Ziandra tertegun. Dadanya terasa sesak seketika. “Apa?” bisiknya tak percaya.Angga tetap tak bergeming. “Jika kau mundur sekarang, itu berarti kau mengingkari perjanjian kita. Maka, kau juga harus mengembalikan uang yang sudah kuberikan padamu sebagai timbal balik perjanjian yang kau putus ini.”Ziandra menatapnya penuh kemarahan. “Tapi, kau juga mengingkari perjanjian ini. Kontraknya hanya menjadi kekasihmu 3 bulan. Tapi ini, apa? Sebuah pernikahan. Kau benar-benar sudah kelewatan.”Angga tersenyum miring, tetapi tidak ada kebanggaan dalam senyum itu. “Aku hanya memastikan kau tidak pergi dariku. Dan soal perubahan kontrak, aku siap membayar 3 kali lipat. Tapi, bagaimana denganmu? Kau pasti tidak mampu sekedar mengembalikan uang yang kupinjamkan.”Ziandra mengepalkan tangannya. Ia tahu, dirinya tidak punya cukup uang untuk mengembalikannya. Sekarang, ia merasa seperti seekor burung yang terjebak dalam sangkar emas.Angga menyadari bahwa Ziandra tak punya pilihan. Ia kembali melembu
“Kau bilang apa barusan? Meminjam uang—padaku?” Ziandra mengulang ucapan Elden dengan alis menukik.Elden mengangguk lemas. “Aku berhutang dan mereka memukuliku karena tak bisa membayarnya. Aku diberi waktu sampai besok untuk melunasinya, apabila tidak kulakukan mereka akan membunuhku. Kumohon, kali ini saja tolong bantu aku. Aku janji akan membayar dan membalas kebaikanmu,” katanya dengan pandangan menghadap ke lantai. Membayangkan jika besok dirinya akan dihajar habis-habisan oleh penagih hutang membuatnya ketakutan.Ziandra menatap sinis ke arah Elden, menahan dirinya sendiri untuk tidak berbelas-kasihan pada pria di sampingnya ini.“Maaf, tapi aku tidak bisa membantumu. Aku tak memiliki uang sebanyak itu. Sebaiknya, kau cari pinjaman ke orang lain selain padaku,” terangnya dengan suara rendah dan nada dingin.Ziandra melihat jam dinding yang sudah menunjuk jam 10 malam. “Ini sudah malam. Aku ingin istirahat, El. Aku tak bermaksud mengusir, tapi sebaiknya kau pergi dari sini.”Elde
“Kenapa kau menamparku?!” amuk Liona dengan napas memburu kesal.Ziandra mendelik tak suka. “Tentu saja kau pantas mendapatkannya. Bagaimana bisa kau setega itu pada Elden yang jelas-jelas kekasihmu? Kau biarkan dia dihajar oleh penagih hutang,” kecamnya.“Salahkan dirinya yang meminjam uang dan tak mampu bayar! Kenapa jadi aku yang kau maki. Dan biar kupertegas padamu. AKU DAN ELDEN SUDAH PUTUS. Aku sendiri yang lebih dulu memutuskannya jauh sebelum dia terlibat hutang itu. Jadi, ini bukan lagi tanggung jawabku,” berang Liona karena merasa disalahkan ulah sang mantan.Ziandra segera menelan ludah. Merasa bersalah karena sudah menampar Liona dan menuduhnya jahat.“Maaf, aku sudah menuduhmu. Tapi, kenapa kau putus dengannya? Kupikir kalian saling mencintai sampai tega berkhianat di belakangku.” Ziandra sedikit menurunkan nada suaranya. Ia agak menyindir Liona lebih tepatnya.Liona mendecih sambil mengusap kasar pipinya berharap rasa panas bekas tamparan segera hilang, karena sungguh r
Angga terdiam. Rahangnya mengeras, tapi tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Ziandra mengambil kesempatan itu untuk membungkuk, mengemasi dokumen yang berserakan di lantai. Setelah semua rapi, ia meletakkan kembali di atas meja kerja Angga.“Aku akan kembali ke mejaku.” Ucapnya singkat, lalu berbalik meninggalkan ruangan tanpa memberi kesempatan bagi Angga untuk menahan langkahnya.Sejak itu, suasana antara mereka menjadi canggung. Saat mendiskusikan pertemuan penting dengan klien sore nanti, tak ada lagi gurauan atau interaksi yang biasanya terjadi. Hanya percakapan profesional yang terasa hambar. Bahkan ketika Angga hendak mengajak Ziandra pulang bersama setelah pertemuan, wanita itu dengan mudah menolak tanpa memberi alasan.“Tidak usah, aku bisa pulang sendiri,” jawabnya cepat sebelum melangkah pergi meninggalkan Angga yang hanya bisa menghela napas panjang.Ziandra berjalan kaki dengan pikiran yang penuh. Kakinya melangkah tanpa arah pasti, hingga suara dering ponselnya memeca
Ziandra memejamkan mata rapat-rapat, tubuhnya gemetar ketakutan. Ia memohon dalam hati, berharap ada keajaiban yang datang menyelamatkannya.Namun, sebelum tangan kasar pria itu benar-benar menyentuhnya—‘BRAK’Pintu gudang ditendang dengan kasar, terbuka begitu saja hingga membentur dinding dengan suara menggelegar.Semua orang langsung menoleh ke arah sumber suara.Sosok pria itu berdiri di ambang pintu, napasnya memburu, rahangnya mengeras, dan tatapannya tajam seperti belati. Angga.Wajah Angga penuh amarah, tatapan matanya gelap dan menusuk. Tangan kanannya mengepal kuat, seolah siap menghancurkan siapa pun yang berani menyentuh Ziandra.“Lepaskan dia!” Suaranya rendah, namun berbahaya.Ruangan mendadak terasa lebih mencekam.Ziandra terbelalak, hatinya seperti ingin berteriak lega, tapi ia masih terlalu shock untuk berkata-kata.*****Tiga pria berbadan b
Angga mendengus, seolah malas membicarakan pria itu, tetapi ia tetap menjawab dengan nada jengah. “Dia masih dirawat di rumah sakit ini, sama sepertimu. Luka-lukanya cukup parah, tapi dia akan tetap baik-baik saja setelah menjalani perawatan.”Ziandra mengangguk. Bagaimanapun juga, meski Elden adalah seseorang dari masa lalunya yang tidak selalu menyenangkan, ia tetap tak ingin sesuatu yang buruk menimpanya.Ziandra lalu mengalihkan pandangannya ke wajah Angga yang tampak lebih lelah dari biasanya. “Kau sendiri, bagaimana bisa tahu aku ada di sana?” tanyanya penasaran.Angga menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas panjang.“Malam itu, setelah kau menolak untuk kuantar pulang, aku tidak langsung pergi,” katanya jujur. “Aku mengikutimu dari jauh, memastikan kau aman sampai rumah.”Ziandra membelalakkan mata, terkejut dengan pengakuan itu. “Kamu mengikutiku?”Angga me
Angga mendengus mendengar obrolan mereka. “Sudah cukup drama murahannya. Kau sudah melihatnya, sekarang keluar!” tegasnya yang tertuju pada Elden.Elden balik membalas tatapan sinis Angga dengan ekspresi penuh ejekan. “Oh? Jadi rumor soal kalian bersama itu benar?”Wajah Angga mengeras. “Aku hanya tidak ingin melihat orang yang pernah menyakiti Ziandra berdiri di hadapannya seperti tidak pernah melakukan kesalahan.”Ziandra membelalak mendengar nada sarkas Angga. Jantungnya berdebar kencang, membayangkan bahwa kedua pria ini akan saling ribut di ruangannya.Tetapi, Elden malah menghela napas dan menunduk sedikit. Tak ada keinginan menyanggah ucapan sarkas Angga padanya.“Aku memang brengsek, kuakui itu. Aku bukan pria baik-baik yang pantas ada di hidup Ziandra.” Elden menjeda ucapannya lalu menatap Ziandra dengan pandangan dalam. “Tapi kau pasti tahu, ‘kan? Kalau kita pernah saling mencint
Ziandra masih berdiri terpaku di tempatnya, memandang Angga yang perlahan menurunkan ponselnya sebelum akhirnya memasukkannya dalam saku. Angga menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan, antara terkejut, khawatir, dan sedikit panik.“Kau mendengar semuanya?” tanya Angga dengan suara sedikit bergetar.Ziandra menarik napas dalam, lalu mengangguk. “Aku tidak sengaja,” katanya datar.Hening sesaat. Angga mencoba membaca ekspresi Ziandra, tapi wajah wanita itu tetap datar seolah perasaannya terkunci rapat.“Ziandra—” Angga melangkah mendekat, suaranya sedikit goyah.Namun, Ziandra hanya menghela napas dan menatapnya sejenak. Tanpa berkata apa-apa, ia berbalik dan berjalan menuju taman kecil di halaman rumah sakit. Angga yang masih diliputi kepanikan, tentu saja buru-buru mengikutinya.Begitu mereka sampai di taman, Ziandra duduk di bangku kayu yang menghadap ke hamparan rumput hijau. Udara sore t
“Aku tidak setuju dengan keputusanmu. Bagaimana kau tega memperlakukan Devan seperti itu? Dia juga anakmu. Kau harus adil dengan kedua anakmu tanpa pilih kasih.” Vidia langsung menyanggah dengan keras atas keputusan suaminya.Angga berdiri dengan santai, menatap dengan senyum remeh ke arah Vidia sebelum membungkuk hormat ke ayahnya untuk pamit.“Tentu saja perlakuan kami harus berbeda. Yang satu anak sah, sedangkan satunya tak lebih dari anak perebut suami orang.”Angga dengan sengaja menyindir saat berjalan di belakang kursi Vidia. Tentu saja itu membuatnya langsung tersinggung marah.Vidia dengan mata terbelalak merah, berdiri dan berbalik untuk menatap Angga yang bahkan tak mempedulikannya. Angga tetap berjalan pongah, keluar dari rumah ayahnya.“Sayang, kau tak dengar ucapannya Angga barusan? Dia menghinaku dengan begitu kejam.” Vidia mengadu dengan wajah tersinggung kesal.Yuda menatapnya sekilas. “Yang dikatakan Angga memang benar.”Vidia langsung terdiam seketika mendengar ucap
Angga akhirnya bisa sedikit bernapas lega ketika mendengar kabar dari orang kepercayaannya bahwa ayahnya akan pulang. Setelah berjibaku dengan masalah pelik sebulan lebih akibat ulah Devan, akhirnya ia akan bebas. Ia akan langsung menemui ayahnya untuk mendapatkan kejelasan.Karena tidak mau Vidia makin menghasut ayahnya, Angga harus bertindak cepat ketika ada kesempatan. Ia buru-buru keluar dari ruang kerjanya sambil memakai jas yang sebelumnya sudah dilepas olehnya.Ziandra yang ada di luar ruangan, ketika melihat Angga keluar tampak tergesa, segera menghampirinya.“Mau ke mana? Kau terlihat buru-buru sekali, padahal kita baru tiba di kantor beberapa menit yang lalu.” Ziandra tampak khawatir, tak mau suaminya menyembunyikan apapun darinya.Angga menoleh sekilas. Langkah kaki yang awalnya lebar dan tergesa, kini mulai melambat. Saat di depan lift, Angga berbalik menghadap Ziandra.“Aku akan menemui Ayah. Dia baru saja pulang dari liburannya. Kau doakan aku agar bisa mendapat hasil me
Sebulan kemudian....Sudah hampir seminggu lamanya Elden bekerja sebagai buruh harian di sebuah pabrik pengemasan di kawasan industri dekat tempat tinggalnya. Hari-harinya kini diisi dengan rutinitas monoton: bangun sebelum matahari terbit, menempuh perjalanan dengan berjalan kaki karena ongkos transportasi terlalu mahal, lalu berdiri berjam-jam di depan mesin yang menderu tanpa henti.Tubuhnya mulai terbiasa dengan rasa pegal, tetapi tidak dengan rasa lelah yang menggerogoti harga dirinya.Ia yang sebelumnya bekerja di perusahaan besar milik keluarga Angga membuatnya disegani oleh orang-orang di sekitar rumahnya, bahkan para teman alumni sekolah juga. Namun kini, ia tak lebih dari seorang pria yang bekerja serabutan untuk mencukupi hidupnya.Pulang malam itu, Elden duduk di lantai kosannya yang sempit dan lembap. Makanan instan sudah jadi teman setianya selama beberapa hari terakhir. Ia membuka ponselnya, mengecek pesan—masih tidak ada kabar dari Ziandra maupun perusahaan. Bahkan taw
Angga melangkah mendekat dengan langkah lambat, setiap jejaknya seolah menggema dalam keheningan yang mencekam.“Kenapa kau ada di sini bersama Elden?” tanyanya, datar. Sudah jelas itu ditujukan pada Ziandra karena hanya ada mereka bertiga di sana.Ziandra membuka mulut, ingin menjelaskan. Namun, suaranya tercekat. Ia tahu, dalam posisi seperti ini, penjelasan sering kali terdengar seperti pembelaan yang lemah. Ia mencoba menatap mata Angga, tetapi pria itu malah memalingkan pandangannya ke Elden.“Dan kau,” lanjut Angga, nadanya naik satu oktaf. “Sudah kuperingatkan untuk jangan lagi mendekati Ziandra! Sepertinya kau memang meremehkan atasanmu ini, kan? Kau pikir aku main-main dengan ancamanku jika sampai kau mengganggu istriku lagi?”Elden menggeleng cepat. “Kau salah paham. Aku hanya—”“Cukup.” Angga memotong, suaranya tajam. “Mulai sekarang, kau bukan lagi bagian dari perusahaan ini. Kau kupecat, Elden.”Angga lalu beralih menatap ke arah Ziandra lagi.“Aku ini suamimu, tapi kau m
Ziandra mendengus lirih ketika menerima telepon dari Elden. Pria itu tiba-tiba mengajaknya bertemu secepatnya, dengan alasan ada hal penting yang harus dibicarakan. Namun, sebelum sempat menolak, sambungan sudah lebih dulu terputus.Ia menghela napas pelan, menatap layar ponselnya beberapa detik sebelum meletakkannya di pangkuan. Sekilas, pandangannya berpindah ke Angga yang tengah menyetir dengan tatapan serius. Suaminya itu jelas sedang tidak tenang—sorot matanya kosong, rahangnya mengeras, dan tangannya menggenggam kemudi dengan kencang.Dengan gerakan hati-hati, Ziandra menggenggam tangan Angga yang bebas. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya ingin menyalurkan sedikit ketenangan lewat sentuhan hangat itu.Angga menoleh sekilas, menaikkan sebelah alisnya. “Ada apa?”Ziandra membuka mulut, ingin meminta izin kalau nanti akan bertemu Elden sebentar untuk urusan penting. Tapi mulutnya serasa terkunci, ia terdiam. Melihat raut letih Angga membuatnya mengurungkan niat bicara. Ia tahu, uca
Angga menggeram pelan, lalu kembali mengeluarkan ponsel dari sakunya. Satu kali lagi, ia mencoba menelepon ayahnya. Jari-jarinya menekan tombol cepat dengan gerakan tepat dan penuh amarah. Dada masih naik turun, rahangnya mengeras.Kali ini sambungan berhasil tersambung.Namun, yang menjawab bukan suara sang ayah.[“Halo?”]Suaranya lembut, tenang, dan sangat dikenal. Vidia.Angga langsung mendecih tajam, merasa perutnya melilit oleh rasa kesal yang makin mendidih. “Kenapa kau yang menjawab ponsel ayahku? Di mana dia?”[“Ayahmu sedang menikmati waktu bersama denganku. Kami baru saja sarapan, lho.”]“Aku tidak menelepon untuk mendengar omong kosongmu. Berikan telepon ini pada Ayah. Aku ingin bicara langsung dengannya.” Nada Angga tajam, tanpa basa-basi.[“Ayahmu sekarang sedang beristirahat dan tidak bisa diganggu.”]“Tidak mungkin,” desis Angga. “Dia pasti bisa bicara. Kau hanya sengaja menjauhkannya dariku.”Terdengar helaan napas malas dari seberang. [“Kalau kau terlalu sibuk menaru
Pagi itu terasa biasa saja—hangat, tenang, dan penuh semangat. Setidaknya begitu yang dirasakan Angga dan Ziandra saat melangkah beriringan memasuki lobi kantor. Saling tersenyum kecil, menyapa beberapa staf yang membalas dengan tatapan lega, seolah menyambut kembalinya kedamaian antara keduanya.Namun, langkah mereka terhenti seketika.Di depan lift yang belum juga terbuka, berdiri seseorang dengan postur tegak dan senyum angkuh yang sangat dikenal oleh keduanya. Sosok itu menoleh perlahan—dan saat matanya bertemu dengan milik Ziandra dan Angga, senyum tipisnya makin melebar.“Selamat pagi, Pak Angga, Bu Ziandra.” Suaranya terdengar manis, tapi jelas terasa menusuk.Liona.Ziandra refleks menahan napas. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Angga pun tidak kalah terkejut. Rahangnya mengeras, tubuhnya langsung menegang.Dengan langkah ringan, Liona mendekati mereka. Ia membungkuk kecil dengan sikap sopan yang dibuat-buat, lalu berdiri tegak kembali dengan ekspres
Langkah Ziandra pelan memasuki apartemen. Sepi. Lampu ruang tamu menyala redup, menyambutnya dengan kehangatan yang tak ia sangka-sangka. Saat menutup pintu perlahan, matanya langsung menangkap sosok seseorang yang terbaring di sofa—Angga.Laki-laki itu tertidur dalam posisi setengah duduk, tangan kanannya menjuntai ke lantai, sementara ponselnya tergeletak tak jauh dari sana. Napasnya teratur, wajahnya tenang. Untuk sesaat, semua amarah yang sempat menggelayuti hati Ziandra menguap begitu saja.Ia mendekat pelan, berjongkok agar sejajar dengan wajah Angga. Cahaya lembut dari lampu mengenainya dari samping, membuat sorot wajah itu tampak lebih damai dari biasanya.Seperti bayi ... batin Ziandra.Tangan kanan Ziandra terangkat, mengelus pelan pipi Angga yang terasa hangat. Sentuhan itu lembut, seperti menyentuh sesuatu yang rapuh. Ia tersenyum kecil, mengagumi garis wajah suaminya yang—di balik semua kelakuan dan dinginnya sikap—
Setelah percakapan panjang di rooftop, suasana hati Ziandra sedikit lebih ringan. Ia dan Jenna kini bisa saling memandang tanpa beban besar seperti sebelumnya. Mungkin belum benar-benar pulih, tetapi langkah menuju perbaikan sudah dimulai.Saat jam istirahat usai, Ziandra kembali ke ruangannya. Ia duduk di kursi kerja, memandangi layar komputer yang masih menampilkan dokumen yang belum rampung. Jemarinya sempat mengambang di atas keyboard, tapi pikirannya masih belum fokus.Namun, ketika Jenna sengaja lewat ke tempatnya dan mengedipkan mata sambil menunjukkan isyarat akan pulang bersama nanti, seulas senyum tipis akhirnya mengembang di wajahnya. Setidaknya, hari ini tidak sepenuhnya buruk.*****Sementara itu, di ruangannya, Angga hanya bisa memandangi jam dinding yang terasa berjalan lambat. Setiap menit yang berlalu terasa seperti menyiksa. Ia tidak tahu apa yang dipikirkan Ziandra sekarang, apakah hatinya sudah sedikit terbuka, atau justru semakin tert