Vino membalikkan tubuhnya dengan gerakan cepat. Ditatapnya wajah Hani yang sendu tapi serius itu.
"Aku sudah memikirkan ini sangat matang. Semua berkas sudah siap." Hani berkata dengan yakin. Vino menatapnya tak percaya.
"Kalau ada waktu, antar aku, ya!"
"Bagaimana orang tua dan mertuamu?" tanya Vino lagi seolah sangsi.
"Aku sudah memikirkan semuanya dengan matang. Aku tak ingin lebih lama lagi membohongi mereka dengan semua kepura-puraan ini." Hani menyunggingkan seulas senyum tipis di ujung kalimatnya.
Ya, Hani sudah yakin dengan keputusannya. Ia akan menggugat cerai Aiman, karena laki-laki itu tak kunjung melakuk
"Han … tolongin Mas …."Pembicaraan Hani dengan Vino di telepon harus terputus karena teriakan sumbang Aiman dari dalam kamar."Nanti kita sambung lagi, Vin. Percayalah, aku cuma ngurusin dia karena sakit, dan ingat, aku sudah mendaftarkan gugatan cerai untuk membuktikan kesungguhan janji kita!" tutup Hani dengan tegas.Wanita itu segera menuju kamar Aiman setelah menaruh kembali ponselnya di meja TV."Ada apa, Mas?" tanyanya sedikit keras melihat lelaki itu terlihat baik-baik saja. Kenapa teriak-teriak? Pikir Hani."Mas mau ke kamar mandi, tapi kepala masih pusing. Tolong, anterin, y
Ini hari ketiga Aiman sakit, kondisinya sudah membaik, tetapi ia belum masuk kerja. Sementara Hani, walaupun siang tetap bekerja, saat di rumah wanita itu masih merawatnya. Hanya sebagai bentuk kemanusiaan.Sore ini hujan sangat deras mengguyur bumi. Hani bahkan sempat kehujanan dalam perjalanan pulang. Namun, ia tetap menembus hujan dengan jas hujan yang selalu ia bawa dalam bagasi motornya."Han, kehujanan di mana?" tanya Aiman menyambutnya di pintu.Hani yang sedang menyampirkan jas hujan yang basah kuyup melirik laki-laki yang wajahnya masih sedikit pucat itu."Di perempatan depan," jawabnya singkat.
Antara sadar dan tidak, Hani merasakan tubuhnya sangat sulit untuk sekadar bergerak. Sesuatu terasa menghimpitnya dengan posesif. Dipaksanya sepasang mata yang sangat lengket itu untuk terbuka.Lampu kamar yang temaram membuat pandangannya tak bisa menangkap jelas. Hanya sentuhan di wajah dan bagian tubuh lain yang ia rasakan, juga sapuan panas dari napas memburu di permukaan kulitnya."Mas," gumamnya parau.Tak ada jawaban, hanya napas yang semakin memburu dari mulut yang penuh hasrat yang ia dengar.Hani tahu, Aiman sedang berusaha mencumbuinya, ia ingin menolak, ingin melepaskan diri, tapi sisi dirinya yang lain seolah ingin menerima setiap sentuhan laki-laki itu, s
"Mari kita saling memaafkan, dan kembali ke hidup kita masing-masing. Kita kembali menjadi orang asing yang tidak ada hubungan apa pun!""Hani." Suara Aiman tercekat di kerongkongan. Sungguh tak menyangka Hani begitu terluka dengan pengabaiannya selama ini. Ia pikir dengan niat baik yang ditunjukkan selama ini, akan membuat luka di hati wanita itu sembuh."Maaf, atas perlakuan Mas selama ini. Maaf terlalu lama mengabaikanmu," lanjutnya lagi dengan parau, matanya sudah berkaca-kaca. Tangannya terulur ingin menyentuh tangan Hani. Namun, tangan wanita itu terangkat, tanda ia menolak."Terlambat, Mas. Aku bahkan sudah mendaftarkan gugatan cerai kita.""Apa?" Aiman terlonjak. Bola mata
"Mas, bisa tolongin aku, nggak?" ucap Hani setengah berteriak untuk mengalahkan suara hujan yang mulai turun."Tolong apa?" jawab Aiman dengan malas di seberang telepon."Motorku mogok, mana ujan mulai turun. Bisa minta jemput, nggak?" pinta Hani masih dengan suara setengah teriak agar Aiman bisa mendengarnya.Waktu di ponsel Hani menunjukkan pukul 22.15, motornya belum lama meninggalkan parkiran kafe tempat kerjanya, tetapi tiba-tiba ia merasa motor berjalan oleng. Setelah menepi barulah ketahuan kalau ban motornya gembos.Hujan semakin deras, tambal ban terdekat entah di mana. Hani bingung harus bagaimana. Sekejap ia menyesali kenapa tadi tidak menerima saja tawaran
Aiman memejamkan matanya dengan pedih, bayangan semua perlakuannya kepada Hani dulu berkelebat silih berganti. Betapa dirinya begitu buruk memperlakukan wanita itu setahun menjadi istrinya. Ia bukan saja tak menganggap Hani sebagai istri, bahkan lebih buruk, ia bahkan tak berperikemanusiaan sama sekali. Nalurinya saat itu seperti mati. Hanya karena terlalu larut dalam kesedihan.Aiman bangkit setelah sekian lama bersimpuh. Ia mendekati Hani yang tengah mengemasi pakaiannya. Memperhatikan sebentar wanita itu dengan hati bagai teremas-remas. Lalu duduk di sisi tempat tidur."Andai waktu dapat diputar kembali, aku akan menebus semua kesalahanku padamu, Han," ucapnya serak dengan tatapan nanar.Hani yang sedang mengemasi barangnya, menghentika
Hani mengendarai motor menuju tempat kerjanya dengan air mata yang terus berderai. Bohong kalau ia bilang tidak sakit. Meninggalkan rumah Aiman dengan segala kenangan di dalamnya. Ya, walaupun tak ada kenangan indah sedikit pun di sana, tetap saja sakit.Dulu Aiman membawanya ke sana, setelah sehari pernikahan mereka. Hani berharap banyak, di rumah itu ia dan Aiman akan membangun keluarga yang bahagia dengan banyak anak. Ya, walaupun pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi bila masing-masing bisa menghormati arti pernikahan yang sesungguhnya, bukan tidak mungkin pernikahan mereka bisa berjalan sebagaimana mestinya. Seperti pernikahan pada umumnya.Hani menyandarkan punggungnya di balik pintu sesaat setelah memasuki ruangan kecil yang akan jadi tempat tinggalnya sekarang. Hari-hari ke depan akan ia jalani di
"Sebenarnya aku kemarin sakit, Bu. Ini juga baru pulih, dan … Hani melarangku untuk pergi-pergi dulu, harus istirahat dulu katanya.""Sakit? Kamu sakit apa, Ai? Apa perlu ibu ke sana?" Sekarang nada cemas yang terdengar."Tidak usah, Bu. Aku hanya kecapean, istirahat saja sudah cukup. Lagi pula Hani sudah mengurusku dengan baik. Dia bahkan tidak masuk kerja untuk merawatku. Ibu tidak perlu khawatir, ya." Dengan mata terpejam Aiman mengucapkan kalimat itu, nyeri di hatinya semakin berdenyut. Terpaksa ia berbohong sebelum mencari waktu yang tepat untuk mengatakan yang sesungguhnya."Oh, syukurlah kalau begitu. Bilang terima kasih dari ibu buat Hani, ya. Dia memang istri berbakti, Ibu senang punya menantu seperti dia. Padahal dia bekerja, ta