Share

Bab 2

Setelah calon pengantin selesai berkenalan dengan semua orang, mereka bersiap menuju restoran untuk melanjutkan acara jamuan makan. Aku sebenarnya ingin mencari alasan untuk pulang lebih awal.

Tak kusangka, Dewi diam-diam menarikku ke sudut ruangan. Senyum lembutnya yang tadi langsung lenyap, digantikan dengan tatapan penuh amarah seolah-olah aku adalah musuhnya.

"Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Aku cuma bantu teman untuk urusan perjodohan. Dia nggak mau orang tuanya khawatir, ini juga demi berbakti sama mereka. Aku lagi berbuat baik. Kalau kamu berani mengganggu, kita putus," katanya dengan nada tajam.

Padahal jelas-jelas dia yang salah. Namun, dengan mudahnya dia mengancam untuk putus, seakan-akan hubungan kami hanya sekadar kartu yang bisa digunakannya setiap saat sesuai keinginannya.

Aku menatapnya tak percaya. "Tapi ini rumah pernikahan kita. Kamu itu pacarku."

Dewi menanggapinya dengan santai, "Sudah bilang, aku cuma bantu teman. Orang tuanya terus menekannya untuk menikah, dia sudah hampir nggak tahan. Lagian, aku saja nggak mempermasalahkan, kenapa kamu harus ribet? Kalau nggak bisa diterima, kita jual saja rumah ini, lalu beli yang baru. Lagian aku juga nggak suka sama renovasi yang sekarang."

Rumah yang dibilangnya tidak memuaskannya itu, malah dipamerkannya dengan bangga atas nama orang lain sebelumnya. Jadi, yang benar-benar tidak berharga bagi Dewi adalah rumah ini atau hubungan kami?

Kepahitan dalam hatiku terasa seperti segelas kopi hitam pekat yang bergejolak di perutku dan membuatku mual. Namun, Dewi sama sekali tidak peduli dengan keadaanku. Dia menunduk menatap ponselnya, lalu tersenyum tipis.

Setelah itu, dia mendongak dan berkata dengan nada tak sabaran, "Aku pergi dulu. Kamu mending nggak usah datang. Kalau datang, jangan buat masalah."

Dia pun berlalu, meninggalkanku yang berdiri dengan senyuman getir. Mana mungkin aku pergi? Kalau aku pergi, bagaimana aku bisa menyaksikan kebahagiaanmu?

Saat aku tiba di restoran, mereka sudah mulai makan. Dewi duduk bersama para tante di meja lain sambil berbincang dan bercanda. Dulu, dia selalu mengatakan bahwa betapa bencinya dia menghadapi para kerabat. Namun sekarang, terlihat jelas bahwa dia cukup mahir dalam menghadapi mereka.

Sepertinya, ucapan itu hanya ditujukan padaku.

Rayhan duduk bersama para pemuda di meja lain. Wajahnya memerah karena sudah menenggak beberapa gelas alkohol. Dia bercerita dengan bangga kepada orang-orang di sekitarnya.

Aku mencari tempat duduk dan mendengar Rayhan berkata, "Perempuan ini sudah terus mengejarku dari zaman kuliah, nggak bisa dilepas sama sekali. Aku juga terpaksa menerimanya. Sekarang dia malah maksa nikah. Perempuan itu memang bikin repot."

Seseorang di sebelahnya menimpali, "Tapi pasti ada sesuatu yang membuatmu tetap bertahan, 'kan? Kalau nggak, mana mungkin kamu tetap sama dia selama ini."

Rayhan tertawa kecil sambil mengangkat alis ke arah orang itu. "Kamu ngerti sendiri, 'kan? Dia memang hebat sekali kalau soal urusan ranjang. Nggak pernah bosan dan nggak pernah puas. Itu keahliannya."

Rayhan tertawa licik sambil mengacungkan jempolnya.

Para pria di meja itu langsung mengerti dan tertawa sambil melirik ke arah Dewi. Dewi yang tidak menyadari dirinya sedang menjadi bahan pembicaraan, melambaikan tangan ke arah kami sambil menyapa dengan tersenyum.

Dia tidak tahu bahwa dirinya menjadi bahan olok-olokan. Gadis yang dulu kuanggap begitu berharga, ternyata hanya sebatas itu di mata orang lain. Aku menarik napas panjang dan perlahan melepaskan cengkeraman jari yang menekan keras pahaku.

Selama kami pacaran, Dewi selalu mengatakan bahwa dia ingin memastikan aku adalah "orang yang tepat" dan semuanya harus menunggu hingga pernikahan.

"Tiket masuk" yang tidak pernah aku dapatkan, ternyata sudah diberikan dan dimainkan berkali-kali oleh orang lain.

Aku berdiri dan mengangkat gelasku. Seketika, semua mata tertuju padaku. Wajah Dewi berubah tegang. Dia menatapku dengan cemas dan sorot matanya jelas sedang memperingatkanku.

Aku menghindari tatapannya, lalu berkata kepada semua orang dengan suara lantang, "Kepada seluruh kerabat yang hadir, aku ingin menyampaikan beberapa patah kata."

"Ini memang baru pertama kalinya aku bertemu dengan sepupuku, Rayhan. Tapi, kami sepertinya memang ditakdirkan punya banyak kesamaan. Minat kami hampir sama. Karena itu, aku punya beberapa perlengkapan pernikahan yang sepertinya cocok untuk Rayhan. Aku akan memberikannya sekarang. Semoga mereka segera dikaruniai anak dan hidup bahagia sampai tua!"

Semua orang bertepuk tangan dan mengucapkan selamat.

Aku menambahkan dengan nada datar, "Tenang saja, bukan barang bekas. Aku belum pernah memakainya."

Dewi terkejut. Matanya membelalak dan wajahnya berubah dari marah menjadi panik. Dia berdiri, seolah-olah ingin menghampiriku dan menjelaskan sesuatu. Namun, seorang tante di dekatnya mengangkat gelas untuk bersulang dengannya. Dewi buru-buru menahan langkahnya, lalu tersenyum sambil meminum gelas itu dan duduk kembali.

Aku menggelengkan kepala dengan senyuman sinis, lalu berbalik pergi meninggalkan ruangan itu seorang diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status