“Kau bilang apa barusan? Meminjam uang—padaku?” Ziandra mengulang ucapan Elden dengan alis menukik.Elden mengangguk lemas. “Aku berhutang dan mereka memukuliku karena tak bisa membayarnya. Aku diberi waktu sampai besok untuk melunasinya, apabila tidak kulakukan mereka akan membunuhku. Kumohon, kali ini saja tolong bantu aku. Aku janji akan membayar dan membalas kebaikanmu,” katanya dengan pandangan menghadap ke lantai. Membayangkan jika besok dirinya akan dihajar habis-habisan oleh penagih hutang membuatnya ketakutan.Ziandra menatap sinis ke arah Elden, menahan dirinya sendiri untuk tidak berbelas-kasihan pada pria di sampingnya ini.“Maaf, tapi aku tidak bisa membantumu. Aku tak memiliki uang sebanyak itu. Sebaiknya, kau cari pinjaman ke orang lain selain padaku,” terangnya dengan suara rendah dan nada dingin.Ziandra melihat jam dinding yang sudah menunjuk jam 10 malam. “Ini sudah malam. Aku ingin istirahat, El. Aku tak bermaksud mengusir, tapi sebaiknya kau pergi dari sini.”Elde
“Kenapa kau menamparku?!” amuk Liona dengan napas memburu kesal.Ziandra mendelik tak suka. “Tentu saja kau pantas mendapatkannya. Bagaimana bisa kau setega itu pada Elden yang jelas-jelas kekasihmu? Kau biarkan dia dihajar oleh penagih hutang,” kecamnya.“Salahkan dirinya yang meminjam uang dan tak mampu bayar! Kenapa jadi aku yang kau maki. Dan biar kupertegas padamu. AKU DAN ELDEN SUDAH PUTUS. Aku sendiri yang lebih dulu memutuskannya jauh sebelum dia terlibat hutang itu. Jadi, ini bukan lagi tanggung jawabku,” berang Liona karena merasa disalahkan ulah sang mantan.Ziandra segera menelan ludah. Merasa bersalah karena sudah menampar Liona dan menuduhnya jahat.“Maaf, aku sudah menuduhmu. Tapi, kenapa kau putus dengannya? Kupikir kalian saling mencintai sampai tega berkhianat di belakangku.” Ziandra sedikit menurunkan nada suaranya. Ia agak menyindir Liona lebih tepatnya.Liona mendecih sambil mengusap kasar pipinya berharap rasa panas bekas tamparan segera hilang, karena sungguh r
Angga terdiam. Rahangnya mengeras, tapi tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Ziandra mengambil kesempatan itu untuk membungkuk, mengemasi dokumen yang berserakan di lantai. Setelah semua rapi, ia meletakkan kembali di atas meja kerja Angga.“Aku akan kembali ke mejaku.” Ucapnya singkat, lalu berbalik meninggalkan ruangan tanpa memberi kesempatan bagi Angga untuk menahan langkahnya.Sejak itu, suasana antara mereka menjadi canggung. Saat mendiskusikan pertemuan penting dengan klien sore nanti, tak ada lagi gurauan atau interaksi yang biasanya terjadi. Hanya percakapan profesional yang terasa hambar. Bahkan ketika Angga hendak mengajak Ziandra pulang bersama setelah pertemuan, wanita itu dengan mudah menolak tanpa memberi alasan.“Tidak usah, aku bisa pulang sendiri,” jawabnya cepat sebelum melangkah pergi meninggalkan Angga yang hanya bisa menghela napas panjang.Ziandra berjalan kaki dengan pikiran yang penuh. Kakinya melangkah tanpa arah pasti, hingga suara dering ponselnya memeca
Ziandra memejamkan mata rapat-rapat, tubuhnya gemetar ketakutan. Ia memohon dalam hati, berharap ada keajaiban yang datang menyelamatkannya.Namun, sebelum tangan kasar pria itu benar-benar menyentuhnya—‘BRAK’Pintu gudang ditendang dengan kasar, terbuka begitu saja hingga membentur dinding dengan suara menggelegar.Semua orang langsung menoleh ke arah sumber suara.Sosok pria itu berdiri di ambang pintu, napasnya memburu, rahangnya mengeras, dan tatapannya tajam seperti belati. Angga.Wajah Angga penuh amarah, tatapan matanya gelap dan menusuk. Tangan kanannya mengepal kuat, seolah siap menghancurkan siapa pun yang berani menyentuh Ziandra.“Lepaskan dia!” Suaranya rendah, namun berbahaya.Ruangan mendadak terasa lebih mencekam.Ziandra terbelalak, hatinya seperti ingin berteriak lega, tapi ia masih terlalu shock untuk berkata-kata.*****Tiga pria berbadan b
Angga mendengus, seolah malas membicarakan pria itu, tetapi ia tetap menjawab dengan nada jengah. “Dia masih dirawat di rumah sakit ini, sama sepertimu. Luka-lukanya cukup parah, tapi dia akan tetap baik-baik saja setelah menjalani perawatan.”Ziandra mengangguk. Bagaimanapun juga, meski Elden adalah seseorang dari masa lalunya yang tidak selalu menyenangkan, ia tetap tak ingin sesuatu yang buruk menimpanya.Ziandra lalu mengalihkan pandangannya ke wajah Angga yang tampak lebih lelah dari biasanya. “Kau sendiri, bagaimana bisa tahu aku ada di sana?” tanyanya penasaran.Angga menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas panjang.“Malam itu, setelah kau menolak untuk kuantar pulang, aku tidak langsung pergi,” katanya jujur. “Aku mengikutimu dari jauh, memastikan kau aman sampai rumah.”Ziandra membelalakkan mata, terkejut dengan pengakuan itu. “Kamu mengikutiku?”Angga me
Angga mendengus mendengar obrolan mereka. “Sudah cukup drama murahannya. Kau sudah melihatnya, sekarang keluar!” tegasnya yang tertuju pada Elden.Elden balik membalas tatapan sinis Angga dengan ekspresi penuh ejekan. “Oh? Jadi rumor soal kalian bersama itu benar?”Wajah Angga mengeras. “Aku hanya tidak ingin melihat orang yang pernah menyakiti Ziandra berdiri di hadapannya seperti tidak pernah melakukan kesalahan.”Ziandra membelalak mendengar nada sarkas Angga. Jantungnya berdebar kencang, membayangkan bahwa kedua pria ini akan saling ribut di ruangannya.Tetapi, Elden malah menghela napas dan menunduk sedikit. Tak ada keinginan menyanggah ucapan sarkas Angga padanya.“Aku memang brengsek, kuakui itu. Aku bukan pria baik-baik yang pantas ada di hidup Ziandra.” Elden menjeda ucapannya lalu menatap Ziandra dengan pandangan dalam. “Tapi kau pasti tahu, ‘kan? Kalau kita pernah saling mencint
Ziandra masih berdiri terpaku di tempatnya, memandang Angga yang perlahan menurunkan ponselnya sebelum akhirnya memasukkannya dalam saku. Angga menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan, antara terkejut, khawatir, dan sedikit panik.“Kau mendengar semuanya?” tanya Angga dengan suara sedikit bergetar.Ziandra menarik napas dalam, lalu mengangguk. “Aku tidak sengaja,” katanya datar.Hening sesaat. Angga mencoba membaca ekspresi Ziandra, tapi wajah wanita itu tetap datar seolah perasaannya terkunci rapat.“Ziandra—” Angga melangkah mendekat, suaranya sedikit goyah.Namun, Ziandra hanya menghela napas dan menatapnya sejenak. Tanpa berkata apa-apa, ia berbalik dan berjalan menuju taman kecil di halaman rumah sakit. Angga yang masih diliputi kepanikan, tentu saja buru-buru mengikutinya.Begitu mereka sampai di taman, Ziandra duduk di bangku kayu yang menghadap ke hamparan rumput hijau. Udara sore t
Setelah beberapa saat, Ziandra menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.“Aku butuh waktu,” akhirnya Ziandra berkata pelan. “Untuk memahami semuanya.”Angga menoleh cepat, seolah tidak yakin dengan apa yang baru saja ia dengar, namun tak lama kemudian ia menganguk. “Baik. Aku akan menunggumu,” balasnya dengan halus.Setelah percakapan itu, tak ada lagi suara dari keduanya hingga beberapa menit ke depan. Hanya ada kesenyapan tanpa ada yang mau memutus siklus tersebut. Keduanya sedang beradu dalam pikiran masing-masing hingga hari beranjak gelap.Angga berdiri lebih dulu, menyodorkan sebelah tangannya untuk mengajak Ziandra beranjak. “Sudah malam, kau juga sudah diperbolehkan pulang. Meski begitu, kau tidak boleh kelelahan. Kau harus menjaga kesehatanmu dengan baik. Ayo, kuantar kau pulang agar bisa cepat istirahat.”Ziandra menerima ularan tangan Angga dengan mudah. Keduanya lalu berjalan be
Suasana di dalam mobil terasa lebih ringan dibanding kemarin. Angga menyetir dengan fokus, sesekali melirik Ziandra yang duduk di sampingnya. Perempuan itu tampak tenang, berbeda dengan semalam yang penuh kebisuan dan ketegangan.Angga akhirnya membuka suara. “Kenapa?”Ziandra menoleh. “Kenapa apanya?”Angga menghela napas, lalu sekilas meliriknya sebelum kembali menatap jalanan. “Kenapa pagi ini kau bersikap hangat padaku? Padahal semalam kita ....” Ia menggantungkan kalimatnya, seolah enggan mengingat kembali ketegangan yang terjadi.Ziandra tersenyum kecil, lalu menatap keluar jendela. “Aku belum tidur semalam,” katanya pelan.Angga mengernyit. “Apa?”Ziandra menarik napas dalam sebelum melanjutkan. “Aku mendengar semua yang kau katakan semalam, Angga.”Pria itu terdiam. Tangannya yang menggenggam setir sedikit mengencang.“Aku tahu kau lelah, tahu
Ziandra berbaring miring membelakangi sisi kasur Angga. Matanya terbuka, menatap kosong ke arah jendela kamar yang sedikit terbuka, membiarkan angin malam masuk dengan lembut. Ia tak bisa tidur. Pikirannya masih dipenuhi bayangan percakapan mereka di ruang tamu tadi.Beberapa menit berlalu dalam keheningan sebelum ia merasakan kasur di belakangnya sedikit turun, pertanda seseorang baru saja duduk di sana. Ziandra tak perlu menoleh untuk tahu siapa itu, pasti Angga.Ia mendengar tarikan napas berat dari pria itu, sebelum merasakan pergerakan di belakangnya. Angga mendekat, dan Ziandra buru-buru menutup matanya rapat-rapat, berpura-pura sudah tertidur.Angga diam sejenak, seakan memastikan apakah istrinya benar-benar sudah terlelap. Perlahan, ia berselonjor di atas kasur, menyandarkan kepalanya pada kepala ranjang. Keheningan menyelimuti kamar, hanya suara napas mereka yang terdengar samar.Lalu, dengan gerakan hati-hati, jemari Angga bergerak mengusap ramb
Ziandra menyandarkan kepalanya di jendela mobil, matanya menatap lampu-lampu jalan yang berpendar di tengah kota. Devan menyetir dengan satu tangan di kemudi, sementara tangan satunya menopang dagu.“Turunkan aku di tikungan sebelum apartemen,” ujar Ziandra tiba-tiba.Devan meliriknya sekilas, tapi tak langsung menjawab. “Kenapa? Apartemen Angga ‘kan tidak jauh lagi?”Ziandra menghela napas. “Aku tidak ingin Angga salah paham kalau melihatku turun dari mobilmu.”Devan terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan. Ia tahu ini bukan tentang malu atau takut. Ziandra hanya ingin menjaga hubungan rumah tangganya tetap baik. Sementara itu, ia sendiri sadar bahwa setelah ini, kebersamaan mereka mungkin akan berakhir. Ziandra takkan lagi duduk di sebelahnya, tertawa kecil mendengar leluconnya, atau menatapnya tanpa rasa curiga seperti tadi.Dan entah kenapa, itu terasa menyebalkan.Namun, Devan bukan seseorang yang
Satu jam berlalu tanpa terasa. Ziandra mengira makan malam ini akan terasa canggung, tapi nyatanya, ia malah menikmati waktu bersama Devan. Pria itu jauh lebih menyenangkan dari yang ia bayangkan—humoris, santai, dan bahkan bisa membuatnya tertawa di sela-sela makan.Devan menyuapkan potongan steak ke mulutnya, lalu menatap Ziandra dengan seringai menggoda. “Jadi, bagaimana sebenarnya kau dan Angga bisa bertemu?”Ziandra yang sedang mengunyah, nyaris tersedak mendengar pertanyaan itu. Ia buru-buru meneguk air putihnya, berusaha menjaga ekspresi agar tetap tenang.“Oh, itu ...,” Ziandra menunduk sedikit, menyusun kebohongan yang terdengar masuk akal. “Kami bertemu secara kebetulan. Layaknya pasangan lain, kau tahu? Awalnya tidak menyangka, lalu saling tertarik dan jatuh cinta begitu saja.”Devan mengangkat alis, seolah tidak percaya begitu saja. “Kebetulan, ya?”Ziandra mengangguk gugup, tersenyu
Ziandra duduk sendirian di halte bus, pandangannya kosong menatap jalanan yang mulai gelap. Lampu-lampu kota berpendar, kendaraan berlalu-lalang, tapi ia hanya diam, larut dalam pikirannya sendiri.Sikap dingin Pak Yuda dan bentakan Angga tadi membuat hatinya terasa berat. Ia tahu suaminya sedang tertekan, tapi tetap saja, menerima perlakuan seperti itu dari orang yang ia cintai membuatnya terluka.Ziandra menarik napas panjang. Ia ingin pulang ke apartemen Angga, tapi di sana ia hanya akan sendirian. Itu akan terasa jauh lebih menyakitkan daripada duduk di halte ini. Setidaknya di sini, ia bisa menenangkan pikirannya meski hanya sementara.Tiba-tiba suara klakson mobil membuatnya tersentak. Ziandra menoleh dan melihat sebuah mobil mewah berhenti tak jauh darinya. Kaca jendela perlahan turun, memperlihatkan sosok yang duduk di balik kemudi.“Devan?” gumam Ziandra terkejut, tak menyangka bertemu adik iparnya.Pria itu menyunggingkan seny
Saat Angga tiba di depan ruangannya, ia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu dengan cepat.Di dalam, Pak Yuda sudah duduk di kursinya dengan ekspresi datar. Wajahnya tidak menunjukkan emosi, tapi sorot matanya tajam, menusuk ke arah Angga yang baru masuk. Seakan sedang menghakimi setiap gerak-geriknya.“Duduk,” perintahnya singkat.Angga menelan ludah. Ia tahu, setiap kali ayahnya bersikap seperti ini, itu berarti ada sesuatu yang serius. Ia melangkah mendekat, lalu duduk di kursi yang ada di hadapan sang ayah.Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang menekan. Pak Yuda tidak langsung berbicara, hanya menatapnya seolah sedang menimbang sesuatu.“Aku mendengar kabar bahwa kau dan Devan sedang berselisih soal jabatan,” ujar Pak Yuda akhirnya, suaranya tenang namun berisi tekanan. “Benarkah?”Angga mengangguk kecil, lalu bersandar di kursinya. “Itu benar,” jawabnya lugas.Pak
Ziandra menghentikan langkahnya sejenak, lalu berbalik. Matanya menatap Elden dengan jengah. “Apa?”Keduanya sedang ada di koridor yang cukup sepi. Elden sengaja terus mengekori Ziandra di belakang hingga membuat wanita itu risih sendiri dan akhirnya mau menyapanya seperti sekarang.Elden menyandarkan tubuhnya ke dinding, menatapnya dengan ekspresi santai, tapi nada suaranya penuh rasa ingin tahu. “Sepertinya ada perang dingin yang cukup besar antara suamimu dan saudara tirinya itu. Gosip menyebar dengan cepat mengatakan kalau mereka sedang berselisih karena perebutan kekuasaan. Apa itu benar? Kau pasti tahu lebih banyak, kan?”Ziandra menghela napas, jelas tak ingin terlibat dalam pembicaraan ini. “Jangan penasaran dan cari tahu! Ini urusan keluarga,” jawabnya singkat.Elden terkekeh, sama sekali tak mengacuhkan peringatan Ziandra padanya. Sebaliknya, ia malah makin tertantang untuk mencari tahu. “Oh, ayolah, Zia
Langkah-langkah Angga menggema di sepanjang koridor kantor, tergesa dan penuh amarah. Wajahnya mengeras, rahangnya mengatup kuat, sementara jemarinya mengepal di sisi tubuh. Kabar yang baru saja ia terima benar-benar tak masuk akal—Devan saat ini sedang memimpin rapat besar terkait proyek yang seharusnya ada di bawah kendalinya.Sialan! Anak itu benar-benar berani melewati batas, amuknya membatin.Begitu sampai di depan ruang rapat, Angga mendorong pintu tanpa ragu, mengabaikan tatapan terkejut dari para eksekutif yang tengah berkumpul. Matanya langsung mengunci pada sosok yang berdiri di depan layar presentasi—Devan, dengan ekspresi santai dan percaya diri. Seolah-olah ia memang berhak berada di sana.“Siapa yang mengizinkanmu mengambil alih proyek ini?” suara Angga terdengar tajam, nyaris seperti ancaman.Devan menyeringai kecil, tangan di sakunya. Ia menunjukkan bahwa sama sekali tidak gentar dengan kemarahan kakaknya. “Ah
Setibanya di apartemen, Angga menarik napas dalam. Meski hanya sebuah unit modern yang diisi hanya dirinya dan sang istri, tempat ini terasa jauh lebih nyaman dibandingkan rumah keluarganya. Tidak ada tatapan dingin ibu tirinya, tidak ada rasa tersudut karena sikap ayahnya, bahkan tak perlu bersitegang dengan Devan. Yang paling penting, hanya ada dirinya dan Ziandra, berdua dan tenang.Ziandra pun merasakan hal yang sama. Ia menyadari bahwa sikap Angga lebih santai begitu mereka tiba di sini. Suaminya itu melepas jasnya, mengendurkan dasi, lalu duduk di sofa dengan ekspresi yang jauh lebih rileks.“Kau mau teh atau kopi?” tanya Ziandra sambil melangkah ke dapur.“Kopi,” jawab Angga singkat, matanya mengawasi Ziandra yang mulai sibuk di dapur.Ziandra tidak hanya menyiapkan kopi, tetapi juga membuat sarapan sederhana dengan bahan yang ada di kulkas. Tadi pagi, mereka hampir tidak menyentuh makanan di rumah Angga karena suaminya buru