Sebenarnya, hari ini seharusnya menjadi hari bahagia bagiku dan Dewi ... hari di mana kami sudah berjanji akan mempertemukan Dewi dengan orang tuaku.Kami sudah berpacaran selama tiga tahun, tapi pertemuan dengan orang tua selalu tertunda. Dewi selalu punya berbagai alasan untuk menghindar. Mulai dari gugup, sibuk dengan pekerjaan, tidak enak badan, sampai mengatakan bahwa hari itu tidak baik menurut ramalan.Tiga bulan yang lalu, kami hampir mencapai titik di mana Dewi akan benar-benar bertemu dengan orang tuaku. Ayah dan ibuku sudah mengenakan pakaian terbaik mereka dan datang ke restoran yang sudah kami pesan. Namun, Dewi tak kunjung muncul.Aku mencoba meneleponnya berkali-kali, tapi hanya terdengar nada sibuk. Akhirnya, dia mengirim pesan singkat.[ Temanku kecelakaan. ]Melihat alasan yang begitu tak masuk akal, aku tahu Dewi sedang menghindar lagi.Dewi pernah bercerita bahwa orang tuanya bercerai dan itu membuatnya takut untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Saat itu, aku hany
Aku tersenyum tipis. "Kamu sudah dengar dengan jelas, 'kan? Kita putus.""Jangan bersikap kekanak-kanakan, Marvin. Kata putus itu nggak bisa ditarik kembali lagi sekali diucapkan," ujar Dewi dengan wajah serius.Ternyata, dia juga tahu bahwa kata-kata seperti ini tidak bisa diucapkan sembarangan. Namun karena itu tidak terjadi padanya, dia berani mengatakan hal itu sebelumnya."Aku nggak berniat menarik kata-kataku. Kita benar-benar putus sekarang," kataku sambil menutup pintu dengan tegas.Hubungan kami sudah berakhir.....Ternyata, hanya butuh sebuah momen untuk membuat hati seseorang membeku sepenuhnya.Keesokan harinya, aku pindah dari rumah yang sudah kutempati selama tiga tahun ini dan kembali ke rumah orang tuaku. Setibanya di rumah, kedua orang tuaku sedang memasak. Ketika melihatku membawa barang-barang dalam kardus besar, reaksi pertama mereka adalah merasa khawatir."Nak, apa yang terjadi? Cerita sama kami, biar kami bantu. Nggak ada masalah yang nggak bisa diselesaikan."D
Sebenarnya, ini adalah permainan kecil yang dirancang olehku dan Dewi dulu. Jika salah satu dari kami marah tetapi pihak lainnya tidak tahu kesalahannya, pihak yang marah bisa menggunakan cara ini untuk memberikan jalan keluar bagi pihak yang bersalah untuk meminta maaf.Namun, itu hanya berlaku saat kami masih punya perasaan satu sama lain.Hanya saja, yang sering kali terjadi adalah aku yang selalu harus "mengisi ulang" permainan ini, sedangkan Dewi selalu bersikap acuh tak acuh. Dia malah senang berlomba siapa yang bisa marah lebih lama denganku.Namun kali ini, ada yang aneh dengan jumlah uang yang diminta.Saat aku masih bertanya-tanya, salah seorang teman yang belum tahu aku sudah putus, mengirimkan tangkapan layar dari story Dewi di media sosial.[ Wah, Dewi kelihatannya santai banget, mau liburan ya? ]Isi tangkapan layar itu adalah sebuah brosur penawaran tur wisata. Harga untuk paket dua orang kelas biasa adalah 40 juta, sedangkan untuk paket VIP dua orang adalah 60 juta.Dew
Aku tidak menjawab, tapi ekspresi dinginku sudah menjelaskan semuanya.Kenangan bersamanya kini terasa seperti sebuah film yang diputar di depan mataku dan aku hanyalah seorang penonton. Sekarang saat berhadapan dengan Dewi, perasaan yang dulu pernah membangkitkan hatiku sudah hilang sepenuhnya, digantikan oleh rasa jenuh dan ketidaksabaran.Dewi sepertinya tidak bisa menerima kenyataan ini. Dia mencoba meraihku, tetapi tidak berhasil. Dia menatap tangannya dengan tidak percaya. "Kenapa? Kenapa bisa begini? Cuma karena aku minjamkan rumah pernikahan itu ke Rayhan? Tapi dia kan sepupu jauhmu juga. Aku benar-benar cuma mau membantu!"Aku menatapnya dengan tenang. "Aku tahu, Rayhan itu mantan pacarmu dari kuliah. Dewi, berhentilah bersikap munafik. Kamu sendiri tahu apa yang sebenarnya kamu pikirkan saat itu."Dewi tetap tidak mau mendengarkanku dan tiba-tiba berteriak, "Aku isi ulang! Aku yang isi ulang , ya? Aku mau item untuk membuat Marvin nggak marah lagi. Aku mau beli item itu!"Sua
Dewi berjalan mendekat dalam kondisi kehujanan. Padahal dia memegang payung di tangannya, tapi tubuhnya malah basah kuyup. Rambutnya yang basah menempel di wajahnya. Aku hampir tidak bisa mengenalinya.Namun, hatiku sama sekali tak tergerak ataupun merasa kasihan. Lagi pula, nanti dia bisa kembali kepada Rayhan untuk mendapatkan penghiburan. Urusannya tidak ada lagi hubungannya denganku dan juga sebaliknya."Ini bukan urusanmu, pergi sana," kataku dengan tegas. Kegembiraan yang kurasakan dari pertemuan dengan Stevie hancur seketika karena kehadirannya. Rasanya aku ingin mengambil sapu dari rumah dan mengusirnya.Dewi berkata dengan memelas, "Aku cuma mau bawain payung karena takut kamu kehujanan."Stevie yang mendengar ucapannya langsung tertawa kecil. "Kamu nunggu di depan rumah orang untuk ngantarin payung? Kenapa kamu nggak langsung ke bank minta uang saja?" sindirnya.Aku ikut tertawa karena terhibur oleh analogi aneh yang dibuat Stevie. Benar juga, dulu Dewi tidak pernah peduli sa
Keesokan harinya, aku pergi memeriksa rumah pernikahanku. Saat mencoba membuka pintu, aku terkejut menyadari bahwa kuncinya telah diganti. Dari dalam, samar-samar terdengar suara tawa seorang laki-laki dan perempuan.Berkat peringatan dari Stevie, aku sudah menyiapkan rencana di kepalaku. Tanpa terburu-buru, aku menghubungi beberapa kerabat yang tinggal di dekat sini dengan alasan ingin memberikan hadiah untuk "sepupu" Rayhan. Kami semua berkumpul di depan pintu dan mulai mengetuknya.Setelah beberapa saat, Rayhan membuka pintu dengan wajah kesal. "Siapa sih? Pesanan makanan ya?" katanya dengan nada tidak sabar. Dia bahkan bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek.Beberapa tanteku langsung mengerutkan kening melihat penampilannya yang kurang sopan. Dari dalam rumah, terdengar suara seorang wanita, "Rayhan, siapa itu?"Aku langsung menyadari suara itu bukan milik Dewi. Para tanteku yang pendengarannya jeli, segera menyadari ada yang tidak beres. Tanpa basa-basi, mereka mendo
[ Aku berjodoh sekali sama sepupu jauhku ini. Rumah pengantinnya di kompleks yang sama, bahkan lantai dan nomor rumahnya juga sama. Apa aku yang salah lihat gedungnya? ]Diam-diam aku mengirim pesan kepada pacarku, Dewi, sambil mengeluh tentang kebetulan yang aneh ini.Baru saja pesan itu dikirimkan, sepupu jauhku, Rayhan, keluar dari kamar bersama calon istrinya. Suara sorak-sorai terdengar dari para kerabat yang hadir, sementara calon pengantin wanita menutupi wajahnya karena malu. Namun, hanya aku yang berdiri terdiam di tempat.Sampai ibuku menyikut lenganku dan berkata dengan nada kecewa, "Tuh lihat, adik sepupumu saja sudah mau nikah. Kamu kapan? Selalu saja ngomong mau bawa pacarmu yang entah benaran atau nggak itu datang. Kapan kamu benar-benar mau tunjukkin pacarmu itu?"'Bu, sebenarnya Ibu sudah pernah lihat pacarku. Yang berdiri malu-malu di samping pria lain sekarang, itulah pacarku, Dewi.'Aku tidak berani mengatakannya karena takut ibuku akan terkena serangan jantung di t
Keesokan harinya, aku pergi memeriksa rumah pernikahanku. Saat mencoba membuka pintu, aku terkejut menyadari bahwa kuncinya telah diganti. Dari dalam, samar-samar terdengar suara tawa seorang laki-laki dan perempuan.Berkat peringatan dari Stevie, aku sudah menyiapkan rencana di kepalaku. Tanpa terburu-buru, aku menghubungi beberapa kerabat yang tinggal di dekat sini dengan alasan ingin memberikan hadiah untuk "sepupu" Rayhan. Kami semua berkumpul di depan pintu dan mulai mengetuknya.Setelah beberapa saat, Rayhan membuka pintu dengan wajah kesal. "Siapa sih? Pesanan makanan ya?" katanya dengan nada tidak sabar. Dia bahkan bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek.Beberapa tanteku langsung mengerutkan kening melihat penampilannya yang kurang sopan. Dari dalam rumah, terdengar suara seorang wanita, "Rayhan, siapa itu?"Aku langsung menyadari suara itu bukan milik Dewi. Para tanteku yang pendengarannya jeli, segera menyadari ada yang tidak beres. Tanpa basa-basi, mereka mendo
Dewi berjalan mendekat dalam kondisi kehujanan. Padahal dia memegang payung di tangannya, tapi tubuhnya malah basah kuyup. Rambutnya yang basah menempel di wajahnya. Aku hampir tidak bisa mengenalinya.Namun, hatiku sama sekali tak tergerak ataupun merasa kasihan. Lagi pula, nanti dia bisa kembali kepada Rayhan untuk mendapatkan penghiburan. Urusannya tidak ada lagi hubungannya denganku dan juga sebaliknya."Ini bukan urusanmu, pergi sana," kataku dengan tegas. Kegembiraan yang kurasakan dari pertemuan dengan Stevie hancur seketika karena kehadirannya. Rasanya aku ingin mengambil sapu dari rumah dan mengusirnya.Dewi berkata dengan memelas, "Aku cuma mau bawain payung karena takut kamu kehujanan."Stevie yang mendengar ucapannya langsung tertawa kecil. "Kamu nunggu di depan rumah orang untuk ngantarin payung? Kenapa kamu nggak langsung ke bank minta uang saja?" sindirnya.Aku ikut tertawa karena terhibur oleh analogi aneh yang dibuat Stevie. Benar juga, dulu Dewi tidak pernah peduli sa
Aku tidak menjawab, tapi ekspresi dinginku sudah menjelaskan semuanya.Kenangan bersamanya kini terasa seperti sebuah film yang diputar di depan mataku dan aku hanyalah seorang penonton. Sekarang saat berhadapan dengan Dewi, perasaan yang dulu pernah membangkitkan hatiku sudah hilang sepenuhnya, digantikan oleh rasa jenuh dan ketidaksabaran.Dewi sepertinya tidak bisa menerima kenyataan ini. Dia mencoba meraihku, tetapi tidak berhasil. Dia menatap tangannya dengan tidak percaya. "Kenapa? Kenapa bisa begini? Cuma karena aku minjamkan rumah pernikahan itu ke Rayhan? Tapi dia kan sepupu jauhmu juga. Aku benar-benar cuma mau membantu!"Aku menatapnya dengan tenang. "Aku tahu, Rayhan itu mantan pacarmu dari kuliah. Dewi, berhentilah bersikap munafik. Kamu sendiri tahu apa yang sebenarnya kamu pikirkan saat itu."Dewi tetap tidak mau mendengarkanku dan tiba-tiba berteriak, "Aku isi ulang! Aku yang isi ulang , ya? Aku mau item untuk membuat Marvin nggak marah lagi. Aku mau beli item itu!"Sua
Sebenarnya, ini adalah permainan kecil yang dirancang olehku dan Dewi dulu. Jika salah satu dari kami marah tetapi pihak lainnya tidak tahu kesalahannya, pihak yang marah bisa menggunakan cara ini untuk memberikan jalan keluar bagi pihak yang bersalah untuk meminta maaf.Namun, itu hanya berlaku saat kami masih punya perasaan satu sama lain.Hanya saja, yang sering kali terjadi adalah aku yang selalu harus "mengisi ulang" permainan ini, sedangkan Dewi selalu bersikap acuh tak acuh. Dia malah senang berlomba siapa yang bisa marah lebih lama denganku.Namun kali ini, ada yang aneh dengan jumlah uang yang diminta.Saat aku masih bertanya-tanya, salah seorang teman yang belum tahu aku sudah putus, mengirimkan tangkapan layar dari story Dewi di media sosial.[ Wah, Dewi kelihatannya santai banget, mau liburan ya? ]Isi tangkapan layar itu adalah sebuah brosur penawaran tur wisata. Harga untuk paket dua orang kelas biasa adalah 40 juta, sedangkan untuk paket VIP dua orang adalah 60 juta.Dew
Aku tersenyum tipis. "Kamu sudah dengar dengan jelas, 'kan? Kita putus.""Jangan bersikap kekanak-kanakan, Marvin. Kata putus itu nggak bisa ditarik kembali lagi sekali diucapkan," ujar Dewi dengan wajah serius.Ternyata, dia juga tahu bahwa kata-kata seperti ini tidak bisa diucapkan sembarangan. Namun karena itu tidak terjadi padanya, dia berani mengatakan hal itu sebelumnya."Aku nggak berniat menarik kata-kataku. Kita benar-benar putus sekarang," kataku sambil menutup pintu dengan tegas.Hubungan kami sudah berakhir.....Ternyata, hanya butuh sebuah momen untuk membuat hati seseorang membeku sepenuhnya.Keesokan harinya, aku pindah dari rumah yang sudah kutempati selama tiga tahun ini dan kembali ke rumah orang tuaku. Setibanya di rumah, kedua orang tuaku sedang memasak. Ketika melihatku membawa barang-barang dalam kardus besar, reaksi pertama mereka adalah merasa khawatir."Nak, apa yang terjadi? Cerita sama kami, biar kami bantu. Nggak ada masalah yang nggak bisa diselesaikan."D
Sebenarnya, hari ini seharusnya menjadi hari bahagia bagiku dan Dewi ... hari di mana kami sudah berjanji akan mempertemukan Dewi dengan orang tuaku.Kami sudah berpacaran selama tiga tahun, tapi pertemuan dengan orang tua selalu tertunda. Dewi selalu punya berbagai alasan untuk menghindar. Mulai dari gugup, sibuk dengan pekerjaan, tidak enak badan, sampai mengatakan bahwa hari itu tidak baik menurut ramalan.Tiga bulan yang lalu, kami hampir mencapai titik di mana Dewi akan benar-benar bertemu dengan orang tuaku. Ayah dan ibuku sudah mengenakan pakaian terbaik mereka dan datang ke restoran yang sudah kami pesan. Namun, Dewi tak kunjung muncul.Aku mencoba meneleponnya berkali-kali, tapi hanya terdengar nada sibuk. Akhirnya, dia mengirim pesan singkat.[ Temanku kecelakaan. ]Melihat alasan yang begitu tak masuk akal, aku tahu Dewi sedang menghindar lagi.Dewi pernah bercerita bahwa orang tuanya bercerai dan itu membuatnya takut untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Saat itu, aku hany
Setelah calon pengantin selesai berkenalan dengan semua orang, mereka bersiap menuju restoran untuk melanjutkan acara jamuan makan. Aku sebenarnya ingin mencari alasan untuk pulang lebih awal.Tak kusangka, Dewi diam-diam menarikku ke sudut ruangan. Senyum lembutnya yang tadi langsung lenyap, digantikan dengan tatapan penuh amarah seolah-olah aku adalah musuhnya."Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Aku cuma bantu teman untuk urusan perjodohan. Dia nggak mau orang tuanya khawatir, ini juga demi berbakti sama mereka. Aku lagi berbuat baik. Kalau kamu berani mengganggu, kita putus," katanya dengan nada tajam.Padahal jelas-jelas dia yang salah. Namun, dengan mudahnya dia mengancam untuk putus, seakan-akan hubungan kami hanya sekadar kartu yang bisa digunakannya setiap saat sesuai keinginannya.Aku menatapnya tak percaya. "Tapi ini rumah pernikahan kita. Kamu itu pacarku."Dewi menanggapinya dengan santai, "Sudah bilang, aku cuma bantu teman. Orang tuanya terus menekannya untuk menikah, dia
[ Aku berjodoh sekali sama sepupu jauhku ini. Rumah pengantinnya di kompleks yang sama, bahkan lantai dan nomor rumahnya juga sama. Apa aku yang salah lihat gedungnya? ]Diam-diam aku mengirim pesan kepada pacarku, Dewi, sambil mengeluh tentang kebetulan yang aneh ini.Baru saja pesan itu dikirimkan, sepupu jauhku, Rayhan, keluar dari kamar bersama calon istrinya. Suara sorak-sorai terdengar dari para kerabat yang hadir, sementara calon pengantin wanita menutupi wajahnya karena malu. Namun, hanya aku yang berdiri terdiam di tempat.Sampai ibuku menyikut lenganku dan berkata dengan nada kecewa, "Tuh lihat, adik sepupumu saja sudah mau nikah. Kamu kapan? Selalu saja ngomong mau bawa pacarmu yang entah benaran atau nggak itu datang. Kapan kamu benar-benar mau tunjukkin pacarmu itu?"'Bu, sebenarnya Ibu sudah pernah lihat pacarku. Yang berdiri malu-malu di samping pria lain sekarang, itulah pacarku, Dewi.'Aku tidak berani mengatakannya karena takut ibuku akan terkena serangan jantung di t