Dengan dada berdebar, Hani berjalan menuju pintu. Sementara Aiman memperhatikannya masih dengan meringis.
Terlihat wanita itu menarik napas panjang dulu sebelum membuka pintu. Lalu memejamkan matanya beberapa saat.
"Waalaikumsalam…." ucapnya seraya membuka pintu dengan pelan.
"Halo menantu ibu yang cantik, apa kabar sayang? Kamu sehat, kan? Tambah cantik aja kamu, Han." Perempuan paruh baya itu langsung memeluk dan menciumi Hani dengan hangat.
Hani hanya mengangguk dengan senyum dipaksakan. Ia meraih tangan keriput itu untuk dicium. Ibu mertuanya memang begitu menyayanginya, bahkan terlihat lebih sayang kepadanya daripada Aiman sendiri.
Ibu berlalu menuju kamar yang sudah disiapkan Aiman, tetap menutupi wajahnya dengan jari-jari yang renggang.Sementara Aiman dan Hani masih di posisinya. Dengan tubuh Aiman telentang, dan Hani di atasnya. Mereka menatap tubuh ibu sampai menghilang di balik pintu kamar.Aiman tersenyum penuh kemenangan seraya tetap mengeratkan dekapannya. Seketika Hani tersadar, ia meronta sekuat tenaga, menjauhkan tubuhnya, mendorong dada Aiman dengan kuat hingga dekapan itu terlepas."Jangan coba-coba cari kesempatan, ya!" tudingnya marah ke arah wajah Aiman yang masih tersenyum jahil.Hani sudah berhasil duduk di samping lelaki itu. Rambutnya tampak acak-acakkan akibat aksi pemberontakannya barusan. Di mata
Hani duduk termenung di sisi tempat tidur, memikirkan obrolan dengan ibu mertua, saat mereka makan malam tadi. Selain terus menuntut hadirnya cucu, ada undangan juga dari kerabat ibu.Itu yang Hani malas sejak dulu, menghadiri acara keluarga besar. Saat semua keluarga berkumpul, telinga akan panas karena pertanyaan, kapan punya anak?Dapat dipastikan ia akan menjalani hari yang membosankan, karena harus berpura-pura bahagia selama acara berlangsung. Hal yang memuakkan, Aiman akan terus berakting seolah suami romantis, suami sempurna.Puncak masalah mereka pun kemarin, terjadi setelah pulang dari acara keluarga. Hingga berujung Hani memutuskan pisah kamar.Awalnya sepele, Hani yang bosan mengh
Hani menjerit dengan kedua telapak tangan menutupi telinga. Matanya terpejam. Tubuhnya mengkerut. Untuk beberapa saat ia betah dalam posisi itu. Hingga kasur di sebelahnya terasa bergerak.Perlahan Hani membuka mata dan menoleh. Terlihat tubuh Aiman yang tengkurap, tetapi dengan kepala menghadapnya. Lelaki itu menyeringai dengan menaik turunkan alisnya."Takut, ya?" tanyanya seraya tertawa mengejek. "Atau sebenarnya kamu mau?"Hani melebarkan matanya. Jadi, Aiman hanya mengerjainya? Menakut-nakutinya?Baru saja bibirnya mau terbuka, ketukan di pintu menghentikannya."Ai, ada apa? Kenapa Hani teriak?" Itu suara ibu. Pasti wanita itu h
"Ai ... Hani ... buka pintunya...."Sepasang anak manusia yang sedang berlarian dengan berisik itu, menghentikan aksi mereka. Saling pandang dengan kaget. Mereka lupa ada orang tua di kamar sebelah.Napas mereka masih memburu karena berlarian. Keringat juga terlihat membanjiri tubuh Aiman yang hanya terbalut celana pendek. Mereka masih saling tatap dengan dada yang sama turun naik dengan cepat."Aiman... Hani.... cepat buka pintunya...." Suara ibu terdengar nyaring lagi, ditingkahi gedoran keras di pintu.Aiman mengalah, dia mulai berjalan mendekati pintu, dan dengan pelan mulai membukanya. Setelah sebelumnya menarik dulu napas panjang."I
"Jadi, sampai kapan aku harus menunggu Han?" pemuda yang duduk berhadapan dengan Hani itu menatapnya penuh harap.Mereka baru selesai menurunkan kursi-kursi dari atas meja. Ya, kafe baru saja buka. Dan seperti biasa saat ditutup semalam, semua kursi akan dinaikkan ke atas meja.Masih sepi, baru mereka yang datang. Pagi ini Vino langsung nembak Hani. Karena ia pun merasa pria dewasa yang sudah sangat pantas mengakhiri masa lajangnya. Dan orang tua yang sudah sakit-sakitan juga menuntutnya segera beristri.Selama ini ia terus setia menunggu hingga kekasih hatinya bercerai dari suami pura-puranya sesuai kesepakatan mereka.Ia tahu pasti, pernikahan mereka bukanlah sungguhan. Namun, bahkan setelah lebi
"Kamu bicara apa, Bung? Sebentar, wanita itu bahkan hampir berakar menunggumu di sini. Coba kau ingat, jam berapa kau janji menjemputnya? Jangan-jangan kau amnesia." Vino bereaksi cepat. Ia tidak rela wanita yang dicintainya, diperlakukan seperti itu oleh lelaki yang bergelar suaminya."Siapa Anda bicara seperti itu dengan saya? Anda tidak perlu ikut campur. Dia istri saya!" Jari Aiman menunjuk Hani yang masih belum beranjak dari motor Vino. Wajah laki-laki itu tampak memerah.Vino sudah akan membalas perkataan Aiman, tetapi Hani segera menepuk pundaknya, kemudian turun dari motor. Membuka helm, lalu menyerahkan lagi kepada Vino. Ia tidak ingin terjadi ribut-ribut di sini."Makasih, ya. Maaf merepotkan kamu, harus nemenin aku menunggu. Pulanglah! Hati-hati
Dengan sangat terpaksa Hani turun mengikuti Aiman. Wajahnya di tekuk."Maaf ya, bapak-bapak, ibu-ibu, mengganggu perjalanannya. Silahkan dilanjut, Bang!" Aiman masih sempat melongokan lagi kepalanya ke dalam angkot untuk meminta maaf. Sorakkan 'huuuu' panjang dari semua penumpang menjawab ucapannya."Oh, pasangan yang berantem, ya. Pantesan naik angkot pake helm.""Padahal jangan bertengkar di jalan, ya. Di kamar lebih asik.""Kalau berantem jangan kabur, mending kalau dicariin. Kalau malah nyari pengganti bagaimana?"Komentar-komentar sumbang di dalam angkot masih tertangkap telinga Hani saat menunggu Aiman membaya
"Dasar egois!" umpat Hani kesal. Aiman meliriknya sinis. Kedua tangan ia masukkan ke dalam kantong celananya."Setidaknya, aku melakukan ini demi orang-orang tersayang. Bukan hanya untuk kepentingnku semata. Ibu, orang tua kamu, mereka akan terluka kalau kita bercerai. Sementara kamu? Kamu ingin bercerai hanya untuk kepentinganmu sendiri, dan juga … laki-laki itu, kan?" ucap Aiman tajam.Hani diam. Ia mencerna perkataan Aiman. Namun, kemudian berbalik menatap laki-laki di sebelahnya."Tidak! Aku tahu kamu melakukan ini bukan demi mereka, Mas. Tapi demi kepentingan sendiri. Kamu takut ibumu marah. Kamu takut namamu jelek di depan keluargamu, kan?" balas Hani tajam."Kalau semua bisa ber