Aiman memijat tangan ibunya dengan lembut sore ini, sepulang kerja. Itu memang selalu dilakukannya bila mengunjungi sang ibu, sebagai bentuk perhatiannya.
Bu Yuli duduk bersandar di kepala ranjangnya. Keadaannya jauh lebih baik, bicaranya sudah terdengar jelas setelah beberapa kali terapi. Kakinya juga sudah sedikit bisa digerakkan, kemajuan yang sangat pesat dan membahagiakan untuk Aiman dan keluarga. Semua tak lepas dari tangan ringan Ratih yang merawatnya dengan telaten.
"Ai, kapan jadwal sidang terakhirmu?" tanya wanita yang terlihat lebih tua dari umurnya itu.
Aiman mengalihkan pandangan ke arah wajah sang ibu sebentar, kemudian menunduk lagi.
"Besok, Bu," jawabny
Mata Aiman berbinar bahagia. Secercah harapan hadir, kalau pernikahan mereka bisa dipertahankan. Karena, tidak biasanya Hani menghubunginya. Aiman yakin Hani menelpon untuk membatalkan perceraian mereka, dan ia akan menyambutnya dengan suka cita.Aiman baru akan mengangkat panggilan Hani saat ponselnya berhenti berdering, ternyata panggilan terputus. Secepat kilat ia menghubungi balik, dan butuh waktu cukup lama Hani mengangkat panggilannya."Iya, Han? Bagaimana?" tembak Aiman langsung setelah panggilan terhubung. Lelaki itu membuka pintu mobil, lalu duduk di belakang kemudi."Ma-af, Mas. Ke-pen-cet," jawab Hani pelan di seberang sana. Padahal sungguh Hani sedang bimbang, antara memberi tahu Aiman atau tidak.
Dengan ditemani Marta, Hani datang ke Pengadilan Agama itu dengan tubuh lemah, tetapi ia paksa kuat. Dua hari ini ia mengalami morning sickness yang parah. Hampir tak ada makanan yang masuk. Kalaupun ada, akan kembali ia muntahkan. Sungguh masa kehamilan yang berat, apalagi tanpa suami dan keluarga di sisinya. Hanya Marta sang sahabat yang selalu menemaninya. Maka pantas bila hari ini, ia terlihat sangat pucat dan kurus. Aiman menyadari hal itu. Ia yang datang ditemani Arum dan suaminya, Danu, sangat heran melihat keadaan Hani. Ini adalah pertemuan pertama mereka setelah beberapa bulan ini. Rasa rindu yang membuncah berubah menjadi rasa khawatir yang mendalam. &nb
"Ada apa lagi, Mas?" tanya Hani heran melihat Aiman lari tergopoh-gopoh. Padahal ia ingin segera meninggalkan tempat itu. Selain tak ingin menambah luka hatinya, wanita itu juga menahan rasa mual yang sejak tadi menyiksanya.Lagi-lagi Aiman menarik tubuh Hani dalam pelukannya. Didekapnya cepat dan erat tubuh itu, hingga Hani tak sempat menghindar."Izinkan aku memelukmu mungkin untuk terakhir kalinya, Han. Setelah ini aku janji tidak akan mengganggu hidupmu lagi," ucapnya parau.Hani memejamkan matanya dengan malas. Kenapa Aiman terus saja bersikap seperti ini? Apakah ini ada hubungannya dengan bayi yang dikandungnya? Apakah ikatan antara ayah dan anak itu begitu kuat?Hani segera mengurai pe
Hani berniat membuang sampah setelah makan siang. Hari ini ia off kerja, perut yang sudah terlihat membuncit membuatnya tidak lagi leluasa bergerak.Wanita itu mengangkat keranjang sampah dan hendak menuang isinya ke dalam tong sampah besar di luar gerbang tempat kost-nya. Saat matanya menangkap sosok yang tidak asing berdiri di luar sana. Sosok yang sangat dirindukannya selama ini, tapi tak ada keberanian sedikit pun bahkan untuk sekadar menghubunginya."Ibu," gumamnya pelan dengan suara bergetar. Keranjang sampah di tangannya sampai terlepas dan jatuh di tanah begitu saja.Mata Hani memanas, apalagi melihat sosok itu begitu kurus dan terlihat lebih tua dari usiannya. Mata tuanya sudah basah menatapnya.
Di sini Hani sekarang. Di dalam taxi online yang membawanya ke tempat kerja. Di pangkuannya ada map berisi surat pengunduran diri yang akan ia serahkan ke bos-nya.Percakapan dengan orang tuanya semalam yang meminta Hani resign membawanya pada keputusan untuk keluar kerja."Ayah dan ibu ada sedikit tabungan, Han. Bagaimana kalau kita buka usaha saja di rumah. Kami tidak tega melihatmu terus bekerja dengan perut yang sudah besar, mana perjalanan jauh pula. Kita kelola bersama, ya. Kalau libur kerja ayah juga bisa bantuin kalian. Dengan begitu kami tidak terlalu khawatir sama kamu juga calon cucu kami." Kalimat yang keluar dari mulut ayahnya itu membuat hatinya meleleh dan segera memeluk sang ayah.Tak terasa Hani menyeka kedua sudut matanya. Ternyata sudah s
Hani menoleh tanpa membalikkan badan, kedua tangannya masih sibuk menarik rapat sweater dengan menyilangkan kedua tangannya. Entahlah, ia tidak mau Aiman mengetahui kehamilannya. Hani tidak mau dikasihani, apalagi kalau benar kabar Aiman akan segera menikah dalam waktu dekat."Apa kabar, Mas?" tanya Hani canggung untuk memecahkan kekakuan. Posisinya masih menghadap rak, yang berarti menyamping dari Aiman. Hanya wajahnya yang menghadap lelaki itu.Sekejap mata Hani terpaku melihat penampilannya, lelaki itu terlihat lebih gagah dengan tubuh lebih berisi dan atletis. Sangat jauh dengan penampilannya saat masih berstatus suaminya dulu dengan tubuh tinggi kurusnya. Sungguh dulu, Aiman bukan selera Hani yang hobi berolahraga. Namun, sekarang lihatlah! Lelaki itu terlihat lebih gagah dan maskulin.
"Aku mau kita rujuk. Aku mau kita menikah lagi!"Hani tersenyum miring seraya membetulkan rambutnya yang berantakan diacak angin, dengan menyelipkannya ke belakang telinga. Sungguh di mata Aiman wanita yang sudah menjadi mantan istrinya itu terlihat sangat cantik dan keibuan. Sangat kontras dengan penampilannya dulu yang tomboy dan urakan. Hani sekarang terlihat sangat lembut dan keibuan."Apa kamu lupa kalau kamu akan segera menikah lagi?" tanya Hani datar setelah menguasai lagi dirinya.Wajah Aiman memucat, bagaimana kabar itu bisa sampai ke telinga Hani."Dengar! Tidak akan ada pernikahan. Aku tidak pernah menyetujui pernikahan itu. Hanya ibu…."
Hari masih terlalu pagi, Hani bahkan baru menjemur cuciannya pagi ini, saat suara deru mesin mobil terdengar masuk halaman. Pekerjaannya di kafe sekarang tidak menuntutnya berangkat terlalu pagi, seperti saat masih jadi waitress yang kerjanya sif. Sekarang ia bisa lebih santai.Hani melongokkan kepala di antara kain-kain jemurannya. Wanita itu langsung memutar bola mata malas saat melihat mantan suaminya turun dari mobil. Sepagi ini laki-laki itu sudah datang dengan banyak tentengan di tangannya. Padahal ia sudah minta agar lelaki itu jangan terlalu sering berkunjung, mengingat Aiman akan segera menikah.Aiman langsung menuju halaman samping saat melihat wanita yang akan dikunjunginya ada di sana."Selamat pagi Han, ibu hamil rajin banget jam segini u