"Mas, bisa tolongin aku, nggak?" ucap Hani setengah berteriak untuk mengalahkan suara hujan yang mulai turun.
"Tolong apa?" jawab Aiman dengan malas di seberang telepon.
"Motorku mogok, mana ujan mulai turun. Bisa minta jemput, nggak?" pinta Hani masih dengan suara setengah teriak agar Aiman bisa mendengarnya.
Waktu di ponsel Hani menunjukkan pukul 22.15, motornya belum lama meninggalkan parkiran kafe tempat kerjanya, tetapi tiba-tiba ia merasa motor berjalan oleng. Setelah menepi barulah ketahuan kalau ban motornya gembos.
Hujan semakin deras, tambal ban terdekat entah di mana. Hani bingung harus bagaimana. Sekejap ia menyesali kenapa tadi tidak menerima saja tawaran
Aiman memejamkan matanya dengan pedih, bayangan semua perlakuannya kepada Hani dulu berkelebat silih berganti. Betapa dirinya begitu buruk memperlakukan wanita itu setahun menjadi istrinya. Ia bukan saja tak menganggap Hani sebagai istri, bahkan lebih buruk, ia bahkan tak berperikemanusiaan sama sekali. Nalurinya saat itu seperti mati. Hanya karena terlalu larut dalam kesedihan.Aiman bangkit setelah sekian lama bersimpuh. Ia mendekati Hani yang tengah mengemasi pakaiannya. Memperhatikan sebentar wanita itu dengan hati bagai teremas-remas. Lalu duduk di sisi tempat tidur."Andai waktu dapat diputar kembali, aku akan menebus semua kesalahanku padamu, Han," ucapnya serak dengan tatapan nanar.Hani yang sedang mengemasi barangnya, menghentika
Hani mengendarai motor menuju tempat kerjanya dengan air mata yang terus berderai. Bohong kalau ia bilang tidak sakit. Meninggalkan rumah Aiman dengan segala kenangan di dalamnya. Ya, walaupun tak ada kenangan indah sedikit pun di sana, tetap saja sakit.Dulu Aiman membawanya ke sana, setelah sehari pernikahan mereka. Hani berharap banyak, di rumah itu ia dan Aiman akan membangun keluarga yang bahagia dengan banyak anak. Ya, walaupun pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi bila masing-masing bisa menghormati arti pernikahan yang sesungguhnya, bukan tidak mungkin pernikahan mereka bisa berjalan sebagaimana mestinya. Seperti pernikahan pada umumnya.Hani menyandarkan punggungnya di balik pintu sesaat setelah memasuki ruangan kecil yang akan jadi tempat tinggalnya sekarang. Hari-hari ke depan akan ia jalani di
"Sebenarnya aku kemarin sakit, Bu. Ini juga baru pulih, dan … Hani melarangku untuk pergi-pergi dulu, harus istirahat dulu katanya.""Sakit? Kamu sakit apa, Ai? Apa perlu ibu ke sana?" Sekarang nada cemas yang terdengar."Tidak usah, Bu. Aku hanya kecapean, istirahat saja sudah cukup. Lagi pula Hani sudah mengurusku dengan baik. Dia bahkan tidak masuk kerja untuk merawatku. Ibu tidak perlu khawatir, ya." Dengan mata terpejam Aiman mengucapkan kalimat itu, nyeri di hatinya semakin berdenyut. Terpaksa ia berbohong sebelum mencari waktu yang tepat untuk mengatakan yang sesungguhnya."Oh, syukurlah kalau begitu. Bilang terima kasih dari ibu buat Hani, ya. Dia memang istri berbakti, Ibu senang punya menantu seperti dia. Padahal dia bekerja, ta
Belum kumpul kesadaran Hani dengan apa yang terjadi, Vino sudah bangkit lalu balik menyerang Aiman. Perkelahian pun tak dapat dihindari, dua lelaki itu terlibat baku hantam yang sengit, bahkan teriakan Hani untuk melerai mereka pun tak berarti apa-apa. Mereka seolah dua ekor singa jantan yang tengah memperebutkan daerah kekuasaan masing-masing. Sungguh kekanak-kanakkan, itu pikir Hani.Beberapa kali Hani hampir terpukul karena berusaha melerai mereka. Ia memandangi mereka sambil bertolak pinggang. Dadanya turun-naik dengan cepat, menahan kesal dan marah. Sampai ia putus asa, dan memutuskan melapor satpam.Mereka baru berhenti setelah seorang satpam yang Hani panggil memisahkan mereka, itupun setelah sang satpam terkena pukulan beberapa kali.Aim
"Kalau sikap Anda terus begitu Pak Aiman, sepertinya bukan hanya Vino yang akan merebut istri Anda, tapi juga ... saya.""Apa??"Bukan hanya Aiman dan Vino yang berseru tak percaya, tapi Hani pun sama. Suara mereka serempak terdengar bersamaan."Sudah, sudah! Karena semua sudah saya anggap selesai, silahkan Anda semua boleh meninggalkan ruangan ini," tutup Pak Reynaldi akhirnya dengan senyum yang masih terukir di wajahnya.Mereka semua pun bangkit untuk meninggalkan tempat itu. Vino berjalan lebih dulu. Sedang Aiman yang kakinya cidera cukup parah karena tertimpa motor yang jadi korban keberingasan mereka, berjalan dengan tertatih.
Dengan tertatih Aiman turun dari mobil, setelah memasuki halaman rumahnya. Karena tak ada pilihan lain, ia memaksakan diri mengendarai mobilnya sendiri dengan kondisi terluka dan cedera.Awalnya ia pikir akan bisa membujuk Hani ikut pulang lagi dan membatalkan perceraian mereka, apalagi melihat kondisinya seperti itu. Namun, siapa sangka karena ia lepas kontrol, semua semakin berantakan.Tak terbersit sedikit pun dalam benaknya ia akan berkelahi dengan pria lain dalam hidup wanita itu. Lalu saat di dalam mobil, lagi-lagi ia tak dapat mengendalikan dirinya, karena rindu yang tak tertahankan. Lalu sekarang? Wanita itu benar-benar marah. Ia bahkan tak berbalik lagi untuk sekedar meliriknya.Karena pikiran yang tak fokus, terus saja memi
Hani memarkirkan motornya di parkiran alun-alun kota yang cukup ramai malam ini. Rasa suntuk membawanya ke sini. Sekedar membunuh jenuh.Kejadian tadi sore membuatnya sangat kesal dengan Aiman juga Vino yang kekanak-kanakkan.Dengan memasukkan kedua tangan ke dalam saku hoody-nya ia ayun langkahnya menuju bangku-bangku dari tembokan yang tersedia untuk pengunjung di setiap sudut alun-alun.Matanya tertuju satu bangku kosong yang bisa ditempati dua orang, kebetulan agak pojok, hingga ia bisa menikmati suasana di sana dengan tenang. Hani hendak meletakkan bokongnya di sana saat seseorang mendahuluinya dan langsung duduk tanpa permisi.Mata Hani melebar, ia buru-buru mena
'Tania lagi. Lagi-lagi Tania. Selalu saja Tania yang jadi kebanggaan mereka. Padahal orangnya sudah mati'. Geram Hani dalam hati.Selalu saja seperti itu. Sejak kecil ia bahkan tidak pernah merasa memiliki hidupnya sendiri, ia harus terus hidup dalam bayang-bayang sang kakak. Selalu dibanding-bandingkan. Apapun yang dilakukannya selalu salah di mata orang tuanya."Maaf, Yah. Tidak bisakah jangan terus membandingkan aku dengan Mbak Tania? Tidak tahukah Ayah kalau aku terluka setiap kali Ayah membandingkan kami? Bukankah aku juga manusia yang punya hati dan pemikiran sendiri?" Hani memberanikan diri mengungkapkan apa yang jadi uneg-unegnya selama ini dengan suara bergetar."Pada kenyataanya memang seperti itu, kamu tidak pernah melakukan hal benar
Hani berdiri mematung, ujung rambutnya dimainkan angin nakal di taman kota, sore ini. Di depannya, berdiri tak kalah kaku seorang lelaki dengan topi di kepalanya. Jarak mereka hanya dua meteran.Beberapa waktu berselang, mereka hanya saling tatap dalam kekakuan. Entah apa yang harus dilakukan. Hingga …."Sayang, dapat popcorn-nya?" Seorang lelaki lain muncul di belakang Hani menggendong anak lelaki kecil."Mas, mana popcorn-nya? Bayi kita sudah tak sabar, nanti dia ileran, lho." Seorang wanita lain juga muncul di belakang lelaki bertopi.Empat orang dewasa, berdiri kaku, dengan pandangan saling menatap tajam.Hening. Tak
Mengertilah Aiman sekarang, kenapa sejak pagi sang istri mendiamkannya. Membuat kepalanya serasa mau pecah. Memikirkan apa gerangan salahnya.Aiman masih menatap benda kecil pipih bergaris dua merah di telapak tangannya, sebelum melempar bunga di tangan ke atas sofa ruang tamu. Kemudian berlari menyusul sang istri yang sudah masuk meninggalkannya.Ditangkapnya tubuh sang istri, kemudian dibopong dan dibawa berputar-putar, untuk meluapkan rasa bahagia."Sayang ...kamu hamil lagi?" tanyanya sambil membawa tubuh Hani dalam bopongan berputar-putar.Hani memekik, seraya melingkarkan kedua tangan di leher sang suami."Mas, apaan sih kamu?
Sebulan berlalu ….Keluarga kecil itu, baru saja keluar dari RSJ tempat Sri dirawat. Mereka memang mengagendakan kunjungan rutin ke sana, untuk mengetahui perkembangan ibu dari sang kakak itu.Aiman sudah bersumpah akan mengobati wanita itu sampai sembuh. Bila nanti sudah benar-benar sembuh, ia juga akan menampung wanita itu. Akan menganggap Sri sebagai ibunya sendiri, sebagai pengganti Yuli. Itu dia lakukan sebagai bentuk penebusan dosa orang tuanya di masa lalu. Semoga dengan begitu, ayah, ibu, dan kakaknya tenang di alam sana.Tangan Aiman terjulur ingin membuka pintu mobil, saat seseorang memanggilnya. Semua menoleh ke asal suara. Tampak seorang lelaki berkacamata dan seorang gadis kecil di sana.
Jam tiga dini hari, Hani terbangun dengan kepala pusing. Wanita itu juga belum lama memejamkan mata. Ia menemani dulu sang suami mengisi perut dan mendengarkan semua ceritanya.Suara gumaman pelan terdengar dari sampingnya berbaring. Dipaksanya bola mata untuk terbuka karena penasaran dengan suara yang didengarnya.Suara itu ternyata keluar dari mulut Aiman yang tubuhnya menggigil, tetapi matanya terpejam. Hani segera bangkit, duduk di sebelah tubuh suaminya yang masih terbaring. Wanita itu menempelkan punggung tangannya di kening sang suami.Hani terperanjat, karena suhu tubuh itu begitu tinggi. Tubuh Aiman sangat panas. Pantaslah lelaki itu begitu menggigil.Hani segera beranjak ke dapur me
Aiman melangkah gontai mendekati tubuh yang meringkuk dan bersimbah darah, diiringi tatapan semua orang yang menyaksikan. Tubuh lelaki itu langsung meluruh dengan lemah tepat di sisi tubuh yang merintih itu.Tatapan nanar ia tujukan pada wajah pucat yang terus merintih, dan memegangi perutnya yang terus mengeluarkan darah. Ada dua luka di tubuh Arum. Satu di kaki, mungkin polisi menembaknya untuk melumpuhkannya, agar tidak kabur. Satu lagi di perut, karena wanita itu melawan, dan malah menyandera warga. Anak kecil pula. Mengancam dengan senjata tajam. Hingga akhirnya polisi harus menyarangkan lagi timah panas di perutnya.Semua warga yang menyaksikan tak ada yang bersuara. Mereka diam bahkan menahan napas. Semua penasaran drama apa yang akan terjadi selanjutnya antara dua bersaudara itu.
Hani dijemput orang tuanya, mereka pulang setelah Hanan membaik. Sementara Aiman kembali ke tempat semula. Mungkin jasad sang ibu sudah dibawa ke rumah sakit. Namun, ia ingin mengurus Sri, dan mengetahui sejauh mana pencarian Arum.Aiman tak menyangka, keluarganya akan hancur seperti ini. Arum yang berubah kalap setelah mengetahui kisah hidupnya. Lalu ada wanita bernama Sri, yang menderita sekian lama, karena keputusan sang ayah di masa lalu. Hanan yang menjadi korban balas dendam Arum, dan terakhir sang ibu yang harus meninggal dengan tragis, di tangan anak yang sudah dibesarkan sejak bayi.Sungguh semua terjadi begitu cepat, di saat ia seharusnya tengah menikmati bulan madu setelah berhasil membawa wanita yang dicintainya dalam pernikahan kedua kalinya.S
Dengan tangan gemetar, Aiman mengemudikan mobil keluar dari perkampungan itu mencari klinik terdekat. Di sampingnya, Hani terus menangis mendekap sang anak yang kondisinya mengkhawatirkan.Hanan demam tinggi, tubuhnya kejang-kejang, matanya berputar ke atas sejak tadi. Entah apa yang terjadi, mungkin ia ketakutan dan trauma dengan semua yang terjadi."Hanan, bertahanlah sayang. Ada mama di sini. Kita ke dokter, ya. Anak mama pasti kuat. Nanti kita pulang sayang. Kita berkumpul lagi." Hani terus menceracau di antara tangisnya yang terus berderai.Aiman membelokkan mobil ke arah klinik kecil terdekat. Keadaan lelaki itu sudah tak dapat digambarkan seperti apa. Sangat kacau. Dengan wajah pucat, rambut acak-acakan, tubuh basah akibat memeluk jasad sang ibu yang
Hani memaksakan diri bangun walaupun tubuhnya masih terasa lemas tak bertulang. Tak dapat dipercaya, semua kejadian barusan terasa seperti mimpi. Ibu mertua yang nekat mendekati Arum. Mereka rebutan Hanan, sampai Arum mendorong Yuli hingga jatuh ke sungai dan terbawa arus.Hani berdiri lalu berjalan dengan hati yang kacau balau menghampiri Aiman yang masih bersimpuh di tengah jembatan dengan tubuh beku.Disentuhnya bahu lelaki tercinta yang hatinya pasti lebih kacau."Mas," panggil Hani serak seraya ikut bersimpuh memeluk Aiman dan Hanan. Mereka berpelukan di tengah jembatan kayu yang bergoyang-goyang. Jembatan kayu yang dijadikan jembatan penyeberangan darurat oleh warga untuk mencapai kampung di seberang sungai.
Yuli semakin mendekati Arum, hingga akhirnya kursi roda akan menabrak tubuh yang berdiri kaku itu.Sepersekian detik Arum tersadar dari keterpakuannya. Refleks ia menghindar agar tidak tertabrak. Namun, tangan Yuli berhasil meraih tubuh mungil Hanan.Arum semakin tersentak, ia pertahankan tubuh mungil yang kembali menjerit itu dengan sekuat tenaga. Sementara Yuli juga melakukan hal yang sama. Adegan saling rebut tak dapat terelakkan. Keduanya sama-sama mempertahankan tubuh mungil itu."Lepaskan, cucuku! Dia tidak bersalah, dia berhak hidup bahagia!" pekik Yuli dengan suara tertahan."Tidak akan! Aku tidak rela melihat kalian bahagia sementara aku dan ibuku menderita. Aku akan lenyapkan anak i