Hani berdiri mematung, ujung rambutnya dimainkan angin nakal di taman kota, sore ini. Di depannya, berdiri tak kalah kaku seorang lelaki dengan topi di kepalanya. Jarak mereka hanya dua meteran.
Beberapa waktu berselang, mereka hanya saling tatap dalam kekakuan. Entah apa yang harus dilakukan. Hingga ….
"Sayang, dapat popcorn-nya?" Seorang lelaki lain muncul di belakang Hani menggendong anak lelaki kecil.
"Mas, mana popcorn-nya? Bayi kita sudah tak sabar, nanti dia ileran, lho." Seorang wanita lain juga muncul di belakang lelaki bertopi.
Empat orang dewasa, berdiri kaku, dengan pandangan saling menatap tajam.
Hening. Tak
Part 1"Sudah Mas, segera urus perceraian kita secepatnya. Aku sudah lelah. Aku atau kamu yang yang akan menggugat?" kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Hani. Wajahnya sudah memerah dengan mata basah. Beban di dada yang setahun bersemayam rasanya ingin meledak.Aiman menatap tak percaya. Keterkejutan tergambar jelas di wajahnya."Han." Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirnya."Aku lelah berpura-pura terus. Lepaskan saja aku agar kamu tidak harus pusing mengurusi perempuan tidak bisa diatur sepertiku."Aiman masih mematung."Lelaki seperti kamu hanya pantas hid
Part 2Entah jam berapa ini, Hani merasa sangat haus. Tadi ia kebanyakan menangis, hingga jatuh tertidur, dan terjaga dalam kondisi haus.Ia membuka pintu, bermaksud ke ruang makan mengambil air minum. Alangkah kagetnya saat pintu terbuka Aiman nampak bangkit dari sofa ruang tengah yang langsung menghadap pintu kamar Hani.Tanpa mempedulikan Aiman yang memanggilnya, ia langsung ke belakang."Han, akhirnya kamu keluar juga. Mas, nungguin dari tadi," katanya sambil mengekori Hani. Sepertinya laki-laki itu memang belum tidur.Hani diam saja. Rasanya malas untuk sekedar menjawab pertanyaan laki-laki itu. Biar dia tahu bagaimana rasanya d
Part 3Hani meneguk habis air dalam gelas. Matanya melirik meja makan yang menghidangkan sepiring nasi goreng di atasnya. Ada secarik kertas diselipkan di bawah piring. Namun, ia tidak berminat membacanya sama sekali, terlebih memakan nasinya.Aiman sudah berangkat ke kantor. Hani memang sengaja pulang joging agak siang agar tak perlu bertemu lagi dengan lelaki itu pagi ini.Setelah mengembus napas kasar, ia berlalu ke kamar, mengambil ponselnya di meja, memutus sambungan ke kabel chargernya.Saat membuka pesan di aplikasi hijau, sederet pesan Aiman muncul di sana.[Han, nanti nasi gorengnya dimakan ya!]
Pagi ini, Hani sengaja tak keluar kamar. Rasanya malas harus bertemu laki-laki itu. Ia baru keluar, saat mobil Aiman terdengar meninggalkan halaman.Hani melirik meja makan, sudah ada sarapan lagi yang disiapkan Aiman untuknya, kali ini, sandwich isi telur dan sayuran. Secarik kertas terselip lagi di bawah piring.Penasaran, ia tarik sedikit kertas itu yang hanya ada satu kata di atasnya. MAAF.Ia kembalikan lagi kertas itu ke posisi semula, tanpa menyentuh sarapan yang disediakan Aiman. Malah merebus mie instant untuk sarapan.Saat sedang menikmati mie buatannya, ponselnya berdering. Nama Aiman terpampang di sana. Hani pastikan lelaki itu baru saja sampai di kantor.
Hani gegas menuju lemari, ia ingin segera mandi dan beristirahat. Dibukanya lemari besar itu, baju-bajunya tertata rapi di sana, seperti setahun belakangan. Aiman menatanya lagi, persis sama dengan cara Hani. Hanya satu yang aneh, ia tidak menemukan pakaian dalamnya.Bolak-balik dicarinya dari tahapan teratas sampai bawah tetap tidak ditemukan. Kekesalannya membuncah lagi, di mana Aiman menyimpan pakaian dalamnya?Ia juga marah membayangkan lelaki itu dengan lancang menyentuh barang yang sangat pribadinya itu.Hani berbalik menghadap Aiman yang ternyata sedang memperhatikannya. Namun, pura-pura memainkan lagi laptopnya saat kepergok."Mas!" panggilnya dengan menekan amarah. "Di mana pakaian d
Hani terbangun saat merasakan tubuhnya tidak bisa bergerak. Sesuatu terasa menghimpitnya. Matanya perlahan terbuka dan ia mendapati sebuah tangan melingkari perutnya.Hani terlonjak, dengan cepat ia melepaskan tangan lalu mendorong tubuh pemiliknya. Wajahnya merah menahan marah.Aiman yang kaget, mengerjap bingung. Tubuhnya disentakkan begitu saja."Kenapa, Han?" tanyanya serak."Kenapa kamu bilang? Kamu sudah mencuri-curi kesempatan memelukku," tudingnya marah."Cuma meluk aja...." jawabnya pelan."Cuma katamu? Jadi kamu sengaja menyuruhku tidur di sini, biar kamu bis
Hari ini terpaksa Hani menjalani hari yang membosankan. Karena ia menolak diajak jalan-jalan, jadi harus pasrah melihat Aiman berkeliaran di depan matanya seharian.Hani lupa ini hari sabtu, jadi harus libur bareng dengannya. Kalau saja ia ingat, pasti minta tuker off ke hari senin, agar tidak perlu melihat wajah itu seharian."Han, kita beresin kamar buat ibu, yuk!" ajak Aiman bersemangat."Males," hanya itu jawab Hani sambil terus memainkan ponsel.Akhirnya, seharian ini ia hanya duduk dan bermain ponsel saja. Mau keluar pun, kunci motornya disembunyikan. Ia malas harus memohon dan mengiba minta kunci dikembalikan. Aiman cerdik, laki-laki itu tahu pasti, Hani akan pergi keluar, kalau kunci
Dengan dada berdebar, Hani berjalan menuju pintu. Sementara Aiman memperhatikannya masih dengan meringis.Terlihat wanita itu menarik napas panjang dulu sebelum membuka pintu. Lalu memejamkan matanya beberapa saat."Waalaikumsalam…." ucapnya seraya membuka pintu dengan pelan."Halo menantu ibu yang cantik, apa kabar sayang? Kamu sehat, kan? Tambah cantik aja kamu, Han." Perempuan paruh baya itu langsung memeluk dan menciumi Hani dengan hangat.Hani hanya mengangguk dengan senyum dipaksakan. Ia meraih tangan keriput itu untuk dicium. Ibu mertuanya memang begitu menyayanginya, bahkan terlihat lebih sayang kepadanya daripada Aiman sendiri.