Hari-hari di sekolah semakin menegangkan bagi Kimberly. Meskipun perjodohan yang dihadapinya semakin dekat, perasaannya semakin berat dengan pemikiran tentang bagaimana hidupnya akan berubah. Kehidupan remajanya yang penuh keceriaan terasa terancam oleh kenyataan bahwa ia akan dijodohkan dengan James, yang kini semakin sering muncul dalam hidupnya sebagai ketua OSIS yang tegas dan disiplin.
Pagi itu, saat matahari mulai memancarkan sinar hangatnya, Kimberly melangkah keluar dari rumah dengan semangat baru. Udara segar menyambutnya, dan burung-burung berkicau riang, memberikan sedikit kelegaan di hati yang sedang gelisah. Namun, di dalam pikiran Kimberly, rasa cemas dan kesal masih menggelayuti. Hari ini, ia memutuskan untuk tampil berbeda. Mengapa tidak? Dia ingin menunjukkan bahwa ia bisa bersinar, meskipun suasana hatinya tidak mendukung. Sesampainya di kamar mandi sekolah, Kimberly mengeluarkan semua alat makeupnya. Lipstik merah menyala, eyeliner hitam yang tajam, dan eyeshadow berwarna cerah. Dengan penuh perhatian, ia mulai merias wajahnya, menggambar garis halus di matanya, dan menambahkan sedikit blush on untuk memberikan warna pada pipinya. Setelah selesai, Kimberly memandang cermin dan tersenyum puas pada penampilannya. “Kamu terlihat luar biasa, Kim!” ucapnya pada diri sendiri, merasakan semangat yang mengalir dalam dirinya. Saat tiba di lorong sekolah, suasana istirahat terasa ramai. Teman-teman berkumpul di sekitar lapangan, bercanda dan tertawa. Saat Kimberly memasuki area itu, semua mata seolah tertuju padanya. Ia merasa percaya diri dan siap menghadapi dunia. “Wow, Kim! Kamu terlihat luar biasa!” seru Naura, teman dekatnya, saat mereka berkumpul di lapangan. “Terima kasih! Aku ingin terlihat berbeda hari ini,” jawab Kimberly dengan senyum lebar, menikmati perhatian yang diterimanya. Rasa bangga dan bahagia mulai menggantikan rasa cemas di hati. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Di tengah keramaian, James tiba-tiba muncul. Ia mengenakan seragam ketua OSIS dengan sikap yang tegas, mengeluarkan aura kewibawaan. Matanya terfokus pada penampilan Kimberly, dan seolah-olah menghentikan waktu sejenak. “Kimberly, kamu tahu bahwa ada peraturan tentang penampilan di sekolah ini, kan?” tanyanya, nada suaranya datar namun penuh wibawa. Kimberly terkejut, rasa percaya dirinya langsung sirna. “Apa? Ini hanya makeup! Aku tidak melakukan apa-apa yang salah,” balasnya, berusaha mempertahankan pendiriannya. “Tapi kamu menggunakan makeup berlebihan. Itu melanggar peraturan sekolah, hapus segera make up mu itu, dan cepat serahkan semua alat make up yang kau bawa ke sekolah” jawab James, menekankan setiap kata seolah dia adalah pengadil di ruang sidang. Mendengar itu, darah Kimberly mendidih. “Seolah kamu berhak mengatur bagaimana aku harus terlihat! Ini hidupku, James!” serunya, merasakan emosi yang tak tertahan. “Ini bukan hanya tentangmu. Kita harus menjaga citra sekolah,” ucap James, tidak menunjukkan tanda-tanda empati. Suasana di sekitar mereka mulai menegang, dan beberapa siswa berhenti untuk menyaksikan pertengkaran kecil itu. “Citra sekolah? Mengapa harus terlihat membosankan? Kita kan remaja! Kita harus bisa mengekspresikan diri!” balas Kimberly, rasa frustrasinya semakin memuncak. Ia merasa setiap kata yang diucapkannya bagaikan panah yang meluncur deras ke arah James. James menggelengkan kepala, wajahnya tetap serius. “Kalau begitu, siapkan dirimu untuk hukuman. Melanggar peraturan akan ada konsekuensinya,” katanya datar, seolah tidak ada ruang untuk negosiasi. Kimberly merasa terjebak. “Jadi, ini semua hanya tentang peraturan? Kamu tidak peduli tentang perasaanku?” tanyanya, suara penuh rasa frustrasi. “Kalau kamu melanggar aturan, maka itu adalah urusanmu. Kita tidak bisa membiarkan semua orang melanggar peraturan begitu saja,” jawabnya, seakan menganggap semua yang ia katakan sebagai sebuah kebenaran mutlak. Mendengar kata-kata itu, Kimberly merasa semua kepercayaan dirinya yang tadi ada seakan hancur. “Berapa lama kamu akan terus mengatur hidupku? Ini sangat menjengkelkan!” tegasnya, merasa semua mata di sekeliling mereka menatap penuh perhatian. James tidak menjawab, hanya berbalik pergi setelah menyatakan hukuman yang akan dijatuhkannya. “Kau akan mendapatkan catatan pelanggaran, Kimberly. Jangan salahkan aku kalau itu terjadi,” ujarnya sambil melangkah menjauh. Kimberly merasa marah dan kecewa. Teman-temannya yang tadinya ceria kini terdiam, bingung dengan ketegangan yang baru saja terjadi. “Aku tidak mau berurusan dengan dia,” gumam Kimberly, merasa tertekan. Hari itu terasa sangat panjang. Setiap kali ia melihat James di koridor, rasa benci dan frustrasi itu kembali muncul. Di kelas, semua terasa tidak nyaman. Ia tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran karena terus memikirkan hukuman yang akan dijatuhkan James padanya. Suara guru seolah menjadi hampa, dan setiap lembar tugas yang diberikan terasa semakin membebani pikirannya. Setelah pelajaran berakhir, saat berjalan keluar dari kelas, Naura menghampirinya. “Kim, tak jangan sedih terus, aku ngerti tindakan James sangat menyebalkan tapi ada benarnya juga sih” serunya, semangat pada Kimberly. “Iya tapi... aku sedang ingin berdandan dengan cantik hari ini apa tidak boleh, aku lelah sekali dengan semuanya!,” jawab Kimberly pesimis, merasa putus asa. “Sudah Kim, nanti kita bawa sama sama alat make up yang sudah di sita oleh James ke basecamp nya yaa” ucap Jennie, berusaha membangkitkan suasana hati Kimberly. “oke baiklah terima kasih teman teman kuhh.” Malam itu, saat pulang ke rumah, Kimberly merasa seluruh harinya hanya diisi dengan pertengkaran dan emosi yang tak berujung. Ia langsung menuju kamarnya, melemparkan tasnya ke sudut dan menghempaskan diri ke ranjang. Mengapa semua hal harus terasa seakan berbalik menentangnya? Dia tidak ingin hidupnya diatur oleh orang lain. Saat berbaring di ranjang, ia menatap langit-langit kamarnya, berpikir tentang semua yang telah terjadi. Ia mengingat kembali penampilannya yang berani, dan semangatnya kembali muncul. “Apa salahnya ingin terlihat baik?” gumamnya, berusaha meyakinkan diri sendiri. Mengapa James tidak bisa memahami bahwa setiap orang memiliki cara tersendiri untuk mengekspresikan diri? Namun, saat memikirkan rencana perjodohan yang akan datang, ia menyadari bahwa hidupnya akan semakin sulit. Semua seolah telah ditentukan, dan tidak ada cara untuk mengubahnya. Di dalam kegelapan malam, tekadnya semakin kuat. Jika ia harus menjalani perjodohan ini, maka ia akan melakukannya dengan caranya sendiri. Dia tidak ingin terperangkap dalam aturan yang mengikat. Dengan hati yang bergejolak dan tekad yang semakin kuat, Kimberly menutup mata, bersiap untuk menghadapi hari-hari yang akan datang. Dia tahu bahwa ini baru permulaan dari perjalanan panjang yang penuh tantangan. Dan satu hal yang pasti: ia tidak akan menyerah begitu saja. Keberanian dan ketidakpuasan dalam dirinya bagaikan bara yang menyala. Ia bertekad untuk membuktikan bahwa dirinya lebih dari sekadar peraturan yang ada. Kimberly akan menunjukkan kepada James dan semua orang bahwa dia bisa bersinar, meskipun harus melawan arus. Karena, di dalam hidupnya yang penuh teka-teki ini, dia adalah satu-satunya yang bisa menentukan jalan yang ingin diambil. Tiba tiba notifikasi handphone Kimberly berbunyi dan terlihat pesan dari James. "Ada apa tiba tiba sekali James menghubungi ku?" gumam Kimberly dengan heran sambil melihat notifikasi itu. *Bersambung~*Kimberly duduk di tepi ranjangnya, memandang layar handphone yang berkedip di atas meja. Nama James muncul, bersinar dengan notifikasi pesan singkat. Dia mengernyit. Setelah hari yang penuh dengan ketegangan dan kemarahan di sekolah, kenapa sekarang dia harus menghadapi pesan dari James?“Kenapa dia tiba-tiba menghubungiku?” gumam Kimberly dengan nada heran. Pikiran buruk langsung melintas di benaknya, mengingat kejadian di sekolah tadi ketika James menghukumnya karena melanggar peraturan. Bukankah seharusnya urusan mereka sudah selesai? Kimberly menahan napas sebelum akhirnya menyerah dan membuka pesan itu. Mata cokelatnya menelusuri kata-kata sederhana yang tertera di layar:*"Gimana kabarmu?"*Kimberly berhenti sejenak. Ini aneh. Sangat aneh. James, ketua OSIS yang terkenal kaku, dingin, dan perfeksionis, tiba-tiba menanyakan kabarnya? Dia pasti salah baca. Kimberly bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mereka berbicara di luar urusan sekolah
Hari yang menakutkan dan menegangkan akhirnya tiba. Kimberly berdiri di depan cermin, memandangi dirinya dalam gaun sederhana namun elegan berwarna biru laut. Setiap detail penampilannya diperhatikan dengan seksama: dari tatanan rambutnya yang tergerai rapi hingga sapuan lipstik yang lembut. Dia berusaha meyakinkan diri bahwa ini adalah langkah yang penting, meskipun hatinya berdebar penuh kecemasan. Hari ini, keluarganya dan keluarga James akan bertemu di hotel restoran mewah untuk membahas perjodohan yang sudah disepakati.Setelah semua nya bersiap, Kimberly dan keluarganya berangkat menuju hotel yang terletak di pusat kota. Setiap langkah menuju pintu masuk terasa berat, dan suara kendaraan di luar seolah memperkuat beban di pundaknya. Di dalam hati, dia merenungkan semua yang akan terjadi. Di satu sisi, dia merindukan kebebasan untuk memilih hidupnya sendiri. Di sisi lain, dia tahu betapa pentingnya kesepakatan ini bagi keluarganya.Sesampainya di hotel, bangun
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui jendela kamar Kimberly, menyusup di antara tirai tipis berwarna krem. Cahaya lembut menyinari sudut-sudut kamar, menciptakan nuansa hangat yang biasanya menenangkan. Namun, pagi ini, suasana hati Kimberly sama sekali tidak secerah sinar matahari di luar. Ada perasaan gelisah yang tak dapat ia jelaskan, seperti ada awan gelap menggantung di atas kepalanya, siap menurunkan hujan kapan saja. Kimberly berdiri di depan cermin besar di sudut kamar, memandangi bayangan dirinya yang belum rapi. Rambut pirangnya tergerai acak-acakan, seolah menggambarkan kekacauan yang ia rasakan di dalam hati. “Hari ini harus jadi hari yang baik,” ia bergumam kepada dirinya sendiri, mencoba memberi semangat. Dengan cepat, ia mengambil sisir dan mulai merapikan rambutnya. Setelah puas dengan penampilannya, ia melirik jam dinding yang menunjukkan waktu hampir pukul tujuh pagi. Terlambat bukanlah opsi bagi Kimberly, walaupun di dalam hatiny
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai jendela kamar Kimberly, tapi tak sedikit pun berhasil mengusir rasa berat di dadanya. Matanya mengerjap pelan, berusaha membiasakan diri dengan cahaya pagi, namun pikirannya masih bergelayut pada percakapan kemarin malam. Kata-kata kedua orang tuanya terus berputar di kepalanya, seakan menjadi soundtrack mengerikan yang tak mau berhenti. *Menikah dengan James... demi bisnis?* Kimberly tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis hanya karena alasan bisnis keluarga. Pernikahan—sebuah komitmen seumur hidup—diserahkan begitu saja pada kebutuhan perusahaan yang bahkan tidak ia pahami sepenuhnya. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar. Rasanya berat untuk bangun dan menjalani hari. Namun, ia tahu bahwa hidupnya harus terus berjalan, meski kini dipenuhi dengan kecemasan yang sulit ia bagi dengan siapa pun. Dia bangkit perlahan dari tempat tidur, berjalan menuju jendela kamarnya yang menghadap taman belakang
Hari yang menakutkan dan menegangkan akhirnya tiba. Kimberly berdiri di depan cermin, memandangi dirinya dalam gaun sederhana namun elegan berwarna biru laut. Setiap detail penampilannya diperhatikan dengan seksama: dari tatanan rambutnya yang tergerai rapi hingga sapuan lipstik yang lembut. Dia berusaha meyakinkan diri bahwa ini adalah langkah yang penting, meskipun hatinya berdebar penuh kecemasan. Hari ini, keluarganya dan keluarga James akan bertemu di hotel restoran mewah untuk membahas perjodohan yang sudah disepakati.Setelah semua nya bersiap, Kimberly dan keluarganya berangkat menuju hotel yang terletak di pusat kota. Setiap langkah menuju pintu masuk terasa berat, dan suara kendaraan di luar seolah memperkuat beban di pundaknya. Di dalam hati, dia merenungkan semua yang akan terjadi. Di satu sisi, dia merindukan kebebasan untuk memilih hidupnya sendiri. Di sisi lain, dia tahu betapa pentingnya kesepakatan ini bagi keluarganya.Sesampainya di hotel, bangun
Kimberly duduk di tepi ranjangnya, memandang layar handphone yang berkedip di atas meja. Nama James muncul, bersinar dengan notifikasi pesan singkat. Dia mengernyit. Setelah hari yang penuh dengan ketegangan dan kemarahan di sekolah, kenapa sekarang dia harus menghadapi pesan dari James?“Kenapa dia tiba-tiba menghubungiku?” gumam Kimberly dengan nada heran. Pikiran buruk langsung melintas di benaknya, mengingat kejadian di sekolah tadi ketika James menghukumnya karena melanggar peraturan. Bukankah seharusnya urusan mereka sudah selesai? Kimberly menahan napas sebelum akhirnya menyerah dan membuka pesan itu. Mata cokelatnya menelusuri kata-kata sederhana yang tertera di layar:*"Gimana kabarmu?"*Kimberly berhenti sejenak. Ini aneh. Sangat aneh. James, ketua OSIS yang terkenal kaku, dingin, dan perfeksionis, tiba-tiba menanyakan kabarnya? Dia pasti salah baca. Kimberly bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mereka berbicara di luar urusan sekolah
Hari-hari di sekolah semakin menegangkan bagi Kimberly. Meskipun perjodohan yang dihadapinya semakin dekat, perasaannya semakin berat dengan pemikiran tentang bagaimana hidupnya akan berubah. Kehidupan remajanya yang penuh keceriaan terasa terancam oleh kenyataan bahwa ia akan dijodohkan dengan James, yang kini semakin sering muncul dalam hidupnya sebagai ketua OSIS yang tegas dan disiplin.Pagi itu, saat matahari mulai memancarkan sinar hangatnya, Kimberly melangkah keluar dari rumah dengan semangat baru. Udara segar menyambutnya, dan burung-burung berkicau riang, memberikan sedikit kelegaan di hati yang sedang gelisah. Namun, di dalam pikiran Kimberly, rasa cemas dan kesal masih menggelayuti. Hari ini, ia memutuskan untuk tampil berbeda. Mengapa tidak? Dia ingin menunjukkan bahwa ia bisa bersinar, meskipun suasana hatinya tidak mendukung.Sesampainya di kamar mandi sekolah, Kimberly mengeluarkan semua alat makeupnya. Lipstik merah menyala, eyeliner hitam yang taj
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai jendela kamar Kimberly, tapi tak sedikit pun berhasil mengusir rasa berat di dadanya. Matanya mengerjap pelan, berusaha membiasakan diri dengan cahaya pagi, namun pikirannya masih bergelayut pada percakapan kemarin malam. Kata-kata kedua orang tuanya terus berputar di kepalanya, seakan menjadi soundtrack mengerikan yang tak mau berhenti. *Menikah dengan James... demi bisnis?* Kimberly tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis hanya karena alasan bisnis keluarga. Pernikahan—sebuah komitmen seumur hidup—diserahkan begitu saja pada kebutuhan perusahaan yang bahkan tidak ia pahami sepenuhnya. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar. Rasanya berat untuk bangun dan menjalani hari. Namun, ia tahu bahwa hidupnya harus terus berjalan, meski kini dipenuhi dengan kecemasan yang sulit ia bagi dengan siapa pun. Dia bangkit perlahan dari tempat tidur, berjalan menuju jendela kamarnya yang menghadap taman belakang
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui jendela kamar Kimberly, menyusup di antara tirai tipis berwarna krem. Cahaya lembut menyinari sudut-sudut kamar, menciptakan nuansa hangat yang biasanya menenangkan. Namun, pagi ini, suasana hati Kimberly sama sekali tidak secerah sinar matahari di luar. Ada perasaan gelisah yang tak dapat ia jelaskan, seperti ada awan gelap menggantung di atas kepalanya, siap menurunkan hujan kapan saja. Kimberly berdiri di depan cermin besar di sudut kamar, memandangi bayangan dirinya yang belum rapi. Rambut pirangnya tergerai acak-acakan, seolah menggambarkan kekacauan yang ia rasakan di dalam hati. “Hari ini harus jadi hari yang baik,” ia bergumam kepada dirinya sendiri, mencoba memberi semangat. Dengan cepat, ia mengambil sisir dan mulai merapikan rambutnya. Setelah puas dengan penampilannya, ia melirik jam dinding yang menunjukkan waktu hampir pukul tujuh pagi. Terlambat bukanlah opsi bagi Kimberly, walaupun di dalam hatiny