Part 1
"Sudah Mas, segera urus perceraian kita secepatnya. Aku sudah lelah. Aku atau kamu yang yang akan menggugat?" kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Hani. Wajahnya sudah memerah dengan mata basah. Beban di dada yang setahun bersemayam rasanya ingin meledak.
Aiman menatap tak percaya. Keterkejutan tergambar jelas di wajahnya.
"Han." Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirnya.
"Aku lelah berpura-pura terus. Lepaskan saja aku agar kamu tidak harus pusing mengurusi perempuan tidak bisa diatur sepertiku."
Aiman masih mematung.
"Lelaki seperti kamu hanya pantas hidup dalam masa lalu. Hiduplah dalam kenangan selamanya."
Hening.
"Dan satu lagi ... aku tidak suka dibandingkan dengan wanita manapun walaupun dengan kakakku sendiri. Apalagi dibandingkan dengan orang yang sudah tidak ada di dunia."
Aiman masih terperangah bahkan saat Hani berjalan kasar menuju kamar mereka. Wanita itu segera memasukkan baju-bajunya ke dalam tas besar.
Lelaki itu segera menyusul ke kamar. Lalu menghentikan gerakan tangan Hani.
"Kamu mau apa, Han?" tanyanya panik.
"Sejak hari ini sampai ketuk palu perceraian, aku akan tidur di kamar sebelah," jawabnya sambil menepis tangan Aiman.
"Kenapa harus begini, Han? Aku...." Aiman kikuk, ia tidak menyangka Hani akan semarah ini. Aiman menyesali perkataannya tadi.
Hani terus memasukkan semua barangnya yang tidak begitu banyak hingga tasnya penuh berjejal.
"Han, aku mohon, jangan seperti ini. Mana ada suami istri tidur di kamar terpisah.... "
"Apa kamu bilang? Suami? Istri? Aku bahkan tidak pernah merasa sebagai istri di rumah ini," sanggahnya sinis seraya mengangkat tas besarnya.
Wajah Aiman pucat, ia terpaku sesaat, sebelum menahan tas besar itu agar Hani tidak keluar.
"Han, ini bisa dibicarakan lagi bukan?" Wajah Aiman memelas.
"Kenapa kamu begitu panik, Mas? Aku hanya pindah ke kamar sebelah. Kamu jangan takut, aku masih bisa berpura-pura bahagia sampai ketok palu itu," ujarnya masih sinis lalu melangkah menuju pintu.
Tangan Hani meluruh sebelum meraih handel pintu, ia menaruh tas besar itu di lantai.
Wajah Aiman berbinar, secercah harapan hadir di sana. Hani tidak jadi pindah kamar. Dia hanya mengerjaiku. Itu pikirnya. Tapi wajahnya kembali mengeruh, saat tangan Hani membuka dompet dan mengeluarkan benda kecil pipih yang pernah diberikannya pada perempuan itu, sehari setelah pernikahan mereka.
"Ini ATM kamu, aku kembalikan, Mas," katanya seraya menyimpan benda itu di atas meja dekat pintu.
"Aku tidak mau terikat lagi denganmu. Hubungan kita hanya sebatas di atas kertas, sampai saat itu tiba." Setelah mengatakan itu Hani keluar kamar dengan menyeret tasnya. Meninggalkan Aiman yang masih terpaku dengan hati bagai teremas-remas.
Aiman berlari keluar kamar, setelah kesadarannya kembali. Ia menghadang wanita yang masih sah istrinya itu, di depan pintu kamar yang dituju Hani.
"Han, apa kata orang tua kita nanti kalau tahu kita pisah kamar? Tolong pikirkan lagi, ibuku bisa datang sewaktu-waktu ke sini. Kamu bisa bayangkan betapa marahnya dia."
"Kamu jangan khawatir, tidak akan ada yang tahu. Aku sudah bilang, masih bisa pura-pura bahagia seperti yang kamu mau." Hani menyingkirkan tubuh Aiman yang berdiri di depan pintu. Lalu masuk, dan segera menutup pintunya dengan cepat.
Bahu Aiman meluruh, matanya menatap kosong pintu yang sudah tertutup rapat itu. Menyembunyikan Hani di dalamnya. Kenapa hatinya sesakit ini, padahal Hani hanya pindah kamar. Bagaimana kalau Hani benar-benar pergi dari hidupnya. Apa ia sanggup melepasnya?
Ternyata sesakit ini diabaikan. Apa kabar Hani yang selama setahun ini tak pernah dianggap ada olehnya. Hani tak lebih pajangan yang hanya dipamerkan di depan keluarga besar dan siapapun dengan wajah pura-pura bahagia. Selebihnya wanita itu seperti kasat mata yang tidak terlihat di mata Aiman.
Di balik pintu, Hani pun jatuh meluruh di lantai dengan punggung bersandar di pintu. Bendungan yang sedari tadi coba ditahannya di balik kata tegar, jebol sudah. Air matanya berderai menganak sungai, meluapkan gejolak yang sudah lama bersemayam. Tidak menyangka ia akan menyerah secepat ini untuk merebut hati Aiman. Perjuangan panjangnya selama setahun menjadi sia-sia.
Namun, Hani tidak menyesal, karena ia sudah menunaikan tugasnya sebagai anak juga adik dengan memenuhi kemauan mereka menggantikan posisi kakaknya menikah dengan Aiman.
Hanya satu yang ia sesalkan, ia gagal merebut hati Aiman.
Part 2Entah jam berapa ini, Hani merasa sangat haus. Tadi ia kebanyakan menangis, hingga jatuh tertidur, dan terjaga dalam kondisi haus.Ia membuka pintu, bermaksud ke ruang makan mengambil air minum. Alangkah kagetnya saat pintu terbuka Aiman nampak bangkit dari sofa ruang tengah yang langsung menghadap pintu kamar Hani.Tanpa mempedulikan Aiman yang memanggilnya, ia langsung ke belakang."Han, akhirnya kamu keluar juga. Mas, nungguin dari tadi," katanya sambil mengekori Hani. Sepertinya laki-laki itu memang belum tidur.Hani diam saja. Rasanya malas untuk sekedar menjawab pertanyaan laki-laki itu. Biar dia tahu bagaimana rasanya d
Part 3Hani meneguk habis air dalam gelas. Matanya melirik meja makan yang menghidangkan sepiring nasi goreng di atasnya. Ada secarik kertas diselipkan di bawah piring. Namun, ia tidak berminat membacanya sama sekali, terlebih memakan nasinya.Aiman sudah berangkat ke kantor. Hani memang sengaja pulang joging agak siang agar tak perlu bertemu lagi dengan lelaki itu pagi ini.Setelah mengembus napas kasar, ia berlalu ke kamar, mengambil ponselnya di meja, memutus sambungan ke kabel chargernya.Saat membuka pesan di aplikasi hijau, sederet pesan Aiman muncul di sana.[Han, nanti nasi gorengnya dimakan ya!]
Pagi ini, Hani sengaja tak keluar kamar. Rasanya malas harus bertemu laki-laki itu. Ia baru keluar, saat mobil Aiman terdengar meninggalkan halaman.Hani melirik meja makan, sudah ada sarapan lagi yang disiapkan Aiman untuknya, kali ini, sandwich isi telur dan sayuran. Secarik kertas terselip lagi di bawah piring.Penasaran, ia tarik sedikit kertas itu yang hanya ada satu kata di atasnya. MAAF.Ia kembalikan lagi kertas itu ke posisi semula, tanpa menyentuh sarapan yang disediakan Aiman. Malah merebus mie instant untuk sarapan.Saat sedang menikmati mie buatannya, ponselnya berdering. Nama Aiman terpampang di sana. Hani pastikan lelaki itu baru saja sampai di kantor.
Hani gegas menuju lemari, ia ingin segera mandi dan beristirahat. Dibukanya lemari besar itu, baju-bajunya tertata rapi di sana, seperti setahun belakangan. Aiman menatanya lagi, persis sama dengan cara Hani. Hanya satu yang aneh, ia tidak menemukan pakaian dalamnya.Bolak-balik dicarinya dari tahapan teratas sampai bawah tetap tidak ditemukan. Kekesalannya membuncah lagi, di mana Aiman menyimpan pakaian dalamnya?Ia juga marah membayangkan lelaki itu dengan lancang menyentuh barang yang sangat pribadinya itu.Hani berbalik menghadap Aiman yang ternyata sedang memperhatikannya. Namun, pura-pura memainkan lagi laptopnya saat kepergok."Mas!" panggilnya dengan menekan amarah. "Di mana pakaian d
Hani terbangun saat merasakan tubuhnya tidak bisa bergerak. Sesuatu terasa menghimpitnya. Matanya perlahan terbuka dan ia mendapati sebuah tangan melingkari perutnya.Hani terlonjak, dengan cepat ia melepaskan tangan lalu mendorong tubuh pemiliknya. Wajahnya merah menahan marah.Aiman yang kaget, mengerjap bingung. Tubuhnya disentakkan begitu saja."Kenapa, Han?" tanyanya serak."Kenapa kamu bilang? Kamu sudah mencuri-curi kesempatan memelukku," tudingnya marah."Cuma meluk aja...." jawabnya pelan."Cuma katamu? Jadi kamu sengaja menyuruhku tidur di sini, biar kamu bis
Hari ini terpaksa Hani menjalani hari yang membosankan. Karena ia menolak diajak jalan-jalan, jadi harus pasrah melihat Aiman berkeliaran di depan matanya seharian.Hani lupa ini hari sabtu, jadi harus libur bareng dengannya. Kalau saja ia ingat, pasti minta tuker off ke hari senin, agar tidak perlu melihat wajah itu seharian."Han, kita beresin kamar buat ibu, yuk!" ajak Aiman bersemangat."Males," hanya itu jawab Hani sambil terus memainkan ponsel.Akhirnya, seharian ini ia hanya duduk dan bermain ponsel saja. Mau keluar pun, kunci motornya disembunyikan. Ia malas harus memohon dan mengiba minta kunci dikembalikan. Aiman cerdik, laki-laki itu tahu pasti, Hani akan pergi keluar, kalau kunci
Dengan dada berdebar, Hani berjalan menuju pintu. Sementara Aiman memperhatikannya masih dengan meringis.Terlihat wanita itu menarik napas panjang dulu sebelum membuka pintu. Lalu memejamkan matanya beberapa saat."Waalaikumsalam…." ucapnya seraya membuka pintu dengan pelan."Halo menantu ibu yang cantik, apa kabar sayang? Kamu sehat, kan? Tambah cantik aja kamu, Han." Perempuan paruh baya itu langsung memeluk dan menciumi Hani dengan hangat.Hani hanya mengangguk dengan senyum dipaksakan. Ia meraih tangan keriput itu untuk dicium. Ibu mertuanya memang begitu menyayanginya, bahkan terlihat lebih sayang kepadanya daripada Aiman sendiri.
Ibu berlalu menuju kamar yang sudah disiapkan Aiman, tetap menutupi wajahnya dengan jari-jari yang renggang.Sementara Aiman dan Hani masih di posisinya. Dengan tubuh Aiman telentang, dan Hani di atasnya. Mereka menatap tubuh ibu sampai menghilang di balik pintu kamar.Aiman tersenyum penuh kemenangan seraya tetap mengeratkan dekapannya. Seketika Hani tersadar, ia meronta sekuat tenaga, menjauhkan tubuhnya, mendorong dada Aiman dengan kuat hingga dekapan itu terlepas."Jangan coba-coba cari kesempatan, ya!" tudingnya marah ke arah wajah Aiman yang masih tersenyum jahil.Hani sudah berhasil duduk di samping lelaki itu. Rambutnya tampak acak-acakkan akibat aksi pemberontakannya barusan. Di mata
Hani berdiri mematung, ujung rambutnya dimainkan angin nakal di taman kota, sore ini. Di depannya, berdiri tak kalah kaku seorang lelaki dengan topi di kepalanya. Jarak mereka hanya dua meteran.Beberapa waktu berselang, mereka hanya saling tatap dalam kekakuan. Entah apa yang harus dilakukan. Hingga …."Sayang, dapat popcorn-nya?" Seorang lelaki lain muncul di belakang Hani menggendong anak lelaki kecil."Mas, mana popcorn-nya? Bayi kita sudah tak sabar, nanti dia ileran, lho." Seorang wanita lain juga muncul di belakang lelaki bertopi.Empat orang dewasa, berdiri kaku, dengan pandangan saling menatap tajam.Hening. Tak
Mengertilah Aiman sekarang, kenapa sejak pagi sang istri mendiamkannya. Membuat kepalanya serasa mau pecah. Memikirkan apa gerangan salahnya.Aiman masih menatap benda kecil pipih bergaris dua merah di telapak tangannya, sebelum melempar bunga di tangan ke atas sofa ruang tamu. Kemudian berlari menyusul sang istri yang sudah masuk meninggalkannya.Ditangkapnya tubuh sang istri, kemudian dibopong dan dibawa berputar-putar, untuk meluapkan rasa bahagia."Sayang ...kamu hamil lagi?" tanyanya sambil membawa tubuh Hani dalam bopongan berputar-putar.Hani memekik, seraya melingkarkan kedua tangan di leher sang suami."Mas, apaan sih kamu?
Sebulan berlalu ….Keluarga kecil itu, baru saja keluar dari RSJ tempat Sri dirawat. Mereka memang mengagendakan kunjungan rutin ke sana, untuk mengetahui perkembangan ibu dari sang kakak itu.Aiman sudah bersumpah akan mengobati wanita itu sampai sembuh. Bila nanti sudah benar-benar sembuh, ia juga akan menampung wanita itu. Akan menganggap Sri sebagai ibunya sendiri, sebagai pengganti Yuli. Itu dia lakukan sebagai bentuk penebusan dosa orang tuanya di masa lalu. Semoga dengan begitu, ayah, ibu, dan kakaknya tenang di alam sana.Tangan Aiman terjulur ingin membuka pintu mobil, saat seseorang memanggilnya. Semua menoleh ke asal suara. Tampak seorang lelaki berkacamata dan seorang gadis kecil di sana.
Jam tiga dini hari, Hani terbangun dengan kepala pusing. Wanita itu juga belum lama memejamkan mata. Ia menemani dulu sang suami mengisi perut dan mendengarkan semua ceritanya.Suara gumaman pelan terdengar dari sampingnya berbaring. Dipaksanya bola mata untuk terbuka karena penasaran dengan suara yang didengarnya.Suara itu ternyata keluar dari mulut Aiman yang tubuhnya menggigil, tetapi matanya terpejam. Hani segera bangkit, duduk di sebelah tubuh suaminya yang masih terbaring. Wanita itu menempelkan punggung tangannya di kening sang suami.Hani terperanjat, karena suhu tubuh itu begitu tinggi. Tubuh Aiman sangat panas. Pantaslah lelaki itu begitu menggigil.Hani segera beranjak ke dapur me
Aiman melangkah gontai mendekati tubuh yang meringkuk dan bersimbah darah, diiringi tatapan semua orang yang menyaksikan. Tubuh lelaki itu langsung meluruh dengan lemah tepat di sisi tubuh yang merintih itu.Tatapan nanar ia tujukan pada wajah pucat yang terus merintih, dan memegangi perutnya yang terus mengeluarkan darah. Ada dua luka di tubuh Arum. Satu di kaki, mungkin polisi menembaknya untuk melumpuhkannya, agar tidak kabur. Satu lagi di perut, karena wanita itu melawan, dan malah menyandera warga. Anak kecil pula. Mengancam dengan senjata tajam. Hingga akhirnya polisi harus menyarangkan lagi timah panas di perutnya.Semua warga yang menyaksikan tak ada yang bersuara. Mereka diam bahkan menahan napas. Semua penasaran drama apa yang akan terjadi selanjutnya antara dua bersaudara itu.
Hani dijemput orang tuanya, mereka pulang setelah Hanan membaik. Sementara Aiman kembali ke tempat semula. Mungkin jasad sang ibu sudah dibawa ke rumah sakit. Namun, ia ingin mengurus Sri, dan mengetahui sejauh mana pencarian Arum.Aiman tak menyangka, keluarganya akan hancur seperti ini. Arum yang berubah kalap setelah mengetahui kisah hidupnya. Lalu ada wanita bernama Sri, yang menderita sekian lama, karena keputusan sang ayah di masa lalu. Hanan yang menjadi korban balas dendam Arum, dan terakhir sang ibu yang harus meninggal dengan tragis, di tangan anak yang sudah dibesarkan sejak bayi.Sungguh semua terjadi begitu cepat, di saat ia seharusnya tengah menikmati bulan madu setelah berhasil membawa wanita yang dicintainya dalam pernikahan kedua kalinya.S
Dengan tangan gemetar, Aiman mengemudikan mobil keluar dari perkampungan itu mencari klinik terdekat. Di sampingnya, Hani terus menangis mendekap sang anak yang kondisinya mengkhawatirkan.Hanan demam tinggi, tubuhnya kejang-kejang, matanya berputar ke atas sejak tadi. Entah apa yang terjadi, mungkin ia ketakutan dan trauma dengan semua yang terjadi."Hanan, bertahanlah sayang. Ada mama di sini. Kita ke dokter, ya. Anak mama pasti kuat. Nanti kita pulang sayang. Kita berkumpul lagi." Hani terus menceracau di antara tangisnya yang terus berderai.Aiman membelokkan mobil ke arah klinik kecil terdekat. Keadaan lelaki itu sudah tak dapat digambarkan seperti apa. Sangat kacau. Dengan wajah pucat, rambut acak-acakan, tubuh basah akibat memeluk jasad sang ibu yang
Hani memaksakan diri bangun walaupun tubuhnya masih terasa lemas tak bertulang. Tak dapat dipercaya, semua kejadian barusan terasa seperti mimpi. Ibu mertua yang nekat mendekati Arum. Mereka rebutan Hanan, sampai Arum mendorong Yuli hingga jatuh ke sungai dan terbawa arus.Hani berdiri lalu berjalan dengan hati yang kacau balau menghampiri Aiman yang masih bersimpuh di tengah jembatan dengan tubuh beku.Disentuhnya bahu lelaki tercinta yang hatinya pasti lebih kacau."Mas," panggil Hani serak seraya ikut bersimpuh memeluk Aiman dan Hanan. Mereka berpelukan di tengah jembatan kayu yang bergoyang-goyang. Jembatan kayu yang dijadikan jembatan penyeberangan darurat oleh warga untuk mencapai kampung di seberang sungai.
Yuli semakin mendekati Arum, hingga akhirnya kursi roda akan menabrak tubuh yang berdiri kaku itu.Sepersekian detik Arum tersadar dari keterpakuannya. Refleks ia menghindar agar tidak tertabrak. Namun, tangan Yuli berhasil meraih tubuh mungil Hanan.Arum semakin tersentak, ia pertahankan tubuh mungil yang kembali menjerit itu dengan sekuat tenaga. Sementara Yuli juga melakukan hal yang sama. Adegan saling rebut tak dapat terelakkan. Keduanya sama-sama mempertahankan tubuh mungil itu."Lepaskan, cucuku! Dia tidak bersalah, dia berhak hidup bahagia!" pekik Yuli dengan suara tertahan."Tidak akan! Aku tidak rela melihat kalian bahagia sementara aku dan ibuku menderita. Aku akan lenyapkan anak i