Kimberly duduk di tepi ranjangnya, memandang layar handphone yang berkedip di atas meja. Nama James muncul, bersinar dengan notifikasi pesan singkat. Dia mengernyit. Setelah hari yang penuh dengan ketegangan dan kemarahan di sekolah, kenapa sekarang dia harus menghadapi pesan dari James?
“Kenapa dia tiba-tiba menghubungiku?” gumam Kimberly dengan nada heran. Pikiran buruk langsung melintas di benaknya, mengingat kejadian di sekolah tadi ketika James menghukumnya karena melanggar peraturan. Bukankah seharusnya urusan mereka sudah selesai? Kimberly menahan napas sebelum akhirnya menyerah dan membuka pesan itu. Mata cokelatnya menelusuri kata-kata sederhana yang tertera di layar: *"Gimana kabarmu?"* Kimberly berhenti sejenak. Ini aneh. Sangat aneh. James, ketua OSIS yang terkenal kaku, dingin, dan perfeksionis, tiba-tiba menanyakan kabarnya? Dia pasti salah baca. Kimberly bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mereka berbicara di luar urusan sekolah, apalagi dengan nada sehangat ini. Rasanya hampir tak mungkin. Masih merenung, tangannya hampir secara otomatis ingin menekan tombol balas, tapi kemudian ponselnya bergetar lagi, disusul pesan baru yang muncul di bawahnya. Pesan kedua itu lebih panjang, dan kali ini benar-benar menghentikan detak jantungnya untuk sejenak. *"Aku sudah tahu tentang perjodohan kita. Tolong, jangan membuat masalah."* Pesan itu membuat Kimberly langsung terduduk tegak, seolah baru saja ditampar oleh kenyataan. Perjodohan? James tahu tentang ini? Napas Kimberly tersengal ketika kenyataan mulai meresap. James, orang yang selama ini dia anggap sebagai rivalnya di sekolah, yang selalu dingin dan menjengkelkan, ternyata sudah tahu tentang perjodohan yang diatur antara keluarga mereka. Tubuhnya mendadak terasa lemas, dan ia menjatuhkan ponselnya ke samping. Perasaan marah, bingung, dan kekecewaan bercampur menjadi satu. Sejak kapan James tahu? Dan kenapa dia bersikap seolah-olah perjodohan ini adalah sesuatu yang biasa saja? Kimberly terdiam, menatap langit-langit kamarnya, mencoba menenangkan pikirannya yang kini terasa sangat kacau. Bayangan perjodohan yang sejak kemarin sudah mulai menghantuinya kini semakin nyata. Hari ini James tahu, besok keluarganya akan datang ke rumah. Semua terasa terlalu cepat. Terlalu mendadak. Suara ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. Kimberly segera bangkit dan membuka pintu. Di sana, berdiri ibunya dengan senyum lembut seperti biasa. Tapi senyuman itu terasa berbeda sekarang, seolah menyembunyikan sesuatu yang besar. “Kim,” suara ibunya terdengar tenang namun penuh makna, “besok sore keluarganya James akan datang ke rumah. Kita akan membicarakan tentang perjodohanmu. Tolong, bersiap-siaplah.” Perkataan itu langsung mengunci Kimberly dalam keheningan. Ia tahu pertemuan ini akan datang, tapi mendengar langsung dari mulut ibunya membuat segalanya terasa jauh lebih nyata dan tidak bisa dihindari. Tubuhnya kaku. Otaknya masih mencoba mencerna kenyataan ini. “Kenapa aku, Ma?” tanyanya, suaranya pelan dan hampir tak terdengar. Pertanyaan itu lebih ditujukan kepada dirinya sendiri, tapi ibunya mendengarnya. Ibunya mendekat, duduk di tepi ranjang Kimberly. “Ini demi kebaikan kita semua, Kim. Kamu tahu kondisi bisnis ayahmu saat ini. Keluarga James bisa membantu kita keluar dari masalah ini.” Masalah bisnis. Jadi ini semua demi uang dan keuntungan keluarga. Hati Kimberly terasa berat mendengar penjelasan itu. Semua ini bukan tentang cinta atau takdir yang indah seperti di novel-novel yang biasa dia baca, melainkan soal transaksi bisnis antara dua keluarga. “Dan bagaimana dengan yang aku inginkan, Ma?” suaranya terdengar lebih tegas kali ini. Kimberly berusaha menahan air mata yang hampir mengalir, mencoba tetap tegar di depan ibunya. Ibunya hanya tersenyum tipis. “Kamu masih muda, Kim. Nanti kamu akan mengerti.” Itu saja yang dikatakan ibunya sebelum berdiri dan meninggalkan kamar. Pintunya ditutup pelan, meninggalkan Kimberly sendirian dengan perasaan campur aduk. Dia merasa terkekang. Hidupnya yang dulu terasa bebas dan penuh kemungkinan kini terasa sempit, seperti tidak ada jalan keluar dari perjodohan yang sudah ditetapkan. Kimberly melemparkan dirinya kembali ke atas ranjang, menatap langit-langit dengan pikiran yang berputar-putar. Dia masih seorang siswi SMA, seharusnya hidupnya penuh dengan kebebasan untuk memilih jalannya sendiri, bukan diatur oleh kesepakatan antara orang dewasa. Dia masih ingin bermimpi, bercita-cita, dan bersenang-senang dengan teman-temannya. Tapi sekarang, semuanya seakan hancur. Pikiran Kimberly kembali berlari ke arah James. Bagaimana mungkin dia bisa bersikap tenang tentang semua ini? Apakah dia benar-benar setuju dengan perjodohan ini, atau dia juga merasa terjebak seperti Kimberly? Dan kalaupun dia setuju, kenapa dia harus begitu dingin? Kimberly menggelengkan kepala. Tidak, dia tidak bisa membiarkan perjodohan ini mengendalikan hidupnya begitu saja. Namun, di sisi lain, apa yang bisa dia lakukan? Semua ini sudah direncanakan, dan dia hanyalah pion dalam permainan ini. Tapi satu hal yang pasti, dia tidak akan menyerah begitu saja. Jika ada kesempatan untuk keluar dari situasi ini, dia akan menemukannya. Ponselnya kembali bergetar. Pesan dari James muncul lagi di layar: *"Tolong, jangan membuat masalah. Ini penting untuk kita berdua."* Kimberly memandang pesan itu dengan rasa muak. Seolah-olah James tahu bahwa dia sedang memikirkan sesuatu yang tidak sesuai dengan rencana. “Jangan membuat masalah?” gumamnya dengan kesal, merasa terhina oleh sikap James yang menganggapnya akan mengikuti semua aturan ini tanpa perlawanan. Siapa dia sampai bisa mengatur hidupnya? Dengan marah, Kimberly mengetik balasan singkat: *“Aku tidak menjamin apa pun.”* Setelah itu, ia melemparkan ponselnya ke atas bantal dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kimberly tahu bahwa besok akan menjadi hari yang panjang dan sulit. Keluarga James akan datang ke rumahnya, dan segalanya akan mulai berubah. Tapi dia tidak akan membiarkan perjodohan ini berjalan tanpa perlawanan, meskipun dia belum tahu apa yang akan dia lakukan untuk melawan. Satu hal yang jelas, dia tidak akan membiarkan James atau siapa pun mengendalikan masa depannya begitu saja. Bahkan jika harus melawan seluruh keluarga, Kimberly akan mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Atau setidaknya, dia akan mencari cara untuk membuat semuanya berjalan sesuai keinginannya. Dengan pikiran yang terus berputar dan perasaan yang penuh dengan kebingungan, Kimberly akhirnya memejamkan mata, berusaha keras untuk tidur. Tapi rasa gelisah yang membebani pikirannya membuat tidur itu terasa begitu jauh. *Bersambung~*Hari yang menakutkan dan menegangkan akhirnya tiba. Kimberly berdiri di depan cermin, memandangi dirinya dalam gaun sederhana namun elegan berwarna biru laut. Setiap detail penampilannya diperhatikan dengan seksama: dari tatanan rambutnya yang tergerai rapi hingga sapuan lipstik yang lembut. Dia berusaha meyakinkan diri bahwa ini adalah langkah yang penting, meskipun hatinya berdebar penuh kecemasan. Hari ini, keluarganya dan keluarga James akan bertemu di hotel restoran mewah untuk membahas perjodohan yang sudah disepakati.Setelah semua nya bersiap, Kimberly dan keluarganya berangkat menuju hotel yang terletak di pusat kota. Setiap langkah menuju pintu masuk terasa berat, dan suara kendaraan di luar seolah memperkuat beban di pundaknya. Di dalam hati, dia merenungkan semua yang akan terjadi. Di satu sisi, dia merindukan kebebasan untuk memilih hidupnya sendiri. Di sisi lain, dia tahu betapa pentingnya kesepakatan ini bagi keluarganya.Sesampainya di hotel, bangun
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui jendela kamar Kimberly, menyusup di antara tirai tipis berwarna krem. Cahaya lembut menyinari sudut-sudut kamar, menciptakan nuansa hangat yang biasanya menenangkan. Namun, pagi ini, suasana hati Kimberly sama sekali tidak secerah sinar matahari di luar. Ada perasaan gelisah yang tak dapat ia jelaskan, seperti ada awan gelap menggantung di atas kepalanya, siap menurunkan hujan kapan saja. Kimberly berdiri di depan cermin besar di sudut kamar, memandangi bayangan dirinya yang belum rapi. Rambut pirangnya tergerai acak-acakan, seolah menggambarkan kekacauan yang ia rasakan di dalam hati. “Hari ini harus jadi hari yang baik,” ia bergumam kepada dirinya sendiri, mencoba memberi semangat. Dengan cepat, ia mengambil sisir dan mulai merapikan rambutnya. Setelah puas dengan penampilannya, ia melirik jam dinding yang menunjukkan waktu hampir pukul tujuh pagi. Terlambat bukanlah opsi bagi Kimberly, walaupun di dalam hatiny
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai jendela kamar Kimberly, tapi tak sedikit pun berhasil mengusir rasa berat di dadanya. Matanya mengerjap pelan, berusaha membiasakan diri dengan cahaya pagi, namun pikirannya masih bergelayut pada percakapan kemarin malam. Kata-kata kedua orang tuanya terus berputar di kepalanya, seakan menjadi soundtrack mengerikan yang tak mau berhenti. *Menikah dengan James... demi bisnis?* Kimberly tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis hanya karena alasan bisnis keluarga. Pernikahan—sebuah komitmen seumur hidup—diserahkan begitu saja pada kebutuhan perusahaan yang bahkan tidak ia pahami sepenuhnya. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar. Rasanya berat untuk bangun dan menjalani hari. Namun, ia tahu bahwa hidupnya harus terus berjalan, meski kini dipenuhi dengan kecemasan yang sulit ia bagi dengan siapa pun. Dia bangkit perlahan dari tempat tidur, berjalan menuju jendela kamarnya yang menghadap taman belakang
Hari-hari di sekolah semakin menegangkan bagi Kimberly. Meskipun perjodohan yang dihadapinya semakin dekat, perasaannya semakin berat dengan pemikiran tentang bagaimana hidupnya akan berubah. Kehidupan remajanya yang penuh keceriaan terasa terancam oleh kenyataan bahwa ia akan dijodohkan dengan James, yang kini semakin sering muncul dalam hidupnya sebagai ketua OSIS yang tegas dan disiplin.Pagi itu, saat matahari mulai memancarkan sinar hangatnya, Kimberly melangkah keluar dari rumah dengan semangat baru. Udara segar menyambutnya, dan burung-burung berkicau riang, memberikan sedikit kelegaan di hati yang sedang gelisah. Namun, di dalam pikiran Kimberly, rasa cemas dan kesal masih menggelayuti. Hari ini, ia memutuskan untuk tampil berbeda. Mengapa tidak? Dia ingin menunjukkan bahwa ia bisa bersinar, meskipun suasana hatinya tidak mendukung.Sesampainya di kamar mandi sekolah, Kimberly mengeluarkan semua alat makeupnya. Lipstik merah menyala, eyeliner hitam yang taj
Hari yang menakutkan dan menegangkan akhirnya tiba. Kimberly berdiri di depan cermin, memandangi dirinya dalam gaun sederhana namun elegan berwarna biru laut. Setiap detail penampilannya diperhatikan dengan seksama: dari tatanan rambutnya yang tergerai rapi hingga sapuan lipstik yang lembut. Dia berusaha meyakinkan diri bahwa ini adalah langkah yang penting, meskipun hatinya berdebar penuh kecemasan. Hari ini, keluarganya dan keluarga James akan bertemu di hotel restoran mewah untuk membahas perjodohan yang sudah disepakati.Setelah semua nya bersiap, Kimberly dan keluarganya berangkat menuju hotel yang terletak di pusat kota. Setiap langkah menuju pintu masuk terasa berat, dan suara kendaraan di luar seolah memperkuat beban di pundaknya. Di dalam hati, dia merenungkan semua yang akan terjadi. Di satu sisi, dia merindukan kebebasan untuk memilih hidupnya sendiri. Di sisi lain, dia tahu betapa pentingnya kesepakatan ini bagi keluarganya.Sesampainya di hotel, bangun
Kimberly duduk di tepi ranjangnya, memandang layar handphone yang berkedip di atas meja. Nama James muncul, bersinar dengan notifikasi pesan singkat. Dia mengernyit. Setelah hari yang penuh dengan ketegangan dan kemarahan di sekolah, kenapa sekarang dia harus menghadapi pesan dari James?“Kenapa dia tiba-tiba menghubungiku?” gumam Kimberly dengan nada heran. Pikiran buruk langsung melintas di benaknya, mengingat kejadian di sekolah tadi ketika James menghukumnya karena melanggar peraturan. Bukankah seharusnya urusan mereka sudah selesai? Kimberly menahan napas sebelum akhirnya menyerah dan membuka pesan itu. Mata cokelatnya menelusuri kata-kata sederhana yang tertera di layar:*"Gimana kabarmu?"*Kimberly berhenti sejenak. Ini aneh. Sangat aneh. James, ketua OSIS yang terkenal kaku, dingin, dan perfeksionis, tiba-tiba menanyakan kabarnya? Dia pasti salah baca. Kimberly bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mereka berbicara di luar urusan sekolah
Hari-hari di sekolah semakin menegangkan bagi Kimberly. Meskipun perjodohan yang dihadapinya semakin dekat, perasaannya semakin berat dengan pemikiran tentang bagaimana hidupnya akan berubah. Kehidupan remajanya yang penuh keceriaan terasa terancam oleh kenyataan bahwa ia akan dijodohkan dengan James, yang kini semakin sering muncul dalam hidupnya sebagai ketua OSIS yang tegas dan disiplin.Pagi itu, saat matahari mulai memancarkan sinar hangatnya, Kimberly melangkah keluar dari rumah dengan semangat baru. Udara segar menyambutnya, dan burung-burung berkicau riang, memberikan sedikit kelegaan di hati yang sedang gelisah. Namun, di dalam pikiran Kimberly, rasa cemas dan kesal masih menggelayuti. Hari ini, ia memutuskan untuk tampil berbeda. Mengapa tidak? Dia ingin menunjukkan bahwa ia bisa bersinar, meskipun suasana hatinya tidak mendukung.Sesampainya di kamar mandi sekolah, Kimberly mengeluarkan semua alat makeupnya. Lipstik merah menyala, eyeliner hitam yang taj
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai jendela kamar Kimberly, tapi tak sedikit pun berhasil mengusir rasa berat di dadanya. Matanya mengerjap pelan, berusaha membiasakan diri dengan cahaya pagi, namun pikirannya masih bergelayut pada percakapan kemarin malam. Kata-kata kedua orang tuanya terus berputar di kepalanya, seakan menjadi soundtrack mengerikan yang tak mau berhenti. *Menikah dengan James... demi bisnis?* Kimberly tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis hanya karena alasan bisnis keluarga. Pernikahan—sebuah komitmen seumur hidup—diserahkan begitu saja pada kebutuhan perusahaan yang bahkan tidak ia pahami sepenuhnya. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar. Rasanya berat untuk bangun dan menjalani hari. Namun, ia tahu bahwa hidupnya harus terus berjalan, meski kini dipenuhi dengan kecemasan yang sulit ia bagi dengan siapa pun. Dia bangkit perlahan dari tempat tidur, berjalan menuju jendela kamarnya yang menghadap taman belakang
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui jendela kamar Kimberly, menyusup di antara tirai tipis berwarna krem. Cahaya lembut menyinari sudut-sudut kamar, menciptakan nuansa hangat yang biasanya menenangkan. Namun, pagi ini, suasana hati Kimberly sama sekali tidak secerah sinar matahari di luar. Ada perasaan gelisah yang tak dapat ia jelaskan, seperti ada awan gelap menggantung di atas kepalanya, siap menurunkan hujan kapan saja. Kimberly berdiri di depan cermin besar di sudut kamar, memandangi bayangan dirinya yang belum rapi. Rambut pirangnya tergerai acak-acakan, seolah menggambarkan kekacauan yang ia rasakan di dalam hati. “Hari ini harus jadi hari yang baik,” ia bergumam kepada dirinya sendiri, mencoba memberi semangat. Dengan cepat, ia mengambil sisir dan mulai merapikan rambutnya. Setelah puas dengan penampilannya, ia melirik jam dinding yang menunjukkan waktu hampir pukul tujuh pagi. Terlambat bukanlah opsi bagi Kimberly, walaupun di dalam hatiny