Pikiran tak fokus membawanya kembali ke rumah sang ibu, padahal tadi ia berniat pulang ke rumahnya.
Tanpa menghiraukan sekeliling ia langsung masuk ke dalam kamar. Mungkin orang-orang sudah tidur, karena jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 21.15.
Lelaki itu langsung masuk kamar mandi, mengguyur dirinya mungkin bisa menghilangkan sedikit kepenatan hari ini. Cukup lama ia berkutat di dalam kamar kecil itu, hingga tubuhnya sudah merasa kedinginan.
Aiman keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang membalut tubuh bagian bawahnya. Matanya memicing saat ia menyadari lampu kamar jadi temaran, padahal yakin tadi tak mematikan lampu.
Tanpa mencurigai apa pun, lelaki itu langsung menuju lemari untuk
Sore hari, Hani yang sedang memberi susu bayinya terkejut karena ada ribut-ribut di depan rumahnya. Ada yang berteriak memanggil namanya dengan keras.Sang ibu yang sedang memasak tak kalah kaget, wanita setengah baya itu segera menuju ke halaman rumah di mana ada seseorang berteriak memanggil nama putrinya.Hani mengekori sang ibu dengan membawa serta sang bayi dalam gendongan.Mereka semakin kaget saat sampai di depan rumah terlihat seorang wanita duduk di kursi roda, ada juga wanita lainnya juga gadis kecil yang menemani."Yuli?" gumam Ratna dengan heran, melihat mantan besannya datang sambil berteriak-teriak. "Mau apa kamu ke sini?"
"Ai!" teriak Yuli sembari mengetuk pintu, sesampainya di teras rumah anaknya. Wanita itu yakin kalau anaknya ada di dalam, karena mobilnya terparkir di garasi.Cukup lama Aiman datang membuka pintu. Ia muncul dengan tubuh basah keringat, hingga kaos oblongnya begitu lengket dan mencetak tubuh atletis berkat latihan rutinnya.Rambut yang basah, tubuh atletis yang terpampang jelas, membuat mata Ratih seolah mau loncat dari rongganya.Wanita itu bahkan tak melepaskan tatapan dari lelaki tersebut sedetik pun, hingga membuat Aiman bergidik ngeri."Lama banget bukanya, Ai!" ucap Yuli ketus seraya menyuruh Aiman menyingkir dari pintu.
Semua mata terbelalak tak percaya melihat apa yang baru Aiman lakukan. Terlebih Hani. Lelaki itu dengan lancangnya merangkul dan mencium dirinya, sesuatu yang tak pernah dilakukannya dulu sewaktu mereka masih terikat suami istri.Jangankan orang lain, Aiman sendiri kaget dengan apa yang baru ia lakukan. Saking senangnya bisa memeluk sang anak, ia tak dapat mengendalikan dirinya.Aiman sangat bahagia bisa memeluk makhluk kecil yang begitu mirip dirinya. Ia juga terharu, Hani mau mengandung dan melahirkan anak hasil perbuatannya, padahal ia tak ada kontribusi apa pun, sebagai ayah sang anak.Kalau Hani mau, ia bisa saja menggugurkan bayi itu sejak awal. Karena kehadirannya juga bukan atas kemauannya.
"Kenapa kemarin, Ayah, memberi izin Aiman untuk menemui Hanan, sih?" protes Hani sore ini. Sang ayah yang sedang mengajak main sang cucu menoleh sebentar. "Iya, padahal usir aja dia sekalian! Ngapain disuruh masuk? Sebel Ibu sama dia. Gak tahu malu! Sekarang ngaku-ngaku Hanan anaknya. Kemarin waktu Hani sama Hanan kristis, dia ke mana? Padahal dia janji mau bertanggung jawab. Laki-laki itu kan, yang dipegang omongannya." Ratna mengomel panjang lebar dengan ekspresi sangat kesal. "Dia sama ibunya sama-sama menyebalkan. Nyesel Ibu nikahin Hani sama dia dulu. Nyesel besanan sama si Yuli mulut rombeng." Ratna terus saja menceracau. Sementara, Dery menarik napas panjang seraya menyerahkan bayi Hanan ke pangkuan Hani.
"Ibu." Aiman menghampiri sang ibu dengan wajah kesal. Padahal tadi ia sudah mewanti-wanti Yuli untuk bersabar dan tidak gegabah, agar keluarga Hani bersimpati kepada mereka."Kenyataannya memang seperti itu, Ai! Memangnya dia bisa hamil sendiri! Kamu kan, yang bikin dia hamil."Hani tersenyum miring mendengar perkataan mantan ibu mertua yang dulu begitu menyayanginya itu."Aneh sekali Anda ini, nyonya. Bukankah dulu Anda yang bilang kalau aku bukan mengandung bayi dari anakmu? Kenapa sekarang menyebut kalau ini anak Aiman?""Kenyataannya, itu memang anak Aiman bukan. Lihat wajahnya! Bahkan tidak ada garis wajahmu sama sekali! Dia sangat mirip dengan ayahnya!"
Reynaldi menatap Aiman yang berdiri di balik pintu mobilnya. Sebagai sesama lelaki yang menginginkan wanita yang sama, tentu ia sangat marah dan cemburu melihat mantan suami dari calon istrinya masih bertandang ke sana.Namun, Reynaldi pria dewasa yang tidak mengedepankan ego dan amarah. Ia tetap bersikap tenang, meski hatinya marah dan cemburu.Mereka masih saling tatap mengintimidasi, sebagai dua lelaki yang merasa daerah kekuasaannya akan direbut. Saat sebuah suara terdengar dari teras."Mas Rey, sudah datang?" Hani tersenyum di sana. Menatap Reynaldi dari balik kaca mobilnya.Kedua lelaki itu menoleh bersamaan ke arah Hani. Reynaldi mengangguk ke arah Aiman.
Aiman menatap sang ibu yang sejak tadi terus saja murung. Bahkan sejak Ratih dan anaknya pergi, wanita paruh baya itu tak bicara sepatah kata pun.Aiman sangat khawatir, ia takut sang ibu jatuh sakit, karena terlalu memikirkan masalah ini."Kenapa bisa jadi begini, Ai?" tanya Arum yang baru saja datang."Entahlah, Mbak. Sejak awal aku kan, emang nggak suka sama dia." Aiman mengangkat bahu. "Kan, Mbak Arum yang ngenalin dia sama kami. Kok sekarang malah nanya aku?"Arum menggeleng. "Tapi aku juga tidak tahu kalau dia belum resmi bercerai dari suaminya, Ai!"Lagi-lagi Aiman mengangkat bahu.
"Ayo, temui calon keluargamu!" bisik Rey membuat Hani semakin cemas."Assalamu'alaikum semua," sapa Rey begitu mereka sampai. Semua orang di ruangan itu menoleh ke arah Rey dna Hani. Suara riuh yang tadi terdengar kini berubah hening. Semua mata menatap Hani beserta Hanan dalam gendongannya. Dada wanita itu semakin berdebar tak karuan."Hai, apa ini calon menantu Mami, Rey?" Seorang wanita kisaran umur enam puluhan, yang masih terlihat segar, menghampiri mereka. Kemudian, tanpa diduga langsung mencium kedua pipi Hani.Hani mengerjap tak percaya. Ia bahkan lupa mau mencium tangan wanita itu."Kamu jahat, Rey!" lanjut wanita itu seraya beralih pandang ke arah Rey. "Kenapa baru sekarang kamu mempertem