Pagi itu, sinar matahari masuk melalui jendela kamar Kimberly, menyusup di antara tirai tipis berwarna krem. Cahaya lembut menyinari sudut-sudut kamar, menciptakan nuansa hangat yang biasanya menenangkan. Namun, pagi ini, suasana hati Kimberly sama sekali tidak secerah sinar matahari di luar. Ada perasaan gelisah yang tak dapat ia jelaskan, seperti ada awan gelap menggantung di atas kepalanya, siap menurunkan hujan kapan saja.
Kimberly berdiri di depan cermin besar di sudut kamar, memandangi bayangan dirinya yang belum rapi. Rambut pirangnya tergerai acak-acakan, seolah menggambarkan kekacauan yang ia rasakan di dalam hati. “Hari ini harus jadi hari yang baik,” ia bergumam kepada dirinya sendiri, mencoba memberi semangat. Dengan cepat, ia mengambil sisir dan mulai merapikan rambutnya. Setelah puas dengan penampilannya, ia melirik jam dinding yang menunjukkan waktu hampir pukul tujuh pagi. Terlambat bukanlah opsi bagi Kimberly, walaupun di dalam hatinya, ia merasa berat untuk menghadapi hari ini. Bukan karena tugas atau pelajaran yang menumpuk, melainkan karena satu alasan yang sudah lama membuatnya merasa terganggu—James, ketua OSIS yang terkenal di sekolahnya. Setelah berpakaian seragam sekolah, ia turun ke ruang makan. Aroma roti panggang dan kopi memenuhi ruangan, namun kali ini aroma itu tidak membuat perutnya terasa lapar. Ibunya duduk di meja, sibuk dengan teleponnya. Sementara itu, ayahnya sudah berangkat lebih awal seperti biasa, mengurus bisnis keluarganya. “Pagi, Kim,” sapa ibunya, meski tatapannya masih tertuju pada layar ponsel. “Pagi, Ma,” Kimberly menjawab singkat sambil meraih roti panggang. Perasaan aneh itu masih menghantuinya, seolah ada yang tidak beres, tetapi ia belum tahu apa. Tak lama kemudian, Kimberly bergegas keluar dari rumah, tas sekolah tergantung di bahunya. Dia berjalan menuju sekolah bersama Jennie, sahabat baiknya yang tinggal di jalan yang sama. Jennie selalu menjadi teman yang bisa diandalkan, orang pertama yang mendengarkan keluh kesah Kimberly tentang apapun, terutama tentang James. "Kenapa mukamu begitu kusut, Kim?" Jennie bertanya sambil tertawa kecil ketika mereka bertemu di jalan. Kimberly menghela napas panjang. "Gimana ya, Jenn, aku benci banget kalau ingat ketua OSIS itu. James lagi-lagi mengatur semua orang seperti biasa." Jennie tersenyum simpul. “Oh, si ketua OSIS kita yang ‘perfeksionis’ itu? Apa lagi sekarang?” “Setiap kali ada acara sekolah atau kegiatan apa pun, semua harus sesuai dengan standar dia. Seolah-olah dia merasa harus menyelamatkan dunia! Semua hal kecil dikritiknya, semua orang harus tunduk sama perintahnya,” jawab Kimberly sambil mengayunkan langkahnya dengan lebih cepat, menandakan kegusarannya. “Padahal, kita bisa mengatur semuanya sendiri, kan? Kita punya otak juga!” Jennie mengangguk, memahami amarah sahabatnya. “Iya, aku tahu dia suka bikin orang lain pusing, tapi coba deh, bayangkan betapa ribetnya jadi ketua OSIS. Mungkin dia merasa semua tanggung jawab ada di pundaknya.” “Tapi tetap saja!” Kimberly mengeluh. “Itu tidak berarti dia bisa memperlakukan semua orang seperti anak buahnya. Dia selalu terlihat dingin, serius, dan… ugh, dia sungguh menyebalkan!” Saat mereka tiba di sekolah, Kimberly melihat sosok yang paling ia hindari berdiri di depan pintu masuk sekolah. James, ketua OSIS yang selalu tampak sempurna dengan seragam rapi, tengah memimpin rapat singkat dengan beberapa anggota OSIS lainnya. James memang selalu tampak berbeda dari siswa lain—dia tinggi, berwajah tampan dengan aura yang sulit didekati. Semua itu membuatnya tampak lebih dewasa dari usianya. Tetapi bagi Kimberly, penampilan itu tidak menutupi sifat mengontrolnya yang menurutnya menjengkelkan. “Lihat, si pengatur itu lagi,” desis Kimberly, melirik ke arah James sambil mempercepat langkahnya. “Kenapa dia selalu harus ada di mana-mana?” Jennie tertawa kecil. “Kamu benar-benar kesal ya sama dia? Mungkin karena dia terlalu sempurna?” “Pfft. Sempurna? Bukan itu masalahnya,” Kimberly menatap James dengan tatapan tajam. “Aku tidak tahan kalau ada orang yang suka mengatur segalanya tanpa peduli dengan pendapat orang lain. Semua orang di sekolah ini seperti terhipnotis olehnya, tapi tidak denganku. Aku tidak akan membiarkan dia mengatur hidupku!” Saat pelajaran berlangsung, Kimberly mencoba fokus, tetapi pikirannya terus melayang ke sosok James. Dia tidak bisa berhenti memikirkan betapa menyebalkannya James dengan segala peraturan dan kontrolnya yang berlebihan. Di antara teman-temannya, James memang dipandang sebagai siswa yang cerdas, bertanggung jawab, dan berwibawa, tetapi bagi Kimberly, semua sifat itu hanya menambah daftar panjang alasan mengapa dia tidak menyukai pria itu. Ketika bel istirahat berbunyi, Kimberly dan Jennie berjalan menuju kantin. Udara di sekitar mereka dipenuhi suara obrolan teman-teman sekelas yang saling bercanda. Namun, di tengah suasana riang itu, Kimberly masih terus memikirkan James. Di kantin, setelah mendapatkan makanan mereka, Kimberly duduk bersama teman-temannya di meja sudut yang biasa. “Aku tidak paham, apa sih yang dilihat semua orang dari James?” tanyanya dengan frustrasi sambil menggigit sandwichnya. “Dia hanya suka mengatur orang!” “Ah, lagi-lagi soal James,” sahut salah satu teman sekelas mereka, yang ikut mendengar keluhan Kimberly. “Dia memang orang yang disiplin, Kim. Mungkin itu yang bikin dia dipilih jadi ketua OSIS.” Kimberly mendengus pelan. “Disiplin itu satu hal, tapi dia terlalu berlebihan. Semua harus berjalan sesuai dengan cara dia, seolah-olah kita ini nggak punya akal sendiri.” Jennie tertawa kecil, mencoba menenangkan suasana. “Santai, Kim. Mungkin kamu terlalu keras padanya. Dia memang punya tanggung jawab besar sebagai ketua OSIS.” “Ah, sudahlah. Aku nggak akan biarin dia mengatur hidupku. Aku mau jalani masa SMA ini dengan caraku sendiri,” ujar Kimberly tegas, meski di dalam hatinya ada sedikit kekhawatiran yang tak ia pahami. Waktu istirahat berlalu, dan akhirnya hari sekolah pun selesai. Kimberly pulang dengan perasaan lelah, bukan karena pelajaran, melainkan karena pikirannya yang terus dipenuhi amarah pada James. Saat tiba di rumah, ia melihat suasana yang sedikit berbeda. Kedua orang tuanya duduk di ruang tamu, berbicara dengan nada serius. “Kim, bisa ke sini sebentar? Ada yang ingin kami bicarakan,” kata ibunya dengan suara yang tenang namun terasa penuh tekanan. Kimberly merasa jantungnya berdegup lebih cepat. “Apa yang terjadi?” tanyanya, berjalan mendekati orang tuanya. Ayahnya menghela napas panjang. “Ini tentang bisnis keluarga kita, Kim. Kami sudah berdiskusi dengan keluarga James.” Mendengar nama itu disebut, perasaan Kimberly semakin tidak nyaman. “James yang satu sekolah dengan Kim pah? Kenapa dengan keluarga James?” tanyanya, kini benar-benar waspada. “Ada keputusan penting yang kami buat,” ibunya mulai menjelaskan dengan hati-hati. “Keluarga kita memerlukan dukungan bisnis dari keluarga mereka, bisnis keluarga kita mulai tidak stabil, dan untuk memperkuat hubungan bisnis ini, kami setuju untuk menjodohkanmu dengan James.” Kata-kata itu terasa seperti bom yang meledak di kepala Kimberly. Segala sesuatu di sekitarnya tampak berhenti. Napasnya tercekat. "Jodoh? Dengan James? Kalian bercanda, kan?” suaranya bergetar. “Ini keputusan yang baik untuk keluarga, Kim. Ini akan membantu bisnis papahmu tetap kuat,” ibunya mencoba meyakinkan. “Jadi ini semua soal bisnis?” Kimberly nyaris berteriak. “Kalian menjodohkanku hanya untuk kepentingan bisnis?!” “Kim, dengarkan kami,” ayahnya menengahi, suaranya tetap tenang. “James adalah pilihan yang baik. Dia pintar, berprestasi, dan keluarganya bisa membantu kita.” “Tapi aku tidak mau menikah dengan seseorang hanya karena bisnis!” Kimberly menolak keras. “Aku bahkan tidak suka dia! Dia hanya tahu bagaimana mengatur orang lain!” Dengan marah, Kimberly berlari ke kamarnya, mengunci pintu di belakangnya. Air mata mulai mengalir di pipinya. Dunia yang ia kenal seolah runtuh dalam sekejap. Masa SMA yang seharusnya ia jalani dengan kebebasan, kini terasa seperti penjara. “Aku tidak percaya ini. Aku tidak percaya!” katanya sambil menatap cermin di kamarnya. Bayangan dirinya terasa begitu asing. “Aku tidak akan biarkan hidupku diatur oleh orang lain… tidak oleh James, tidak oleh siapa pun.” Kimberly tahu, mulai saat ini hidupnya akan berubah. *Bersambung~*Pagi itu, sinar matahari menembus tirai jendela kamar Kimberly, tapi tak sedikit pun berhasil mengusir rasa berat di dadanya. Matanya mengerjap pelan, berusaha membiasakan diri dengan cahaya pagi, namun pikirannya masih bergelayut pada percakapan kemarin malam. Kata-kata kedua orang tuanya terus berputar di kepalanya, seakan menjadi soundtrack mengerikan yang tak mau berhenti. *Menikah dengan James... demi bisnis?* Kimberly tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis hanya karena alasan bisnis keluarga. Pernikahan—sebuah komitmen seumur hidup—diserahkan begitu saja pada kebutuhan perusahaan yang bahkan tidak ia pahami sepenuhnya. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar. Rasanya berat untuk bangun dan menjalani hari. Namun, ia tahu bahwa hidupnya harus terus berjalan, meski kini dipenuhi dengan kecemasan yang sulit ia bagi dengan siapa pun. Dia bangkit perlahan dari tempat tidur, berjalan menuju jendela kamarnya yang menghadap taman belakang
Hari-hari di sekolah semakin menegangkan bagi Kimberly. Meskipun perjodohan yang dihadapinya semakin dekat, perasaannya semakin berat dengan pemikiran tentang bagaimana hidupnya akan berubah. Kehidupan remajanya yang penuh keceriaan terasa terancam oleh kenyataan bahwa ia akan dijodohkan dengan James, yang kini semakin sering muncul dalam hidupnya sebagai ketua OSIS yang tegas dan disiplin.Pagi itu, saat matahari mulai memancarkan sinar hangatnya, Kimberly melangkah keluar dari rumah dengan semangat baru. Udara segar menyambutnya, dan burung-burung berkicau riang, memberikan sedikit kelegaan di hati yang sedang gelisah. Namun, di dalam pikiran Kimberly, rasa cemas dan kesal masih menggelayuti. Hari ini, ia memutuskan untuk tampil berbeda. Mengapa tidak? Dia ingin menunjukkan bahwa ia bisa bersinar, meskipun suasana hatinya tidak mendukung.Sesampainya di kamar mandi sekolah, Kimberly mengeluarkan semua alat makeupnya. Lipstik merah menyala, eyeliner hitam yang taj
Kimberly duduk di tepi ranjangnya, memandang layar handphone yang berkedip di atas meja. Nama James muncul, bersinar dengan notifikasi pesan singkat. Dia mengernyit. Setelah hari yang penuh dengan ketegangan dan kemarahan di sekolah, kenapa sekarang dia harus menghadapi pesan dari James?“Kenapa dia tiba-tiba menghubungiku?” gumam Kimberly dengan nada heran. Pikiran buruk langsung melintas di benaknya, mengingat kejadian di sekolah tadi ketika James menghukumnya karena melanggar peraturan. Bukankah seharusnya urusan mereka sudah selesai? Kimberly menahan napas sebelum akhirnya menyerah dan membuka pesan itu. Mata cokelatnya menelusuri kata-kata sederhana yang tertera di layar:*"Gimana kabarmu?"*Kimberly berhenti sejenak. Ini aneh. Sangat aneh. James, ketua OSIS yang terkenal kaku, dingin, dan perfeksionis, tiba-tiba menanyakan kabarnya? Dia pasti salah baca. Kimberly bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mereka berbicara di luar urusan sekolah
Hari yang menakutkan dan menegangkan akhirnya tiba. Kimberly berdiri di depan cermin, memandangi dirinya dalam gaun sederhana namun elegan berwarna biru laut. Setiap detail penampilannya diperhatikan dengan seksama: dari tatanan rambutnya yang tergerai rapi hingga sapuan lipstik yang lembut. Dia berusaha meyakinkan diri bahwa ini adalah langkah yang penting, meskipun hatinya berdebar penuh kecemasan. Hari ini, keluarganya dan keluarga James akan bertemu di hotel restoran mewah untuk membahas perjodohan yang sudah disepakati.Setelah semua nya bersiap, Kimberly dan keluarganya berangkat menuju hotel yang terletak di pusat kota. Setiap langkah menuju pintu masuk terasa berat, dan suara kendaraan di luar seolah memperkuat beban di pundaknya. Di dalam hati, dia merenungkan semua yang akan terjadi. Di satu sisi, dia merindukan kebebasan untuk memilih hidupnya sendiri. Di sisi lain, dia tahu betapa pentingnya kesepakatan ini bagi keluarganya.Sesampainya di hotel, bangun
Hari yang menakutkan dan menegangkan akhirnya tiba. Kimberly berdiri di depan cermin, memandangi dirinya dalam gaun sederhana namun elegan berwarna biru laut. Setiap detail penampilannya diperhatikan dengan seksama: dari tatanan rambutnya yang tergerai rapi hingga sapuan lipstik yang lembut. Dia berusaha meyakinkan diri bahwa ini adalah langkah yang penting, meskipun hatinya berdebar penuh kecemasan. Hari ini, keluarganya dan keluarga James akan bertemu di hotel restoran mewah untuk membahas perjodohan yang sudah disepakati.Setelah semua nya bersiap, Kimberly dan keluarganya berangkat menuju hotel yang terletak di pusat kota. Setiap langkah menuju pintu masuk terasa berat, dan suara kendaraan di luar seolah memperkuat beban di pundaknya. Di dalam hati, dia merenungkan semua yang akan terjadi. Di satu sisi, dia merindukan kebebasan untuk memilih hidupnya sendiri. Di sisi lain, dia tahu betapa pentingnya kesepakatan ini bagi keluarganya.Sesampainya di hotel, bangun
Kimberly duduk di tepi ranjangnya, memandang layar handphone yang berkedip di atas meja. Nama James muncul, bersinar dengan notifikasi pesan singkat. Dia mengernyit. Setelah hari yang penuh dengan ketegangan dan kemarahan di sekolah, kenapa sekarang dia harus menghadapi pesan dari James?“Kenapa dia tiba-tiba menghubungiku?” gumam Kimberly dengan nada heran. Pikiran buruk langsung melintas di benaknya, mengingat kejadian di sekolah tadi ketika James menghukumnya karena melanggar peraturan. Bukankah seharusnya urusan mereka sudah selesai? Kimberly menahan napas sebelum akhirnya menyerah dan membuka pesan itu. Mata cokelatnya menelusuri kata-kata sederhana yang tertera di layar:*"Gimana kabarmu?"*Kimberly berhenti sejenak. Ini aneh. Sangat aneh. James, ketua OSIS yang terkenal kaku, dingin, dan perfeksionis, tiba-tiba menanyakan kabarnya? Dia pasti salah baca. Kimberly bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mereka berbicara di luar urusan sekolah
Hari-hari di sekolah semakin menegangkan bagi Kimberly. Meskipun perjodohan yang dihadapinya semakin dekat, perasaannya semakin berat dengan pemikiran tentang bagaimana hidupnya akan berubah. Kehidupan remajanya yang penuh keceriaan terasa terancam oleh kenyataan bahwa ia akan dijodohkan dengan James, yang kini semakin sering muncul dalam hidupnya sebagai ketua OSIS yang tegas dan disiplin.Pagi itu, saat matahari mulai memancarkan sinar hangatnya, Kimberly melangkah keluar dari rumah dengan semangat baru. Udara segar menyambutnya, dan burung-burung berkicau riang, memberikan sedikit kelegaan di hati yang sedang gelisah. Namun, di dalam pikiran Kimberly, rasa cemas dan kesal masih menggelayuti. Hari ini, ia memutuskan untuk tampil berbeda. Mengapa tidak? Dia ingin menunjukkan bahwa ia bisa bersinar, meskipun suasana hatinya tidak mendukung.Sesampainya di kamar mandi sekolah, Kimberly mengeluarkan semua alat makeupnya. Lipstik merah menyala, eyeliner hitam yang taj
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai jendela kamar Kimberly, tapi tak sedikit pun berhasil mengusir rasa berat di dadanya. Matanya mengerjap pelan, berusaha membiasakan diri dengan cahaya pagi, namun pikirannya masih bergelayut pada percakapan kemarin malam. Kata-kata kedua orang tuanya terus berputar di kepalanya, seakan menjadi soundtrack mengerikan yang tak mau berhenti. *Menikah dengan James... demi bisnis?* Kimberly tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis hanya karena alasan bisnis keluarga. Pernikahan—sebuah komitmen seumur hidup—diserahkan begitu saja pada kebutuhan perusahaan yang bahkan tidak ia pahami sepenuhnya. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar. Rasanya berat untuk bangun dan menjalani hari. Namun, ia tahu bahwa hidupnya harus terus berjalan, meski kini dipenuhi dengan kecemasan yang sulit ia bagi dengan siapa pun. Dia bangkit perlahan dari tempat tidur, berjalan menuju jendela kamarnya yang menghadap taman belakang
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui jendela kamar Kimberly, menyusup di antara tirai tipis berwarna krem. Cahaya lembut menyinari sudut-sudut kamar, menciptakan nuansa hangat yang biasanya menenangkan. Namun, pagi ini, suasana hati Kimberly sama sekali tidak secerah sinar matahari di luar. Ada perasaan gelisah yang tak dapat ia jelaskan, seperti ada awan gelap menggantung di atas kepalanya, siap menurunkan hujan kapan saja. Kimberly berdiri di depan cermin besar di sudut kamar, memandangi bayangan dirinya yang belum rapi. Rambut pirangnya tergerai acak-acakan, seolah menggambarkan kekacauan yang ia rasakan di dalam hati. “Hari ini harus jadi hari yang baik,” ia bergumam kepada dirinya sendiri, mencoba memberi semangat. Dengan cepat, ia mengambil sisir dan mulai merapikan rambutnya. Setelah puas dengan penampilannya, ia melirik jam dinding yang menunjukkan waktu hampir pukul tujuh pagi. Terlambat bukanlah opsi bagi Kimberly, walaupun di dalam hatiny