Jam tiga dini hari, Hani terbangun dengan kepala pusing. Wanita itu juga belum lama memejamkan mata. Ia menemani dulu sang suami mengisi perut dan mendengarkan semua ceritanya.
Suara gumaman pelan terdengar dari sampingnya berbaring. Dipaksanya bola mata untuk terbuka karena penasaran dengan suara yang didengarnya.
Suara itu ternyata keluar dari mulut Aiman yang tubuhnya menggigil, tetapi matanya terpejam. Hani segera bangkit, duduk di sebelah tubuh suaminya yang masih terbaring. Wanita itu menempelkan punggung tangannya di kening sang suami.
Hani terperanjat, karena suhu tubuh itu begitu tinggi. Tubuh Aiman sangat panas. Pantaslah lelaki itu begitu menggigil.
Hani segera beranjak ke dapur me
Sebulan berlalu ….Keluarga kecil itu, baru saja keluar dari RSJ tempat Sri dirawat. Mereka memang mengagendakan kunjungan rutin ke sana, untuk mengetahui perkembangan ibu dari sang kakak itu.Aiman sudah bersumpah akan mengobati wanita itu sampai sembuh. Bila nanti sudah benar-benar sembuh, ia juga akan menampung wanita itu. Akan menganggap Sri sebagai ibunya sendiri, sebagai pengganti Yuli. Itu dia lakukan sebagai bentuk penebusan dosa orang tuanya di masa lalu. Semoga dengan begitu, ayah, ibu, dan kakaknya tenang di alam sana.Tangan Aiman terjulur ingin membuka pintu mobil, saat seseorang memanggilnya. Semua menoleh ke asal suara. Tampak seorang lelaki berkacamata dan seorang gadis kecil di sana.
Mengertilah Aiman sekarang, kenapa sejak pagi sang istri mendiamkannya. Membuat kepalanya serasa mau pecah. Memikirkan apa gerangan salahnya.Aiman masih menatap benda kecil pipih bergaris dua merah di telapak tangannya, sebelum melempar bunga di tangan ke atas sofa ruang tamu. Kemudian berlari menyusul sang istri yang sudah masuk meninggalkannya.Ditangkapnya tubuh sang istri, kemudian dibopong dan dibawa berputar-putar, untuk meluapkan rasa bahagia."Sayang ...kamu hamil lagi?" tanyanya sambil membawa tubuh Hani dalam bopongan berputar-putar.Hani memekik, seraya melingkarkan kedua tangan di leher sang suami."Mas, apaan sih kamu?
Hani berdiri mematung, ujung rambutnya dimainkan angin nakal di taman kota, sore ini. Di depannya, berdiri tak kalah kaku seorang lelaki dengan topi di kepalanya. Jarak mereka hanya dua meteran.Beberapa waktu berselang, mereka hanya saling tatap dalam kekakuan. Entah apa yang harus dilakukan. Hingga …."Sayang, dapat popcorn-nya?" Seorang lelaki lain muncul di belakang Hani menggendong anak lelaki kecil."Mas, mana popcorn-nya? Bayi kita sudah tak sabar, nanti dia ileran, lho." Seorang wanita lain juga muncul di belakang lelaki bertopi.Empat orang dewasa, berdiri kaku, dengan pandangan saling menatap tajam.Hening. Tak
Part 1"Sudah Mas, segera urus perceraian kita secepatnya. Aku sudah lelah. Aku atau kamu yang yang akan menggugat?" kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Hani. Wajahnya sudah memerah dengan mata basah. Beban di dada yang setahun bersemayam rasanya ingin meledak.Aiman menatap tak percaya. Keterkejutan tergambar jelas di wajahnya."Han." Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirnya."Aku lelah berpura-pura terus. Lepaskan saja aku agar kamu tidak harus pusing mengurusi perempuan tidak bisa diatur sepertiku."Aiman masih mematung."Lelaki seperti kamu hanya pantas hid
Part 2Entah jam berapa ini, Hani merasa sangat haus. Tadi ia kebanyakan menangis, hingga jatuh tertidur, dan terjaga dalam kondisi haus.Ia membuka pintu, bermaksud ke ruang makan mengambil air minum. Alangkah kagetnya saat pintu terbuka Aiman nampak bangkit dari sofa ruang tengah yang langsung menghadap pintu kamar Hani.Tanpa mempedulikan Aiman yang memanggilnya, ia langsung ke belakang."Han, akhirnya kamu keluar juga. Mas, nungguin dari tadi," katanya sambil mengekori Hani. Sepertinya laki-laki itu memang belum tidur.Hani diam saja. Rasanya malas untuk sekedar menjawab pertanyaan laki-laki itu. Biar dia tahu bagaimana rasanya d
Part 3Hani meneguk habis air dalam gelas. Matanya melirik meja makan yang menghidangkan sepiring nasi goreng di atasnya. Ada secarik kertas diselipkan di bawah piring. Namun, ia tidak berminat membacanya sama sekali, terlebih memakan nasinya.Aiman sudah berangkat ke kantor. Hani memang sengaja pulang joging agak siang agar tak perlu bertemu lagi dengan lelaki itu pagi ini.Setelah mengembus napas kasar, ia berlalu ke kamar, mengambil ponselnya di meja, memutus sambungan ke kabel chargernya.Saat membuka pesan di aplikasi hijau, sederet pesan Aiman muncul di sana.[Han, nanti nasi gorengnya dimakan ya!]
Pagi ini, Hani sengaja tak keluar kamar. Rasanya malas harus bertemu laki-laki itu. Ia baru keluar, saat mobil Aiman terdengar meninggalkan halaman.Hani melirik meja makan, sudah ada sarapan lagi yang disiapkan Aiman untuknya, kali ini, sandwich isi telur dan sayuran. Secarik kertas terselip lagi di bawah piring.Penasaran, ia tarik sedikit kertas itu yang hanya ada satu kata di atasnya. MAAF.Ia kembalikan lagi kertas itu ke posisi semula, tanpa menyentuh sarapan yang disediakan Aiman. Malah merebus mie instant untuk sarapan.Saat sedang menikmati mie buatannya, ponselnya berdering. Nama Aiman terpampang di sana. Hani pastikan lelaki itu baru saja sampai di kantor.
Hani gegas menuju lemari, ia ingin segera mandi dan beristirahat. Dibukanya lemari besar itu, baju-bajunya tertata rapi di sana, seperti setahun belakangan. Aiman menatanya lagi, persis sama dengan cara Hani. Hanya satu yang aneh, ia tidak menemukan pakaian dalamnya.Bolak-balik dicarinya dari tahapan teratas sampai bawah tetap tidak ditemukan. Kekesalannya membuncah lagi, di mana Aiman menyimpan pakaian dalamnya?Ia juga marah membayangkan lelaki itu dengan lancang menyentuh barang yang sangat pribadinya itu.Hani berbalik menghadap Aiman yang ternyata sedang memperhatikannya. Namun, pura-pura memainkan lagi laptopnya saat kepergok."Mas!" panggilnya dengan menekan amarah. "Di mana pakaian d