Hani bersimpuh dengan tubuh terasa tak bertulang, di depan jasad yang terbujur kaku bertutup kain jarik.
Mami yang sama shock dengan musibah yang menimpa anak lelaki satu-satunya itu, terus mendampingi calon menantu yang terlihat sangat lemah.
Dunia Hani terasa runtuh di kepala saat ini. Bagaimana tidak? Lelaki yang esok lusa akan menghalalkannya dalam ikatan perkawinan itu, pergi menghadap Ilahi beberapa hari saja menjelang acara sakral mereka.
Jalan takdir memang tak ada yang tahu. Semua yang terjadi sudah tergaris sejak di lauhul mahfudz sana. Namun, ternyata menerima takdir dengan lapang dada itu tak semudah membalikkan telapak tangan.
Rencana pernikahan yang sudah
"Han," panggil Aiman dengan menggenggam tangan wanita itu, setelah sebelumnya memindahkan Hanan ke dalam boxnya."Mas sangat tahu perasaan kamu saat ini," ucapnya pelan. "Karena Mas, juga pernah merasakannya dulu."Aiman menarik napas panjang sebelum berucap lagi."Maka dari itu, izinkan Mas mengobati kesedihanmu. Izinkan Mas, menjaga dan melindungi kalian berdua dengan menikahimu lagi, Han."Hani mendongak, ditatapnya mata Aiman yang berucap dengan penuh keyakinan. Hani mencoba menyelami kedalaman hati laki-laki itu lewat tatapan matanya yang penuh harap. Hani tahu laki-laki itu serius."Kamu aneh, Mas. Bukan
Entah ada apa dengan diri Hani? ia sendiri heran. Wanita itu diam saja dengan semua perlakuan Aiman. Menerima dengan mata terpejam. Bahkan saat laki-laki itu semakin berani lebih jauh. Ia malah menyambutnya.Merasa mendapat penyambutan, Aiman bersorak dalam hati. Ia melakukannya lagi lebih dalam. Tangannya menahan leher belakang Hani. Bibirnya terus melahap dengan rakus bibir yang juga melakukan hal yang sama.Entah sampai berapa lama mereka melakukannya. Saling lumat, saling hisap, saling kulum, hingga napas keduanya hampir habis. Aiman melepas pagutan itu lebih dulu, lalu menjauhkan kepalanya agar dapat melihat reaksi Hani.Wanita itu membuka mata saat bibir mereka lepas. Rona merah jambu langsung menghiasi wajahnya saat sadar Aiman tengah menatapnya inte
Akhirnya dengan berat hati, Hani harus berpisah sementara dengan buah hati yang selama ini tak pernah jauh dalam waktu lama.Sebenarnya, berat melepas Hanan yang dibawa pulang Arum. Ia ingin mereka bertiga pulang ke rumah Aiman. Namun, Arum tetap memaksa ingin membawa Hanan. Katanya biar mereka menikmati malam pengantin tanpa harus terganggu tangisan Hanan tengah malam.Terlebih Sisy, anak angkat Arum yang terus merengek agar Hanan mereka bawa pulang. Gadis kecil itu sudah sangat jatuh hati dengan Hanan yang menggemaskan.Hani menciumi Hanan dengan sayang sebelum mereka berpisah di tempat resepsi. Berat rasanya melepasnya."Sudahlah, Han. Lagi pula hanya dua malam Hanan bersama kami. Nikmatil
"Sayang, udah belum?" teriak Aiman dari luar pintu kamar mandi. Entah untuk ke berapa kalinya."Ya ampun Mas, baru juga tiga menit aku mandi. Mana bisa bersih?" balas Hani dari dalam."Tiga menit itu, lama lho, kalau pemanasan, udah panas beneran itu," teriak Aiman lagi tidak sabar.Di dalam sana Hani hanya memutar bola mata malas seraya meneruskan ritual mandinya. Namun, tak lama…."Sayang … buruan. Atau kamu izinkan saja Mas masuk, biar kita mandi bareng!"Lagi-lagi Hani memutar bola mata sebelum meneruskan mandi. Apa tidak bisa menunggu beberapa menit saja, sampai ia selesai mandi?
Hani berdiri di depan jendela dengan ponsel menempel di telinga. Wanita itu baru selesai mandi, bahkan ia belum sempat untuk berganti baju. Rasa rindu terhadap lelaki mungilnya menuntun ia buru-buru menelepon Arum.Dengan tubuh hanya dibalut handuk sebatas dada, Hani menunggu dengan sabar panggilannya terhubung.Belum pernah ia berpisah selama ini dengan Hanan. Rasa kehilangan tentu ada. Ia juga takut sang anak rewel mencari dirinya, dan merepotkan orang-orang di sana."Halo Mbak, bagaimana Hanan?" Tanya Hani langsung begitu sambungan terhubung."Hanan baik-baik saja, Han. Ia juga tidak rewel. Tidurnya pules, mungkin kecapean. Sekarang juga masih tidur," jawab Arum di seberang sana.
Tengah malam Hani terbangun dengan hati gundah. Entah ada apa. Ini malam kedua ia berpisah dari Hanan. Rasa rindu untuk memeluk permata hatinya itu sangat menyiksa.Perlahan Hani melepas tangan sang suami yang memeluk posesif pinggangnya. Lalu dengan pelan juga ia mendudukkan dirinya bersandar di kepala ranjang. Bayangan wajah Hanan terus saja berkelebat.Terasa gerakan di sisi perempuan itu. Sepertinya Aiman juga terbangun."Kenapa?" Pertanyaan parau terdengar dibarengi pelukan di pinggang Hani."Aku kangen Hanan, Mas," jawab Hani lemas. Pelukan di pinggang teras semakin erat."Jangan terlalu dipikirin, Hanan baik-baik saja di
Perjalanan antara rumah Aiman dan rumah sang ibu terasa sangat lama. Padahal hari masih sangat pagi, belum ada macet. Matahari bahkan belum menampakkan dirinya.Sebelah tangan Aiman terus menggenggam tangan sang istri yang terus berderai air mata. Sesekali lelaki itu juga membelai kepalanya. Mencoba menenangkan dan memberinya semangat, kalau putra mereka akan baik-baik saja.Sementara Hani, entah bagaimana perasaannya? Bahkan ia sendiri tak dapat menjabarkannya. Yang pasti, ini jawaban atas instingnya sejak kemarin.Wanita itu memang sangat merindukan sang putra. Namun, yang ia rasakan lebih dari sekadar rindu. Ada kekhawatiran mendalam seorang ibu akan anak semata wayangnya. Itu terbukti sekarang.
"Hani." Aiman menatap tak percaya sang istri. "Sayang, kenapa bicara seperti itu? Hanan juga anak Mas, cucu ibu, ponakan Mbak Arum. Kami semua menyayangi Hanan, seperti kamu menyayangi dia. Kami juga khawatir, sayang. Percayalah!" Aiman meraih tangan Hani. Namun, wanita itu menepisnya. "Semua terjadi karena aku terlalu percaya kamu dan keluargamu, Mas. Andai sejak awal, tak kubiarkan kalian memisahkan Hanan dariku, semua ini tidak adan terjadi." Suara Hani meninggi, air mata tak henti mengaliri pipinya. Aiman menatap sedih sang istri. Baru dua hari ini mereka menghabiskan waktu dengan sangat manis. Kini perdebatan lagi yang terjadi. "Sayang, kemarilah!" Aiman ingin menarik tangan Hani. Lelaki itu ingin membawa sang istri dalam pelukan, untuk menenangk