"Kamu bicara apa, Bung? Sebentar, wanita itu bahkan hampir berakar menunggumu di sini. Coba kau ingat, jam berapa kau janji menjemputnya? Jangan-jangan kau amnesia." Vino bereaksi cepat. Ia tidak rela wanita yang dicintainya, diperlakukan seperti itu oleh lelaki yang bergelar suaminya.
"Siapa Anda bicara seperti itu dengan saya? Anda tidak perlu ikut campur. Dia istri saya!" Jari Aiman menunjuk Hani yang masih belum beranjak dari motor Vino. Wajah laki-laki itu tampak memerah.
Vino sudah akan membalas perkataan Aiman, tetapi Hani segera menepuk pundaknya, kemudian turun dari motor. Membuka helm, lalu menyerahkan lagi kepada Vino. Ia tidak ingin terjadi ribut-ribut di sini.
"Makasih, ya. Maaf merepotkan kamu, harus nemenin aku menunggu. Pulanglah! Hati-hati
Dengan sangat terpaksa Hani turun mengikuti Aiman. Wajahnya di tekuk."Maaf ya, bapak-bapak, ibu-ibu, mengganggu perjalanannya. Silahkan dilanjut, Bang!" Aiman masih sempat melongokan lagi kepalanya ke dalam angkot untuk meminta maaf. Sorakkan 'huuuu' panjang dari semua penumpang menjawab ucapannya."Oh, pasangan yang berantem, ya. Pantesan naik angkot pake helm.""Padahal jangan bertengkar di jalan, ya. Di kamar lebih asik.""Kalau berantem jangan kabur, mending kalau dicariin. Kalau malah nyari pengganti bagaimana?"Komentar-komentar sumbang di dalam angkot masih tertangkap telinga Hani saat menunggu Aiman membaya
"Dasar egois!" umpat Hani kesal. Aiman meliriknya sinis. Kedua tangan ia masukkan ke dalam kantong celananya."Setidaknya, aku melakukan ini demi orang-orang tersayang. Bukan hanya untuk kepentingnku semata. Ibu, orang tua kamu, mereka akan terluka kalau kita bercerai. Sementara kamu? Kamu ingin bercerai hanya untuk kepentinganmu sendiri, dan juga … laki-laki itu, kan?" ucap Aiman tajam.Hani diam. Ia mencerna perkataan Aiman. Namun, kemudian berbalik menatap laki-laki di sebelahnya."Tidak! Aku tahu kamu melakukan ini bukan demi mereka, Mas. Tapi demi kepentingan sendiri. Kamu takut ibumu marah. Kamu takut namamu jelek di depan keluargamu, kan?" balas Hani tajam."Kalau semua bisa ber
"Apa aku ada salah?" tanya Hani siang ini berusaha menghadang langkah Vino. Ia merasa seharian ini, pemuda itu terus mengabaikannya.Vino membuang muka, lalu meneruskan langkahnya menuju meja dan meletakkan nampan kosong di sana. Marta datang menghampiri mereka.Vino memang sengaja menghindari Hani seharian ini. Berusaha tidak berinteraksi, bahkan selalu membuang muka bila tak sengaja bertemu pandang.Foto yang dikirim nomor Hani tadi malam sungguh sangat mengganggunya. Untuk apa perempuan itu mengirimkan foto intim bersama suaminya? Apa Hani ingin mengatakan kalau mereka sudah menjalani pernikahan pura-puranya jadi sungguhan? Kalau iya, kenapa tidak bicara langsung? Kenapa harus mengirimkan foto semacam itu?
Vino membalikkan tubuhnya dengan gerakan cepat. Ditatapnya wajah Hani yang sendu tapi serius itu."Aku sudah memikirkan ini sangat matang. Semua berkas sudah siap." Hani berkata dengan yakin. Vino menatapnya tak percaya."Kalau ada waktu, antar aku, ya!""Bagaimana orang tua dan mertuamu?" tanya Vino lagi seolah sangsi."Aku sudah memikirkan semuanya dengan matang. Aku tak ingin lebih lama lagi membohongi mereka dengan semua kepura-puraan ini." Hani menyunggingkan seulas senyum tipis di ujung kalimatnya.Ya, Hani sudah yakin dengan keputusannya. Ia akan menggugat cerai Aiman, karena laki-laki itu tak kunjung melakuk
"Han … tolongin Mas …."Pembicaraan Hani dengan Vino di telepon harus terputus karena teriakan sumbang Aiman dari dalam kamar."Nanti kita sambung lagi, Vin. Percayalah, aku cuma ngurusin dia karena sakit, dan ingat, aku sudah mendaftarkan gugatan cerai untuk membuktikan kesungguhan janji kita!" tutup Hani dengan tegas.Wanita itu segera menuju kamar Aiman setelah menaruh kembali ponselnya di meja TV."Ada apa, Mas?" tanyanya sedikit keras melihat lelaki itu terlihat baik-baik saja. Kenapa teriak-teriak? Pikir Hani."Mas mau ke kamar mandi, tapi kepala masih pusing. Tolong, anterin, y
Ini hari ketiga Aiman sakit, kondisinya sudah membaik, tetapi ia belum masuk kerja. Sementara Hani, walaupun siang tetap bekerja, saat di rumah wanita itu masih merawatnya. Hanya sebagai bentuk kemanusiaan.Sore ini hujan sangat deras mengguyur bumi. Hani bahkan sempat kehujanan dalam perjalanan pulang. Namun, ia tetap menembus hujan dengan jas hujan yang selalu ia bawa dalam bagasi motornya."Han, kehujanan di mana?" tanya Aiman menyambutnya di pintu.Hani yang sedang menyampirkan jas hujan yang basah kuyup melirik laki-laki yang wajahnya masih sedikit pucat itu."Di perempatan depan," jawabnya singkat.
Antara sadar dan tidak, Hani merasakan tubuhnya sangat sulit untuk sekadar bergerak. Sesuatu terasa menghimpitnya dengan posesif. Dipaksanya sepasang mata yang sangat lengket itu untuk terbuka.Lampu kamar yang temaram membuat pandangannya tak bisa menangkap jelas. Hanya sentuhan di wajah dan bagian tubuh lain yang ia rasakan, juga sapuan panas dari napas memburu di permukaan kulitnya."Mas," gumamnya parau.Tak ada jawaban, hanya napas yang semakin memburu dari mulut yang penuh hasrat yang ia dengar.Hani tahu, Aiman sedang berusaha mencumbuinya, ia ingin menolak, ingin melepaskan diri, tapi sisi dirinya yang lain seolah ingin menerima setiap sentuhan laki-laki itu, s
"Mari kita saling memaafkan, dan kembali ke hidup kita masing-masing. Kita kembali menjadi orang asing yang tidak ada hubungan apa pun!""Hani." Suara Aiman tercekat di kerongkongan. Sungguh tak menyangka Hani begitu terluka dengan pengabaiannya selama ini. Ia pikir dengan niat baik yang ditunjukkan selama ini, akan membuat luka di hati wanita itu sembuh."Maaf, atas perlakuan Mas selama ini. Maaf terlalu lama mengabaikanmu," lanjutnya lagi dengan parau, matanya sudah berkaca-kaca. Tangannya terulur ingin menyentuh tangan Hani. Namun, tangan wanita itu terangkat, tanda ia menolak."Terlambat, Mas. Aku bahkan sudah mendaftarkan gugatan cerai kita.""Apa?" Aiman terlonjak. Bola mata