Hari ini terpaksa Hani menjalani hari yang membosankan. Karena ia menolak diajak jalan-jalan, jadi harus pasrah melihat Aiman berkeliaran di depan matanya seharian.
Hani lupa ini hari sabtu, jadi harus libur bareng dengannya. Kalau saja ia ingat, pasti minta tuker off ke hari senin, agar tidak perlu melihat wajah itu seharian.
"Han, kita beresin kamar buat ibu, yuk!" ajak Aiman bersemangat.
"Males," hanya itu jawab Hani sambil terus memainkan ponsel.
Akhirnya, seharian ini ia hanya duduk dan bermain ponsel saja. Mau keluar pun, kunci motornya disembunyikan. Ia malas harus memohon dan mengiba minta kunci dikembalikan. Aiman cerdik, laki-laki itu tahu pasti, Hani akan pergi keluar, kalau kunci motor tidak disembunyikan.
Kalau bosan duduk, Hani akan loncat-loncat atau melakukan olahraga ringan apapun di halaman belakang.
Aiman beres-beres rumah seharian. Namun, Hani tidak berniat membantunya sedikitpun. Bodo amat, pikir Hani, rumah-rumah dia. Bukankah sejak bujang, Aiman biasa mengerjakannya sendiri. Lagian nanti juga ia akan pergi dari rumah itu.
Sekitar jam dua siang, perut Hani keroncongan. Karena sedari pagi, baru bubur yang masuk ke lambungnya. Ia sengaja duduk di teras menunggu tukang jualan lewat. Apa pun yang bisa mengganjal perutnya.
Saat Hani sedang duduk memainkan ponsel. Segerombol muda-mudi usia SMA dengan pakaian olahraga lewat di depan rumah. Seorang di antaranya membawa dua buah bola. Obrolan mereka terdengar riuh diselingi tawa.
Pas di depan pagar mereka berhenti dan menoleh ke arah Hani.
"Kak, ikut maen volly, yuk!" ajak salah satu dari mereka.
Mata Hani berbinar mendengarnya. Ia berjalan menghampiri mereka.
"Volly di mana?" tanyanya antusias.
"Di lapangan dekat balai RW, ayok Kak, seru, lho. Tambah seru kalau kakak ikut," jawab pemuda yang membawa bola.
Hani mengangguk riang. Akhirnya, setelah seharian bosan di rumah, sore ini ia bisa seru-seruan. Pikirnya.
"Tapi aku tua sendiri, gimana?"
"Siapa bilang kakak sudah tua. Kakak masih cantik kok, masih kelihatan seumuran kami," timpal pemuda lainnya, yang terlihat ketua tim mereka. Itu terlihat dari seragam yang mereka gunakan.
"Ah, bisa aja. Ya udah tunggu sebentar, ya. Aku ganti baju dulu." Hani pamit dan berlalu ke dalam. Muda-mudi yang tahu Hani suka olahraga menunggu di jalan masih dengan obrolan riuh.
Hani melenggang masuk dengan wajah riangnya. Ia senang akan bisa berolahraga dengan anak-anak penduduk di sini. Selama ini, ia jarang berinteraksi dengan tetangga. Selain sibuk bekerja, Aiman juga melarangnya bertetangga. Entahlah, mungkin takut kalau ketahuan pernikahan mereka hanya pura-pura. Takut Hani keceplosan dan tetangga tahu.
"Mau ke mana?" Aiman menghadang Hani di ruang tamu.
"Mau volly," jawabnya singkat.
"Siapa yang mengizinkan kamu main dengan mereka?" Aiman melipat tangannya di dada.
"Kalau begitu, aku minta izin," tukas Hani seraya ingin melangkah lagi. Namun, Aiman menghadang dengan berdiri tepat di depannya.
"Aku tidak mengizinkan kamu pergi ke mana pun!" cegah Aiman tegas.
Hani menatap tajam lelaki di hadapannya. Rasa kesal dan marah kembali menyeruak. Aiman selalu saja begitu, merasa berhak atas dirinya, tetapi tidak pernah menganggapnya sebagai seorang istri.
"Kenapa kamu selalu mengatur hidupku?" bentuknya kesal.
"Karena aku suamimu! Aku sudah menikahimu sah secara agama dan negara!" balas Aiman dengan intonasi tinggi juga.
"Tapi, aku tidak pernah merasa punya suami!" teriak Hani marah. Ia yakin suaranya terdengar sampai keluar. Karena setelah itu, riuh suara muda-mudi itu tak terdengar lagi, pertanda mereka sudah pergi meninggalkan halaman rumah mereka.
"Kenyataannya aku memang suamimu, Hanindya!" Aiman balas menatap tajam Hani. "Bersikaplah layaknya seorang istri!"
"Kenapa aku harus bersikap seperti seorang istri, kalau pada kenyataannya, aku bahkan tidak pernah dianggap istri? Apa karena aku ikut menumpang tinggal di rumahmu? Jadi kamu merasa berhak mengatur hidupku? Ingat, aku bahkan tidak pernah memakan sepeserpun hartamu!"
"Salahmu sendiri kenapa tidak mau memakai uangku, padahal aku sudah memberimu!"
"Aku tidak sudi memakai uang yang bukan hakku!"
"Ya, jangan salahkan aku dan bilang kamu tidak pernah memakan uangku. Karena aku sudah memberimu, aku sudah memenuhi kewajibanku. Sekarang tugasmu menuruti perintahku sebagai suami!"
Hani semakin meradang mendengar semua perkataan Aiman. Sungguh laki-laki itu sangat egois. Aiman merasa benar dengan semua yang telah dilakukannya. Tanpa memikirkan perasaan Hani.
"Aku tidak sudi menurutimu. Menuruti laki-laki yang menganggap dirinya suami, padahal hanya mengungkungku dalam ikatan pernikahan, tanpa menganggapku sebagai istri!" teriak Hani lagi di depan wajah Aiman dengan penuh emosi.
"Jadi kamu mau apa? Mau aku anggap istri sungguhan? Ok, kalau begitu. Bukankah aku sudah ingin melakukannya? Tapi kenapa kamu menolak?" Aiman menyeringai. Ia maju dan mendorong tubuh Hani hingga punggung wanita itu tersudut di dinding. Hani berusaha berontak. Tetapi, Aiman terus menyudutkannya. Ia mengunci tubuh Hani dengan menempelkan tubuhnya sendiri. Lalu menahan kedua bahu wanita itu dengan kedua tangannya.
Hani masih berusaha berontak, tetapi, Aiman seolah gelap mata. Lelaki itu mulai menciumi Hani membabi buta. Hingga wanita itu tak bisa berteriak bahkan kesulitan untuk bernapas. Aiman terus melahapnya dengan rakus.
Dalam keadaan seperti itu, otak Hani berpikir pendek.
Hani mengangkat kakinya setinggi mungkin, dan karena tubuh mereka yang rapat, lutut Hani tak ayal mengenai alat vital Aiman dengan sukses.
Lelaki itu mengaduh keras. Ia mundur dengan tubuh terhuyung, dan tak lama, ambruk di lantai.
Hani mengelap bibirnya yang basah dengan kasar. Matanya masih memandangi Aiman yang meringkuk memegangi alat vitalnya. Apakah laki-laki itu parah? Bodo amat, pikirnya. Siapa yang mulai? Itu juga masih untung tenaganya tidak dikeluarkan semua.
Mereka masih dalam posisi itu setelah beberapa saat. Hani masih bersandar di dinding dengan napas tak beraturan dan rambut acak-acakan. Sementara, Aiman masih meringkuk di lantai dengan rintihannya, saat terdengar suara mobil berhenti di depan pagar.
Hani mengerjap, lalu berjalan pelan mendekati jendela. Disibaknya gorden untuk mengintip siapa yang datang. Matanya membulat melihat mobil yang sangat familiar itu, apalagi saat pintunya terbuka dan turun seorang wanita paruh baya dari sana.
"Ibu," gumamnya panik. Ia menoleh ke arah Aiman yang masih saja meringkuk di lantai.
Gegas Hani menghampiri lelaki itu, dan membantunya berdiri.
"Mas, ayo bangun. Ibu sudah datang!" pekiknya dengan panik.
Aiman tak kalah panik. "Ibu? Sudah datang?" tanyanya tak percaya.
"Iya itu di luar, diantar Mas Danu." Hani berbisik sambil menunjuk pintu. Ia buru-buru membantu Aiman berdiri dan duduk di sofa.
"Aduh, bagaimana ini? Kenapa ibu datang sekarang, bukankah kamu bilang baru lusa datangnya?" Hani memandang Aiman dengan panik. Bagaimana tidak, ibu mertuanya datang saat anak lelakinua sedang tidak baik-baik saja, akibat tendangan lutut menantunya. Kalau Aiman cedera parah bagaimana?
"Ya, ibu bilangnya lusa baru datang, mana aku tahu dia akan datang sekarang," jawab Aiman sambil meringis.
"Kamu sih, Mas, kenapa cium-cium aku segala, sih. Jadi anumu kucium pake lututku," tuduh Hani kesal.
Aiman hanya mendengkus sambil meringis. Memang sial baginya. Kemarin malam mau mencium Hani, malah hidungnya kena cium bogem mentah. Sekarang dia berhasil mencium Hani, tapi barangnya kena cium lutut wanita itu. Duh nasib.
Aiman masih meringis dan Hani masih panik memikirkan nasib Aiman, saat pintu diketuk, disusul suara mengucap salam.
Mereka berdua menoleh ke arah pintu dengan panik secara bersamaan.
"Ibu."
Dengan dada berdebar, Hani berjalan menuju pintu. Sementara Aiman memperhatikannya masih dengan meringis.Terlihat wanita itu menarik napas panjang dulu sebelum membuka pintu. Lalu memejamkan matanya beberapa saat."Waalaikumsalam…." ucapnya seraya membuka pintu dengan pelan."Halo menantu ibu yang cantik, apa kabar sayang? Kamu sehat, kan? Tambah cantik aja kamu, Han." Perempuan paruh baya itu langsung memeluk dan menciumi Hani dengan hangat.Hani hanya mengangguk dengan senyum dipaksakan. Ia meraih tangan keriput itu untuk dicium. Ibu mertuanya memang begitu menyayanginya, bahkan terlihat lebih sayang kepadanya daripada Aiman sendiri.
Ibu berlalu menuju kamar yang sudah disiapkan Aiman, tetap menutupi wajahnya dengan jari-jari yang renggang.Sementara Aiman dan Hani masih di posisinya. Dengan tubuh Aiman telentang, dan Hani di atasnya. Mereka menatap tubuh ibu sampai menghilang di balik pintu kamar.Aiman tersenyum penuh kemenangan seraya tetap mengeratkan dekapannya. Seketika Hani tersadar, ia meronta sekuat tenaga, menjauhkan tubuhnya, mendorong dada Aiman dengan kuat hingga dekapan itu terlepas."Jangan coba-coba cari kesempatan, ya!" tudingnya marah ke arah wajah Aiman yang masih tersenyum jahil.Hani sudah berhasil duduk di samping lelaki itu. Rambutnya tampak acak-acakkan akibat aksi pemberontakannya barusan. Di mata
Hani duduk termenung di sisi tempat tidur, memikirkan obrolan dengan ibu mertua, saat mereka makan malam tadi. Selain terus menuntut hadirnya cucu, ada undangan juga dari kerabat ibu.Itu yang Hani malas sejak dulu, menghadiri acara keluarga besar. Saat semua keluarga berkumpul, telinga akan panas karena pertanyaan, kapan punya anak?Dapat dipastikan ia akan menjalani hari yang membosankan, karena harus berpura-pura bahagia selama acara berlangsung. Hal yang memuakkan, Aiman akan terus berakting seolah suami romantis, suami sempurna.Puncak masalah mereka pun kemarin, terjadi setelah pulang dari acara keluarga. Hingga berujung Hani memutuskan pisah kamar.Awalnya sepele, Hani yang bosan mengh
Hani menjerit dengan kedua telapak tangan menutupi telinga. Matanya terpejam. Tubuhnya mengkerut. Untuk beberapa saat ia betah dalam posisi itu. Hingga kasur di sebelahnya terasa bergerak.Perlahan Hani membuka mata dan menoleh. Terlihat tubuh Aiman yang tengkurap, tetapi dengan kepala menghadapnya. Lelaki itu menyeringai dengan menaik turunkan alisnya."Takut, ya?" tanyanya seraya tertawa mengejek. "Atau sebenarnya kamu mau?"Hani melebarkan matanya. Jadi, Aiman hanya mengerjainya? Menakut-nakutinya?Baru saja bibirnya mau terbuka, ketukan di pintu menghentikannya."Ai, ada apa? Kenapa Hani teriak?" Itu suara ibu. Pasti wanita itu h
"Ai ... Hani ... buka pintunya...."Sepasang anak manusia yang sedang berlarian dengan berisik itu, menghentikan aksi mereka. Saling pandang dengan kaget. Mereka lupa ada orang tua di kamar sebelah.Napas mereka masih memburu karena berlarian. Keringat juga terlihat membanjiri tubuh Aiman yang hanya terbalut celana pendek. Mereka masih saling tatap dengan dada yang sama turun naik dengan cepat."Aiman... Hani.... cepat buka pintunya...." Suara ibu terdengar nyaring lagi, ditingkahi gedoran keras di pintu.Aiman mengalah, dia mulai berjalan mendekati pintu, dan dengan pelan mulai membukanya. Setelah sebelumnya menarik dulu napas panjang."I
"Jadi, sampai kapan aku harus menunggu Han?" pemuda yang duduk berhadapan dengan Hani itu menatapnya penuh harap.Mereka baru selesai menurunkan kursi-kursi dari atas meja. Ya, kafe baru saja buka. Dan seperti biasa saat ditutup semalam, semua kursi akan dinaikkan ke atas meja.Masih sepi, baru mereka yang datang. Pagi ini Vino langsung nembak Hani. Karena ia pun merasa pria dewasa yang sudah sangat pantas mengakhiri masa lajangnya. Dan orang tua yang sudah sakit-sakitan juga menuntutnya segera beristri.Selama ini ia terus setia menunggu hingga kekasih hatinya bercerai dari suami pura-puranya sesuai kesepakatan mereka.Ia tahu pasti, pernikahan mereka bukanlah sungguhan. Namun, bahkan setelah lebi
"Kamu bicara apa, Bung? Sebentar, wanita itu bahkan hampir berakar menunggumu di sini. Coba kau ingat, jam berapa kau janji menjemputnya? Jangan-jangan kau amnesia." Vino bereaksi cepat. Ia tidak rela wanita yang dicintainya, diperlakukan seperti itu oleh lelaki yang bergelar suaminya."Siapa Anda bicara seperti itu dengan saya? Anda tidak perlu ikut campur. Dia istri saya!" Jari Aiman menunjuk Hani yang masih belum beranjak dari motor Vino. Wajah laki-laki itu tampak memerah.Vino sudah akan membalas perkataan Aiman, tetapi Hani segera menepuk pundaknya, kemudian turun dari motor. Membuka helm, lalu menyerahkan lagi kepada Vino. Ia tidak ingin terjadi ribut-ribut di sini."Makasih, ya. Maaf merepotkan kamu, harus nemenin aku menunggu. Pulanglah! Hati-hati
Dengan sangat terpaksa Hani turun mengikuti Aiman. Wajahnya di tekuk."Maaf ya, bapak-bapak, ibu-ibu, mengganggu perjalanannya. Silahkan dilanjut, Bang!" Aiman masih sempat melongokan lagi kepalanya ke dalam angkot untuk meminta maaf. Sorakkan 'huuuu' panjang dari semua penumpang menjawab ucapannya."Oh, pasangan yang berantem, ya. Pantesan naik angkot pake helm.""Padahal jangan bertengkar di jalan, ya. Di kamar lebih asik.""Kalau berantem jangan kabur, mending kalau dicariin. Kalau malah nyari pengganti bagaimana?"Komentar-komentar sumbang di dalam angkot masih tertangkap telinga Hani saat menunggu Aiman membaya