Hani baru saja akan menjatuhkan bokongnya di atas kursi singel di dalam kamar kosnya sepulang kerja siang ini, saat seseorang mengetuk pintu.
Keningnya berkerut, siapa gerangan yang bertamu? Tidak mungkin Marta, tadi gadis itu bilang mau langsung jalan dengan pacarnya yang datang menjemput.
Vino juga tidak mungkin, ia bilang mau mengantar ibunya terapi, makanya tadi buru-buru pulang.
Ditujunya lagi pintu yang masih diketuk dari luar dengan tak sabar itu. Mata Hani langsung melebar sempurna saat daun pintu sudah terkuak dan menampilkan sosok pengetuk tak sabaran itu.
Hani sudah akan menutup lagi pintunya saat tangan itu dengan cepat menahannya.
Aiman mendudukkan dirinya di kursi susun empat di samping kakaknya. Wajahnya perpaduan antara lelah, khawatir, dan putus asa.Ibunya masih ditangani dokter di dalam sana, menurut Arum, sang ibu jatuh di kamar mandi dan tak sadarkan diri. Tubuhnya sangat kaku saat ditemukan."Hani tetap tidak mau ikut?" tanya Arum dengan tetap memandang ke depan.Aiman menarik napas panjang sebelum menjawab."Mulai sekarang, aku sudah memutuskan Mbak, jangan lagi menyalahkan Hani atas apa pun yang menimpa ibu dan keluarga kita. Apapun yang terjadi, itu sudah takdir. Ibu sakit itu takdir bukan salah siapa-siapa," jawab Aiman juga dengan pandangan kosong ke depan.
"Aku tidak punya teman perempuan, Mbak!" sungut Aiman kesal. "Gajinya si Ratih biar aku yang urus. Asal pastikan dulu kerjanya bagus.""Mbak yakin dia bisa diandalkan, kerjanya rajin, telaten, apalagi kita beri dia tempat tinggal juga, dia pasti mau."Aiman hanya mengangguk tanda setuju dengan usulan kakaknya, toh dia juga lelah kalau harus bolak-balik, belum lagi kalau harus lembur. Sementara ibunya juga tidak mau ikut ke rumah anak-anaknya. Kalau ada yang merawat sang ibu, mereka tenang, Aiman bisa fokus kerja.Akhirnya mereka sepakat untuk mempekerjakan perempuan bernama Ratih itu, yang kata kakaknya dia seangkatan dirinya. Namun, sungguh lelaki itu tidak mengingatnya sama sekali.Pe
Bahu Hani meluruh lemah. Bagaimana mungkin ia tidak menyadari hal itu. Semalam sebelum meninggalkan rumah Aiman, lelaki itu melakukannya. Ya, ia tahu walaupun hanya dilakukan sekali, tapi peluang terjadi pembuahan pasti ada. Buktinya ada banyak korban perkosaan yang langsung hamil. Begitupun dengan dirinya, bahkan ia ingat saat itu baru saja selesai haid, pasti saat organ reproduksinya tengah masa subur.Bagaimana Hani bisa melupakan hal semacam itu, ia bahkan tak berpikir sampai sana.Malam itu, Hani tak sepenuhnya menyalahkan Aiman. Bahkan jujur, ia pun sempat terbuai dan ikut menikmati malam itu, hanya saja semua sudah terlambat untuk diperbaiki lagi. Saat itu ia benar-benar ingin berpisah. Lalu sekarang?"Han, kok bengong? Eh, wajahmu
Aiman memijat tangan ibunya dengan lembut sore ini, sepulang kerja. Itu memang selalu dilakukannya bila mengunjungi sang ibu, sebagai bentuk perhatiannya.Bu Yuli duduk bersandar di kepala ranjangnya. Keadaannya jauh lebih baik, bicaranya sudah terdengar jelas setelah beberapa kali terapi. Kakinya juga sudah sedikit bisa digerakkan, kemajuan yang sangat pesat dan membahagiakan untuk Aiman dan keluarga. Semua tak lepas dari tangan ringan Ratih yang merawatnya dengan telaten."Ai, kapan jadwal sidang terakhirmu?" tanya wanita yang terlihat lebih tua dari umurnya itu.Aiman mengalihkan pandangan ke arah wajah sang ibu sebentar, kemudian menunduk lagi."Besok, Bu," jawabny
Mata Aiman berbinar bahagia. Secercah harapan hadir, kalau pernikahan mereka bisa dipertahankan. Karena, tidak biasanya Hani menghubunginya. Aiman yakin Hani menelpon untuk membatalkan perceraian mereka, dan ia akan menyambutnya dengan suka cita.Aiman baru akan mengangkat panggilan Hani saat ponselnya berhenti berdering, ternyata panggilan terputus. Secepat kilat ia menghubungi balik, dan butuh waktu cukup lama Hani mengangkat panggilannya."Iya, Han? Bagaimana?" tembak Aiman langsung setelah panggilan terhubung. Lelaki itu membuka pintu mobil, lalu duduk di belakang kemudi."Ma-af, Mas. Ke-pen-cet," jawab Hani pelan di seberang sana. Padahal sungguh Hani sedang bimbang, antara memberi tahu Aiman atau tidak.
Dengan ditemani Marta, Hani datang ke Pengadilan Agama itu dengan tubuh lemah, tetapi ia paksa kuat. Dua hari ini ia mengalami morning sickness yang parah. Hampir tak ada makanan yang masuk. Kalaupun ada, akan kembali ia muntahkan. Sungguh masa kehamilan yang berat, apalagi tanpa suami dan keluarga di sisinya. Hanya Marta sang sahabat yang selalu menemaninya. Maka pantas bila hari ini, ia terlihat sangat pucat dan kurus. Aiman menyadari hal itu. Ia yang datang ditemani Arum dan suaminya, Danu, sangat heran melihat keadaan Hani. Ini adalah pertemuan pertama mereka setelah beberapa bulan ini. Rasa rindu yang membuncah berubah menjadi rasa khawatir yang mendalam. &nb
"Ada apa lagi, Mas?" tanya Hani heran melihat Aiman lari tergopoh-gopoh. Padahal ia ingin segera meninggalkan tempat itu. Selain tak ingin menambah luka hatinya, wanita itu juga menahan rasa mual yang sejak tadi menyiksanya.Lagi-lagi Aiman menarik tubuh Hani dalam pelukannya. Didekapnya cepat dan erat tubuh itu, hingga Hani tak sempat menghindar."Izinkan aku memelukmu mungkin untuk terakhir kalinya, Han. Setelah ini aku janji tidak akan mengganggu hidupmu lagi," ucapnya parau.Hani memejamkan matanya dengan malas. Kenapa Aiman terus saja bersikap seperti ini? Apakah ini ada hubungannya dengan bayi yang dikandungnya? Apakah ikatan antara ayah dan anak itu begitu kuat?Hani segera mengurai pe
Hani berniat membuang sampah setelah makan siang. Hari ini ia off kerja, perut yang sudah terlihat membuncit membuatnya tidak lagi leluasa bergerak.Wanita itu mengangkat keranjang sampah dan hendak menuang isinya ke dalam tong sampah besar di luar gerbang tempat kost-nya. Saat matanya menangkap sosok yang tidak asing berdiri di luar sana. Sosok yang sangat dirindukannya selama ini, tapi tak ada keberanian sedikit pun bahkan untuk sekadar menghubunginya."Ibu," gumamnya pelan dengan suara bergetar. Keranjang sampah di tangannya sampai terlepas dan jatuh di tanah begitu saja.Mata Hani memanas, apalagi melihat sosok itu begitu kurus dan terlihat lebih tua dari usiannya. Mata tuanya sudah basah menatapnya.
Hani berdiri mematung, ujung rambutnya dimainkan angin nakal di taman kota, sore ini. Di depannya, berdiri tak kalah kaku seorang lelaki dengan topi di kepalanya. Jarak mereka hanya dua meteran.Beberapa waktu berselang, mereka hanya saling tatap dalam kekakuan. Entah apa yang harus dilakukan. Hingga …."Sayang, dapat popcorn-nya?" Seorang lelaki lain muncul di belakang Hani menggendong anak lelaki kecil."Mas, mana popcorn-nya? Bayi kita sudah tak sabar, nanti dia ileran, lho." Seorang wanita lain juga muncul di belakang lelaki bertopi.Empat orang dewasa, berdiri kaku, dengan pandangan saling menatap tajam.Hening. Tak
Mengertilah Aiman sekarang, kenapa sejak pagi sang istri mendiamkannya. Membuat kepalanya serasa mau pecah. Memikirkan apa gerangan salahnya.Aiman masih menatap benda kecil pipih bergaris dua merah di telapak tangannya, sebelum melempar bunga di tangan ke atas sofa ruang tamu. Kemudian berlari menyusul sang istri yang sudah masuk meninggalkannya.Ditangkapnya tubuh sang istri, kemudian dibopong dan dibawa berputar-putar, untuk meluapkan rasa bahagia."Sayang ...kamu hamil lagi?" tanyanya sambil membawa tubuh Hani dalam bopongan berputar-putar.Hani memekik, seraya melingkarkan kedua tangan di leher sang suami."Mas, apaan sih kamu?
Sebulan berlalu ….Keluarga kecil itu, baru saja keluar dari RSJ tempat Sri dirawat. Mereka memang mengagendakan kunjungan rutin ke sana, untuk mengetahui perkembangan ibu dari sang kakak itu.Aiman sudah bersumpah akan mengobati wanita itu sampai sembuh. Bila nanti sudah benar-benar sembuh, ia juga akan menampung wanita itu. Akan menganggap Sri sebagai ibunya sendiri, sebagai pengganti Yuli. Itu dia lakukan sebagai bentuk penebusan dosa orang tuanya di masa lalu. Semoga dengan begitu, ayah, ibu, dan kakaknya tenang di alam sana.Tangan Aiman terjulur ingin membuka pintu mobil, saat seseorang memanggilnya. Semua menoleh ke asal suara. Tampak seorang lelaki berkacamata dan seorang gadis kecil di sana.
Jam tiga dini hari, Hani terbangun dengan kepala pusing. Wanita itu juga belum lama memejamkan mata. Ia menemani dulu sang suami mengisi perut dan mendengarkan semua ceritanya.Suara gumaman pelan terdengar dari sampingnya berbaring. Dipaksanya bola mata untuk terbuka karena penasaran dengan suara yang didengarnya.Suara itu ternyata keluar dari mulut Aiman yang tubuhnya menggigil, tetapi matanya terpejam. Hani segera bangkit, duduk di sebelah tubuh suaminya yang masih terbaring. Wanita itu menempelkan punggung tangannya di kening sang suami.Hani terperanjat, karena suhu tubuh itu begitu tinggi. Tubuh Aiman sangat panas. Pantaslah lelaki itu begitu menggigil.Hani segera beranjak ke dapur me
Aiman melangkah gontai mendekati tubuh yang meringkuk dan bersimbah darah, diiringi tatapan semua orang yang menyaksikan. Tubuh lelaki itu langsung meluruh dengan lemah tepat di sisi tubuh yang merintih itu.Tatapan nanar ia tujukan pada wajah pucat yang terus merintih, dan memegangi perutnya yang terus mengeluarkan darah. Ada dua luka di tubuh Arum. Satu di kaki, mungkin polisi menembaknya untuk melumpuhkannya, agar tidak kabur. Satu lagi di perut, karena wanita itu melawan, dan malah menyandera warga. Anak kecil pula. Mengancam dengan senjata tajam. Hingga akhirnya polisi harus menyarangkan lagi timah panas di perutnya.Semua warga yang menyaksikan tak ada yang bersuara. Mereka diam bahkan menahan napas. Semua penasaran drama apa yang akan terjadi selanjutnya antara dua bersaudara itu.
Hani dijemput orang tuanya, mereka pulang setelah Hanan membaik. Sementara Aiman kembali ke tempat semula. Mungkin jasad sang ibu sudah dibawa ke rumah sakit. Namun, ia ingin mengurus Sri, dan mengetahui sejauh mana pencarian Arum.Aiman tak menyangka, keluarganya akan hancur seperti ini. Arum yang berubah kalap setelah mengetahui kisah hidupnya. Lalu ada wanita bernama Sri, yang menderita sekian lama, karena keputusan sang ayah di masa lalu. Hanan yang menjadi korban balas dendam Arum, dan terakhir sang ibu yang harus meninggal dengan tragis, di tangan anak yang sudah dibesarkan sejak bayi.Sungguh semua terjadi begitu cepat, di saat ia seharusnya tengah menikmati bulan madu setelah berhasil membawa wanita yang dicintainya dalam pernikahan kedua kalinya.S
Dengan tangan gemetar, Aiman mengemudikan mobil keluar dari perkampungan itu mencari klinik terdekat. Di sampingnya, Hani terus menangis mendekap sang anak yang kondisinya mengkhawatirkan.Hanan demam tinggi, tubuhnya kejang-kejang, matanya berputar ke atas sejak tadi. Entah apa yang terjadi, mungkin ia ketakutan dan trauma dengan semua yang terjadi."Hanan, bertahanlah sayang. Ada mama di sini. Kita ke dokter, ya. Anak mama pasti kuat. Nanti kita pulang sayang. Kita berkumpul lagi." Hani terus menceracau di antara tangisnya yang terus berderai.Aiman membelokkan mobil ke arah klinik kecil terdekat. Keadaan lelaki itu sudah tak dapat digambarkan seperti apa. Sangat kacau. Dengan wajah pucat, rambut acak-acakan, tubuh basah akibat memeluk jasad sang ibu yang
Hani memaksakan diri bangun walaupun tubuhnya masih terasa lemas tak bertulang. Tak dapat dipercaya, semua kejadian barusan terasa seperti mimpi. Ibu mertua yang nekat mendekati Arum. Mereka rebutan Hanan, sampai Arum mendorong Yuli hingga jatuh ke sungai dan terbawa arus.Hani berdiri lalu berjalan dengan hati yang kacau balau menghampiri Aiman yang masih bersimpuh di tengah jembatan dengan tubuh beku.Disentuhnya bahu lelaki tercinta yang hatinya pasti lebih kacau."Mas," panggil Hani serak seraya ikut bersimpuh memeluk Aiman dan Hanan. Mereka berpelukan di tengah jembatan kayu yang bergoyang-goyang. Jembatan kayu yang dijadikan jembatan penyeberangan darurat oleh warga untuk mencapai kampung di seberang sungai.
Yuli semakin mendekati Arum, hingga akhirnya kursi roda akan menabrak tubuh yang berdiri kaku itu.Sepersekian detik Arum tersadar dari keterpakuannya. Refleks ia menghindar agar tidak tertabrak. Namun, tangan Yuli berhasil meraih tubuh mungil Hanan.Arum semakin tersentak, ia pertahankan tubuh mungil yang kembali menjerit itu dengan sekuat tenaga. Sementara Yuli juga melakukan hal yang sama. Adegan saling rebut tak dapat terelakkan. Keduanya sama-sama mempertahankan tubuh mungil itu."Lepaskan, cucuku! Dia tidak bersalah, dia berhak hidup bahagia!" pekik Yuli dengan suara tertahan."Tidak akan! Aku tidak rela melihat kalian bahagia sementara aku dan ibuku menderita. Aku akan lenyapkan anak i