Hati Mireya sedikit menghangat ketika Mervyn menawarkan makanan untuknya. Kebetulan perutnya masih kosong karena belum diisi apa-apa. Namun, dia juga sungkan menerima tawaran dari Mervyn. Karena Mireya tidak menjawab pertanyaannya, Mervyn menganggap itu sebagai persetujuan. “Tunggu sebentar! Aku akan segera kembali,” ucapnya. Mervyn melangkah menuju mobil yang bertengger di area parkir, mengambil kotak makanan serta beberapa camilan yang tersedia di dalam sana. Kemudian, dia kembali menghampiri Mireya. “Ini untukmu.” Mireya yang masih duduk di trotoar segera mendongak, mendapati Mervyn sudah berdiri di hadapannya sembari menyodorkan beberapa makanan. “Makanlah!” ucap Mervyn lembut. Ada segaris senyuman di ujung bibir yang sengaja dia tunjukkan demi membuat Mireya nyaman berada di dekatnya. Jujur, Mireya ragu untuk menerima pemberian Mervyn—terlebih lagi, dia masih ingat bagaimana cara Mervyn berpikir tentang dirinya yang dinilai hanya memanfaatkan kebaikan Sania. Bukankah a
Mervyn dan Mireya menoleh ke sumber suara—yang mana saat ini Felly terlihat sedang berjalan menghampiri keduanya.Begitu sampai di hadapan kedua manusia itu, Felly melirik Mervyn dan mengatakan, “Aku menunggu kamu sejak tadi, tapi ternyata kamu ada di sini.”Mervyn segera bangkit berdiri, lalu menatap Felly dengan tenang. “Apa ada yang salah?” Dia bertanya seperti orang yang tidak merasa melakukan kesalahan apa pun. “Mireya sedang lapar, jadi aku memberinya beberapa makanan. Apa itu menyinggung perasaan kamu?”Felly tidak buru-buru menjawab. Dia sebetulnya cemburu melihat kepedulian Mervyn pada Mireya, hanya saja dia juga bingung bagaimana mendeskripsikan perasaannya sekarang.Kalau terlalu sering marah, Felly khawatir hal itu hanya akan membuat Mervyn muak akan sikapnya.“Aku tidak marah karena kamu memberi makanan untuk Kakak, tapi aku hanya sedikit cemas karena kamu belum juga kembali dari toilet,” ucap Felly seraya menghela napas setelahnya. “Maaf, aku tidak bermaksud merusak suas
Mervyn mendengkus gusar. Sejujurnya dia malas sekali menanggapi wanita itu. Melihat wajahnya saja sudah muak, apalagi jika harus terlibat komunikasi?“Kapan Ibu akan pergi lagi?” Mervyn bertanya dengan wajah datar, seolah menegaskan bahwa kepulangan Sarah, ibunya bukanlah sesuatu yang cukup mampu membuatnya senang.Sarah sebetulnya sudah sangat terbiasa menghadapi sikap dingin Mervyn, hanya saja dia tidak menyangka bahwa Mervyn akan menunjukkan rasa tidak suka itu secara terbuka di depannya.“Sayang, setidaknya peluklah ibumu. Kenapa kamu buru-buru sekali ingin melihat Ibu pergi lagi?” tanya Sarah. Sebagai seorang ibu, tentu saja dia kecewa melihat reaksi anaknya.Sarah mendekat, merentangkan tangan hendak memeluk Mervyn untuk melepas rindu. Namun, Mervyn sudah lebih dulu menghindar tanpa memberinya peluang untuk sekadar menyentuh kulitnya.“Ada perlu apa?” Mervyn berjalan menuju pantry, mengambil gelas kosong berbahan kaca, lalu mengisinya dengan air minum dari dalam water dispenser.
“Kamu serius?” Sarah masih tidak menyangka bahwa Mervyn akan move on secepat itu dari Lila.Tanpa ragu, Mervyn mengangguk. “Ya, kami akan segera menikah,” tekannya.Sarah tidak banyak berkomentar, meskipun banyak sekali kalimat tanya yang berjejalan di dalam kepala. Namun, pada akhirnya dia hanya berkata kepada Mervyn, “Kenalkan dia padaku. Aku ingin tahu wanita seperti apa yang akan kamu nikahi.”Setelah itu, Sarah pergi entah ke mana. Menyisakan Mervyn yang masih terdiam duduk di atas sofa beludru.Pria itu menghela napas berat, lalu termenung selama beberapa saat.Sebetulnya yang dia katakan barusan semata-mata hanya untuk membungkam mulut Sarah, agar wanita itu berhenti membicarakan omong kosong tentang perjodohan yang tidak dia inginkan.Sekarang nasi sudah menjadi bubur. Mervyn terlanjur membeberkan niatnya mengenai rencana menikahi seseorang, tetapi dia sendiri sebenarnya merasa ragu dengan perkataannya.Dalam benaknya, dia bertanya, siapa yang harus dinikahi? Apakah Felly?Sem
Sepulang dari kantor, Mervyn langsung menepati janjinya untuk mengantarkan jaket Mireya ke lokasi yang telah Sania sebutkan alamat lengkapnya. Setibanya di tempat tujuan, Mervyn didampingi oleh Rayyan untuk menemui pemilik rumah kost terlebih dahulu dan meminta izin menemui Mireya. Usai menjalani proses pemeriksaan serta menjawab beberapa pertanyaan, mereka akhirnya diizinkan masuk dan diberitahu berapa nomor kamar Mireya. Berhenti di kamar nomor enam belas, Mervyn mengetuk pintu beberapa kali hingga akhirnya sang pemilik kamar membukakan pintu untuknya. “Pak Mervyn ...?” Mireya tertegun sejenak, bertanya-tanya maksud dari kedatangan Mervyn kemari. Mervyn menunduk sopan seraya menyelipkan senyuman tipis. “Halo!” Sementara itu, Rayyan yang berdiri di samping Mervyn tampak tercengang saat matanya menangkap fitur wajah Mireya yang seperti tak asing dalam ingatan. “Silakan masuk dulu!” ajak Mireya. Kemudian, kedua pria di hadapannya mulai melangkah masuk dengan pintu yang sen
Mervyn yang semula masih bisa bersikap santai, seketika menautkan alis setelah mendengar pernyataan Rayyan. “Siapa wanita itu?” tanya Mervyn penasaran. Sorot matanya menunjukkan betapa Mervyn sedang tidak ingin main-main untuk saat ini. Jika Rayyan menganggap masalah ini sebagai lelucon, dia berjanji akan menenggelamkan pria itu ke Palung Mariana dengan kedua tangannya sendiri! Sempat ada keraguan di hati Rayyan sebelum menjawab pertanyaan Mervyn. Padahal, mulutnya sudah terbuka dan kalimat itu telah naik ke tenggorokan, tetapi entah kenapa dia khawatir akan menimbulkan masalah setelah bicara. “Ah, t–tidak jadi, Pak. Jangan terlalu serius, saya hanya bercanda,” ujar Rayyan sembari memainkan tangan dengan resah. Pria itu berusaha menyembunyikan gugup dengan tawa kecil, tetapi Mervyn malah melotot seakan siap menelannya bulat-bulat. “Kamu sudah bosan hidup?” sindir Mervyn, membuat bulu kuduk Rayyan meremang. Di sebelah Mervyn, ada Hasmi yang sedang mengemudikan mobil dan di
“Selamat bergabung dengan tim restoran! Semoga kita bisa membangun kerja sama yang baik,” ucap laki-laki dengan jabatan manajer yang tertulis jelas pada ID card di lehernya. Mireya tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan di raut wajahnya setelah mendengar ucapan selamat dari atasan barunya tersebut. “Terima kasih, Pak!” ucapnya sumringah. Dia bahkan hampir ingin melompat saking girangnya. “Ya, sama-sama.” Pria bernama David itu segera pamit undur diri dan menjauh dari hadapan Mireya. Saat melewati tikungan, David mengeluarkan ponsel dari saku bajunya dan menelepon Asisten Rayyan. Setelah panggilan terhubung, dia pun mengatakan, “Aku sudah menerimanya bekerja menjadi pelayan. Selanjutnya apa lagi?” ‘Pak Mervyn akan memberikan uang sebagai kompensasi. Berapa nominal yang kamu mau?’ David terdiam, berpikir sejenak. Ini akan menjadi kesempatan yang sangat langka dan dia harus memanfaatkannya sebaik mungkin. “Dua ratus juta,” putusnya. ‘Apa?!’ Rayyan tercengang. Menurutnya, ju
Mireya mengikuti Mervyn yang berjalan menuju meja kosong, duduk di atas kursi, lalu melihat-lihat buku menu yang Mireya sodorkan ke arahnya.Tidak sampai satu menit, Mervyn menutup kembali buku tersebut dan memandang Mireya yang sejak tadi berdiam diri di samping meja.“Rekomendasikan aku makanan yang paling enak di tempat ini,” ucap laki-laki yang tampak gagah dengan kemeja cokelat muda yang membalut tubuh idealnya.Mireya tertegun, berpikir sejenak, mencoba memberikan jawaban terbaik. Meskipun tergolong baru bekerja di sini, dia tetap harus bersikap profesional.“Setiap menu yang kami sediakan dipilih dengan cermat untuk memenuhi standar kuliner terbaik dan berkualitas tinggi, tetapi kalau Anda bingung menentukan pilihan, saya akan merekomendasikan Hungarian Goulash Soup. Mungkin Anda tertarik untuk mencobanya?”Selama beberapa saat Mervyn terkesan dengan cara Mireya mempromosikan bahwa setiap hidangan di restoran memiliki kualitas terbaik—seakan Mireya sudah paham betul bagaimana m
Mireya terdiam sesaat, merasa pipinya memanas ketika Mervyn menatapnya dengan penuh perhatian, sambil mengajukan satu kalimat tanya yang cukup mengejutkan.Cemburu, katanya?Mervyn tampak tenang saat mengatakan itu, tapi bagi Mireya, pertanyaan itu berhasil menyentuh ruang tersembunyi dalam hatinya.“Bukan begitu,” jawab Mireya buru-buru, berusaha menenangkan diri. “Aku hanya khawatir dia salah paham.” Meskipun nadanya terkesan biasa, tetapi jauh di lubuk hatinya, ada keraguan yang sulit diungkapkan.“Aku pikir, kamu sepertinya sudah punya hubungan khusus dengan dia,” lanjut wanita itu dengan suara serak yang mencerminkan kebingungan.Mervyn mengernyit, lalu mencoba menjelaskan, “Mireya, jangan berpikir terlalu jauh. Itu tidak seperti yang kamu pikirkan.”Ucapan Mervyn masih belum cukup untuk menenangkan hati Mireya yang mulai terombang-ambing.Bagaimana kalau Mervyn sedang berbohong dan sebenarnya memang sudah memiliki pasangan?Mungkin wanita itu adalah bagian dari hidup Mervyn yang
Mervyn terbungkam beberapa detik ketika Mireya menawarkannya kopi. Itu mungkin hanya tawaran biasa dan tak berarti apa-apa bagi orang lain, tetapi ... entah kenapa, sesuatu di balik rongga dada Mervyn seketika menjadi hangat saat mendengarnya.Ada getaran samar yang menggelitik perut seperti kupu-kupu, lalu perlahan naik dan menjalar hingga ke ulu hati.Padahal, sebagai nyonya rumah, wajar jika Mireya menawarkan kopi, ‘kan?Mencoba bersikap tenang, kali ini Mervyn memandang Mireya seraya mengangguk kecil. “Boleh,” ujarnya.Mireya berjalan menuju pantry, mengambil panci kecil, disi dengan sedikit air dan merebusnya di atas kompor yang telah dinyalakan.Sambil menunggu air matang, Mireya menyibukkan diri dengan menyiapkan bubuk kopi, gula dan cangkir.“Kamu suka kopi yang manis atau dengan sedikit gula?” tanya Mireya.“Sedikit gula, tapi dicampur dengan satu sendok krimer,” kata Mervyn.Mireya mengangguk paham. Setelah mencampurkan semua bahan ke dalam cangkir sesuai permintaan Mervyn,
“Maaf ...” ucap Mervyn seraya mengalihkan tatapan dari tubuh indah Mireya yang berlekuk sempurna.“Aku sudah tidak melihatnya lagi,” sambung pria itu dengan nada gugup yang berusaha dia sembunyikan.Usai memastikan kalau Mervyn benar-benar sudah menjaga pandangan, tanpa banyak basa-basi, Mireya pun bergegas meninggalkan lokasi menuju ke kamar pribadinya.“Kenapa dia bisa ada di sana? Seharusnya dia tidak boleh masuk ke rumah orang sembarangan!” gumam Mireya sambil mengetuk-ngetuk keningnya sendiri.Dia merasa sangat malu, bodoh sekaligus marah sekarang.“Walaupun dia adalah ayah dari kedua anakku, tapi bukan berarti dia bisa bertindak semaunya di sini. Apa dia pikir rumah ini adalah miliknya?!”Mireya mengunci diri di dalam kamar dan bersandar di belakang pintu. Satu tangannya menyentuh dada, merasakan debar kencang yang tidak terkendali dari dasar jantungnya.Di sisi lain, Mervyn merasa tenggorokannya semakin kering setelah dia tak sengaja melihat Mireya dengan penampilan yang menuru
Sarah tercengang mendengar informasi yang diberikan oleh Lisa. “Maksud kamu apa? Bagaimana bisa Mervyn memiliki anak dengan wanita yang ... bahkan, Tante saja baru tahu kalau mereka pernah saling terikat di masa lalu,” ujarnya. “Kalau kamu tidak bercerita, sampai sekarang mungkin Tante tidak akan pernah tahu siapa itu Mireya.”Lisa menepis sejenak air mata yang bergumul di pelupuk mata. Tangannya mengeluarkan amplop putih dari dalam tas dan menunjukkannya pada Sarah. “Tante bisa lihat sendiri buktinya,” ucapnya dengan suara bergetar. “Pada awalnya, aku juga tidak menyangka, tetapi begitulah kenyataannya.”Sarah mengambil amplop tersebut dengan tangan gemetar. Dia langsung membukanya bersama emosi yang bercampur aduk di rongga dada.Wanita itu mengeluarkan isi di dalam amplop yang menampilkan foto ketika Mervyn sedang berada di rumah sakit bersama kedua anak kembarnya.Mervyn berjalan di lorong sambil menggendong Marcell yang tertidur di bahunya, sementara Michelle berjalan bergandenga
Kehadiran Lisa dan Sarah di dalam ruang tamu apartemennya, membuat Mervyn cukup terkejut dan bingung.Kenapa mereka tiba-tiba ada di ruang tamu apartemennya tanpa memberi kabar terlebih dahulu?“Ada beberapa hal yang ingin Ibu tanyakan padamu, Mervyn,” ucap Sarah seraya mengelus punggung Lisa—seolah sedang berusaha menenangkannya.Saat dia menatap Lisa dan memperhatikannya lebih serius, Mervyn baru menyadari kalau gadis itu terlihat seperti sedang menangis.Mervyn kembali melirik ke arah ibunya, lalu bertanya dengan suara dingin, “Apa?”“Ibu sudah mendengar semua cerita dari Lisa, tentang wanita yang tidak sengaja bertemu dengan kamu di mall,” ujar Sarah, terlihat menahan amarah. “Sekarang katakan dengan jujur, siapa wanita itu?!” desaknya, tidak ingin mendengar penyangkalan apa pun.Mervyn hanya sedikit mengerutkan kening saat mendengar itu. Namun, tak ada sedikit pun ekspresi takut di wajahnya. Dia hanya memandang Sarah dan Lisa dengan wajah dingin.“Apa urusannya dengan kalian kala
Julian berdiri di depan pintu, matanya terfokus pada Mireya yang baru saja membukakan pintu.Senyum tipis di wajah Julian langsung memudar saat dia melihat pria yang berdiri di samping Mireya.“Mervyn ...?”Julian mengerutkan dahi. Tiba-tiba, kenangan beberapa waktu lalu langsung berputar memenuhi kepala.Saat itu, di sudut lorong perusahaan, setelah menjalani rapat bisnis dengan perusahaan Mervyn, Julian tak sengaja melihat Mervyn berusaha membangun interaksi yang cukup serius dengan Mireya—seolah ada sesuatu yang lebih dari sebatas profesional kerja.Ada ketegangan di antara mereka, yang sempat membuat Julian curiga bahwa sebenarnya Mervyn adalah ayah kandung dari Marcell dan Michelle. Akan tetapi, saat itu Mireya sama sekali tidak menjawab keraguannya.Kini, dengan berdirinya Mervyn di sini, Julian semakin yakin dengan kecurigaan yang dia pendam.Di sisi lain, Mervyn juga merasakan sesuatu yang tidak bisa dia jelaskan.Masih segar dalam ingatan Mervyn, ketika Rayyan menginformasika
Pertanyaan itu membuat Mervyn terkejut. Dia mengernyitkan dahi, merasakan kekakuan yang mencekam.Meskipun secara biologis Mervyn memang ayah kandung Marcell dan Michelle, tetapi hubungan antara dia dan Mireya tidak cukup kuat untuk menjustifikasi hal seperti itu.Tidak ada status pernikahan antara Mervyn dan Mireya. Jadi, jika mereka berada dalam satu rumah meskipun hanya semalam saja, itu pasti akan menimbulkan tanda tanya besar bagi warga sekitar.Mervyn tidak ingin hal seperti itu terjadi dan mengganggu kenyamanan yang selama ini telah Mireya bangun bertahun-tahun di rumahnya.Mervyn merasa sedikit canggung, tidak tahu bagaimana seharusnya menjawab pertanyaan yang sekilas tampak sederhana bagi anak-anak, tetapi sebenarnya penuh dengan lapisan perasaan dan situasi yang rumit.“Uhm ... anak-anak?” Mervyn bicara dengan suara lembut dan berpikir, “Meskipun Papi adalah ayah kandung kalian, tapi ... Papi dan Mami tidak memiliki hubungan yang sah. Jadi, ada batasan antara Papi dan Mami y
“Baiklah, aku duluan.” Karena tidak ingin berdebat terlalu lama, Marcell akhirnya mengalah dan mulai angkat suara untuk menjawab pertanyaan Mervyn. “Paman, sebenarnya kamu baru saja mengajukan pertanyaan retoris. Dari pertanyaan Paman, jawabannya tentu saja; pernah.”Marcell lalu menambahkan, “Memangnya siapa anak yang tidak merasa sedih jika hidup tanpa figur seorang ayah? Tapi, beruntungnya, aku dan Michelle mempunyai ibu yang luar biasa hebat dan kuat seperti Mami, sehingga dengan ada ataupun tanpa adanya sosok ayah, itu bukan lagi menjadi masalah bagi kami.”Mervyn hanya diam sambil mendengarkan dengan serius.“Paman lihat sendiri, ‘kan? Kami tumbuh besar, sehat dan kuat. Kami juga selalu bahagia bersama Mami,” pungkas Marcell, seolah menegaskan bahwa kehilangan seorang ayah sejak masih di dalam kandungan, bukanlah hal yang perlu disesali dalam hidup.Mervyn mengangguk paham. “Itu bagus!” ucapnya seraya tersenyum getir, membayangkan sebesar apa perjuangan Mireya hingga mampu mendi
Mireya terbelalak mendengar permintaan Mervyn terkait keputusan untuk membeberkan semuanya kepada Marcell dan Michelle. “T–tapi ... apa menurutmu itu tidak akan membuat mereka marah? Bagaimana kalau aku dibenci karena menutupi fakta kalau kamu adalah ayahnya?”Mervyn menjawab dengan tenang, “Mereka tidak akan membenci kamu, Mireya. Aku lihat, mereka tumbuh menjadi anak-anak yang baik dan pengertian. Tapi kalaupun mereka marah atau benci padamu, bukankah itu hal yang wajar? Mereka memang belum cukup mampu mengendalikan emosi, tapi percayalah, perlahan waktu pasti akan mendewasakan pikiran anak-anak kita.”Pipi Mireya sedikit memerah saat mendengar tiga kata terakhir yang terucap dari bibir Mervyn.‘Anak-anak kita’?Entah kenapa, meskipun kenyataannya memang benar, tetapi Mireya merasa bahwa ucapan itu sedikit berlebihan. Bukankah itu terkesan seolah mereka adalah keluarga?“Mireya ...?” panggil Mervyn sembari menelengkan kepala, mencoba menatap wajah Mireya lebih detail. “Kenapa diam s