"Ayo, temui calon keluargamu!" bisik Rey membuat Hani semakin cemas.
"Assalamu'alaikum semua," sapa Rey begitu mereka sampai. Semua orang di ruangan itu menoleh ke arah Rey dna Hani. Suara riuh yang tadi terdengar kini berubah hening. Semua mata menatap Hani beserta Hanan dalam gendongannya. Dada wanita itu semakin berdebar tak karuan.
"Hai, apa ini calon menantu Mami, Rey?" Seorang wanita kisaran umur enam puluhan, yang masih terlihat segar, menghampiri mereka. Kemudian, tanpa diduga langsung mencium kedua pipi Hani.
Hani mengerjap tak percaya. Ia bahkan lupa mau mencium tangan wanita itu.
"Kamu jahat, Rey!" lanjut wanita itu seraya beralih pandang ke arah Rey. "Kenapa baru sekarang kamu mempertem
"Mas Rey?" gumam Hani dengan bibir bergetar. Sungguh ia sangat takut melihat tatapan laki-laki itu. Belum pernah dilihatnya tatapan mata Rey sedemikian nyalang."Mas, ini tidak seperti yang kamu lihat. Dia …." Hani bicara lagi dengan suara yang semakin bergetar. Tangannya menunjuk Aiman, yang tersenyum miring."Dia yang memaksaku, Mas!" lanjut Hani lagi, kali ini dengan mata yang sudah berkaca-kaca.Hani sangat takut Rey marah dan menuduhnya yang tidak-tidak. Apalagi laki-laki itu sejak tadi diam tanpa kata.Rey masih diam hingga akhirnya laki-laki itu menunduk, berbalik lalu berniat meninggalkan tempat itu. Hani panik, ia sangat takut. Kalau boleh memilih, wanita itu lebih baik dimarahi dar
Penunjuk waktu menunjukkan pukul 22.15 malam ini. Hanan sudah terlelap di box khususnya, dengan tenang. Sementara Hani masih mondar-mandir dengan gelisah.Rey belum ada menghubunginya sejak pulang tadi. Hati Hani tak karuan rasanya. Ia yakin, laki-laki itu sebenarnya sangat marah. Namun, sebagai lelaki dewasa, Rey sangat mampu mengelola emosinya.Bila marah, lelaki itu hanya diam tanpa kata. Namun, justru itulah yang membuat Hani takut. Kalau boleh memilih ia lebih baik dimarahi daripada harus didiamkan seperti ini.Salah faham? Itu pasti!Bila tidak melihat kejadian dari awal, siapa pun akan salah faham, melihat apa yang terjadi antara dirinya dengan Aiman tadi.
Hani tertegun menatap mantan mertua yang tiba-tiba kembali berubah lembut. Hani bahkan tak percaya dengan pendengarannya sendiri."Han, menikahlah lagi dengan Aiman. Hanan punya hak mendapatkan kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya," ucap wanita yang masih duduk di kursi roda itu."Bu, Hani diajak duduk dulu. Biar ngobrolnya enak," sela Arum yang kemudian memeluk dan mencium pipi Hani. Perlakuan kakaknya Aiman itu masih sama seperti dulu.Arum mengajak Hani duduk, sedangkan kursi roda Yuli didorong gadis kecil anak angkatnya Arum."Bagaimana perkembangan Hanan?" Arum yang duduk di samping Hani mencairkan keadaan saat Hani hanya diam saja sejak tadi.
Hani meletakkan Hanan yang sudah tertidur pulas ke dalam box khususnya. Ditatapnya wajah mungil yang terlihat tenang itu dengan penuh sayang.Ternyata keluarga Aiman sebenarnya menyayangi anak yang ia lahirkan. Ya. Hani mengakui itu. Mereka semua terlebih Aiman terlihat tulus menyayangi Hanan.Namun, untuk kembali bersatu seperti keinginan mantan mertuanya itu, tentu saja hal mustahil. Karena ia akan segera menikah dalam waktu dekat. Terlebih, Hani memang tak ada rasa terhadap Aiman sedikit pun.Mungkin dulu pernah ada rasa kagum, tetapi telah menguap seiring perlakuan dingin laki-laki itu.Hani bangkit, lalu mencari ponsel yang ia lupa menaruhnya di mana. Sejak kejadi
Hani bersimpuh dengan tubuh terasa tak bertulang, di depan jasad yang terbujur kaku bertutup kain jarik.Mami yang sama shock dengan musibah yang menimpa anak lelaki satu-satunya itu, terus mendampingi calon menantu yang terlihat sangat lemah.Dunia Hani terasa runtuh di kepala saat ini. Bagaimana tidak? Lelaki yang esok lusa akan menghalalkannya dalam ikatan perkawinan itu, pergi menghadap Ilahi beberapa hari saja menjelang acara sakral mereka.Jalan takdir memang tak ada yang tahu. Semua yang terjadi sudah tergaris sejak di lauhul mahfudz sana. Namun, ternyata menerima takdir dengan lapang dada itu tak semudah membalikkan telapak tangan.Rencana pernikahan yang sudah
"Han," panggil Aiman dengan menggenggam tangan wanita itu, setelah sebelumnya memindahkan Hanan ke dalam boxnya."Mas sangat tahu perasaan kamu saat ini," ucapnya pelan. "Karena Mas, juga pernah merasakannya dulu."Aiman menarik napas panjang sebelum berucap lagi."Maka dari itu, izinkan Mas mengobati kesedihanmu. Izinkan Mas, menjaga dan melindungi kalian berdua dengan menikahimu lagi, Han."Hani mendongak, ditatapnya mata Aiman yang berucap dengan penuh keyakinan. Hani mencoba menyelami kedalaman hati laki-laki itu lewat tatapan matanya yang penuh harap. Hani tahu laki-laki itu serius."Kamu aneh, Mas. Bukan
Entah ada apa dengan diri Hani? ia sendiri heran. Wanita itu diam saja dengan semua perlakuan Aiman. Menerima dengan mata terpejam. Bahkan saat laki-laki itu semakin berani lebih jauh. Ia malah menyambutnya.Merasa mendapat penyambutan, Aiman bersorak dalam hati. Ia melakukannya lagi lebih dalam. Tangannya menahan leher belakang Hani. Bibirnya terus melahap dengan rakus bibir yang juga melakukan hal yang sama.Entah sampai berapa lama mereka melakukannya. Saling lumat, saling hisap, saling kulum, hingga napas keduanya hampir habis. Aiman melepas pagutan itu lebih dulu, lalu menjauhkan kepalanya agar dapat melihat reaksi Hani.Wanita itu membuka mata saat bibir mereka lepas. Rona merah jambu langsung menghiasi wajahnya saat sadar Aiman tengah menatapnya inte
Akhirnya dengan berat hati, Hani harus berpisah sementara dengan buah hati yang selama ini tak pernah jauh dalam waktu lama.Sebenarnya, berat melepas Hanan yang dibawa pulang Arum. Ia ingin mereka bertiga pulang ke rumah Aiman. Namun, Arum tetap memaksa ingin membawa Hanan. Katanya biar mereka menikmati malam pengantin tanpa harus terganggu tangisan Hanan tengah malam.Terlebih Sisy, anak angkat Arum yang terus merengek agar Hanan mereka bawa pulang. Gadis kecil itu sudah sangat jatuh hati dengan Hanan yang menggemaskan.Hani menciumi Hanan dengan sayang sebelum mereka berpisah di tempat resepsi. Berat rasanya melepasnya."Sudahlah, Han. Lagi pula hanya dua malam Hanan bersama kami. Nikmatil