Kalau terlalu sering marah, Felly khawatir hal itu hanya akan membuat Mervyn muak akan sikapnya.“Aku tidak marah karena kamu memberi makanan untuk Kakak, tapi aku hanya sedikit cemas karena kamu belum juga kembali dari toilet,” ucap Felly seraya menghela napas setelahnya. “Maaf, aku tidak bermaksud merusak suas
Mervyn mendengkus gusar. Sejujurnya dia malas sekali menanggapi wanita itu. Melihat wajahnya saja sudah muak, apalagi jika harus terlibat komunikasi?“Kapan Ibu akan pergi lagi?” Mervyn bertanya dengan wajah datar, seolah menegaskan bahwa kepulangan Sarah, ibunya bukanlah sesuatu yang cukup mampu membuatnya senang.Sarah sebetulnya sudah sangat terbiasa menghadapi sikap dingin Mervyn, hanya saja dia tidak menyangka bahwa Mervyn akan menunjukkan rasa tidak suka itu secara terbuka di depannya.“Sayang, setidaknya peluklah ibumu. Kenapa kamu buru-buru sekali ingin melihat Ibu pergi lagi?” tanya Sarah. Sebagai seorang ibu, tentu saja dia kecewa melihat reaksi anaknya.Sarah mendekat, merentangkan tangan hendak memeluk Mervyn untuk melepas rindu. Namun, Mervyn sudah lebih dulu menghindar tanpa memberinya peluang untuk sekadar menyentuh kulitnya.“Ada perlu apa?” Mervyn berjalan menuju pantry, mengambil gelas kosong berbahan kaca, lalu mengisinya dengan air minum dari dalam water dispenser.
“Kamu serius?” Sarah masih tidak menyangka bahwa Mervyn akan move on secepat itu dari Lila.Tanpa ragu, Mervyn mengangguk. “Ya, kami akan segera menikah,” tekannya.Sarah tidak banyak berkomentar, meskipun banyak sekali kalimat tanya yang berjejalan di dalam kepala. Namun, pada akhirnya dia hanya berkata kepada Mervyn, “Kenalkan dia padaku. Aku ingin tahu wanita seperti apa yang akan kamu nikahi.”Setelah itu, Sarah pergi entah ke mana. Menyisakan Mervyn yang masih terdiam duduk di atas sofa beludru.Pria itu menghela napas berat, lalu termenung selama beberapa saat.Sebetulnya yang dia katakan barusan semata-mata hanya untuk membungkam mulut Sarah, agar wanita itu berhenti membicarakan omong kosong tentang perjodohan yang tidak dia inginkan.Sekarang nasi sudah menjadi bubur. Mervyn terlanjur membeberkan niatnya mengenai rencana menikahi seseorang, tetapi dia sendiri sebenarnya merasa ragu dengan perkataannya.Dalam benaknya, dia bertanya, siapa yang harus dinikahi? Apakah Felly?Sem
Mireya pun menjelaskan kejadian mengenai Felix yang membohonginya dengan mengatakan bahwa Henry, ayah mereka, sedang mengalami kritis di rumah sakit. Namun, ternyata Felix malah membawanya ke tempat asing dan menjadikannya jaminan utang.“Felix?” Mervyn mengerutkan dahi saat mendengar nama yang tak dia kenal. “Siapa dia?”“Dia kakak laki-lakiku. Kami lahir dari ibu yang berbeda, tetapi masih satu ayah,” terang Mireya.“Kalau begitu, artinya dia juga kakaknya Felly?” tebak pria itu.Lantas Mireya mengangguk. “Ya, mereka satu ibu,” tambahnya.Mervyn manggut-manggut paham, lalu terdiam setelahnya. Akan tetapi, isi kepalanya terus bekerja memikirkan sosok Felix yang telah membuat istri kesayangannya hampir menjadi korban pemerkosaan.Mervyn bersumpah, suatu saat Felix pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya!“Mervyn, kenapa melamun?” Mireya menyentuh sebelah pipi Mervyn dan membuatnya sedikit terkejut.Mervyn menunduk, menatap ke dalam mata cantik istrinya, lalu ter
“Hey ... apa yang kamu pikirkan?” Mervyn menyelipkan anak rambut Mireya ke belakang telinga wanita itu. “Aku tidak pernah menganggap kamu pembawa sial. Sebaliknya, aku justru merasa lebih bahagia setelah bertemu kembali dengan kamu dan anak-anak. Siapa bilang kalau kamu pembawa sial?”Mireya merasa sedikit lebih lega. Namun, perasaan sedih dan bersalah itu masih belum hilang sepenuhnya dari dalam diri. Melihat kondisi Mervyn yang tidak berdaya seperti saat ini membuatnya sangat sedih.“Mervyn, apa boleh aku menceritakan alasan yang sebenarnya?” tanya Mireya seraya mendongak, menatap mata sang suami dengan lebih serius dan dalam.Cup!Mervyn mengecup pelipis Mireya lekat-lekat. “Ceritakanlah,” balasnya.Mireya menghela napas sejenak. “Sebenarnya ... saat tiba di rumah sakit, aku duduk menunggu kamu di luar ruangan. Aku terus mendoakan untuk keselamatan kamu. Kemudian, tiba-tiba Ibu datang bersama Lisa. Aku menjelaskan pada Ibu mengenai apa yang terjadi dengan kamu, lalu Ibu menyalahkan
Setelah menjalani rawat inap selama hampir satu minggu di rumah sakit, Mervyn akhirnya diperbolehkan pulang oleh dokter hari ini. Akan tetapi, dia tetap membutuhkan banyak istirahat di rumah, supaya proses penyembuhan luka di perutnya lebih cepat selesai.Malam itu, di saat Marcell dan Michelle sedang belajar bersama di kamar mereka, Mireya membuatkan segelas susu hangat untuk Mervyn.Mireya menghampiri Mervyn yang berbaring di atas kasur, meletakkan sejenak gelas di atas meja. Kemudian, membantu Mervyn mengubah posisi menjadi duduk dengan kedua kaki diluruskan serta punggung yang bersandar pada kepala kasur.“Minumlah ...” ucap Mireya sembari menyodorkan kembali susu di dalam gelas berbahan kaca ke arah Mervyn.“Terima kasih,” ucap Mervyn seraya mengambil alih benda itu dan mulai meneguk minumannya pelan-pelan.“Mireya, aku mau tanya sesuatu.” Mervyn meletakkan gelas di atas meja, lalu menatap istrinya dengan serius.“Tanyakan saja,” kata Mireya yang tengah duduk di tepi kasur, menun
Lisa tercengang saat Mervyn mengusirnya secara terang-terangan di hadapan Mireya dan kedua anaknya. “Mervyn, kamu—” “Aku bilang, keluar!” Suara Mervyn terdengar lebih keras dari sebelumnya. “Jangan sampai aku memanggil satpam untuk menyeret kamu pergi dari sini!” Sungguh, Lisa terbungkam dibuatnya. Tidak ada lagi yang dapat dia lakukan selain mengalah, lalu melangkah keluar dengan wajah diselimuti amarah. Dia sama sekali tidak mengeluarkan kata apa pun untuk membalas ucapan Mervyn. Bruk! Pintu dibanting lumayan keras oleh Lisa. Saking kesalnya, mungkin dia ingin menunjukkan kepada Mervyn dan yang lain mengenai suasana hatinya. Saat ini hanya tersisa Mervyn, Mireya dan kedua anak kembar mereka di dalam ruangan. Lalu, Mireya mendekat, berdiri di samping ranjang pasien, mengambil posisi di seberang Marcell dan Michelle. Melihat wajah cantik sang istri yang tampak dipenuhi kecemasan, Mervyn lantas tersenyum lembut. “Hai ...!” Mireya ikut tersenyum, sadar bahwa kondisi suami
“Tidak mau!” Anak-anak itu menggeleng dengan kompak sambil bergerak mundur satu langkah.Mereka menatap Lisa seolah sedang berhadapan dengan penyihir jahat.Lisa sebenarnya cukup tersinggung dan kesal melihat reaksi Marcell dan Michelle. Namun, dia segera menghela napas, mencoba bersikap tenang.“Tidak perlu takut, Sayang!” ujar wanita yang diketahui merupakan mantan tunangan Mervyn tersebut. “Aku tidak akan menyakiti kalian. Sebaliknya, aku akan menjaga kalian lebih baik dari yang bisa dilakukan oleh ibu kalian,” lanjutnya.Mireya mendelik gusar. Dia menangkap adanya niat terselubung di balik perkataan Lisa yang sepertinya sedang berusaha menghasut pikiran kedua anak kembarnya.“Mami adalah yang terbaik bagi kami! Tante hanyalah orang asing. Bagaimana bisa menjadi yang lebih baik dari Mami?!” protes Marcell sambil menggenggam telapak tangan Mireya yang berdiri di sampingnya.“Ya, tentu saja aku bisa.” Lisa terkekeh pelan dengan ekspresi wajah yang tampak menyebalkan di mata kedua ana
“Papi ... sedang dirawat di rumah sakit.” Mireya memutuskan untuk mengungkapkan fakta—meskipun keadaan Mervyn yang sebenarnya jauh lebih buruk dari yang dia ungkapkan. Marcell dan Michelle terdiam seketika. Wajah mereka berubah, mencerminkan kesedihan yang dalam.Mireya bisa melihat betapa khawatirnya mereka, walaupun anak-anak itu masih kecil.Mereka tidak bisa disalahkan jika merasa bingung dan cemas mendengar kabar buruk tentang Mervyn.“Apa Papi sakit parah, Mi?” Suara Michelle terdengar bergetar seiring air mata yang memenuhi pelupuknya.Tidak bisa dipungkiri, gadis kecil itu sangat menyayangi ayahnya. Kabar ini jelas membuatnya merasa takut.Mireya merasakan hatinya semakin sakit saat melihat reaksi anaknya. Namun, dia berusaha tetap tenang.Sebagai seorang ibu, Mireya sadar, dia harus memberikan penjelasan yang bisa menenangkan hati kedua anaknya tanpa membebani lebih banyak.“Papi kecelakaan, sayang,” ucap Mireya, mulai menjelaskan dengan hati-hati. Dia berusaha memilih kata-
Mervyn perlahan membuka mata. Cahaya terang dari lampu rumah sakit menyilaukan, tetapi dia masih bisa merasakan udara dingin ruangan yang menyentuh permukaan kulit.Dia mengerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan dunia yang tampak kabur di sekitarnya. Perlahan wajah-wajah yang familiar mulai muncul satu per satu.Sarah yang semula duduk di samping ranjang, seketika bangkit saat tahu kalau Mervyn sudah sadar. Lantas dia menghampiri anak lelakinya.“Mervyn, akhirnya kamu sadar juga,” ucapnya dengan wajah antusias. Ada senyum kecil di sudut bibirnya saat melontarkan kalimat itu.Di sebelah Sarah, Lisa duduk dengan wajah penuh kekhawatiran. Matanya tidak bisa lepas dari Mervyn seakan memastikan pria itu baik-baik saja.Mervyn tidak peduli. Dia hanya mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari keberadaan Mireya. Matanya menyusuri setiap sudut ruangan.Tidak ada tanda-tanda kehadiran istri dan kedua anaknya di sini. Hanya ada dua wajah yang dia kenal, tetapi tanpa melihat wajah Mireya dan si
Mireya menoleh ke sumber suara, mendapati seseorang yang melangkah semakin dekat ke arahnya.“Julian ...?”“Apa yang kamu lakukan di sini?” Pria itu duduk di samping Mireya tanpa meminta izin, seakan mereka memiliki hubungan yang sudah cukup dekat dan tidak perlu lagi basa-basi.Mireya tidak menjawab. Sebab, dia juga tak tahu harus mengatakan apa.“Mireya, apa kamu menangis?” Melihat sudut mata Mireya yang berair, Julian merasa khawatir. ”Kamu sedang ada masalah, ya?”“Sedikit,” jawab Mireya setengah ragu, membuat Julian mengerutkan kening saat mendengarnya.“Apa ini ada kaitannya dengan Mervyn?” tanya Julian, mencoba menggali informasi lebih dalam.Mireya bimbang, antara harus menjawab jujur atau tidak. Di sisi lain, dia merasa tidak memiliki kepentingan apa pun untuk menceritakan masalahnya kepada Julian—apalagi ini tentang masalah pribadi dalam rumah tangganya.Melihat reaksi Mireya yang hanya diam, Julian tahu bahwa dugaannya memang benar. Dia pun merasa kalau ini merupakan peluan
“Ibu, izinkan aku menjelaskan semuanya ...” pinta Mireya dengan ekspresi merasa bersalah, tetapi mencoba tetap tenang menghadapi emosi Sarah yang tidak terkontrol.“Memangnya apa lagi yang bisa kamu jelaskan, hah?!” Sarah terkekeh sinis, merasa tidak lagi butuh penjelasan apa pun dari bibir sang menantu.“Tadi aku hampir menjadi korban pemerkosaan, tapi kemudian Mervyn datang menyelamatkanku dan ... pada akhirnya dia ditusuk oleh salah satu anak buah dari pria itu,” ujar Mireya dengan nada gugup yang begitu kental.Mendengar itu, alih-alih iba atau basa-basi menanyakan bagaimana keadaan Mireya, seperti apa kondisi mentalnya, apakah Mireya baik-baik saja dan sebagainya, Sarah justru semakin naik pitam. Matanya jelas menunjukkan amarah yang melimpah.“Kamu tahu, Mireya? Bertemu dengan kamu adalah suatu kesialan terbesar dalam hidup Mervyn!” Sarah berbicara dengan nada tajam dan penuh tekanan di setiap kata yang dia lontarkan.Hati Mireya terasa perih mendengarnya. Sebelum bertemu dengan