Pagi itu, sinar matahari menembus tirai jendela kamar Kimberly, tapi tak sedikit pun berhasil mengusir rasa berat di dadanya. Matanya mengerjap pelan, berusaha membiasakan diri dengan cahaya pagi, namun pikirannya masih bergelayut pada percakapan kemarin malam. Kata-kata kedua orang tuanya terus berputar di kepalanya, seakan menjadi soundtrack mengerikan yang tak mau berhenti. *Menikah dengan James... demi bisnis?*
Kimberly tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis hanya karena alasan bisnis keluarga. Pernikahan—sebuah komitmen seumur hidup—diserahkan begitu saja pada kebutuhan perusahaan yang bahkan tidak ia pahami sepenuhnya. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar. Rasanya berat untuk bangun dan menjalani hari. Namun, ia tahu bahwa hidupnya harus terus berjalan, meski kini dipenuhi dengan kecemasan yang sulit ia bagi dengan siapa pun. Dia bangkit perlahan dari tempat tidur, berjalan menuju jendela kamarnya yang menghadap taman belakang rumah. Udara pagi terasa sejuk, tetapi tidak memberikan ketenangan seperti biasanya. Hari ini, semuanya terasa berbeda. Suara burung-burung berkicau di luar pun seakan tak mampu menyapa pikirannya yang terus kacau. *** Di ruang makan, suasana keluarga tampak seperti hari-hari biasa. Ibunya menyiapkan sarapan, sementara ayahnya sibuk membaca koran. Namun, bagi Kimberly, segala sesuatu kini terasa asing. Setiap gerakan mereka seolah-olah mengingatkan kembali pada kenyataan yang menunggu. Ia duduk di kursi, menatap roti panggang di piringnya tanpa nafsu makan. “Kamu kelihatan lesu, Kim,” kata ibunya tiba-tiba, memecah keheningan. Suaranya terdengar lembut, namun ada sedikit kekhawatiran dalam nadanya. “Kamu baik-baik saja, sayang?” Kimberly mengangguk pelan tanpa menatap ibunya. “Aku cuma sedikit pusing,” jawabnya, berusaha mengalihkan perhatian. Ia tidak ingin membahas perjodohan itu lagi, apalagi pagi-pagi begini. Rasanya seperti bayangan gelap yang terus mengikuti langkahnya sejak percakapan kemarin. Ayahnya yang duduk di ujung meja meletakkan korannya. “Kim, kita sudah sepakat akan bertemu dengan keluarga James akhir pekan ini. Kamu tahu ini penting, kan?” Kimberly menahan diri untuk tidak melontarkan protes. Ia ingin sekali mengatakan bahwa semua ini tidak adil, bahwa ia merasa seolah terperangkap dalam skenario yang tidak pernah ia pilih. Tapi apa gunanya? Orang tuanya sudah memutuskan, dan mereka selalu punya alasan yang terdengar masuk akal—demi keluarga, demi bisnis, demi masa depan. Kata-kata itu terus berulang-ulang di kepalanya, tapi semakin ia dengar, semakin ia merasa hampa. “Kim?” Ayahnya memanggil namanya, menunggu jawaban. “Ya, pa,” jawabnya singkat. “Aku akan siap.” Namun, di dalam hatinya, ia tidak yakin apa yang sebenarnya ia rasakan. *Siap? Bagaimana mungkin aku bisa siap?* pikirnya. Ia berdiri dari kursinya, menyambar tas sekolahnya dan berjalan ke arah pintu. Sebelum ibunya sempat menambahkan sesuatu, Kimberly sudah melangkah keluar, menutup pintu dengan cukup keras di belakangnya. *** Di sekolah, suasana pagi biasanya membuat Kimberly bersemangat. Keramaian siswa yang bercanda di koridor, suara lonceng yang memanggil mereka ke kelas, dan suara berisik khas sekolah seharusnya memberikan rasa familiar. Tapi tidak hari ini. Semuanya terasa datar. Suara-suara itu seakan hanya menjadi latar belakang yang hampa. Ketika ia membuka lokernya, Jennie—sahabatnya yang ceria—muncul dari balik kerumunan dengan senyum lebar seperti biasanya. “Hey, Kim! Kamu kelihatan capek banget. Ada apa?” Jennie menatapnya dengan tatapan cemas yang sulit disembunyikan. Kimberly berusaha memasang senyum, tapi rasanya terlalu berat. “Nggak apa-apa, cuma kurang tidur,” jawabnya singkat, sambil mengambil buku dari lokernya. Tangannya gemetar sedikit saat membuka kunci loker, dan Jennie, yang peka dengan perubahan sekecil apa pun, tentu tidak bisa dihindari. “Kim, aku kenal kamu terlalu lama buat percaya alasan kayak gitu. Ada yang salah, kan?” Jennie menatapnya tajam, berharap jawaban jujur dari sahabatnya. Kimberly menghela napas dalam-dalam. Ia tahu Jennie tidak akan mudah dibohongi, tetapi kali ini, ada hal yang tidak bisa ia ceritakan. Bukan karena ia tidak mempercayai Jennie, tapi karena rahasia ini terlalu besar. Terlalu berat. Ia merasa belum siap membagikannya kepada siapa pun, bahkan pada sahabat terbaiknya. “Aku serius, Jenn. Ini nggak ada apa-apa. Mungkin aku cuma lagi banyak pikiran soal tugas-tugas sekolah.” Kimberly berusaha mengalihkan perhatian dengan mengambil buku pelajaran dan memasukkannya ke dalam tas. Jennie mengangkat alisnya, jelas tidak puas dengan jawaban itu. Namun, ia memilih untuk tidak mendesak lebih lanjut. “Oke... kalau kamu mau cerita, kamu tahu aku selalu ada buat kamu, kan?” Kimberly tersenyum tipis. “Iya, aku tahu. Terima kasih, Jenn.” Mereka berjalan menuju kelas bersama, tetapi di dalam hati, Kimberly merasa bersalah. Ia tahu Jennie hanya ingin membantunya, tetapi bagaimana mungkin ia bisa menceritakan bahwa ia dijodohkan dengan James—pria yang paling ia benci? Itu terlalu rumit, terlalu... menakutkan. *** Hari itu, pelajaran terasa begitu lambat. Guru yang menjelaskan materi di depan kelas seperti suara yang jauh di kejauhan, tidak berhasil menarik perhatian Kimberly sama sekali. Pikirannya terus melayang-layang ke satu hal: perjodohan ini. Bagaimana ia bisa menjalani hidup dengan seseorang seperti James? Sosok yang selama ini selalu membuatnya kesal setiap kali mereka berinteraksi di OSIS. James—ketua OSIS yang perfeksionis dan dingin. Pria yang selalu memandang orang lain dari atas, seolah-olah dia yang paling tahu segalanya. Kimberly merasa mual membayangkan masa depannya harus dihabiskan bersama orang seperti itu. Ia menundukkan kepala di atas meja, menyembunyikan wajahnya di balik rambut, berharap waktu segera berlalu. Ketika bel istirahat berbunyi, Jennie kembali mengikutinya. Kali ini, mereka duduk di taman belakang sekolah, tempat yang biasanya tenang dan jauh dari keramaian siswa lain. Udara sejuk menyelimuti mereka, namun bagi Kimberly, dinginnya suasana tidak mampu menghilangkan beban di dadanya. “Aku masih merasa kamu nggak baik-baik aja, Kim,” Jennie berkata sambil menggoyangkan minuman kaleng di tangannya. “Aku nggak mau maksa, tapi aku beneran khawatir.” Kimberly menatap Jennie sebentar, lalu kembali memandang ke arah langit yang mulai sedikit mendung. Rahasia ini semakin menekan, tapi ia tahu bahwa dia tidak boleh membaginya. Setidaknya belum. “Aku cuma lagi bingung aja, Jenn. Banyak hal yang terjadi di rumah, dan aku belum siap buat cerita,” jawab Kimberly dengan nada pelan. Ia tidak berbohong, tetapi juga tidak memberikan detail apapun. Jennie pasti merasa ada sesuatu yang lebih besar di balik kata-katanya, namun sahabatnya itu hanya mengangguk pelan. “Kapanpun kamu siap, aku di sini, oke?” Kimberly tersenyum tipis. "Aku tahu, Jenn. Terima kasih." *** Sepanjang sore, Kimberly merasa terjebak dalam pikirannya sendiri. Setelah sekolah berakhir, dia tidak langsung pulang. Dia memilih berjalan-jalan di sekitar taman, berharap udara segar bisa membantunya berpikir lebih jernih. Namun, suasana tenang taman hanya memperparah kecemasannya. Langkahnya lambat, dan bayangan pertemuan akhir pekan ini terus menghantuinya. Bagaimana mungkin dia bisa menerima kenyataan bahwa hidupnya akan berubah selamanya? Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari ibunya. *“Jangan lupa, kita akan bertemu dengan keluarga James pada hari Sabtu. Pastikan kamu siap, sayang. Ini untuk masa depan kita semua.”* Pesan itu terasa seperti tamparan di wajah Kimberly. Napasnya terasa berat, dan ia menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia ingin lari dari semua ini, tapi di sisi lain, ia tahu bahwa keluarganya sangat membutuhkan dukungan dari keluarga James. Ia merasa terjebak. Kimberly memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas, lalu duduk di bangku taman. Di sekelilingnya, angin berhembus lembut, membuat dedaunan di pepohonan bergoyang pelan. Langit mulai berubah warna menjadi oranye keemasan saat matahari mulai tenggelam. Namun, semua keindahan itu seakan tak mampu menyentuh hati Kimberly yang sedang gelisah. Rahasia ini, beban ini, terasa semakin berat setiap detiknya. Kim menyandarkan punggungnya ke bangku, menatap langit yang semakin gelap. Dalam keheningan sore itu, dia tahu satu hal pasti: dia belum siap untuk menghadapi kenyataan yang menunggu di akhir pekan nanti. Tetapi, mau tidak mau, dia harus menjalani semua ini. *Bersambung~*Hari-hari di sekolah semakin menegangkan bagi Kimberly. Meskipun perjodohan yang dihadapinya semakin dekat, perasaannya semakin berat dengan pemikiran tentang bagaimana hidupnya akan berubah. Kehidupan remajanya yang penuh keceriaan terasa terancam oleh kenyataan bahwa ia akan dijodohkan dengan James, yang kini semakin sering muncul dalam hidupnya sebagai ketua OSIS yang tegas dan disiplin.Pagi itu, saat matahari mulai memancarkan sinar hangatnya, Kimberly melangkah keluar dari rumah dengan semangat baru. Udara segar menyambutnya, dan burung-burung berkicau riang, memberikan sedikit kelegaan di hati yang sedang gelisah. Namun, di dalam pikiran Kimberly, rasa cemas dan kesal masih menggelayuti. Hari ini, ia memutuskan untuk tampil berbeda. Mengapa tidak? Dia ingin menunjukkan bahwa ia bisa bersinar, meskipun suasana hatinya tidak mendukung.Sesampainya di kamar mandi sekolah, Kimberly mengeluarkan semua alat makeupnya. Lipstik merah menyala, eyeliner hitam yang taj
Kimberly duduk di tepi ranjangnya, memandang layar handphone yang berkedip di atas meja. Nama James muncul, bersinar dengan notifikasi pesan singkat. Dia mengernyit. Setelah hari yang penuh dengan ketegangan dan kemarahan di sekolah, kenapa sekarang dia harus menghadapi pesan dari James?“Kenapa dia tiba-tiba menghubungiku?” gumam Kimberly dengan nada heran. Pikiran buruk langsung melintas di benaknya, mengingat kejadian di sekolah tadi ketika James menghukumnya karena melanggar peraturan. Bukankah seharusnya urusan mereka sudah selesai? Kimberly menahan napas sebelum akhirnya menyerah dan membuka pesan itu. Mata cokelatnya menelusuri kata-kata sederhana yang tertera di layar:*"Gimana kabarmu?"*Kimberly berhenti sejenak. Ini aneh. Sangat aneh. James, ketua OSIS yang terkenal kaku, dingin, dan perfeksionis, tiba-tiba menanyakan kabarnya? Dia pasti salah baca. Kimberly bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mereka berbicara di luar urusan sekolah
Hari yang menakutkan dan menegangkan akhirnya tiba. Kimberly berdiri di depan cermin, memandangi dirinya dalam gaun sederhana namun elegan berwarna biru laut. Setiap detail penampilannya diperhatikan dengan seksama: dari tatanan rambutnya yang tergerai rapi hingga sapuan lipstik yang lembut. Dia berusaha meyakinkan diri bahwa ini adalah langkah yang penting, meskipun hatinya berdebar penuh kecemasan. Hari ini, keluarganya dan keluarga James akan bertemu di hotel restoran mewah untuk membahas perjodohan yang sudah disepakati.Setelah semua nya bersiap, Kimberly dan keluarganya berangkat menuju hotel yang terletak di pusat kota. Setiap langkah menuju pintu masuk terasa berat, dan suara kendaraan di luar seolah memperkuat beban di pundaknya. Di dalam hati, dia merenungkan semua yang akan terjadi. Di satu sisi, dia merindukan kebebasan untuk memilih hidupnya sendiri. Di sisi lain, dia tahu betapa pentingnya kesepakatan ini bagi keluarganya.Sesampainya di hotel, bangun
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui jendela kamar Kimberly, menyusup di antara tirai tipis berwarna krem. Cahaya lembut menyinari sudut-sudut kamar, menciptakan nuansa hangat yang biasanya menenangkan. Namun, pagi ini, suasana hati Kimberly sama sekali tidak secerah sinar matahari di luar. Ada perasaan gelisah yang tak dapat ia jelaskan, seperti ada awan gelap menggantung di atas kepalanya, siap menurunkan hujan kapan saja. Kimberly berdiri di depan cermin besar di sudut kamar, memandangi bayangan dirinya yang belum rapi. Rambut pirangnya tergerai acak-acakan, seolah menggambarkan kekacauan yang ia rasakan di dalam hati. “Hari ini harus jadi hari yang baik,” ia bergumam kepada dirinya sendiri, mencoba memberi semangat. Dengan cepat, ia mengambil sisir dan mulai merapikan rambutnya. Setelah puas dengan penampilannya, ia melirik jam dinding yang menunjukkan waktu hampir pukul tujuh pagi. Terlambat bukanlah opsi bagi Kimberly, walaupun di dalam hatiny