Senja sudah berganti malam. Lampu-lampu mulai dinyalakan untuk menerangi dunia menggantikan matahari yang selalu menghilang di sore hari.
Aiman belum beranjak dari rumah orang tua Hani, meskipun wanita itu tak mau menemuinya.
Aiman juga tak menghiraukan ancaman sang ibu, yang ia anggap gertakan semata itu. Hingga setengah jam kemudian ponselnya kembali berdering.
Dengan malas, Aiman merogoh benda itu, lalu melihat layarnya. Keningnya langsung berkerut saat nama Ratih yang tertera di sana. Pasti sang ibu menggunakan perawatnya itu, untuk membuatnya pulang. Itu pikir Aiman.
Tadinya ia ingin mengabaikan, tapi panggilan terus berulang sampai lima kali.
Hani menarik napas panjang dulu sebelum memasuki bangunan dua lantai yang beberapa tahun ini menjadi tempatnya mencari sesuap nasi.Terhitung sudah tiga kali berganti kepemilikan, hingga sekarang dibeli Pak Reynaldi. Ia setia mengabdi di sana.Ditatapnya bangunan kafe bergaya minimalis modern itu dengan senyum tipis di bibirnya. Sebentar lagi, ia bukan bagian dari kafe itu.Hani mulai melangkah menuju pintu khusus karyawan. Marta sudah dikabarinya sejak semalam. Gadis itu langsung menyongsongnya begitu ia masuk.Sama seperti dulu Marta pun tidak rela harus berpisah dengan sang sahabat, tapi ia tetap mendukung keputusan Hani.Ha
Aiman duduk dengan lesu di sisi blankar pasien. Tangannya tak lepas menggenggam tangan yang sudah keriput itu. Lalu diciumnya takzim. Rasa sesal sangat menghantuinya.Sudah sehari semalam ini sang ibu belum juga sadar setelah kemarin nekat meminum obat serangga. Sungguh Aiman sangat menyesalkan ini. Tak disangka sang ibu serius dengan ancamannya, bukan hanya menggertak.Ia terus berdoa dan mendampingi sang ibu tanpa meninggalkannya sekejap pun. Ia bahkan tak pergi ke kantor. Padahal Ratih juga bersedia menunggu ibunya, tetapi Aiman memutuskan akan menunggu sang ibu sampai sadar, dan meminta maaf."Ai." Suara pelan dan serak membuat kepala Aiman yang menelungkup di sisi blankar mendongak kaget. Matanya langsung berbinar saat dilihatnya sang ibu sudah m
Reynaldi mondar-mandir dengan gelisah di depan ruang bercat serba putih itu. Wajahnya sangat pucat menyiratkan kekhawatiran yang mendalam.Bu Ratna duduk terpekur dengan air mata tak henti mengalir. Di sisinya, sang suami terus mengelus pundak sang istri untuk menenangkannya. Padahal ia sendiri tak kalah khawatir. Bagaimana tidak, di dalam sana anak dan cucu mereka sedang berjuang antara hidup dan mati.Hani mengalami pendarahan hebat di rahimnya. Belum lagi luka di kulit kepala juga sebagian tubuh yang lainnya, akibat perbuatan Delia.Reynaldi sangat menyesalkan kejadian itu. Semua salahnya, kenapa ia bisa kecolongan seperti ini. Yang ia heran, kenapa tak ada seorang pun karyawannya yang mendengar teriakan Hani.
'Bruk'.Pintu kamar Aiman tertutup, setelah tubuhnya menghilang di baliknya. Meninggalkan Ratih yang masih mematung, jari-jari tangannya saling memilin satu sama lain.Aiman memejamkan matanya dengan kuat setelah berada di kamar. Punggungnya bersandar di balik pintu. Ia sebenarnya tak ingin menyakiti siapa pun, apalagi seorang wanita. Cukuplah dulu menyakiti Hani.Namun, apalah daya kejadian dulu harus terulang. Ia menikahi wanita yang tak dicintainya.Kalimat-kalimat penegasan itu pun harus diucapkannya lagi untuk kedua kalinya.Dulu, di hari pertama pernikahannya dengan Hani, ia pun mengucapkan kalimat pedas yang pasti menyak
Waktu seakan berhenti berputar. Pandangan mereka bertemu. Adegan saling tatap penuh kebencian pun tak dapat terhindarkan. Hingga salah satu wanita, yang tak lain Arum maju mendekat."Han," panggilnya seraya tersenyum, lalu memeluk dan mencium Hani tanpa sungkan. "Bagaimana kabar kamu?"Hani berusaha balik tersenyum walau terasa kaku."Baik, Mbak, alhamdulillah," jawabnya pelan. "Mbak Arum periksa?""Oh, biasa terapi Ibu." Arum melirik wanita di atas kursi roda yang terus menatap Hani dan ibunya penuh kebencian. "Kamu mau periksa, Han?""Iya, Mbak, kontrol jahitan, sama …." Hani melirik sang ibu di sampingnya. Ia urung bilang ingin k
"Kenapa kamu tidak sekalian kasih lihat sama si Yuli, rupa anak ini, Han?" tanya Ratna saat mereka sampai di rumah."Biar dia sekalian kena serangan jantung. Selama ini kan dia nuduh kamu hamil sama laki-laki lain." Sang ibu terlihat sangat gemas dengan mantan besannya itu.Hani menarik napas dalam. Kecemasan terlihat jelas di matanya."Justru sekarang aku mulai tidak tenang, Bu. Aku yakin Aiman akan terus mengganggu kita lagi. Padahal kemarin-kemarin hidupku sudah tenang tanpa dia.""Biarkan saja dia tahu sekalian. Ibu malah maunya kita pamerkan sekalian Hanan di depan mereka, untuk membungkam mulut pedas mantan mertuamu itu.""Tidak, Bu.
Aiman menghentikan mobilnya di depan rumah yang sudah terlihat sepi dari luar. Waktu di jam tangannya memang sudah menunjukkan pukul delapan malam.Ingin ia mengetuk pintunya lalu masuk dan memeluk sang anak yang berada di dalam sana. Namun, ia cukup tahu diri. Kesalahannya selama ini memang sulit dimaafkan. Ia sudah menelantarkan sang anak.Yang bisa dilakukannya saat ini, hanya bisa mengawasi rumah mantan mertuanya itu dari jauh. Dengan begini saja sudah merasa dekat dengan sang anak.Hingga pagi, Aiman di sana. Di dalam mobilnya. Bahkan rasa bersalah membuatnya tak punya muka untuk sekadar memasuki halaman rumah itu.Aiman berharap seseorang keluar, membawa bayi itu, hingga ia bisa melihat
Pikiran tak fokus membawanya kembali ke rumah sang ibu, padahal tadi ia berniat pulang ke rumahnya.Tanpa menghiraukan sekeliling ia langsung masuk ke dalam kamar. Mungkin orang-orang sudah tidur, karena jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 21.15.Lelaki itu langsung masuk kamar mandi, mengguyur dirinya mungkin bisa menghilangkan sedikit kepenatan hari ini. Cukup lama ia berkutat di dalam kamar kecil itu, hingga tubuhnya sudah merasa kedinginan.Aiman keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang membalut tubuh bagian bawahnya. Matanya memicing saat ia menyadari lampu kamar jadi temaran, padahal yakin tadi tak mematikan lampu.Tanpa mencurigai apa pun, lelaki itu langsung menuju lemari untuk