“Kamu ... siapa?”
Kelopak mata Mireya mengerjap lambat seirama dengan rasa sakit di kepala yang luar biasa. Sekujur tubuhnya begitu remuk bagaikan tergilas mobil bermuatan besar. Dalam kondisi setengah sadar, Mireya dikejutkan oleh keberadaan seseorang di atas tubuhnya. Dia ingin menolak kecupan lembut yang berjejak di leher dan bibir, tapi segalanya terjadi begitu cepat, hingga dia kehilangan peluang untuk mengumpulkan tenaga dan melawan. Mireya terjebak di antara kedua lengan kekar yang berotot. Tak ada yang bisa dia lakukan saat pria asing itu mulai menarik gaunnya dengan kasar dan meninggalkan robekan di beberapa bagian. Pria itu beraksi tanpa suara. Meski begitu, Mireya bisa mencium aroma alkohol yang cukup menyengat, menyatu dengan wangi parfum mahal yang menguar dari tubuhnya. Di bawah cahaya remang lampu hias, Mireya melihat dengan jelas sepasang mata elang yang menatapnya liar dan penuh hasrat. Saat menjelang pagi, wanita itu masih meringkuk di atas kasur dengan selimut tebal yang menutupi tubuh polosnya. Dia terjerembap ke dalam perasaan hina, jijik, malu dan kotor. Sementara itu, sosok di sampingnya tampak terlelap usai puas melakukan pelepasan beberapa kali. Sempat tebersit pikiran untuk mengambil bantal dan menyekap wajah pria itu hingga kehabisan napas. Namun, Mireya sadar ide gila itu tak akan mengubah apa pun, selain hanya menimbulkan masalah yang lebih besar lagi nantinya. Mireya bergerak pelan-pelan turun dari kasur, tetapi rasa sakit yang luar biasa membuatnya meringis dan menangis lebih banyak lagi. Tubuhnya seperti dibanting dan digilas berulang kali hingga rasanya hampir mau mati. Gaun yang berserakan di lantai dia raih dengan tangan gemetar. Terdapat robekan di beberapa bagian yang menjadi saksi bisu atas kehancuran hidupnya. Mireya membawa pulang bongkahan luka yang memenuhi rongga dada, menyisakan pria asing itu sendirian di kamar hotel. *** Setibanya di rumah, Mireya disambut oleh Henry, ayah kandungnya yang membukakan pintu setelah dia menekan bel berkali-kali. “Sudah hampir pagi, kenapa baru pulang? Dari mana saja kamu, Mireya?!” tanya Henry dengan raut marah yang tidak terbantahkan di wajahnya. Mireya memilin jari-jari dengan gelisah. Otaknya bersikeras mencari alasan yang masuk akal. “Aku ... tadi pergi menonton film dengan Alvin, Yah.” Ucapan Mireya tidak sepenuhnya salah. Seingatnya, beberapa jam lalu dia memang pergi bersama kekasihnya untuk menonton film di bioskop. Namun, saat di perjalanan, kepalanya sangat pusing dan tahu-tahu dia sudah berada di kamar hotel usai sadarkan diri. “Kamu lihat, sudah jam berapa sekarang? Bioskop mana yang kamu datangi sampai hampir tidak pulang semalaman?!” Suara Henry begitu menggelegar hingga mengundang rasa penasaran Karin, ibu tiri Mireya dan juga Felly, adik perempuannya. Selain Felly, sebenarnya Mireya juga mempunyai kakak laki-laki bernama Felix. Namun, Felix sudah berkeluarga dan memutuskan tinggal di rumah pribadinya bersama istri dan anaknya. Felly dan Felix sebetulnya masih satu ayah dengan Mireya, hanya saja mereka beda ibu. “Suamiku, kenapa kamu marah-marah?” Karin mendekat dan bertanya apa yang terjadi. Setelah dijelaskan oleh Henry, dia pun menjadi sangat marah. “Apa yang kamu lakukan bersama Alvin di luar sana, Mireya? Katakan, apa kalian tidur bersama?!” tuduh Karin. “Itu tidak benar!” Mireya menggeleng cepat, tidak terima jika Alvin ikut terseret ke dalam masalahnya. Adegan menjijikkan itu masih terus berkeliaran di kepala Mireya. Dia melihat wajah orang yang menguasainya semalam dan itu memang bukanlah Alvin, melainkan sosok asing yang entah siapa. “Agar tidak salah paham, berikan saja ponselmu dan aku akan memeriksa riwayat lokasi yang kamu kunjungi,” saran Felly. Dia tersenyum pada Mireya, tapi sorot matanya seperti menunjukkan maksud lain. Mireya semakin terjebak dalam situasi rumit. Posisinya menjadi serba salah sekarang. Jika riwayat kunjungan di hotel terdeteksi, semua orang pasti akan menghakiminya dan tidak mungkin percaya sekalipun dia berusaha menjelaskan yang sebenarnya. Felly mengulurkan tangan, tapi Mireya malah bergerak mundur. “Ini privasi,” katanya. Felly berdecih remeh, sementara Karin dan Henry memandang Mireya penuh curiga. “Kak, aku hanya ingin membantumu menyelesaikan masalah lebih cepat. Aku percaya kamu perempuan baik-baik. Jadi, apa yang harus ditakuti?” sindir Felly. Mireya bersikeras mempertahankan miliknya, tetapi Felly yang tidak sabar segera merampas tas wanita itu dan menggeledah isinya. Tidak butuh waktu lama bagi Felly menemukan apa yang dia cari. “Astaga, Kakak ...?” Felly terbelalak kaget dengan mulut sedikit terbuka, seakan tidak percaya dengan apa yang dia temukan. “Ada apa?” tanya Henry penasaran. “Ayah, Ibu, coba lihat!” Felly memilih bungkam saat menghadapkan ponsel ke arah kedua orangtuanya. “Hotel?!” Wajah Henry berubah merah bersamaan dengan kepalan tangan yang semakin kuat. Dia menatap Mireya garang seraya berkata, “Berani sekali kamu ke hotel bersama laki-laki dan membohongiku!” Mireya meraih telapak tangan ayahnya, tetapi segera ditepis oleh pria itu. “Aku bisa menjelaskan semuanya, Ayah.” “Sudah ketahuan masih mau menyangkal. Jujur saja, dengan siapa kamu check in?” desak Karin, sedangkan Felly tersenyum puas menyaksikannya. “Check in?” Mireya kehilangan kata-kata untuk menjelaskan. Bahkan dia sendiri tidak tahu siapa yang membawanya masuk ke kamar hotel, hingga berakhir menjalin hubungan di atas ranjang dengan orang tak dikenal. “Ya, kamu tidak mungkin sendirian, ‘kan?” Karin menggandeng lengan Henry sambil mengatakan, “Sayang, apa yang harus kita lakukan sekarang? Jika dia hamil, semua orang pasti akan menganggap kita adalah orangtua yang tidak bisa mendidik anak.” Henry menghela napas gusar. Masih memikirkan matang-matang mengenai keputusan yang harus diambil. Melihat Henry sedikit bimbang, Karin berpura-pura menangis karena takut pria itu berubah pikiran. Dia menatap Mireya dan kembali buka suara, “Padahal aku sudah berbaik hati merawat kamu meskipun kamu bukan anak kandungku, tapi kenapa dibalas seperti ini? Aku hanya minta kamu menjadi anak yang baik dan penurut, bukan malah pergi ke hotel bersama laki-laki. Apakah permintaanku terlalu sulit?” Henry mengusap punggung Karin pelan-pelan, bermaksud menenangkan. “Sayang, maafkan aku karena tidak bisa menjadi ibu yang baik. Aku gagal mendidik Mireya,” ujar Karin terisak-isak. Kalimatnya seolah menunjukkan sesal, tapi isi hatinya berbanding terbalik dengan kenyataan. Sejak awal, Karin dan kedua anaknya memang tidak pernah menyukai Mireya. Sebab, Amanda, ibu kandung Mireya telah melukiskan luka yang amat dalam dengan menjadi selingkuhan lelaki yang mereka cintai. Henry diketahui menikahi Amanda diam-diam setelah wanita itu hamil di usia kandungan tiga bulan. Dikarenakan Amanda meninggal dunia akibat mengalami perdarahan hebat pasca melahirkan, Henry memutuskan membawa Mireya ke rumah Karin, istri pertamanya. Henry menjelaskan kejadian sebenarnya sekaligus membujuk Karin supaya mau menerima kehadiran Mireya sebagai anak dari kekasih gelapnya yang telah tiada. Jadi, bagi Karin dan kedua anaknya, kehadiran Mireya seperti halnya taburan garam di atas luka basah yang menganga lebar. Hanya mengundang perih dan rasanya terlalu menyakitkan. “Kamu sudah menjadi ibu yang sangat baik, Sayang. Tidak perlu merasa bersalah, karena ini bukan salahmu.” Henry mencoba menenangkan Karin. “Ayah, tolong izinkan aku menjelaskan semua.” Mireya mengusap air mata yang terus mengalir dengan punggung tangannya. “Jujur, aku memang ada di hotel itu, tapi aku tidak tahu kenapa bisa terjebak di sana. Aku hanya ingat ketika berada di mobil bersama Alvin, kepalaku sangat pusing dan tiba-tiba pingsan, lalu ... lalu—” “Jangan jelaskan apa pun! Aku tidak butuh itu,” potong Henry tanpa menatap wajah Mireya, seolah merasa jijik. “Ayah ...?” Sudut mata Mireya kembali berembun. Rasanya memang menyakitkan saat Karin dan Felly mendesaknya tentang hal yang tidak dia lakukan, tetapi saat ayah kandungnya sendiri tidak percaya, rasanya berkali-kali lipat lebih menyakitkan dari apa pun! “Jika suatu saat kamu hamil, kemasi barang-barangmu dan angkat kaki dari rumah ini!” ancam Henry tidak main-main. *** Keesokan paginya, Mireya terbangun dengan mata sembab dan sekujur tubuh yang begitu remuk. Akan tetapi, dia tetap memaksakan diri datang ke perusahaan. Selain karena tuntutan kerja, dia juga ingin mengklarifikasi kepada Alvin terkait kejadian semalam. Berharap pria itu tidak salah paham dan mau memaafkannya. “Alvin!” Mireya menghampiri pria yang berdiri di samping meja kerja bersama rekan wanita di sisinya, Shela. Melihat kedatangan Mireya, raut wajah Alvin berubah malas. Dia melengos sambil mendengkus gusar. “A–ada yang ingin aku bicarakan padamu.” Mireya terdengar gugup. Dia merasa bersalah karena gagal menjaga kehormatan untuk lelaki yang dia harap kelak akan menjadi suaminya. Alih-alih merespons, Alvin malah melirik Shela yang sejak tadi bersamanya. “Nanti siang kita lanjut mengobrol lagi, ya. Oke, Sayang?” ujarnya sambil berkedip genit. Shela mengangguk santai tanpa peduli keberadaan Mireya. “Oke!” “Sayang?” Mireya mengernyit kikuk, memandang kedua manusia itu silih berganti. “Kalian ... berpacaran?” Bersambung ….“Aku sedang sibuk. Tidak ada waktu mengobrol denganmu.” Alvin mengabaikan pertanyaan Mireya dan mengambil langkah mundur. “Tunggu!” Mireya mencengkeram lengan pria itu, menahan kepergiannya. “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” ujarnya. Alvin mendengkus kesal. “Apa kamu tidak dengar? Aku sedang sibuk!” Tanpa terasa air bening berlinang dari pelupuk mata Mireya, membasahi pipinya. Hanya dengan melihat reaksi Alvin, Mireya dapat menemukan sendiri jawabannya. “Kalian benar-benar berpacaran, ya?” tanya Mireya sekali lagi. Dia masih tidak percaya jika Alvin memang benar menjalin hubungan dengan wanita lain. Hening. Baik Alvin maupun Shela sama-sama memilih bungkam. “Kenapa, Al? Apa kamu marah karena semalam aku tiba-tiba menghilang tanpa kabar?” Mireya mulai menebak-nebak. “Al, tolong dengarkan dulu penjelasanku, aku tidak—” Alvin menyela, “Sudahlah, Reya! Aku tidak ingin mendengar apa pun darimu. Mulai sekarang jangan hubungi aku lagi!” Mireya menggeleng cepat. “Kita masih b
Saat melihat wajah Mervyn, Mireya yakin seratus persen bahwa itu adalah laki-laki asing yang telah merenggut kesuciannya di sebuah hotel. Mervyn melangkah percaya diri diikuti beberapa pengawal di belakangnya. Mireya terpaku dan jantungnya berdebar kencang saat Mervyn tak sengaja meliriknya. Tatapan Mervyn begitu tajam dan menyimpan banyak rahasia, sehingga Mireya tak mampu menemukan makna di balik sorot matanya yang penuh misteri. Adegan saling pandang itu terjadi tidak lebih dari tiga detik. Mervyn mengalihkan tatapan ke depan dan mengabaikan Mireya seperti bukan sesuatu yang berarti. “Sepertinya dia tidak mengingatku.” Mireya bergumam pelan yang hanya dapat didengar oleh diri sendiri. Dia berpikir, mungkin akan jauh lebih baik jika Mervyn tidak mengenalinya. Bisa jadi Mervyn sudah memiliki pacar atau bahkan seorang istri. Mireya tentu akan terlibat masalah besar jika pasangan Mervyn tahu kalau pria itu pernah tidur dengannya. Di sisi lain, bercinta dengan orang asing ba
Mireya memegang gagang pintu dengan tangan gemetar. Sekujur tubuhnya seakan membeku saat mendengar pertanyaan Mervyn. “Saya belum bertemu lagi dengan Alvin, Pak,” ucap Rayyan, “Jadi, belum ada informasi apa pun yang saya dapatkan tentang wanita itu.” Alvin? Mireya bertanya-tanya, apakah Alvin yang sedang dibicarakan adalah mantan pacarnya? Jika iya, dia sungguh kehilangan kata-kata untuk mengekspresikan kemarahannya. Alvin terlalu jahat dan licik. Bahkan gelar ‘iblis’ pun masih terlalu halus jika disematkan pada pria itu. “Sudah kamu coba hubungi nomor teleponnya?” Suara Mervyn begitu dingin, tapi juga tegas. Rayyan mengangguk, “Sudah, Pak, tapi nomor teleponnya tidak aktif.” Mervyn menghela napas. “Cari tahu secepatnya.” “Baik, Pak!” Rayyan tidak punya pilihan untuk menolak, sehingga yang dia lakukan hanyalah mengangguk. Dalam keheningan, mata elang Mervyn tak sengaja melirik Mireya yang sejak tadi masih bergeming di dekat pintu. Apa wanita itu sedang menguping pemb
Mireya dan Bella menoleh ke sumber suara—yang mana seorang wanita tampak melangkah semakin dekat ke arah mereka. “Mama!” Ternyata itu adalah Irene, ibunya Bella yang baru saja pulang dari urusan bisnis di luar kota. Bella menyambut kedatangan ibunya dengan pelukan hangat. “Wah, ada siapa di sini?” Irene menatap Mireya dengan sorot mata yang memancarkan kehangatan. Mereka sudah saling kenal, tentu saja. Apalagi Mireya adalah sahabat terbaik Bella. Walaupun tidak sering, tetapi Mireya pernah beberapa kali bertemu Irene saat ada kesempatan main ke sini. Mireya mencium punggung tangan Irene dengan sopan, lalu basa-basi menanyakan kabar satu sama lain. Namun, saat hidungnya menyentuh kulit tangan Irene, Mireya mencium aroma wewangian yang membuat dirinya pusing dan mual. “Maaf, aku harus ke belakang.” Mireya pamit ke wastafel untuk menyudahi dorongan kuat dari dalam lambungnya. Pada akhirnya, Mireya hanya muntah angin karena tidak ada sisa makanan yang keluar dari mulutnya
Mireya baru saja membeli sebungkus roti dan air mineral di minimarket. Usia kehamilan pada trimester pertama membuatnya lebih sering merasa lapar. Di sisi lain, dia juga harus memikirkan bagaimana agar sisa uangnya bisa mencukupi hingga setidaknya satu bulan ke depan. Mau tak mau, dia harus hidup hemat dan memangkas segala pengeluaran yang tidak perlu. “Terima kasih,” ucapnya kepada kasir usai melakukan pembayaran. Saat ingin meninggalkan minimarket, tiba-tiba hujan turun dengan lumayan deras. Terpaksa Mireya harus berteduh karena tidak membawa mantel ataupun payung. Mireya duduk di atas kursi yang tersedia di teras minimarket. Dia membuka bungkus roti dan mulai memakannya sebagian, sementara setengah sisanya akan dia simpan untuk dimakan saat nanti lapar lagi. Detik selanjutnya, seorang wanita tua baru saja keluar dari minimarket dan ikut berteduh di sebelah Mireya. Di samping wanita itu, ada sosok pemuda bertubuh tinggi kurus yang terlihat mencurigakan. Akan tetapi, wa
Suara itu menyadarkan Mireya dari lamunan. Di sampingnya sudah ada Sania sedang berdiri dengan tangan menyentuh lembut bahunya. Sontak Mireya tersenyum seolah tidak ada masalah apa pun. “Aku baik-baik saja, Nek,” dustanya. Meski senyuman itu terlukis di bibirnya, tetapi Sania melihat titik kegetiran yang berpendar di balik tatapan nanar wanita malang itu. Sania berpikir bahwa Mireya mungkin tidak nyaman jika orang lain mencampuri urusannya terlalu dalam—apalagi mereka tidak saling mengenal sebelumnya. Jadi, dia memutuskan untuk tidak bertanya lebih banyak. “Masalah yang dihadapi setiap orang memang berbeda-beda, tapi apa pun itu, jangan pernah berhenti berjuang!” ujar Sania dengan tulus. “Kamu boleh istirahat sejenak saat lelah, tapi jangan sampai menyerah. Kamu tahu apa? Gadis Kecil, dunia sangat kekurangan orang-orang sebaik kamu,” pungkasnya. Kalimat itu terdengar seperti sumber kekuatan yang merangkak masuk ke telinga, lalu merayap dan mengendap di dalam tubuh Mireya. M
Mervyn memandangi wajah Mireya lekat-lekat. Merasa tidak asing, dia mengernyit ketika menyadari bahwa Mireya merupakan orang yang telah mengikuti seleksi di perusahaannya. Tatap mata mereka saling bertemu selama beberapa detik. Entah kenapa dada Mervyn berdesir cepat, seakan ada energi kuat di balik mata cantik Mireya yang tak dapat dijabarkan. Sampai akhirnya, wanita itu mulai hilang kesadaran dan menghentikan momen canggung di antara mereka berdua. Refleks, Mervyn segera menangkap tubuh Mireya yang hampir terjatuh, hingga wanita itu berakhir pingsan dalam pelukan hangatnya. “Apa lagi yang kamu tunggu? Gadis itu butuh pertolongan. Cepat bawa dia ke rumah sakit!” perintah Sania, menyadarkan cucunya yang sejak tadi terus memandangi wajah Mireya tanpa henti, seperti sedang terhipnotis. Setelah itu, Mervyn segera membawa Mireya masuk ke mobil dengan cara menggendongnya ala bridal. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, hujan mulai reda, tetapi Mervyn masih menyalakan wiper untuk
Mireya tertegun mendengar pertanyaan Sania. Setelah terdiam beberapa detik, wanita itu menjawab, “Dia sedang pergi ke luar kota.” Terpaksa Mireya berbohong. Sebab, tidak mungkin juga dia mengatakan bahwa kehamilannya ini adalah hasil hubungan di luar nikah dan pelakunya ada di depan mata mereka, nanti yang ada malah menambah masalah. “Lalu kamu mau mencari rumah kost sendirian?” tanya Sania lagi. “Iya, Nek.” Melihat kondisi Mireya yang sepertinya belum cukup pulih, Sania khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk pada Mireya di luar sana. Dia pun menyarankan, “Bagaimana kalau kamu istirahat dulu di rumahku? Setelah membaik, barulah kamu bisa lanjut mencari rumah kost.” Mervyn membulatkan mata. Sungguh tidak habis pikir atas kebaikan sang nenek yang menurutnya terlalu berlebihan. “Ah, tidak perlu, Nek. Lagipula aku sudah lebih baik sekarang.” Mireya menggeleng cepat, merasa sungkan atas tawaran yang Sania berikan. “Kamu yakin tidak apa-apa?” tanya Sania memastikan. “Yakin, N
Mireya terdiam sesaat, merasa pipinya memanas ketika Mervyn menatapnya dengan penuh perhatian, sambil mengajukan satu kalimat tanya yang cukup mengejutkan.Cemburu, katanya?Mervyn tampak tenang saat mengatakan itu, tapi bagi Mireya, pertanyaan itu berhasil menyentuh ruang tersembunyi dalam hatinya.“Bukan begitu,” jawab Mireya buru-buru, berusaha menenangkan diri. “Aku hanya khawatir dia salah paham.” Meskipun nadanya terkesan biasa, tetapi jauh di lubuk hatinya, ada keraguan yang sulit diungkapkan.“Aku pikir, kamu sepertinya sudah punya hubungan khusus dengan dia,” lanjut wanita itu dengan suara serak yang mencerminkan kebingungan.Mervyn mengernyit, lalu mencoba menjelaskan, “Mireya, jangan berpikir terlalu jauh. Itu tidak seperti yang kamu pikirkan.”Ucapan Mervyn masih belum cukup untuk menenangkan hati Mireya yang mulai terombang-ambing.Bagaimana kalau Mervyn sedang berbohong dan sebenarnya memang sudah memiliki pasangan?Mungkin wanita itu adalah bagian dari hidup Mervyn yang
Mervyn terbungkam beberapa detik ketika Mireya menawarkannya kopi. Itu mungkin hanya tawaran biasa dan tak berarti apa-apa bagi orang lain, tetapi ... entah kenapa, sesuatu di balik rongga dada Mervyn seketika menjadi hangat saat mendengarnya.Ada getaran samar yang menggelitik perut seperti kupu-kupu, lalu perlahan naik dan menjalar hingga ke ulu hati.Padahal, sebagai nyonya rumah, wajar jika Mireya menawarkan kopi, ‘kan?Mencoba bersikap tenang, kali ini Mervyn memandang Mireya seraya mengangguk kecil. “Boleh,” ujarnya.Mireya berjalan menuju pantry, mengambil panci kecil, disi dengan sedikit air dan merebusnya di atas kompor yang telah dinyalakan.Sambil menunggu air matang, Mireya menyibukkan diri dengan menyiapkan bubuk kopi, gula dan cangkir.“Kamu suka kopi yang manis atau dengan sedikit gula?” tanya Mireya.“Sedikit gula, tapi dicampur dengan satu sendok krimer,” kata Mervyn.Mireya mengangguk paham. Setelah mencampurkan semua bahan ke dalam cangkir sesuai permintaan Mervyn,
“Maaf ...” ucap Mervyn seraya mengalihkan tatapan dari tubuh indah Mireya yang berlekuk sempurna.“Aku sudah tidak melihatnya lagi,” sambung pria itu dengan nada gugup yang berusaha dia sembunyikan.Usai memastikan kalau Mervyn benar-benar sudah menjaga pandangan, tanpa banyak basa-basi, Mireya pun bergegas meninggalkan lokasi menuju ke kamar pribadinya.“Kenapa dia bisa ada di sana? Seharusnya dia tidak boleh masuk ke rumah orang sembarangan!” gumam Mireya sambil mengetuk-ngetuk keningnya sendiri.Dia merasa sangat malu, bodoh sekaligus marah sekarang.“Walaupun dia adalah ayah dari kedua anakku, tapi bukan berarti dia bisa bertindak semaunya di sini. Apa dia pikir rumah ini adalah miliknya?!”Mireya mengunci diri di dalam kamar dan bersandar di belakang pintu. Satu tangannya menyentuh dada, merasakan debar kencang yang tidak terkendali dari dasar jantungnya.Di sisi lain, Mervyn merasa tenggorokannya semakin kering setelah dia tak sengaja melihat Mireya dengan penampilan yang menuru
Sarah tercengang mendengar informasi yang diberikan oleh Lisa. “Maksud kamu apa? Bagaimana bisa Mervyn memiliki anak dengan wanita yang ... bahkan, Tante saja baru tahu kalau mereka pernah saling terikat di masa lalu,” ujarnya. “Kalau kamu tidak bercerita, sampai sekarang mungkin Tante tidak akan pernah tahu siapa itu Mireya.”Lisa menepis sejenak air mata yang bergumul di pelupuk mata. Tangannya mengeluarkan amplop putih dari dalam tas dan menunjukkannya pada Sarah. “Tante bisa lihat sendiri buktinya,” ucapnya dengan suara bergetar. “Pada awalnya, aku juga tidak menyangka, tetapi begitulah kenyataannya.”Sarah mengambil amplop tersebut dengan tangan gemetar. Dia langsung membukanya bersama emosi yang bercampur aduk di rongga dada.Wanita itu mengeluarkan isi di dalam amplop yang menampilkan foto ketika Mervyn sedang berada di rumah sakit bersama kedua anak kembarnya.Mervyn berjalan di lorong sambil menggendong Marcell yang tertidur di bahunya, sementara Michelle berjalan bergandenga
Kehadiran Lisa dan Sarah di dalam ruang tamu apartemennya, membuat Mervyn cukup terkejut dan bingung.Kenapa mereka tiba-tiba ada di ruang tamu apartemennya tanpa memberi kabar terlebih dahulu?“Ada beberapa hal yang ingin Ibu tanyakan padamu, Mervyn,” ucap Sarah seraya mengelus punggung Lisa—seolah sedang berusaha menenangkannya.Saat dia menatap Lisa dan memperhatikannya lebih serius, Mervyn baru menyadari kalau gadis itu terlihat seperti sedang menangis.Mervyn kembali melirik ke arah ibunya, lalu bertanya dengan suara dingin, “Apa?”“Ibu sudah mendengar semua cerita dari Lisa, tentang wanita yang tidak sengaja bertemu dengan kamu di mall,” ujar Sarah, terlihat menahan amarah. “Sekarang katakan dengan jujur, siapa wanita itu?!” desaknya, tidak ingin mendengar penyangkalan apa pun.Mervyn hanya sedikit mengerutkan kening saat mendengar itu. Namun, tak ada sedikit pun ekspresi takut di wajahnya. Dia hanya memandang Sarah dan Lisa dengan wajah dingin.“Apa urusannya dengan kalian kala
Julian berdiri di depan pintu, matanya terfokus pada Mireya yang baru saja membukakan pintu.Senyum tipis di wajah Julian langsung memudar saat dia melihat pria yang berdiri di samping Mireya.“Mervyn ...?”Julian mengerutkan dahi. Tiba-tiba, kenangan beberapa waktu lalu langsung berputar memenuhi kepala.Saat itu, di sudut lorong perusahaan, setelah menjalani rapat bisnis dengan perusahaan Mervyn, Julian tak sengaja melihat Mervyn berusaha membangun interaksi yang cukup serius dengan Mireya—seolah ada sesuatu yang lebih dari sebatas profesional kerja.Ada ketegangan di antara mereka, yang sempat membuat Julian curiga bahwa sebenarnya Mervyn adalah ayah kandung dari Marcell dan Michelle. Akan tetapi, saat itu Mireya sama sekali tidak menjawab keraguannya.Kini, dengan berdirinya Mervyn di sini, Julian semakin yakin dengan kecurigaan yang dia pendam.Di sisi lain, Mervyn juga merasakan sesuatu yang tidak bisa dia jelaskan.Masih segar dalam ingatan Mervyn, ketika Rayyan menginformasika
Pertanyaan itu membuat Mervyn terkejut. Dia mengernyitkan dahi, merasakan kekakuan yang mencekam.Meskipun secara biologis Mervyn memang ayah kandung Marcell dan Michelle, tetapi hubungan antara dia dan Mireya tidak cukup kuat untuk menjustifikasi hal seperti itu.Tidak ada status pernikahan antara Mervyn dan Mireya. Jadi, jika mereka berada dalam satu rumah meskipun hanya semalam saja, itu pasti akan menimbulkan tanda tanya besar bagi warga sekitar.Mervyn tidak ingin hal seperti itu terjadi dan mengganggu kenyamanan yang selama ini telah Mireya bangun bertahun-tahun di rumahnya.Mervyn merasa sedikit canggung, tidak tahu bagaimana seharusnya menjawab pertanyaan yang sekilas tampak sederhana bagi anak-anak, tetapi sebenarnya penuh dengan lapisan perasaan dan situasi yang rumit.“Uhm ... anak-anak?” Mervyn bicara dengan suara lembut dan berpikir, “Meskipun Papi adalah ayah kandung kalian, tapi ... Papi dan Mami tidak memiliki hubungan yang sah. Jadi, ada batasan antara Papi dan Mami y
“Baiklah, aku duluan.” Karena tidak ingin berdebat terlalu lama, Marcell akhirnya mengalah dan mulai angkat suara untuk menjawab pertanyaan Mervyn. “Paman, sebenarnya kamu baru saja mengajukan pertanyaan retoris. Dari pertanyaan Paman, jawabannya tentu saja; pernah.”Marcell lalu menambahkan, “Memangnya siapa anak yang tidak merasa sedih jika hidup tanpa figur seorang ayah? Tapi, beruntungnya, aku dan Michelle mempunyai ibu yang luar biasa hebat dan kuat seperti Mami, sehingga dengan ada ataupun tanpa adanya sosok ayah, itu bukan lagi menjadi masalah bagi kami.”Mervyn hanya diam sambil mendengarkan dengan serius.“Paman lihat sendiri, ‘kan? Kami tumbuh besar, sehat dan kuat. Kami juga selalu bahagia bersama Mami,” pungkas Marcell, seolah menegaskan bahwa kehilangan seorang ayah sejak masih di dalam kandungan, bukanlah hal yang perlu disesali dalam hidup.Mervyn mengangguk paham. “Itu bagus!” ucapnya seraya tersenyum getir, membayangkan sebesar apa perjuangan Mireya hingga mampu mendi
Mireya terbelalak mendengar permintaan Mervyn terkait keputusan untuk membeberkan semuanya kepada Marcell dan Michelle. “T–tapi ... apa menurutmu itu tidak akan membuat mereka marah? Bagaimana kalau aku dibenci karena menutupi fakta kalau kamu adalah ayahnya?”Mervyn menjawab dengan tenang, “Mereka tidak akan membenci kamu, Mireya. Aku lihat, mereka tumbuh menjadi anak-anak yang baik dan pengertian. Tapi kalaupun mereka marah atau benci padamu, bukankah itu hal yang wajar? Mereka memang belum cukup mampu mengendalikan emosi, tapi percayalah, perlahan waktu pasti akan mendewasakan pikiran anak-anak kita.”Pipi Mireya sedikit memerah saat mendengar tiga kata terakhir yang terucap dari bibir Mervyn.‘Anak-anak kita’?Entah kenapa, meskipun kenyataannya memang benar, tetapi Mireya merasa bahwa ucapan itu sedikit berlebihan. Bukankah itu terkesan seolah mereka adalah keluarga?“Mireya ...?” panggil Mervyn sembari menelengkan kepala, mencoba menatap wajah Mireya lebih detail. “Kenapa diam s