Hari yang menakutkan dan menegangkan akhirnya tiba. Kimberly berdiri di depan cermin, memandangi dirinya dalam gaun sederhana namun elegan berwarna biru laut. Setiap detail penampilannya diperhatikan dengan seksama: dari tatanan rambutnya yang tergerai rapi hingga sapuan lipstik yang lembut. Dia berusaha meyakinkan diri bahwa ini adalah langkah yang penting, meskipun hatinya berdebar penuh kecemasan. Hari ini, keluarganya dan keluarga James akan bertemu di hotel restoran mewah untuk membahas perjodohan yang sudah disepakati.
Setelah semua nya bersiap, Kimberly dan keluarganya berangkat menuju hotel yang terletak di pusat kota. Setiap langkah menuju pintu masuk terasa berat, dan suara kendaraan di luar seolah memperkuat beban di pundaknya. Di dalam hati, dia merenungkan semua yang akan terjadi. Di satu sisi, dia merindukan kebebasan untuk memilih hidupnya sendiri. Di sisi lain, dia tahu betapa pentingnya kesepakatan ini bagi keluarganya. Sesampainya di hotel, bangunan megah itu menjulang tinggi, dikelilingi lampu-lampu yang berkilau. Setiap langkah di dalam hotel itu seolah membawa beban yang lebih berat bagi Kimberly. Saat mereka melangkah masuk, suasana restoran yang elegan menyambut mereka. Ornamen emas dan perak menghiasi ruangan, sementara suara lembut alat musik mengisi udara, menciptakan suasana yang anggun. Keluarga James sudah menunggu di meja yang telah dipesan. Ibu James tersenyum lebar, sementara Ayah James terlihat serius, memeriksa dokumen di depannya. James duduk di samping ibunya, tampak tenang meski Kimberly bisa merasakan ketegangan di dalam dirinya. Matanya yang tajam menatap Kimberly, menciptakan jalinan emosi yang sulit dicerna. Suasana ini semakin menambah ketegangan di antara mereka. Setelah saling menyapa, mereka memutuskan untuk mulai makan. Hidangan lezat yang disajikan hanya sebagian dari kesenangan yang diharapkan. Selama makan, percakapan antara kedua orang tua mengalir dengan lancar, membahas berbagai topik, terutama tentang rencana bisnis real estate yang akan menguntungkan kedua keluarga. Kimberly dan James hanya duduk di sana, berusaha tidak terlalu memperhatikan, tetapi suasana yang kaku membuat mereka merasa terasing. Kimberly memperhatikan bagaimana James terkadang menjawab pertanyaan orang tuanya dengan nada formal, seolah dia sedang dalam rapat bisnis, bukan makan malam. Dia merasa semakin frustrasi ketika melihat bagaimana James mengatur pembicaraan dengan sikap dingin. “Seharusnya kita bisa bersantai sedikit, bukan?” pikirnya. Setelah beberapa saat, kedua orang tua mereka mengusulkan agar Kimberly dan James berbicara berdua. Dengan sedikit rasa canggung, mereka beranjak dari meja dan berjalan menuju area taman kecil di luar restoran, yang dihiasi lampu-lampu kecil dan pepohonan hijau rimbun. Suara air mancur yang mengalir menambah kesan romantis, meski mereka berdua merasakan ketegangan di antara mereka. Di luar, suasana sore yang sejuk membuat Kimberly merasa sedikit lebih tenang. Namun, saat mereka berdiri berdampingan, canggung dan diam, ketegangan kembali menyelimuti udara. “Jadi, apa pendapatmu tentang perjodohan ini?” Kimberly memecah keheningan, berusaha tampil tenang meskipun hatinya berdegup kencang. “Aku tidak tahu, Ini bukan seperti yang kita inginkan, kan?” jawab James, suara tegasnya mencerminkan ketidakpastian. “Tapi sepertinya ini adalah satu-satunya cara untuk membantu keluarga kita.” Kimberly mengangguk, tetapi kemarahan mulai menggelora di dalam dirinya. “Membantu keluarga kita? Sepertinya kamu tidak pernah memikirkan bagaimana perasaanku dalam semua ini!” James terkejut. “Kamu pikir aku tidak peduli? Ini juga tidak mudah bagiku! Kita berdua terjebak dalam situasi ini.” “Aku tidak ingin terjebak!” balas Kimberly, nada suaranya meningkat. “Seharusnya kita bisa berjuang untuk pilihan kita sendiri. Kenapa kita harus menyerah begitu saja?” James menghela napas, tampak frustrasi. “Kim, kita tidak bisa hanya melihat dari sudut pandang kita sendiri. Ada banyak yang harus dipertimbangkan. Keluarga kita sudah membuat keputusan, dan kita harus menghadapinya.” Mereka berdua terdiam, saling menatap dengan emosi yang bertabrakan. Kimberly merasa bingung. Apakah James benar? Di satu sisi, dia merindukan kebebasan untuk memilih hidupnya sendiri. Namun, di sisi lain, dia tahu betapa pentingnya kesepakatan ini bagi keluarganya. Setelah beberapa saat berdiam diri, Kimberly mencoba menenangkan diri. “Maaf, James. Aku hanya… frustrasi. Ini semua terjadi begitu cepat, dan aku merasa tidak memiliki kontrol atas hidupku.” James mengangguk, ekspresinya melunak. “Aku mengerti, Kim. Kita berdua berada di posisi yang sulit. Mungkin kita bisa mencari cara untuk membuat ini lebih baik.” Kimberly menarik napas dalam-dalam, merasa sedikit lega. “Oke, mari kita coba. Tapi aku ingin kita bisa berbicara secara terbuka tentang perasaan kita ke depan.” James tersenyum tipis. “Menarik.” Setelah berbincang, mereka kembali ke meja, di mana kedua orang tua mereka menunggu. Suasana di meja tampak tegang, dan Kimberly bisa merasakan jantungnya berdetak kencang saat mereka mendekati keluarga masing-masing. “Jadi, bagaimana? Apa keputusan kalian?” tanya Ayah Kimberly, nada suaranya penuh ketegangan. Kimberly menarik napas dalam-dalam, merasakan beratnya tanggung jawab di atas pundaknya. “Kami telah berdiskusi, tetapi sebelum melanjutkan perjodohan ini, kami ingin mengajukan beberapa syarat” ucap Kimberly, suaranya bergetar meski dia berusaha tampil percaya diri. Semua orang di meja makan langsung terdiam, terpaku oleh keberanian Kimberly mengajukan permintaan yang tak terduga. Tatapan terkejut terlihat di wajah orang tuanya, begitu juga keluarga James. Suasana restoran mewah yang tadinya hangat berubah hening, seakan seluruh dunia ikut menahan napas. Lampu-lampu kristal di langit-langit berkilauan lembut, tapi aura tegang yang menyelimuti meja itu begitu nyata. Kimberly merasa jantungnya berdegup kencang, namun dia menatap lurus ke depan. Dia tahu ini bukan momen yang mudah, tapi sudah saatnya dia angkat bicara. Di sampingnya, James terlihat sama sekali tidak terganggu. Wajahnya tetap tenang dan bahkan ada sedikit senyum di ujung bibirnya, seolah-olah dia sudah memprediksi reaksi Kimberly. Di saat semua orang terlihat canggung, James tampak seperti satu-satunya orang yang tidak terkejut. Di tengah keheningan itu, Ayah James akhirnya angkat bicara. Suaranya terdengar lembut dan menenangkan, berbeda dari suasana tegang yang menyelimuti ruangan. "Syarat seperti apa?" tanyanya dengan nada tenang, namun penuh perhatian. Tidak ada nada marah atau cemas, hanya keingintahuan yang tulus. Suara lembutnya seolah membelai udara yang kaku, membuat semua orang sedikit lebih rileks, meskipun ketegangan masih jelas terasa. Kedua orang tua Kimberly tampak sangat khawatir, takut jika putri mereka akan membuat masalah dengan mengajukan syarat-syarat yang aneh dan tak terduga. Kimberly bisa merasakan tatapan tajam dari semua orang tertuju padanya, namun dia berusaha tetap tenang. Wajahnya tetap dingin, hanya sebuah senyum tipis yang muncul, memperlambat jawaban yang dinantikan. Dari sudut matanya, James melirik ke arahnya, matanya seolah menyiratkan, *semoga saja Kimberly tidak memberikan syarat yang aneh-aneh,* pikir James dalam hati sambil menahan senyum. *Bersambung~*Pagi itu, sinar matahari masuk melalui jendela kamar Kimberly, menyusup di antara tirai tipis berwarna krem. Cahaya lembut menyinari sudut-sudut kamar, menciptakan nuansa hangat yang biasanya menenangkan. Namun, pagi ini, suasana hati Kimberly sama sekali tidak secerah sinar matahari di luar. Ada perasaan gelisah yang tak dapat ia jelaskan, seperti ada awan gelap menggantung di atas kepalanya, siap menurunkan hujan kapan saja. Kimberly berdiri di depan cermin besar di sudut kamar, memandangi bayangan dirinya yang belum rapi. Rambut pirangnya tergerai acak-acakan, seolah menggambarkan kekacauan yang ia rasakan di dalam hati. “Hari ini harus jadi hari yang baik,” ia bergumam kepada dirinya sendiri, mencoba memberi semangat. Dengan cepat, ia mengambil sisir dan mulai merapikan rambutnya. Setelah puas dengan penampilannya, ia melirik jam dinding yang menunjukkan waktu hampir pukul tujuh pagi. Terlambat bukanlah opsi bagi Kimberly, walaupun di dalam hatiny
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai jendela kamar Kimberly, tapi tak sedikit pun berhasil mengusir rasa berat di dadanya. Matanya mengerjap pelan, berusaha membiasakan diri dengan cahaya pagi, namun pikirannya masih bergelayut pada percakapan kemarin malam. Kata-kata kedua orang tuanya terus berputar di kepalanya, seakan menjadi soundtrack mengerikan yang tak mau berhenti. *Menikah dengan James... demi bisnis?* Kimberly tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis hanya karena alasan bisnis keluarga. Pernikahan—sebuah komitmen seumur hidup—diserahkan begitu saja pada kebutuhan perusahaan yang bahkan tidak ia pahami sepenuhnya. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar. Rasanya berat untuk bangun dan menjalani hari. Namun, ia tahu bahwa hidupnya harus terus berjalan, meski kini dipenuhi dengan kecemasan yang sulit ia bagi dengan siapa pun. Dia bangkit perlahan dari tempat tidur, berjalan menuju jendela kamarnya yang menghadap taman belakang
Hari-hari di sekolah semakin menegangkan bagi Kimberly. Meskipun perjodohan yang dihadapinya semakin dekat, perasaannya semakin berat dengan pemikiran tentang bagaimana hidupnya akan berubah. Kehidupan remajanya yang penuh keceriaan terasa terancam oleh kenyataan bahwa ia akan dijodohkan dengan James, yang kini semakin sering muncul dalam hidupnya sebagai ketua OSIS yang tegas dan disiplin.Pagi itu, saat matahari mulai memancarkan sinar hangatnya, Kimberly melangkah keluar dari rumah dengan semangat baru. Udara segar menyambutnya, dan burung-burung berkicau riang, memberikan sedikit kelegaan di hati yang sedang gelisah. Namun, di dalam pikiran Kimberly, rasa cemas dan kesal masih menggelayuti. Hari ini, ia memutuskan untuk tampil berbeda. Mengapa tidak? Dia ingin menunjukkan bahwa ia bisa bersinar, meskipun suasana hatinya tidak mendukung.Sesampainya di kamar mandi sekolah, Kimberly mengeluarkan semua alat makeupnya. Lipstik merah menyala, eyeliner hitam yang taj
Kimberly duduk di tepi ranjangnya, memandang layar handphone yang berkedip di atas meja. Nama James muncul, bersinar dengan notifikasi pesan singkat. Dia mengernyit. Setelah hari yang penuh dengan ketegangan dan kemarahan di sekolah, kenapa sekarang dia harus menghadapi pesan dari James?“Kenapa dia tiba-tiba menghubungiku?” gumam Kimberly dengan nada heran. Pikiran buruk langsung melintas di benaknya, mengingat kejadian di sekolah tadi ketika James menghukumnya karena melanggar peraturan. Bukankah seharusnya urusan mereka sudah selesai? Kimberly menahan napas sebelum akhirnya menyerah dan membuka pesan itu. Mata cokelatnya menelusuri kata-kata sederhana yang tertera di layar:*"Gimana kabarmu?"*Kimberly berhenti sejenak. Ini aneh. Sangat aneh. James, ketua OSIS yang terkenal kaku, dingin, dan perfeksionis, tiba-tiba menanyakan kabarnya? Dia pasti salah baca. Kimberly bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mereka berbicara di luar urusan sekolah
Hari yang menakutkan dan menegangkan akhirnya tiba. Kimberly berdiri di depan cermin, memandangi dirinya dalam gaun sederhana namun elegan berwarna biru laut. Setiap detail penampilannya diperhatikan dengan seksama: dari tatanan rambutnya yang tergerai rapi hingga sapuan lipstik yang lembut. Dia berusaha meyakinkan diri bahwa ini adalah langkah yang penting, meskipun hatinya berdebar penuh kecemasan. Hari ini, keluarganya dan keluarga James akan bertemu di hotel restoran mewah untuk membahas perjodohan yang sudah disepakati.Setelah semua nya bersiap, Kimberly dan keluarganya berangkat menuju hotel yang terletak di pusat kota. Setiap langkah menuju pintu masuk terasa berat, dan suara kendaraan di luar seolah memperkuat beban di pundaknya. Di dalam hati, dia merenungkan semua yang akan terjadi. Di satu sisi, dia merindukan kebebasan untuk memilih hidupnya sendiri. Di sisi lain, dia tahu betapa pentingnya kesepakatan ini bagi keluarganya.Sesampainya di hotel, bangun
Kimberly duduk di tepi ranjangnya, memandang layar handphone yang berkedip di atas meja. Nama James muncul, bersinar dengan notifikasi pesan singkat. Dia mengernyit. Setelah hari yang penuh dengan ketegangan dan kemarahan di sekolah, kenapa sekarang dia harus menghadapi pesan dari James?“Kenapa dia tiba-tiba menghubungiku?” gumam Kimberly dengan nada heran. Pikiran buruk langsung melintas di benaknya, mengingat kejadian di sekolah tadi ketika James menghukumnya karena melanggar peraturan. Bukankah seharusnya urusan mereka sudah selesai? Kimberly menahan napas sebelum akhirnya menyerah dan membuka pesan itu. Mata cokelatnya menelusuri kata-kata sederhana yang tertera di layar:*"Gimana kabarmu?"*Kimberly berhenti sejenak. Ini aneh. Sangat aneh. James, ketua OSIS yang terkenal kaku, dingin, dan perfeksionis, tiba-tiba menanyakan kabarnya? Dia pasti salah baca. Kimberly bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mereka berbicara di luar urusan sekolah
Hari-hari di sekolah semakin menegangkan bagi Kimberly. Meskipun perjodohan yang dihadapinya semakin dekat, perasaannya semakin berat dengan pemikiran tentang bagaimana hidupnya akan berubah. Kehidupan remajanya yang penuh keceriaan terasa terancam oleh kenyataan bahwa ia akan dijodohkan dengan James, yang kini semakin sering muncul dalam hidupnya sebagai ketua OSIS yang tegas dan disiplin.Pagi itu, saat matahari mulai memancarkan sinar hangatnya, Kimberly melangkah keluar dari rumah dengan semangat baru. Udara segar menyambutnya, dan burung-burung berkicau riang, memberikan sedikit kelegaan di hati yang sedang gelisah. Namun, di dalam pikiran Kimberly, rasa cemas dan kesal masih menggelayuti. Hari ini, ia memutuskan untuk tampil berbeda. Mengapa tidak? Dia ingin menunjukkan bahwa ia bisa bersinar, meskipun suasana hatinya tidak mendukung.Sesampainya di kamar mandi sekolah, Kimberly mengeluarkan semua alat makeupnya. Lipstik merah menyala, eyeliner hitam yang taj
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai jendela kamar Kimberly, tapi tak sedikit pun berhasil mengusir rasa berat di dadanya. Matanya mengerjap pelan, berusaha membiasakan diri dengan cahaya pagi, namun pikirannya masih bergelayut pada percakapan kemarin malam. Kata-kata kedua orang tuanya terus berputar di kepalanya, seakan menjadi soundtrack mengerikan yang tak mau berhenti. *Menikah dengan James... demi bisnis?* Kimberly tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis hanya karena alasan bisnis keluarga. Pernikahan—sebuah komitmen seumur hidup—diserahkan begitu saja pada kebutuhan perusahaan yang bahkan tidak ia pahami sepenuhnya. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar. Rasanya berat untuk bangun dan menjalani hari. Namun, ia tahu bahwa hidupnya harus terus berjalan, meski kini dipenuhi dengan kecemasan yang sulit ia bagi dengan siapa pun. Dia bangkit perlahan dari tempat tidur, berjalan menuju jendela kamarnya yang menghadap taman belakang
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui jendela kamar Kimberly, menyusup di antara tirai tipis berwarna krem. Cahaya lembut menyinari sudut-sudut kamar, menciptakan nuansa hangat yang biasanya menenangkan. Namun, pagi ini, suasana hati Kimberly sama sekali tidak secerah sinar matahari di luar. Ada perasaan gelisah yang tak dapat ia jelaskan, seperti ada awan gelap menggantung di atas kepalanya, siap menurunkan hujan kapan saja. Kimberly berdiri di depan cermin besar di sudut kamar, memandangi bayangan dirinya yang belum rapi. Rambut pirangnya tergerai acak-acakan, seolah menggambarkan kekacauan yang ia rasakan di dalam hati. “Hari ini harus jadi hari yang baik,” ia bergumam kepada dirinya sendiri, mencoba memberi semangat. Dengan cepat, ia mengambil sisir dan mulai merapikan rambutnya. Setelah puas dengan penampilannya, ia melirik jam dinding yang menunjukkan waktu hampir pukul tujuh pagi. Terlambat bukanlah opsi bagi Kimberly, walaupun di dalam hatiny