Dengan tertatih Aiman turun dari mobil, setelah memasuki halaman rumahnya. Karena tak ada pilihan lain, ia memaksakan diri mengendarai mobilnya sendiri dengan kondisi terluka dan cedera.
Awalnya ia pikir akan bisa membujuk Hani ikut pulang lagi dan membatalkan perceraian mereka, apalagi melihat kondisinya seperti itu. Namun, siapa sangka karena ia lepas kontrol, semua semakin berantakan.
Tak terbersit sedikit pun dalam benaknya ia akan berkelahi dengan pria lain dalam hidup wanita itu. Lalu saat di dalam mobil, lagi-lagi ia tak dapat mengendalikan dirinya, karena rindu yang tak tertahankan. Lalu sekarang? Wanita itu benar-benar marah. Ia bahkan tak berbalik lagi untuk sekedar meliriknya.
Karena pikiran yang tak fokus, terus saja memi
Hani memarkirkan motornya di parkiran alun-alun kota yang cukup ramai malam ini. Rasa suntuk membawanya ke sini. Sekedar membunuh jenuh.Kejadian tadi sore membuatnya sangat kesal dengan Aiman juga Vino yang kekanak-kanakkan.Dengan memasukkan kedua tangan ke dalam saku hoody-nya ia ayun langkahnya menuju bangku-bangku dari tembokan yang tersedia untuk pengunjung di setiap sudut alun-alun.Matanya tertuju satu bangku kosong yang bisa ditempati dua orang, kebetulan agak pojok, hingga ia bisa menikmati suasana di sana dengan tenang. Hani hendak meletakkan bokongnya di sana saat seseorang mendahuluinya dan langsung duduk tanpa permisi.Mata Hani melebar, ia buru-buru mena
'Tania lagi. Lagi-lagi Tania. Selalu saja Tania yang jadi kebanggaan mereka. Padahal orangnya sudah mati'. Geram Hani dalam hati.Selalu saja seperti itu. Sejak kecil ia bahkan tidak pernah merasa memiliki hidupnya sendiri, ia harus terus hidup dalam bayang-bayang sang kakak. Selalu dibanding-bandingkan. Apapun yang dilakukannya selalu salah di mata orang tuanya."Maaf, Yah. Tidak bisakah jangan terus membandingkan aku dengan Mbak Tania? Tidak tahukah Ayah kalau aku terluka setiap kali Ayah membandingkan kami? Bukankah aku juga manusia yang punya hati dan pemikiran sendiri?" Hani memberanikan diri mengungkapkan apa yang jadi uneg-unegnya selama ini dengan suara bergetar."Pada kenyataanya memang seperti itu, kamu tidak pernah melakukan hal benar
Hani menghentikan motornya agak menepi di dekat warung kaki lima, saat merasa ada seseorang yang mengikutinya. Wanita itu membalikkan badannya, mengamati ke arah belakang. Tak ada yang mencurigakan. Namun, ia yakin diikuti sejak keluar dari rumah orang tuanya tadi.Dengan sangat hati-hati ia kembali menjalankan motornya. Bagaimanapun, instingnya mengatakan seseorang tengah mengikutinya. Ini sudah hampir jam sepuluh malam. Tentu rawan kejahatan apalagi untuk wanita seperti dirinya yang masih berkendara di jalan.Baru puluhan meter motornya melaju, lagi-lagi Hani merasakan seseorang tengah mengikutinya lagi. Kali ini bukan berhenti, ia malah semakin mempercepat laju motornya. Semakin cepat sampai akan semakin aman baginya.Hingga sampai di d
Hani baru saja akan menjatuhkan bokongnya di atas kursi singel di dalam kamar kosnya sepulang kerja siang ini, saat seseorang mengetuk pintu.Keningnya berkerut, siapa gerangan yang bertamu? Tidak mungkin Marta, tadi gadis itu bilang mau langsung jalan dengan pacarnya yang datang menjemput.Vino juga tidak mungkin, ia bilang mau mengantar ibunya terapi, makanya tadi buru-buru pulang.Ditujunya lagi pintu yang masih diketuk dari luar dengan tak sabar itu. Mata Hani langsung melebar sempurna saat daun pintu sudah terkuak dan menampilkan sosok pengetuk tak sabaran itu.Hani sudah akan menutup lagi pintunya saat tangan itu dengan cepat menahannya.
Aiman mendudukkan dirinya di kursi susun empat di samping kakaknya. Wajahnya perpaduan antara lelah, khawatir, dan putus asa.Ibunya masih ditangani dokter di dalam sana, menurut Arum, sang ibu jatuh di kamar mandi dan tak sadarkan diri. Tubuhnya sangat kaku saat ditemukan."Hani tetap tidak mau ikut?" tanya Arum dengan tetap memandang ke depan.Aiman menarik napas panjang sebelum menjawab."Mulai sekarang, aku sudah memutuskan Mbak, jangan lagi menyalahkan Hani atas apa pun yang menimpa ibu dan keluarga kita. Apapun yang terjadi, itu sudah takdir. Ibu sakit itu takdir bukan salah siapa-siapa," jawab Aiman juga dengan pandangan kosong ke depan.
"Aku tidak punya teman perempuan, Mbak!" sungut Aiman kesal. "Gajinya si Ratih biar aku yang urus. Asal pastikan dulu kerjanya bagus.""Mbak yakin dia bisa diandalkan, kerjanya rajin, telaten, apalagi kita beri dia tempat tinggal juga, dia pasti mau."Aiman hanya mengangguk tanda setuju dengan usulan kakaknya, toh dia juga lelah kalau harus bolak-balik, belum lagi kalau harus lembur. Sementara ibunya juga tidak mau ikut ke rumah anak-anaknya. Kalau ada yang merawat sang ibu, mereka tenang, Aiman bisa fokus kerja.Akhirnya mereka sepakat untuk mempekerjakan perempuan bernama Ratih itu, yang kata kakaknya dia seangkatan dirinya. Namun, sungguh lelaki itu tidak mengingatnya sama sekali.Pe
Bahu Hani meluruh lemah. Bagaimana mungkin ia tidak menyadari hal itu. Semalam sebelum meninggalkan rumah Aiman, lelaki itu melakukannya. Ya, ia tahu walaupun hanya dilakukan sekali, tapi peluang terjadi pembuahan pasti ada. Buktinya ada banyak korban perkosaan yang langsung hamil. Begitupun dengan dirinya, bahkan ia ingat saat itu baru saja selesai haid, pasti saat organ reproduksinya tengah masa subur.Bagaimana Hani bisa melupakan hal semacam itu, ia bahkan tak berpikir sampai sana.Malam itu, Hani tak sepenuhnya menyalahkan Aiman. Bahkan jujur, ia pun sempat terbuai dan ikut menikmati malam itu, hanya saja semua sudah terlambat untuk diperbaiki lagi. Saat itu ia benar-benar ingin berpisah. Lalu sekarang?"Han, kok bengong? Eh, wajahmu
Aiman memijat tangan ibunya dengan lembut sore ini, sepulang kerja. Itu memang selalu dilakukannya bila mengunjungi sang ibu, sebagai bentuk perhatiannya.Bu Yuli duduk bersandar di kepala ranjangnya. Keadaannya jauh lebih baik, bicaranya sudah terdengar jelas setelah beberapa kali terapi. Kakinya juga sudah sedikit bisa digerakkan, kemajuan yang sangat pesat dan membahagiakan untuk Aiman dan keluarga. Semua tak lepas dari tangan ringan Ratih yang merawatnya dengan telaten."Ai, kapan jadwal sidang terakhirmu?" tanya wanita yang terlihat lebih tua dari umurnya itu.Aiman mengalihkan pandangan ke arah wajah sang ibu sebentar, kemudian menunduk lagi."Besok, Bu," jawabny