“Kamu ... siapa?”
Kelopak mata Mireya mengerjap lambat seirama dengan rasa sakit di kepala yang luar biasa. Sekujur tubuhnya begitu remuk bagaikan tergilas mobil bermuatan besar. Dalam kondisi setengah sadar, Mireya dikejutkan oleh keberadaan seseorang di atas tubuhnya. Dia ingin menolak kecupan lembut yang berjejak di leher dan bibir, tapi segalanya terjadi begitu cepat, hingga dia kehilangan peluang untuk mengumpulkan tenaga dan melawan. Mireya terjebak di antara kedua lengan kekar yang berotot. Tak ada yang bisa dia lakukan saat pria asing itu mulai menarik gaunnya dengan kasar dan meninggalkan robekan di beberapa bagian. Pria itu beraksi tanpa suara. Meski begitu, Mireya bisa mencium aroma alkohol yang cukup menyengat, menyatu dengan wangi parfum mahal yang menguar dari tubuhnya. Di bawah cahaya remang lampu hias, Mireya melihat dengan jelas sepasang mata elang yang menatapnya liar dan penuh hasrat. Saat menjelang pagi, wanita itu masih meringkuk di atas kasur dengan selimut tebal yang menutupi tubuh polosnya. Dia terjerembap ke dalam perasaan hina, jijik, malu dan kotor. Sementara itu, sosok di sampingnya tampak terlelap usai puas melakukan pelepasan beberapa kali. Sempat tebersit pikiran untuk mengambil bantal dan menyekap wajah pria itu hingga kehabisan napas. Namun, Mireya sadar ide gila itu tak akan mengubah apa pun, selain hanya menimbulkan masalah yang lebih besar lagi nantinya. Mireya bergerak pelan-pelan turun dari kasur, tetapi rasa sakit yang luar biasa membuatnya meringis dan menangis lebih banyak lagi. Tubuhnya seperti dibanting dan digilas berulang kali hingga rasanya hampir mau mati. Gaun yang berserakan di lantai dia raih dengan tangan gemetar. Terdapat robekan di beberapa bagian yang menjadi saksi bisu atas kehancuran hidupnya. Mireya membawa pulang bongkahan luka yang memenuhi rongga dada, menyisakan pria asing itu sendirian di kamar hotel. *** Setibanya di rumah, Mireya disambut oleh Henry, ayah kandungnya yang membukakan pintu setelah dia menekan bel berkali-kali. “Sudah hampir pagi, kenapa baru pulang? Dari mana saja kamu, Mireya?!” tanya Henry dengan raut marah yang tidak terbantahkan di wajahnya. Mireya memilin jari-jari dengan gelisah. Otaknya bersikeras mencari alasan yang masuk akal. “Aku ... tadi pergi menonton film dengan Alvin, Yah.” Ucapan Mireya tidak sepenuhnya salah. Seingatnya, beberapa jam lalu dia memang pergi bersama kekasihnya untuk menonton film di bioskop. Namun, saat di perjalanan, kepalanya sangat pusing dan tahu-tahu dia sudah berada di kamar hotel usai sadarkan diri. “Kamu lihat, sudah jam berapa sekarang? Bioskop mana yang kamu datangi sampai hampir tidak pulang semalaman?!” Suara Henry begitu menggelegar hingga mengundang rasa penasaran Karin, ibu tiri Mireya dan juga Felly, adik perempuannya. Selain Felly, sebenarnya Mireya juga mempunyai kakak laki-laki bernama Felix. Namun, Felix sudah berkeluarga dan memutuskan tinggal di rumah pribadinya bersama istri dan anaknya. Felly dan Felix sebetulnya masih satu ayah dengan Mireya, hanya saja mereka beda ibu. “Suamiku, kenapa kamu marah-marah?” Karin mendekat dan bertanya apa yang terjadi. Setelah dijelaskan oleh Henry, dia pun menjadi sangat marah. “Apa yang kamu lakukan bersama Alvin di luar sana, Mireya? Katakan, apa kalian tidur bersama?!” tuduh Karin. “Itu tidak benar!” Mireya menggeleng cepat, tidak terima jika Alvin ikut terseret ke dalam masalahnya. Adegan menjijikkan itu masih terus berkeliaran di kepala Mireya. Dia melihat wajah orang yang menguasainya semalam dan itu memang bukanlah Alvin, melainkan sosok asing yang entah siapa. “Agar tidak salah paham, berikan saja ponselmu dan aku akan memeriksa riwayat lokasi yang kamu kunjungi,” saran Felly. Dia tersenyum pada Mireya, tapi sorot matanya seperti menunjukkan maksud lain. Mireya semakin terjebak dalam situasi rumit. Posisinya menjadi serba salah sekarang. Jika riwayat kunjungan di hotel terdeteksi, semua orang pasti akan menghakiminya dan tidak mungkin percaya sekalipun dia berusaha menjelaskan yang sebenarnya. Felly mengulurkan tangan, tapi Mireya malah bergerak mundur. “Ini privasi,” katanya. Felly berdecih remeh, sementara Karin dan Henry memandang Mireya penuh curiga. “Kak, aku hanya ingin membantumu menyelesaikan masalah lebih cepat. Aku percaya kamu perempuan baik-baik. Jadi, apa yang harus ditakuti?” sindir Felly. Mireya bersikeras mempertahankan miliknya, tetapi Felly yang tidak sabar segera merampas tas wanita itu dan menggeledah isinya. Tidak butuh waktu lama bagi Felly menemukan apa yang dia cari. “Astaga, Kakak ...?” Felly terbelalak kaget dengan mulut sedikit terbuka, seakan tidak percaya dengan apa yang dia temukan. “Ada apa?” tanya Henry penasaran. “Ayah, Ibu, coba lihat!” Felly memilih bungkam saat menghadapkan ponsel ke arah kedua orangtuanya. “Hotel?!” Wajah Henry berubah merah bersamaan dengan kepalan tangan yang semakin kuat. Dia menatap Mireya garang seraya berkata, “Berani sekali kamu ke hotel bersama laki-laki dan membohongiku!” Mireya meraih telapak tangan ayahnya, tetapi segera ditepis oleh pria itu. “Aku bisa menjelaskan semuanya, Ayah.” “Sudah ketahuan masih mau menyangkal. Jujur saja, dengan siapa kamu check in?” desak Karin, sedangkan Felly tersenyum puas menyaksikannya. “Check in?” Mireya kehilangan kata-kata untuk menjelaskan. Bahkan dia sendiri tidak tahu siapa yang membawanya masuk ke kamar hotel, hingga berakhir menjalin hubungan di atas ranjang dengan orang tak dikenal. “Ya, kamu tidak mungkin sendirian, ‘kan?” Karin menggandeng lengan Henry sambil mengatakan, “Sayang, apa yang harus kita lakukan sekarang? Jika dia hamil, semua orang pasti akan menganggap kita adalah orangtua yang tidak bisa mendidik anak.” Henry menghela napas gusar. Masih memikirkan matang-matang mengenai keputusan yang harus diambil. Melihat Henry sedikit bimbang, Karin berpura-pura menangis karena takut pria itu berubah pikiran. Dia menatap Mireya dan kembali buka suara, “Padahal aku sudah berbaik hati merawat kamu meskipun kamu bukan anak kandungku, tapi kenapa dibalas seperti ini? Aku hanya minta kamu menjadi anak yang baik dan penurut, bukan malah pergi ke hotel bersama laki-laki. Apakah permintaanku terlalu sulit?” Henry mengusap punggung Karin pelan-pelan, bermaksud menenangkan. “Sayang, maafkan aku karena tidak bisa menjadi ibu yang baik. Aku gagal mendidik Mireya,” ujar Karin terisak-isak. Kalimatnya seolah menunjukkan sesal, tapi isi hatinya berbanding terbalik dengan kenyataan. Sejak awal, Karin dan kedua anaknya memang tidak pernah menyukai Mireya. Sebab, Amanda, ibu kandung Mireya telah melukiskan luka yang amat dalam dengan menjadi selingkuhan lelaki yang mereka cintai. Henry diketahui menikahi Amanda diam-diam setelah wanita itu hamil di usia kandungan tiga bulan. Dikarenakan Amanda meninggal dunia akibat mengalami perdarahan hebat pasca melahirkan, Henry memutuskan membawa Mireya ke rumah Karin, istri pertamanya. Henry menjelaskan kejadian sebenarnya sekaligus membujuk Karin supaya mau menerima kehadiran Mireya sebagai anak dari kekasih gelapnya yang telah tiada. Jadi, bagi Karin dan kedua anaknya, kehadiran Mireya seperti halnya taburan garam di atas luka basah yang menganga lebar. Hanya mengundang perih dan rasanya terlalu menyakitkan. “Kamu sudah menjadi ibu yang sangat baik, Sayang. Tidak perlu merasa bersalah, karena ini bukan salahmu.” Henry mencoba menenangkan Karin. “Ayah, tolong izinkan aku menjelaskan semua.” Mireya mengusap air mata yang terus mengalir dengan punggung tangannya. “Jujur, aku memang ada di hotel itu, tapi aku tidak tahu kenapa bisa terjebak di sana. Aku hanya ingat ketika berada di mobil bersama Alvin, kepalaku sangat pusing dan tiba-tiba pingsan, lalu ... lalu—” “Jangan jelaskan apa pun! Aku tidak butuh itu,” potong Henry tanpa menatap wajah Mireya, seolah merasa jijik. “Ayah ...?” Sudut mata Mireya kembali berembun. Rasanya memang menyakitkan saat Karin dan Felly mendesaknya tentang hal yang tidak dia lakukan, tetapi saat ayah kandungnya sendiri tidak percaya, rasanya berkali-kali lipat lebih menyakitkan dari apa pun! “Jika suatu saat kamu hamil, kemasi barang-barangmu dan angkat kaki dari rumah ini!” ancam Henry tidak main-main. *** Keesokan paginya, Mireya terbangun dengan mata sembab dan sekujur tubuh yang begitu remuk. Akan tetapi, dia tetap memaksakan diri datang ke perusahaan. Selain karena tuntutan kerja, dia juga ingin mengklarifikasi kepada Alvin terkait kejadian semalam. Berharap pria itu tidak salah paham dan mau memaafkannya. “Alvin!” Mireya menghampiri pria yang berdiri di samping meja kerja bersama rekan wanita di sisinya, Shela. Melihat kedatangan Mireya, raut wajah Alvin berubah malas. Dia melengos sambil mendengkus gusar. “A–ada yang ingin aku bicarakan padamu.” Mireya terdengar gugup. Dia merasa bersalah karena gagal menjaga kehormatan untuk lelaki yang dia harap kelak akan menjadi suaminya. Alih-alih merespons, Alvin malah melirik Shela yang sejak tadi bersamanya. “Nanti siang kita lanjut mengobrol lagi, ya. Oke, Sayang?” ujarnya sambil berkedip genit. Shela mengangguk santai tanpa peduli keberadaan Mireya. “Oke!” “Sayang?” Mireya mengernyit kikuk, memandang kedua manusia itu silih berganti. “Kalian ... berpacaran?” Bersambung ….“Aku sedang sibuk. Tidak ada waktu mengobrol denganmu.” Alvin mengabaikan pertanyaan Mireya dan mengambil langkah mundur. “Tunggu!” Mireya mencengkeram lengan pria itu, menahan kepergiannya. “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” ujarnya. Alvin mendengkus kesal. “Apa kamu tidak dengar? Aku sedang sibuk!” Tanpa terasa air bening berlinang dari pelupuk mata Mireya, membasahi pipinya. Hanya dengan melihat reaksi Alvin, Mireya dapat menemukan sendiri jawabannya. “Kalian benar-benar berpacaran, ya?” tanya Mireya sekali lagi. Dia masih tidak percaya jika Alvin memang benar menjalin hubungan dengan wanita lain. Hening. Baik Alvin maupun Shela sama-sama memilih bungkam. “Kenapa, Al? Apa kamu marah karena semalam aku tiba-tiba menghilang tanpa kabar?” Mireya mulai menebak-nebak. “Al, tolong dengarkan dulu penjelasanku, aku tidak—” Alvin menyela, “Sudahlah, Reya! Aku tidak ingin mendengar apa pun darimu. Mulai sekarang jangan hubungi aku lagi!” Mireya menggeleng cepat. “Kita masih b
Saat melihat wajah Mervyn, Mireya yakin seratus persen bahwa itu adalah laki-laki asing yang telah merenggut kesuciannya di sebuah hotel. Mervyn melangkah percaya diri diikuti beberapa pengawal di belakangnya. Mireya terpaku dan jantungnya berdebar kencang saat Mervyn tak sengaja meliriknya. Tatapan Mervyn begitu tajam dan menyimpan banyak rahasia, sehingga Mireya tak mampu menemukan makna di balik sorot matanya yang penuh misteri. Adegan saling pandang itu terjadi tidak lebih dari tiga detik. Mervyn mengalihkan tatapan ke depan dan mengabaikan Mireya seperti bukan sesuatu yang berarti. “Sepertinya dia tidak mengingatku.” Mireya bergumam pelan yang hanya dapat didengar oleh diri sendiri. Dia berpikir, mungkin akan jauh lebih baik jika Mervyn tidak mengenalinya. Bisa jadi Mervyn sudah memiliki pacar atau bahkan seorang istri. Mireya tentu akan terlibat masalah besar jika pasangan Mervyn tahu kalau pria itu pernah tidur dengannya. Di sisi lain, bercinta dengan orang asing ba
Mireya memegang gagang pintu dengan tangan gemetar. Sekujur tubuhnya seakan membeku saat mendengar pertanyaan Mervyn. “Saya belum bertemu lagi dengan Alvin, Pak,” ucap Rayyan, “Jadi, belum ada informasi apa pun yang saya dapatkan tentang wanita itu.” Alvin? Mireya bertanya-tanya, apakah Alvin yang sedang dibicarakan adalah mantan pacarnya? Jika iya, dia sungguh kehilangan kata-kata untuk mengekspresikan kemarahannya. Alvin terlalu jahat dan licik. Bahkan gelar ‘iblis’ pun masih terlalu halus jika disematkan pada pria itu. “Sudah kamu coba hubungi nomor teleponnya?” Suara Mervyn begitu dingin, tapi juga tegas. Rayyan mengangguk, “Sudah, Pak, tapi nomor teleponnya tidak aktif.” Mervyn menghela napas. “Cari tahu secepatnya.” “Baik, Pak!” Rayyan tidak punya pilihan untuk menolak, sehingga yang dia lakukan hanyalah mengangguk. Dalam keheningan, mata elang Mervyn tak sengaja melirik Mireya yang sejak tadi masih bergeming di dekat pintu. Apa wanita itu sedang menguping pemb
Mireya dan Bella menoleh ke sumber suara—yang mana seorang wanita tampak melangkah semakin dekat ke arah mereka. “Mama!” Ternyata itu adalah Irene, ibunya Bella yang baru saja pulang dari urusan bisnis di luar kota. Bella menyambut kedatangan ibunya dengan pelukan hangat. “Wah, ada siapa di sini?” Irene menatap Mireya dengan sorot mata yang memancarkan kehangatan. Mereka sudah saling kenal, tentu saja. Apalagi Mireya adalah sahabat terbaik Bella. Walaupun tidak sering, tetapi Mireya pernah beberapa kali bertemu Irene saat ada kesempatan main ke sini. Mireya mencium punggung tangan Irene dengan sopan, lalu basa-basi menanyakan kabar satu sama lain. Namun, saat hidungnya menyentuh kulit tangan Irene, Mireya mencium aroma wewangian yang membuat dirinya pusing dan mual. “Maaf, aku harus ke belakang.” Mireya pamit ke wastafel untuk menyudahi dorongan kuat dari dalam lambungnya. Pada akhirnya, Mireya hanya muntah angin karena tidak ada sisa makanan yang keluar dari mulutnya
Mireya baru saja membeli sebungkus roti dan air mineral di minimarket. Usia kehamilan pada trimester pertama membuatnya lebih sering merasa lapar. Di sisi lain, dia juga harus memikirkan bagaimana agar sisa uangnya bisa mencukupi hingga setidaknya satu bulan ke depan. Mau tak mau, dia harus hidup hemat dan memangkas segala pengeluaran yang tidak perlu. “Terima kasih,” ucapnya kepada kasir usai melakukan pembayaran. Saat ingin meninggalkan minimarket, tiba-tiba hujan turun dengan lumayan deras. Terpaksa Mireya harus berteduh karena tidak membawa mantel ataupun payung. Mireya duduk di atas kursi yang tersedia di teras minimarket. Dia membuka bungkus roti dan mulai memakannya sebagian, sementara setengah sisanya akan dia simpan untuk dimakan saat nanti lapar lagi. Detik selanjutnya, seorang wanita tua baru saja keluar dari minimarket dan ikut berteduh di sebelah Mireya. Di samping wanita itu, ada sosok pemuda bertubuh tinggi kurus yang terlihat mencurigakan. Akan tetapi, wa
Suara itu menyadarkan Mireya dari lamunan. Di sampingnya sudah ada Sania sedang berdiri dengan tangan menyentuh lembut bahunya. Sontak Mireya tersenyum seolah tidak ada masalah apa pun. “Aku baik-baik saja, Nek,” dustanya. Meski senyuman itu terlukis di bibirnya, tetapi Sania melihat titik kegetiran yang berpendar di balik tatapan nanar wanita malang itu. Sania berpikir bahwa Mireya mungkin tidak nyaman jika orang lain mencampuri urusannya terlalu dalam—apalagi mereka tidak saling mengenal sebelumnya. Jadi, dia memutuskan untuk tidak bertanya lebih banyak. “Masalah yang dihadapi setiap orang memang berbeda-beda, tapi apa pun itu, jangan pernah berhenti berjuang!” ujar Sania dengan tulus. “Kamu boleh istirahat sejenak saat lelah, tapi jangan sampai menyerah. Kamu tahu apa? Gadis Kecil, dunia sangat kekurangan orang-orang sebaik kamu,” pungkasnya. Kalimat itu terdengar seperti sumber kekuatan yang merangkak masuk ke telinga, lalu merayap dan mengendap di dalam tubuh Mireya. M
Mervyn memandangi wajah Mireya lekat-lekat. Merasa tidak asing, dia mengernyit ketika menyadari bahwa Mireya merupakan orang yang telah mengikuti seleksi di perusahaannya. Tatap mata mereka saling bertemu selama beberapa detik. Entah kenapa dada Mervyn berdesir cepat, seakan ada energi kuat di balik mata cantik Mireya yang tak dapat dijabarkan. Sampai akhirnya, wanita itu mulai hilang kesadaran dan menghentikan momen canggung di antara mereka berdua. Refleks, Mervyn segera menangkap tubuh Mireya yang hampir terjatuh, hingga wanita itu berakhir pingsan dalam pelukan hangatnya. “Apa lagi yang kamu tunggu? Gadis itu butuh pertolongan. Cepat bawa dia ke rumah sakit!” perintah Sania, menyadarkan cucunya yang sejak tadi terus memandangi wajah Mireya tanpa henti, seperti sedang terhipnotis. Setelah itu, Mervyn segera membawa Mireya masuk ke mobil dengan cara menggendongnya ala bridal. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, hujan mulai reda, tetapi Mervyn masih menyalakan wiper untuk
Mireya tertegun mendengar pertanyaan Sania. Setelah terdiam beberapa detik, wanita itu menjawab, “Dia sedang pergi ke luar kota.” Terpaksa Mireya berbohong. Sebab, tidak mungkin juga dia mengatakan bahwa kehamilannya ini adalah hasil hubungan di luar nikah dan pelakunya ada di depan mata mereka, nanti yang ada malah menambah masalah. “Lalu kamu mau mencari rumah kost sendirian?” tanya Sania lagi. “Iya, Nek.” Melihat kondisi Mireya yang sepertinya belum cukup pulih, Sania khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk pada Mireya di luar sana. Dia pun menyarankan, “Bagaimana kalau kamu istirahat dulu di rumahku? Setelah membaik, barulah kamu bisa lanjut mencari rumah kost.” Mervyn membulatkan mata. Sungguh tidak habis pikir atas kebaikan sang nenek yang menurutnya terlalu berlebihan. “Ah, tidak perlu, Nek. Lagipula aku sudah lebih baik sekarang.” Mireya menggeleng cepat, merasa sungkan atas tawaran yang Sania berikan. “Kamu yakin tidak apa-apa?” tanya Sania memastikan. “Yakin, N
Di ruang CEO, Mervyn tampak duduk di kursi putar seraya menatap Rayyan yang berdiri di depan meja kerjanya.“Apa sudah kamu informasikan kepada orang-orang itu mengenai kedatangan istriku hari ini?” tanya sang CEO.Rayyan menjawab, “Sudah, Pak. Persiapannya juga sudah matang.”“Bagus!” Mervyn mengangguk, merasa puas mendengar jawaban asistennya. “Bagaimana dengan hadiah yang aku bicarakan kemarin?”“Hadiahnya juga aman, Pak. Saya sudah menyuruh seseorang untuk memberikan hadiahnya kepada Nyonya, Tuan dan Nona Kecil ketika mereka sampai di rumah.”“Kerja bagus!” puji Mervyn. Rayyan memang selalu dapat diandalkan kapan dan di mana pun dia membutuhkannya.***Beberapa jam setelah melakukan perjalanan, Mireya, Marcell dan Michelle akhirnya tiba di lokasi tujuan.Kedatangan Mireya bersama kedua anaknya di tempat kediaman Mervyn disambut oleh banyak orang yang telah dipekerjakan oleh Mervyn dengan posisi bagian dan tugas yang berbeda-beda.Saat melewati pintu, ada beberapa penjaga yang lang
Mervyn meraih telapak tangan Mireya untuk digenggam. “Kamu tahu, ‘kan, alasan dari kedatangan aku ke sini hanya untuk mengurus project anak perusahaan Grup Jordan?”Mireya mengangguk pelan, tetapi dia mulai bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang ingin disampaikan oleh Mervyn.“Dan sekarang urusannya sudah selesai. Aku berencana akan membawa kamu dan anak-anak kembali ke kota A. Apa kamu keberatan?” tanya Mervyn tanpa banyak basa-basi. Sebab, cepat atau lambat dia memang harus bicara jujur pada Mireya.Wajah Mireya berubah murung ketika mendengar ucapan Mervyn.Bagi Mireya, kota A menyimpan banyak kenangan pahit yang telah lama berusaha dia kubur bersama luka-lukanya.Dari sejuta mimpi buruk yang dia miliki di kota tersebut, satu-satunya yang bisa dia syukuri hingga sekarang hanyalah kehadiran anak kembar dalam hidupnya. Sementara sisanya tak lebih dari tumpukan benang yang hanya akan memperparah bongkahan luka di dada.“Maksud kamu, kita akan tinggal di sana?” tanya Mireya dengan
Pertanyaan polos Michelle membuat Mireya gelagapan. Napasnya berhenti sejenak seiring kelopak mata yang terbuka lebar. Dengan cepat dia pun menyembunyikan jejak kemerahan di lehernya menggunakan telapak tangan.“I–ini ....” Mireya mencoba menemukan alasan yang masuk akal.Tapi apa?Tak jauh darinya, Mireya melihat Mervyn sedang berdiam diri di depan pintu toilet sembari menahan tawa. Membuatnya melotot kesal.Bisa-bisanya pria itu tertawa dengan sikap yang begitu tenang, sementara Mireya sedang pusing memikirkan jawaban!Padahal, tanda merah yang Mireya dapatkan jelas-jelas dibuat olehnya!Mireya kembali menatap Michelle. “Elle bisa tanya langsung pada Papi. Karena, Papi lebih tahu,” ucapnya seraya tersenyum lebar.“A–apa?” Mervyn mengerjap. Raut wajahnya berubah datar hanya dalam hitungan detik. “Kenapa harus aku yang jawab?”Mireya tersenyum miring. Merasa puas menyaksikan reaksi sang suami. “Bukankah kamu yang menyebabkan ini terjadi? Jadi, kamu saja yang jawab!” putusnya secara mu
Mervyn dan Mireya terkejut ketika ada yang mengetuk pintu dari luar. Setelah itu, suara imut khas anak kecil mulai terdengar.“Mami, Papi! Acell dan adik boleh buka pintunya, tidak?” tanya Marcell.Sepasang suami dan istri itu tampak kelimpungan. Bagaimana mungkin mereka membiarkan kedua anak itu masuk dalam keadaan tubuh yang tidak mengenakan apa pun?Ah, kecuali Mervyn yang hanya memakai celana panjang.“T–tunggu sebentar! Mami akan membukanya,” sahut Mireya, lalu mengambil pakaian yang berserakan di lantai dan segera mengenakannya.Usai keduanya mengenakan kembali pakaian mereka, Mireya pun berjalan untuk membukakan kunci pintu.“Elle, Acell, ada apa?” tanya Mireya, sementara Mervyn baru saja masuk ke toilet untuk buang air kecil.“Mami ... eum, ada yang ingin kami katakan, tapi kami khawatir Mami akan marah,” ujar Marcell dengan raut wajah terlihat sedikit cemas.Mireya mengernyit. “Bagaimana kalian bisa tahu Mami akan marah atau tidak, sedangkan kalian saja belum mengatakan apa-a
Di atas kasur, Mireya tampak mengenakan selimut tebal yang menutupi seluruh tubuh polosnya.Wanita itu memandang Mervyn yang baru saja memungut celana dan kaos miliknya yang berserakan di lantai, lalu mulai memakainya kembali.Mireya cukup terkejut menerima perlakuan suaminya yang tiba-tiba menjadi begitu liar dan brutal.Dugaan sementara, Mireya menaruh curiga bahwa semua yang dilakukan Mervyn disebabkan oleh rasa cemburu akibat kesalahpahaman antara pria itu, Mireya dan juga Julian.Selesai mengenakan celana panjang berbahan levis, dengan tubuh bagian atas yang masih telanjang, Mervyn naik ke atas kasur untuk kembali mendekati istrinya.Cup!Mervyn mendekap wanita itu seraya mengecup pelipisnya sekilas. “Ingat apa yang tadi kukatakan? Kamu, dan semua yang ada pada dirimu adalah milikku, Mireya. Jangan biarkan orang lain menyentuhnya!”Mireya mengangguk, tetapi perasaannya tidak kunjung lega meskipun dirinya kini sedang ada dalam dekapan hangat sang suami.“Kenapa menatapku begitu, h
Brak!Mervyn membuka pintu kamar, mendapati Mireya yang kini sedang melipat pakaian sembari duduk di tepi kasur bermotif bunga mawar.Wanita itu mendongak saat mendengar derit pintu, lalu bergegas bangkit menghampiri suaminya yang baru pulang ke rumah entah dari mana.“Kamu sudah kembali?” sambut Mireya seraya tersenyum manis.Mervyn, dengan wajah garang serta sorot mata yang menunjukkan amarah, sama sekali tidak menjawab kalimat tanya yang diajukan oleh Mireya.Di sepanjang jalan menuju ke rumah, Mervyn sudah terlalu banyak menahan emosi, dan sekarang kemarahan itu bertambah semakin besar saat dia melihat ekspresi lugu istrinya yang terkesan seakan tidak melakukan kesalahan apa pun di belakangnya.Mireya menyadari ada yang tidak beres dari raut wajah Mervyn. Lantas pada saat dirinya berada di hadapan Mervyn, dia segera mengangkat satu tangan guna menyentuh pipi pria itu.“Mervyn, apa yang terjadi?” tanya Mireya lembut. “Apa kamu baru saja mendapatkan masalah?” tambahnya.Tatapan Merv
Mireya pun menjelaskan kejadian mengenai Felix yang membohonginya dengan mengatakan bahwa Henry, ayah mereka, sedang mengalami kritis di rumah sakit. Namun, ternyata Felix malah membawanya ke tempat asing dan menjadikannya jaminan utang. “Felix?” Mervyn mengerutkan dahi saat mendengar nama yang tak dia kenal. “Siapa dia?” “Dia kakak laki-lakiku. Kami lahir dari ibu yang berbeda, tetapi masih satu ayah,” terang Mireya. “Kalau begitu, artinya dia juga kakaknya Felly?” tebak pria itu. Lantas Mireya mengangguk. “Ya, mereka satu ibu,” tambahnya. Mervyn manggut-manggut paham, lalu terdiam setelahnya. Akan tetapi, isi kepalanya terus bekerja memikirkan sosok Felix yang telah membuat istri kesayangannya hampir menjadi korban pemerkosaan. Mervyn bersumpah, suatu saat Felix pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya! “Mervyn, kenapa melamun?” Mireya menyentuh sebelah pipi Mervyn dan membuatnya sedikit terkejut. Mervyn menunduk, menatap ke dalam mata cantik ist
“Hey ... apa yang kamu pikirkan?” Mervyn menyelipkan anak rambut Mireya ke belakang telinga wanita itu. “Aku tidak pernah menganggap kamu pembawa sial. Sebaliknya, aku justru merasa lebih bahagia setelah bertemu kembali dengan kamu dan anak-anak. Siapa bilang kalau kamu pembawa sial?”Mireya merasa sedikit lebih lega. Namun, perasaan sedih dan bersalah itu masih belum hilang sepenuhnya dari dalam diri. Melihat kondisi Mervyn yang tidak berdaya seperti saat ini membuatnya sangat sedih.“Mervyn, apa boleh aku menceritakan alasan yang sebenarnya?” tanya Mireya seraya mendongak, menatap mata sang suami dengan lebih serius dan dalam.Cup!Mervyn mengecup pelipis Mireya lekat-lekat. “Ceritakanlah,” balasnya.Mireya menghela napas sejenak. “Sebenarnya ... saat tiba di rumah sakit, aku duduk menunggu kamu di luar ruangan. Aku terus mendoakan untuk keselamatan kamu. Kemudian, tiba-tiba Ibu datang bersama Lisa. Aku menjelaskan pada Ibu mengenai apa yang terjadi dengan kamu, lalu Ibu menyalahkan
Setelah menjalani rawat inap selama hampir satu minggu di rumah sakit, Mervyn akhirnya diperbolehkan pulang oleh dokter hari ini. Akan tetapi, dia tetap membutuhkan banyak istirahat di rumah, supaya proses penyembuhan luka di perutnya lebih cepat selesai.Malam itu, di saat Marcell dan Michelle sedang belajar bersama di kamar mereka, Mireya membuatkan segelas susu hangat untuk Mervyn.Mireya menghampiri Mervyn yang berbaring di atas kasur, meletakkan sejenak gelas di atas meja. Kemudian, membantu Mervyn mengubah posisi menjadi duduk dengan kedua kaki diluruskan serta punggung yang bersandar pada kepala kasur.“Minumlah ...” ucap Mireya sembari menyodorkan kembali susu di dalam gelas berbahan kaca ke arah Mervyn.“Terima kasih,” ucap Mervyn seraya mengambil alih benda itu dan mulai meneguk minumannya pelan-pelan.“Mireya, aku mau tanya sesuatu.” Mervyn meletakkan gelas di atas meja, lalu menatap istrinya dengan serius.“Tanyakan saja,” kata Mireya yang tengah duduk di tepi kasur, menun