Mireya dan Bella menoleh ke sumber suara—yang mana seorang wanita tampak melangkah semakin dekat ke arah mereka.
“Mama!” Ternyata itu adalah Irene, ibunya Bella yang baru saja pulang dari urusan bisnis di luar kota. Bella menyambut kedatangan ibunya dengan pelukan hangat. “Wah, ada siapa di sini?” Irene menatap Mireya dengan sorot mata yang memancarkan kehangatan. Mereka sudah saling kenal, tentu saja. Apalagi Mireya adalah sahabat terbaik Bella. Walaupun tidak sering, tetapi Mireya pernah beberapa kali bertemu Irene saat ada kesempatan main ke sini. Mireya mencium punggung tangan Irene dengan sopan, lalu basa-basi menanyakan kabar satu sama lain. Namun, saat hidungnya menyentuh kulit tangan Irene, Mireya mencium aroma wewangian yang membuat dirinya pusing dan mual. “Maaf, aku harus ke belakang.” Mireya pamit ke wastafel untuk menyudahi dorongan kuat dari dalam lambungnya. Pada akhirnya, Mireya hanya muntah angin karena tidak ada sisa makanan yang keluar dari mulutnya—meskipun sebenarnya dia baru saja selesai makan. Kembali ke ruang makan, dia tidak sengaja mendengar obrolan Bella dengan Irene yang menyebutkan namanya. Suara mereka sangat pelan dan hati-hati, seolah tak ingin didengar oleh orang lain. Untuk itu, Mireya memilih mundur dan bersembunyi di balik tembok tikungan. “Mireya sedang hamil, Ma,” kata Bella, “Aku tidak bisa membiarkan dia hidup sendirian di luar sana.” Irene memutar bola mata, terlihat kesal. “Justru karena sedang hamil, makanya dia diusir dari rumah, ‘kan? Kalau orangtuanya saja tidak peduli, kenapa kamu harus memungut sampah yang sudah dibuang?” Bella memegang lengan Irene. “Hati-hati kalau bicara, nanti Mireya bisa dengar,” ujarnya mewanti-wanti. Wanita paruh baya itu menghela napas gusar. “Biar saja dia dengar, supaya sadar diri dan bisa pindah secepatnya dari sini.” “Mama ...!” Bella mulai frustrasi. Kehilangan cara untuk membuat ibunya mengerti. “Mau sampai kapan dia menyusahkan kamu, Bella? Walau bagaimanapun, dia harus mencari ayah biologis dari bayi itu agar tidak selalu membebani orang lain!” Irene melengos sambil terus mendumal, “Belum lagi setelah dia melahirkan nanti! Memangnya kamu bekerja hanya untuk menghidupi dia dan bayi haramnya itu, huh?” Bella sudah tidak tahan lagi mendengarnya. Dia hanya bisa menangis dan memilih masuk ke kamar tanpa memperpanjang perdebatan dengan sang ibu. Mungkin Bella butuh waktu untuk mengambil keputusan dan akan membahas masalah ini lain kali. Setelah Bella dan Irene pergi, barulah Mireya berani keluar dari tempat persembunyiannya. Mireya masuk ke kamar dan mengurung diri di atas kasur. Dia merenungi percakapan Bella dan Irene dengan rasa sedih. Namun, sisi lainnya juga merasa bersalah karena sudah menjadi penyebab kenapa ibu dan anak itu sampai berselisih paham. Sekarang isi kepala wanita malang itu terasa penuh dan sesak. Perkataan Irene terus berjejalan memenuhi ruang memori, membuatnya sangat tidak nyaman. Bahkan sekujur tubuhnya terasa dingin dan bergetar hampir sepanjang malam. Dalam keheningan, tiba-tiba Mireya memikirkan peluang diterima kerja di perusahaan Mervyn. Jika dia bisa menjadi sekretaris, maka Bella tidak perlu bekerja terlalu keras demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebab, dia akan memiliki banyak uang yang juga bisa dipakai untuk membantu meringankan beban Bella. Dengan begitu, Irene mungkin tidak akan berkomentar banyak dan mau memberi kesempatan untuk dirinya tinggal sementara di rumah ini. “Ah, tapi mana mungkin diterima?” Mireya menghela napas panjang. Rasanya mustahil bisa diterima di posisi itu setelah dia menjalani tes wawancara dengan setengah hati. Apalagi jawaban yang dia berikan tidak memuaskan sama sekali. Usai berpikir matang-matang, tiga hari setelahnya Mireya memutuskan angkat kaki dari rumah Bella. Sebelum itu, dia melihat saldo di rekeningnya masih tersisa sekitar dua juta rupiah, lalu pergi ke ATM untuk melakukan tarik tunai. Bella selalu mengingatkan agar Mireya menyimpan uang itu untuk biaya persalinan, tapi kini dia tidak bisa menyimpannya lebih lama lagi. Mireya menyisihkan uang sebanyak satu juta rupiah di dompetnya untuk mencari rumah kost yang harganya di bawah satu juta, lalu sisanya akan dia gunakan untuk makan sehari-hari. Sementara itu, uang satu juta rupiah yang masih tersisa dia masukkan ke dalam amplop, lalu ditaruh di meja sebagai bentuk terima kasih atas kebaikan Bella selama ini. Meskipun itu bukanlah jumlah yang sepadan untuk membalas kebaikan seseorang, tapi Mireya tidak punya apa-apa lagi selain hanya uang itu. Mireya meninggalkan rumah pada saat Bella sedang bekerja dan Irene sudah kembali sibuk dengan urusan bisnisnya. Sore harinya, setelah Bella pulang bekerja, dia mendapati rumahnya dalam keadaan sepi dan melihat secarik kertas beserta amplop di atas meja kamar. [Bella, aku sudah menemukan tempat tinggal baru dan harus segera pergi dari sini. Maaf jika tidak sopan karena tidak bicara langsung. Bella, terima kasih banyak sudah membantu dan bersedia menjadi sahabatku. Kamu adalah yang terbaik dan tidak akan pernah tergantikan meski ditukar dengan seribu teman sekalipun! O, iya, karena tidak bisa mentraktir makan sepuasnya, aku menyisihkan sedikit uang di dalam amplop. Jaga kesehatan dan makan yang banyak, yaaa.] Bella menangis membaca isi catatan yang ditulis oleh Mireya. Tangannya meraih ponsel di atas meja, berusaha menelepon wanita itu, tetapi nomornya tidak aktif. “Mireya, kamu ke mana ...?” Bella duduk di tepi kasur sambil terisak sedih membayangkan bagaimana sahabatnya akan menjalani hidup setelah ini.Mireya baru saja membeli sebungkus roti dan air mineral di minimarket. Usia kehamilan pada trimester pertama membuatnya lebih sering merasa lapar. Di sisi lain, dia juga harus memikirkan bagaimana agar sisa uangnya bisa mencukupi hingga setidaknya satu bulan ke depan. Mau tak mau, dia harus hidup hemat dan memangkas segala pengeluaran yang tidak perlu. “Terima kasih,” ucapnya kepada kasir usai melakukan pembayaran. Saat ingin meninggalkan minimarket, tiba-tiba hujan turun dengan lumayan deras. Terpaksa Mireya harus berteduh karena tidak membawa mantel ataupun payung. Mireya duduk di atas kursi yang tersedia di teras minimarket. Dia membuka bungkus roti dan mulai memakannya sebagian, sementara setengah sisanya akan dia simpan untuk dimakan saat nanti lapar lagi. Detik selanjutnya, seorang wanita tua baru saja keluar dari minimarket dan ikut berteduh di sebelah Mireya. Di samping wanita itu, ada sosok pemuda bertubuh tinggi kurus yang terlihat mencurigakan. Akan tetapi, wa
Suara itu menyadarkan Mireya dari lamunan. Di sampingnya sudah ada Sania sedang berdiri dengan tangan menyentuh lembut bahunya. Sontak Mireya tersenyum seolah tidak ada masalah apa pun. “Aku baik-baik saja, Nek,” dustanya. Meski senyuman itu terlukis di bibirnya, tetapi Sania melihat titik kegetiran yang berpendar di balik tatapan nanar wanita malang itu. Sania berpikir bahwa Mireya mungkin tidak nyaman jika orang lain mencampuri urusannya terlalu dalam—apalagi mereka tidak saling mengenal sebelumnya. Jadi, dia memutuskan untuk tidak bertanya lebih banyak. “Masalah yang dihadapi setiap orang memang berbeda-beda, tapi apa pun itu, jangan pernah berhenti berjuang!” ujar Sania dengan tulus. “Kamu boleh istirahat sejenak saat lelah, tapi jangan sampai menyerah. Kamu tahu apa? Gadis Kecil, dunia sangat kekurangan orang-orang sebaik kamu,” pungkasnya. Kalimat itu terdengar seperti sumber kekuatan yang merangkak masuk ke telinga, lalu merayap dan mengendap di dalam tubuh Mireya. M
Mervyn memandangi wajah Mireya lekat-lekat. Merasa tidak asing, dia mengernyit ketika menyadari bahwa Mireya merupakan orang yang telah mengikuti seleksi di perusahaannya. Tatap mata mereka saling bertemu selama beberapa detik. Entah kenapa dada Mervyn berdesir cepat, seakan ada energi kuat di balik mata cantik Mireya yang tak dapat dijabarkan. Sampai akhirnya, wanita itu mulai hilang kesadaran dan menghentikan momen canggung di antara mereka berdua. Refleks, Mervyn segera menangkap tubuh Mireya yang hampir terjatuh, hingga wanita itu berakhir pingsan dalam pelukan hangatnya. “Apa lagi yang kamu tunggu? Gadis itu butuh pertolongan. Cepat bawa dia ke rumah sakit!” perintah Sania, menyadarkan cucunya yang sejak tadi terus memandangi wajah Mireya tanpa henti, seperti sedang terhipnotis. Setelah itu, Mervyn segera membawa Mireya masuk ke mobil dengan cara menggendongnya ala bridal. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, hujan mulai reda, tetapi Mervyn masih menyalakan wiper untuk
Mireya tertegun mendengar pertanyaan Sania. Setelah terdiam beberapa detik, wanita itu menjawab, “Dia sedang pergi ke luar kota.” Terpaksa Mireya berbohong. Sebab, tidak mungkin juga dia mengatakan bahwa kehamilannya ini adalah hasil hubungan di luar nikah dan pelakunya ada di depan mata mereka, nanti yang ada malah menambah masalah. “Lalu kamu mau mencari rumah kost sendirian?” tanya Sania lagi. “Iya, Nek.” Melihat kondisi Mireya yang sepertinya belum cukup pulih, Sania khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk pada Mireya di luar sana. Dia pun menyarankan, “Bagaimana kalau kamu istirahat dulu di rumahku? Setelah membaik, barulah kamu bisa lanjut mencari rumah kost.” Mervyn membulatkan mata. Sungguh tidak habis pikir atas kebaikan sang nenek yang menurutnya terlalu berlebihan. “Ah, tidak perlu, Nek. Lagipula aku sudah lebih baik sekarang.” Mireya menggeleng cepat, merasa sungkan atas tawaran yang Sania berikan. “Kamu yakin tidak apa-apa?” tanya Sania memastikan. “Yakin, N
Tepukan kecil yang Mervyn lakukan berhasil menyadarkan Mireya dari mimpi buruk. Dengan cepat kelopak matanya terbuka lebar, tetapi yang membuatnya lebih kaget lagi adalah ketika dirinya mendapati kehadiran Mervyn pada jarak yang cukup dekat. Posisi Mervyn dengan tubuh sedikit dicondongkan ke depan jelas kembali mengingatkan Mireya pada momen di malam itu, ketika pertama kalinya dia melihat pria itu berkuasa di atasnya. Sulit bagi Mireya untuk bisa mengendalikan perasaan sekarang. Tubuhnya menjadi bergetar hebat seiring peluh yang mulai membasahi kening dan telapak tangan. Lalu, dia tanpa sadar meloloskan setitik air mata yang tak lagi dapat dibendung. “Apa mimpi kamu sangat buruk?” Mervyn bertanya dengan hati-hati. Karena melihat Mireya sudah sangat ketakutan, jadi dia bicara lebih lembut agar tidak membuatnya semakin takut. Mireya tidak menjawab, melainkan hanya terus menangis seraya menutup rapat kedua telinga seperti menyimpan trauma yang begitu dalam. Sejujurnya dia baru sa
Tuduhan Mervyn membuat Mireya tersinggung, tetapi dia masih dapat mengendalikan diri untuk tidak marah. “Pak, bahkan seandainya di dunia ini tidak ada lagi yang aku miliki, jangan pernah berpikir aku akan melakukan hal curang demi mendapatkan uang,” ucap Mireya. “Sedikit pun aku tidak pernah bermain-main dengan kebaikan hati seseorang.” Jawaban Mireya cukup mengesankan, seperti orang yang memiliki hati tulus. Namun, masih ada kejanggalan di benak Mervyn yang membuatnya tidak langsung percaya begitu saja. Bisa jadi Mireya memang tipikal manusia yang pandai bersilat lidah, ‘kan? “Baguslah.” Mervyn kembali menguji Mireya. Kali ini dengan mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet. “Aku dengar kamu sudah menolong Nenek yang barangnya hampir dicuri. Jadi, ambil saja ini sebagai tanda terima kasih.” Mata Mireya tertuju pada uang yang Mervyn sodorkan. Dia tidak tahu berapa jumlah pastinya, yang jelas itu terlihat lebih banyak dibanding sisa uang yang dia punya sekarang. Namun, teta
Mervyn bersama beberapa pengawalnya langsung mendatangi alamat rumah yang mereka dapatkan dari Alvin. Berdasarkan informasi yang pria itu berikan, ini adalah tempat kediaman keluarga Henry Darmawan, dan wanita yang dijual ke Mervyn pada malam itu merupakan putri kandung Henry. Berdiri di depan pintu, salah satu pengawal menekan bel beberapa kali, sedangkan Mervyn hanya menunggu dengan wajah tenang. Ya, Mervyn memang selalu pandai menyembunyikan perasaan walaupun sebenarnya dia mungkin juga cukup penasaran pada wanita itu. Tak berapa lama, pintu terbuka. Menampilkan sosok wanita paruh baya yang tengah berdiri di ambang pintu dengan dahi mengernyit. “Kalian siapa?” Itu adalah Karin. Dia merasa tidak memiliki janji temu dengan siapa pun hari ini. Jadi, kedatangan orang-orang berpakaian formal di hadapannya saat ini sungguh membuatnya bingung. Tanpa perlu disuruh, satu dari lima anak buah Mervyn segera maju untuk menjawab pertanyaan Karin. “Selamat siang, Nyonya! Apa benar
Felly dan Karin kembali menghampiri Mervyn dan anak buahnya yang masih diam menunggu di depan pintu. “Tuan, mohon maaf jika ada ucapan ibuku yang membuatmu tersinggung. Aku sudah memberinya pengertian,” ujar Felly sambil menunduk sopan. Raut wajah Karin berubah seketika. Tidak ada keangkuhan yang tergambar di sana, selain hanya kerendahan hati yang seakan menunjukkan bahwa dia sangat bahagia melihat kedatangan Mervyn. “Tuan, Felly sudah menjelaskan semuanya padaku. Aku sangat menyesal sudah mengatakan beberapa hal buruk sebelumnya,” kata Karin. “Aku hanya terkejut mengetahui putriku pernah berhubungan dengan seorang laki-laki, padahal yang selama ini aku tahu, dia adalah anak yang sangat baik.” “Aku sudah bilang, Bu, aku dijebak.” Felly berpura-pura menangis. “Apa Ibu masih belum percaya?” sambungnya. “Ya, Ibu percaya sekarang. Kamu tidak mungkin semurahan itu.” Karin segera menarik Felly ke dalam pelukan. “Sayang, maafkan Ibu sudah salah paham padamu. Pasti kamu sangat traum
Di ruang CEO, Mervyn tampak duduk di kursi putar seraya menatap Rayyan yang berdiri di depan meja kerjanya.“Apa sudah kamu informasikan kepada orang-orang itu mengenai kedatangan istriku hari ini?” tanya sang CEO.Rayyan menjawab, “Sudah, Pak. Persiapannya juga sudah matang.”“Bagus!” Mervyn mengangguk, merasa puas mendengar jawaban asistennya. “Bagaimana dengan hadiah yang aku bicarakan kemarin?”“Hadiahnya juga aman, Pak. Saya sudah menyuruh seseorang untuk memberikan hadiahnya kepada Nyonya, Tuan dan Nona Kecil ketika mereka sampai di rumah.”“Kerja bagus!” puji Mervyn. Rayyan memang selalu dapat diandalkan kapan dan di mana pun dia membutuhkannya.***Beberapa jam setelah melakukan perjalanan, Mireya, Marcell dan Michelle akhirnya tiba di lokasi tujuan.Kedatangan Mireya bersama kedua anaknya di tempat kediaman Mervyn disambut oleh banyak orang yang telah dipekerjakan oleh Mervyn dengan posisi bagian dan tugas yang berbeda-beda.Saat melewati pintu, ada beberapa penjaga yang lang
Mervyn meraih telapak tangan Mireya untuk digenggam. “Kamu tahu, ‘kan, alasan dari kedatangan aku ke sini hanya untuk mengurus project anak perusahaan Grup Jordan?”Mireya mengangguk pelan, tetapi dia mulai bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang ingin disampaikan oleh Mervyn.“Dan sekarang urusannya sudah selesai. Aku berencana akan membawa kamu dan anak-anak kembali ke kota A. Apa kamu keberatan?” tanya Mervyn tanpa banyak basa-basi. Sebab, cepat atau lambat dia memang harus bicara jujur pada Mireya.Wajah Mireya berubah murung ketika mendengar ucapan Mervyn.Bagi Mireya, kota A menyimpan banyak kenangan pahit yang telah lama berusaha dia kubur bersama luka-lukanya.Dari sejuta mimpi buruk yang dia miliki di kota tersebut, satu-satunya yang bisa dia syukuri hingga sekarang hanyalah kehadiran anak kembar dalam hidupnya. Sementara sisanya tak lebih dari tumpukan benang yang hanya akan memperparah bongkahan luka di dada.“Maksud kamu, kita akan tinggal di sana?” tanya Mireya dengan
Pertanyaan polos Michelle membuat Mireya gelagapan. Napasnya berhenti sejenak seiring kelopak mata yang terbuka lebar. Dengan cepat dia pun menyembunyikan jejak kemerahan di lehernya menggunakan telapak tangan.“I–ini ....” Mireya mencoba menemukan alasan yang masuk akal.Tapi apa?Tak jauh darinya, Mireya melihat Mervyn sedang berdiam diri di depan pintu toilet sembari menahan tawa. Membuatnya melotot kesal.Bisa-bisanya pria itu tertawa dengan sikap yang begitu tenang, sementara Mireya sedang pusing memikirkan jawaban!Padahal, tanda merah yang Mireya dapatkan jelas-jelas dibuat olehnya!Mireya kembali menatap Michelle. “Elle bisa tanya langsung pada Papi. Karena, Papi lebih tahu,” ucapnya seraya tersenyum lebar.“A–apa?” Mervyn mengerjap. Raut wajahnya berubah datar hanya dalam hitungan detik. “Kenapa harus aku yang jawab?”Mireya tersenyum miring. Merasa puas menyaksikan reaksi sang suami. “Bukankah kamu yang menyebabkan ini terjadi? Jadi, kamu saja yang jawab!” putusnya secara mu
Mervyn dan Mireya terkejut ketika ada yang mengetuk pintu dari luar. Setelah itu, suara imut khas anak kecil mulai terdengar.“Mami, Papi! Acell dan adik boleh buka pintunya, tidak?” tanya Marcell.Sepasang suami dan istri itu tampak kelimpungan. Bagaimana mungkin mereka membiarkan kedua anak itu masuk dalam keadaan tubuh yang tidak mengenakan apa pun?Ah, kecuali Mervyn yang hanya memakai celana panjang.“T–tunggu sebentar! Mami akan membukanya,” sahut Mireya, lalu mengambil pakaian yang berserakan di lantai dan segera mengenakannya.Usai keduanya mengenakan kembali pakaian mereka, Mireya pun berjalan untuk membukakan kunci pintu.“Elle, Acell, ada apa?” tanya Mireya, sementara Mervyn baru saja masuk ke toilet untuk buang air kecil.“Mami ... eum, ada yang ingin kami katakan, tapi kami khawatir Mami akan marah,” ujar Marcell dengan raut wajah terlihat sedikit cemas.Mireya mengernyit. “Bagaimana kalian bisa tahu Mami akan marah atau tidak, sedangkan kalian saja belum mengatakan apa-a
Di atas kasur, Mireya tampak mengenakan selimut tebal yang menutupi seluruh tubuh polosnya.Wanita itu memandang Mervyn yang baru saja memungut celana dan kaos miliknya yang berserakan di lantai, lalu mulai memakainya kembali.Mireya cukup terkejut menerima perlakuan suaminya yang tiba-tiba menjadi begitu liar dan brutal.Dugaan sementara, Mireya menaruh curiga bahwa semua yang dilakukan Mervyn disebabkan oleh rasa cemburu akibat kesalahpahaman antara pria itu, Mireya dan juga Julian.Selesai mengenakan celana panjang berbahan levis, dengan tubuh bagian atas yang masih telanjang, Mervyn naik ke atas kasur untuk kembali mendekati istrinya.Cup!Mervyn mendekap wanita itu seraya mengecup pelipisnya sekilas. “Ingat apa yang tadi kukatakan? Kamu, dan semua yang ada pada dirimu adalah milikku, Mireya. Jangan biarkan orang lain menyentuhnya!”Mireya mengangguk, tetapi perasaannya tidak kunjung lega meskipun dirinya kini sedang ada dalam dekapan hangat sang suami.“Kenapa menatapku begitu, h
Brak!Mervyn membuka pintu kamar, mendapati Mireya yang kini sedang melipat pakaian sembari duduk di tepi kasur bermotif bunga mawar.Wanita itu mendongak saat mendengar derit pintu, lalu bergegas bangkit menghampiri suaminya yang baru pulang ke rumah entah dari mana.“Kamu sudah kembali?” sambut Mireya seraya tersenyum manis.Mervyn, dengan wajah garang serta sorot mata yang menunjukkan amarah, sama sekali tidak menjawab kalimat tanya yang diajukan oleh Mireya.Di sepanjang jalan menuju ke rumah, Mervyn sudah terlalu banyak menahan emosi, dan sekarang kemarahan itu bertambah semakin besar saat dia melihat ekspresi lugu istrinya yang terkesan seakan tidak melakukan kesalahan apa pun di belakangnya.Mireya menyadari ada yang tidak beres dari raut wajah Mervyn. Lantas pada saat dirinya berada di hadapan Mervyn, dia segera mengangkat satu tangan guna menyentuh pipi pria itu.“Mervyn, apa yang terjadi?” tanya Mireya lembut. “Apa kamu baru saja mendapatkan masalah?” tambahnya.Tatapan Merv
Mireya pun menjelaskan kejadian mengenai Felix yang membohonginya dengan mengatakan bahwa Henry, ayah mereka, sedang mengalami kritis di rumah sakit. Namun, ternyata Felix malah membawanya ke tempat asing dan menjadikannya jaminan utang. “Felix?” Mervyn mengerutkan dahi saat mendengar nama yang tak dia kenal. “Siapa dia?” “Dia kakak laki-lakiku. Kami lahir dari ibu yang berbeda, tetapi masih satu ayah,” terang Mireya. “Kalau begitu, artinya dia juga kakaknya Felly?” tebak pria itu. Lantas Mireya mengangguk. “Ya, mereka satu ibu,” tambahnya. Mervyn manggut-manggut paham, lalu terdiam setelahnya. Akan tetapi, isi kepalanya terus bekerja memikirkan sosok Felix yang telah membuat istri kesayangannya hampir menjadi korban pemerkosaan. Mervyn bersumpah, suatu saat Felix pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya! “Mervyn, kenapa melamun?” Mireya menyentuh sebelah pipi Mervyn dan membuatnya sedikit terkejut. Mervyn menunduk, menatap ke dalam mata cantik ist
“Hey ... apa yang kamu pikirkan?” Mervyn menyelipkan anak rambut Mireya ke belakang telinga wanita itu. “Aku tidak pernah menganggap kamu pembawa sial. Sebaliknya, aku justru merasa lebih bahagia setelah bertemu kembali dengan kamu dan anak-anak. Siapa bilang kalau kamu pembawa sial?”Mireya merasa sedikit lebih lega. Namun, perasaan sedih dan bersalah itu masih belum hilang sepenuhnya dari dalam diri. Melihat kondisi Mervyn yang tidak berdaya seperti saat ini membuatnya sangat sedih.“Mervyn, apa boleh aku menceritakan alasan yang sebenarnya?” tanya Mireya seraya mendongak, menatap mata sang suami dengan lebih serius dan dalam.Cup!Mervyn mengecup pelipis Mireya lekat-lekat. “Ceritakanlah,” balasnya.Mireya menghela napas sejenak. “Sebenarnya ... saat tiba di rumah sakit, aku duduk menunggu kamu di luar ruangan. Aku terus mendoakan untuk keselamatan kamu. Kemudian, tiba-tiba Ibu datang bersama Lisa. Aku menjelaskan pada Ibu mengenai apa yang terjadi dengan kamu, lalu Ibu menyalahkan
Setelah menjalani rawat inap selama hampir satu minggu di rumah sakit, Mervyn akhirnya diperbolehkan pulang oleh dokter hari ini. Akan tetapi, dia tetap membutuhkan banyak istirahat di rumah, supaya proses penyembuhan luka di perutnya lebih cepat selesai.Malam itu, di saat Marcell dan Michelle sedang belajar bersama di kamar mereka, Mireya membuatkan segelas susu hangat untuk Mervyn.Mireya menghampiri Mervyn yang berbaring di atas kasur, meletakkan sejenak gelas di atas meja. Kemudian, membantu Mervyn mengubah posisi menjadi duduk dengan kedua kaki diluruskan serta punggung yang bersandar pada kepala kasur.“Minumlah ...” ucap Mireya sembari menyodorkan kembali susu di dalam gelas berbahan kaca ke arah Mervyn.“Terima kasih,” ucap Mervyn seraya mengambil alih benda itu dan mulai meneguk minumannya pelan-pelan.“Mireya, aku mau tanya sesuatu.” Mervyn meletakkan gelas di atas meja, lalu menatap istrinya dengan serius.“Tanyakan saja,” kata Mireya yang tengah duduk di tepi kasur, menun